CHAPTER 20 - TERPERANGKAP
“Diksy,
apa kamu pernah berpikir kalau kamu merasa berada di suatu tempat dan tubuh
yang salah.”
Diksi
menengok sambil memiringkan kepalanya tanda bahwa dia terlihat bingung,
“Maksudmu?”
“Emmhh..
Iya, jadi seperti kalau kamu tidak seharunya berada di sini dengan tubuh yang
lain.”
“Sebenarnya
aku masih bingung dengan maksudmu, tapi mungkin aku bisa menyimpulkan sedikit
jawaban padamu.” Diksy semakin memperhatikanku. “Masing-masing orang memiliki
cara yang berbeda dalam bersikap dan menyikapi masalahnya, itu bisa jadi
masalahnya tergantung bagaimana orang itu menyikapi kenyataannya. Hari ini kita
hidup dan hari ini juga kita nyata dalam kehidupan di dunia ini dengan melakukan
aktifitas, menyadari kenyataan yang sudah kita lewati. Jadi untuk kasusmu itu,
mungkin kamu kurang menyadari tentang kenyataan yang sedang kau alami sekarang
dan tetap jalani hidupmu seperti biasa tanpa merasa seperti terbebani hal-hal
yang negatif.”
Aku
mengangguk meski sebenarnya bukan itu yang aku maksudkan. Tapi kata-katanya ada
benarnya juga, aku harus menyadari kenyataan bahwa sekarang aku berada di sini
dan tidak perlu memikirkan hal-hal negatif yang nantinya akan merugikan diriku
sendiri. Diksy memang bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata. Ia
sungguh orang yang hebat.
Kami
berdua sedang duduk termenung sambil menyandarkan punggung di dinding ruangan
ilusi yang Tyron buat. Sementara tak ada yang bisa kami perbuat agar dapat
keluar dari tempat ini selain berharap suatu keajaiban akan datang menolong.
Sebelumnya aku sempat berusaha untuk mengendalikan kembali kekuatan
misteriusku, tapi tetap saja hasilnya nihil, aku masih belum bisa
mengendalikannya. Begitu pula dengan Diksy yang sempat mencoba kembali
menggunakan skill yang pernah digunakan untuk menghancurkan pintu besi
sebelumnya, tapi pintu besi ini terlalu kuat ditambah lagi stamina Diksy yang
sudah semakin menurun.
Aku
menatap lagi benda kotak mirip sensor telapak tangan yang ada di samping pintu.
“Diksy,
apa kamu memiliki akses khusus untuk bisa masuk ke dalam kubah kegelapan ini?”
“Dulunya
sih iya, tapi semenjak aku dimasukkan ke dalam penjara aneh Tyron, aku tidak
tahu lagi apakah masih bisa atau tidak.”
“Bisa
kamu coba tempelkan telapak tanganmu di sini?” aku menunjuk pada sensor telapak
tangan di samping pintu.
“Apa
ini? Meskipun aku memiliki akses istimewa sebelumnya, tapi aku tidak pernah
berhubungan dengan benda seperti ini.”
“Sudah,
tempelkan saja.”
Diksy
pun menurutiku dan menempelkan telapak tangannya pada benda tersebut.
~Biiippp...
“Akses ditolak.”
Diksy
menatap aneh padaku, “Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan?”
“Jadi
begitu ya?” aku bergumam. “Sepertinya benda ini bukanlah kunci yang aku
pikirkan sebelumnya.”
“Lalu
sebenarnya benda apakah yang tadi aku tempelkan itu?”
“Meski
masih belum kupastikan, tapi sepertinya rahasia dari ruangan ini sudah sedikit
terbuka untukku.”
***
Masih
terbayang jelas apa yang sempat dikatakan oleh ayahnya sesaat sebelum ia memutuskan
untuk pergi dari istana.
“Vivian, jangan pernah kamu mendekati Enutra
lagi atau..”
“Atau apa, ayah?” Vivian menangis.
“Atau aku tidak akan menganggapmu
sebagai putriku lagi.”
Setiap kali ia mengingat
percakapan itu, air mata mengalir dari kedua matanya yang indah. Sebenarnya
dari dalam lubuk hati ia tidak ingin meninggalkan ayahnya seperti ini. Namun,
ia harus memilih kebenaran meskipun menentang ayahnya sendiri. Ia sudah tidak
tahan dengan semua kebohongan ayahnya selama ini.
Sebuah
saputangan putih dengan pola garis merah dan biru di sampingnya muncul tepat di
hadapan wajahnya.
“Tuan
Putri, jangan bersedih. Kita pasti akan menemukan Enutra.” Ryo menenangkan
Vivian dengan meminjamkan sapu tangan miliknya. “Aku yakin, dia pasti akan
baik-baik saja.”
“Terima
kasih, tuan...” Vivian tersenyum canggung sambil mengusap air mata dengan sapu
tangan yang dipinjamkan Ryo.
“Ryo
Shinobu. Panggil saja aku Ryo.” dengan wajah yang ramah Ryo mengenalkan dirinya
pada Vivian.
“Baiklah..
Terima kasih, Ryo.” Vivian, masih agak canggung dengan teman-teman barunya ini.
Jarang bagi Vivian untuk berbicara dengan orang-orang yang seumuran dengannya.
~Dhuaaarrr..
Terdengar suara ledakkan yang
cukup keras dari selatan bangunan pusat kubah kegelapan. Seluruh peserta Velika
melihat menuju sumber ledakan dan kemudian mereka semua terpana melihat apa
yang terjadi setelahnya. Tiga ekor monster banteng raksasa setengah manusia
muncul dari arah ledakan tadi.
***
“Semuanya,
mari kita lawan moster itu!” Mikoto berteriak memerintahkan teman-temannya.
“Bagi para tanker, tolong tetap lindungi tuan putri!”
“Mikoto,
jadi kamu adalah pemimpin di kelompok ini?” Dionze cukup terpana pada kepemimpinan
Mikoto.
Wajah
mikoto memerah setelah mendengar perkataan Dionze. “U’um. Entah mengapa mereka
menunjukku sebagai pemimpin di sini.”
“Jadi
begitu ya? Oh ya, sebagai seorang tanker, apa aku harus melindungi Putri Vivian
juga?”
“Jangan!”
Kata itu keluar begitu saja dari mulut Mikoto. “Maksudku, bisa kah kau membantu
untuk melindungi barisan depan bersamaku?” wajah Mikoto semakin memerah.
“Baiklah
kalau begitu, mari kita hajar ketiga Minotaur[1]
itu!”
Mikoto
menatap aneh Dionze, “Bagaimana kau tahu nama monster itu?”
Dionze
tersenyum sambil berlari, “Entahlah, semua monster mereka sepertinya diambil
dari monster mitologi di kerajaan kami.”
***
“Jendral
Zach! Jendral Zach! Dimana dia?! Pengawal, panggil Jendral Zach kemari!” Raja
Algeas berteriak-teriak kepada seluruh pengawalnya. Ia terlihat sangat kesal
saat ini. Bagaimana tidak, putrinya beserta para peserta terpilih didikannya
hilang entah kemana. Ia baru menyadari kejadian ini ketika pagi hari setelah
semalam sebelumnya ia berbicara dengan putrinya. Benar-benar tak disangka bahwa
dia lebih memilih Enutra yang sama sekali belum dikenalnya dibanding dengan ayahnya
sendiri.
Saat
ini ia sedang berdiri di atas balkon Istana Velika yang menghadap langsung
menuju hutan selatan Istana Velika. Tangannya memegang tongkat kerajaan
berlapis emas dengan ukiran khas kerajaan serta terpasang berlian merah
seukuran genggaman tangan diatasnya yang berfungsi sebagai penopang tubuhnya
yang mulai renta.
“Yang
mulia, Jendral Zach menghadap.” Jendral Zach, salah satu jenderal terbaik
Kerajaan Eternality datang menghampirinya sambil berjongkok membungkukkan
tubuhnya memberikan tanda hormat.
Tiba-tiba
saja Raja Algeas menendang kepala Jendral Zach. “Dasar kau tidak berguna!
Bukankah sudah kukatakan padamu agar selalu menjaga Vivian?!”
“Aku
minta maaf, yang mulia. Sungguh minta maaf.” Jendral Zach kembali berjongkok
menghormati Raja algeas dengan darah yang mengalir di kepalanya.
“Berisik!
Apa saja yang sebenarnya kalian lakukan hah?”
“Aku
sudah memerintahkan seluruh pasukanku untuk berjaga di sekitar kamar tuan
putri, tapi sepertinya tuan putri sudah mengetahui segala titik kelemahan
kami.”
“Aaarghhh!!
Dasar bodoh kalian semua! Mulai sekarang cepat kau bantu Jendral Wilhem untuk
menemukan Vivian dan para peserta sialan itu! Jika kau gagal lagi, aku tidak
akan segan-segan untuk membunuhmu seperti yang aku lakukan pada Jendral Ganea.”
“Siap
laksanakan, yang mulia.”
Raja
Algeas akhirnya meninggalkan balkon tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata
pun.
***
“Diksy.”
Aku memanggil Diksy yang sedari tadi hanya duduk terdiam di sampingku.
“Hemm..”
“Kamu
terlihat kesal.”
Diksy
memicingkan matanya. “Siapa pun pasti akan kesal jika terus menerus dikurung
seperti ini.”
“Benar
juga.” Aku kembali duduk termenung.
“Diksy.”
Sekali lagi aku memanggilnya.
“Heemmmm..”
“Sebenarnya
umurmu berapa?”
“Kenapa
kamu menanyakan hal yang tidak penting seperti itu?!” Diksy terlihat semakin
kesal.
“Diksy.”
“Yaaaa
ampunn.. Apa kamu bisa diam sedikit hah??”
“Maaf
kalau memang aku mengganggumu, tapi ini sangat penting bagiku.”
Diksy
menundukkan kepalanya tanda menyerah, “Dua puluh sembilan tahun.”
“Wooo..
Ternyata kamu memang jauh lebih tua dariku!”
“Dasar
bocah sialan.” Diksy menatapku dengan tatapan sinis yang menyeramkan sambil
bergumam, “Lalu apa pentingnya bagimu setelah mengetahui umurku?”
“Boleh
aku memanggilmu Om Paman Diksy?” Aku mengedipkan mata berkali-kali.
“SEJAK
KAPAN SAYA NIKAH SAMA BIBI KAMUU??” Diksy berteriak keras tepat di telingaku.
Aku hanya tersenyum sambil memberi tanda ‘peace’
padanya.
“Hahaha..
Maaf.. Maaf.. Saya hanya tidak suka dengan suasana sepi yang membosankan.”
“Ya
ampun, bagaimana bisa kau bersikap santai di saat seperti ini?” Diksy bergumam
sambil memegang dahinya.
“Paman Diksy, kira-kira apa yang Dionze lakukan di sini?”
“Tolong
berhenti memanggilku paman.” Diksy menggerutu. “Entahlah, bagaimana mungkin dia
mengetahui bahwa kita ada di tempat ini?”
“Benar
juga, terakhir kali aku bertemu dengannya ketika peristiwa bom di Velika.”
Diksy
terlihat muram, “Maafkan aku, itu semua karena salahku.”
“Sudah
lupakan saja. Lagi pula itu bukan sepenuhnya kesalahanmu.” Aku tersenyum pada
Diksy. “Ujung-ujungnya ternyata dalangnya adalah bangsa Remidi. Apa mungkin
Dionze bekerja sama dengan Tyron juga?”
“Tidak
mungkin. Dia adalah salah satu jenderal Olympus yang paling membenci bangsa
Remidi.”
“Haa??
Oh ya? Memang apa yang terjadi?”
“Apa
kau mengingat insiden kubah kegelapan di Gerihas?”
Secara
refleks aku menggeleng karena memang tidak mungkin aku mengingat hal yang belum
pernah ku alami. “Ehmm aku lupa, mungkin pada saat itu aku sedang tidak fokus
dengan berita yang beredar.”
“Yasudahlah.
Mungkin Kerajaan Eternality tidak ingin mencari tahu mengenai peristiwa-peristiwa
di kerajaan kami.” Diksy menyenderkan kepalanya dan menatap ke langit-langit.
“Saat itu di kerajaan Olympus lagi-lagi muncul kubah kegelapan Remidi dan Kota
Gerihas lah yang menjadi korbannya.”
Aku
semakin serius mendengarkan cerita Diksy dengan sangat seksama.
“Kota
Gerihas adalah salah satu kota terbesar yang dimiliki Kerajaan Olympus karena
kota tersebut adalah pusat pemasok senjata terbesar di kerajaan kami. Memang
sangat cerdik sekali, bangsa Remidi selalu menyerang tempat-tempat vital di
seluruh dunia untuk melemahkan kami.” Diksy menarik napas. “Tapi bukan hanya
itu, Kota Gerihas juga adalah kota kelahiran Dionze. Dengan kata lain, Seluruh
keluarga Dionze berada di Kota tersebut. Saat itu Dionze sebenarnya sedang
mendapat tugas untuk mengurus pertahanan istana di Kota Atheins, tapi setelah
mendengar berita mengenai penyerangan Remidi di Gerihas, ia langsung memohon
untuk segera ditugaskan sebagai salah satu anggota penyelamatan Gerihas.”
“Anggota
penyelamatan Gerihas?”
“Ya,
terdiri dari para jenderal beserta pasukannya serta para ahli medis yang
bertugas untuk mengevakuasi warga yang terkena bencana tersebut. Peran Dionze
sangat besar saat itu. Bahkan ia adalah satu-satunya jenderal yang berhasil
membuka jalan untuk mengeluarkan para korban dengan cara memasuki kubah
tersebut tanpa terluka.” Diksy kemudian menghembuskan napasnya dan menunduk.
“Tapi sayang, sehebat apapun usahanya, ia tidak berhasil untuk menyelamatkan
orang tua dan saudara-saudaranya. Mereka sudah terlebih dahulu tewas oleh
amukan pasukan serta para monster ganas Bangsa Remidi.”
Aku
cukup terpana dengan cerita Diksy. Tak disangka meskipun Dionze terlihat sangat
hebat, tapi ternyata ia pun memiliki sejarah yang kelam terhadap Bangsa Remidi.
“Oleh
karena itu, ia selalu ikut serta setiap kali diadakan penyerangan terhadap
kubah kegelapan. Termasuk yang terakhir di kubah kegelapan Emerald ini.”
“Jadi
begitu ya?” aku mengangguk mengerti. “Jadi memang tidak mungkin kalau Dionze
menjadi salah satu pengikut Bangsa Remidi.”
“Tapi,
apapun bisa terjadi sih.”
“Maksudmu?”
aku sedikit bingung.
“Mungkin
saja Bangsa Remidi menjanjikan sesuatu yang berharga atau mungkin melakukan
ancaman seperti yang mereka lakukan padaku.”
Aku
menepuk pundak Diksy, “Tapi, apapun yang terjadi, aku yakin Dionze adalah orang
yang sangat baik dan hebat. Aku tetap berpikiran positif padanya. Lagipula tadi
Tyron juga mengatakan kalau Dionze memberikan masalah padanya. Itu berarti
bahwa Dionze memang melawannya, bukan berkomplot dengannya.”
“Ya,
benar juga. Aku percaya.” Diksy tersenyum sambil menatap langit-langit.
“Diksy,
apa yang kamu liat sih di langit-langit?”
“Diam.
Kamu merusak suasana saja.” Diksy memicingkan matanya.
***
“Mikoto!
Awas di belakangmu!” Dionze berteriak pada Mikoto.
Sebuah
ekor raksasa melesat dengan cepatnya mengarah pada Mikoto yang sedang
berkonsentrasi mengeluarkan skill penyerangnya. Ia tak sempat mendengar
peringatan dari Dionze hingga akhirnya suara hantaman yang sangat keras
terdengar oleh seluruh orang yang ada di dalam medan pertempuran.
Mikoto
hanya menyadari serangan tersebut sepersekian detik dan hanya bisa menutup
matanya sebelum akhirnya ekor tersebut menghantamnya. Namun setelah ia kembali
membuka matanya, ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang telah menahannya dari
hantaman ekor tersebut.
“Kau
tidak apa-apa, Minagi?”
“Vega?”
Seseorang
telah menyelamatkannya dengan menahan serangan tersebut oleh tangannya, dia adalah
Vega Punk, seorang petarung tangan kosong atau disebut dengan Martialist. Vega
juga adalah salah seorang tanker yang
di plot oleh Mikoto karena kekuatannya yang besar setara dengan para kesatria
bertameng di kelompoknya.
“Apa
kau tidak terluka?” Vega menyapanya.
“Vega,
kenapa kau tidak melindungi tuan putri?”
“Jadi
begini caramu membalas kebaikan seseorang?”
“Ummh..
Maafkan aku. Terima kasih, Vega.”
“Yasudah,
lagian aku tadi hanya tidak sengaja dekat denganmu saja. Tuan putri masih aman
bersama para tanker lainnya.” Kemudian
Vega merapalkan jurus dan memukul minotaur yang tadi hampir mencelakakan
Mikoto. “Kalau begitu aku kembali melindungi tuan putri ya, Minagi.”
Mikoto
mengangguk menyetujuinya.
“Mikoto!
Kau tidak apa-apa?” Dionze menghampirinya. “Maafkan aku karena tidak sempat
melindungimu.”
Mikoto
tersenyum, “Sudahlah, lagi pula aku tidak apa-apa.”
“Sungguh
aku sangat menyesal.” Dionze menundukkan kepalanya.
“Ayo
kita kembali kalahkan para minotaur itu!”
Belum
sempat Dionze mengiyakan kata-kata Mikoto, sebuah anak panah melesat cepat
melewati sela diantara mereka berdua. Dionze menengok ke arah sumber panah
tersebut dan melihat ratusan pasukan Remidi berdatangan bersamaan dengan
munculnya beberapa ekor monster minotaur lainnya.
***
Tyron
duduk bersantai sambil menghisap benda seperti cerutu dan memegang segelas
minuman berwarna di tangan kanannya. Ia mengamati monitor-monitor besar di
sekelilingnya yang terus menampilkan seluruh gambar keadaan di kubah kegelapan.
Sesekali dia tersenyum sambil meminum minuman yang ada di tangan kanannya.
“Untuk
apa kau mengendap-endap seperti itu setelah berhasil menghabisi beberapa
pasukanku?” tiba-tiba saja Tyron berteriak tanpa merubah posisi duduknya.
“Aku
datang untuk menagih janjimu padaku.” Seorang pria berdiri di belakangnya.
“Janji?
Oh ya.. Ya.. Silahkan duduk saja, Genba.”
***
[1] Dalam mitologi Yunani, Minotaur (bahasa Yunani:
Μινόταυρος, Minótauros) adalah monster berbentuk manusia yang berkepala
banteng.
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
du du du du du
BalasHapusda da da da da
BalasHapus