CHAPTER 21 - JALAN KELUAR
“Untuk
apa kau mengendap-endap seperti itu setelah berhasil menghabisi beberapa
pasukanku?” tiba-tiba saja Tyron berteriak tanpa merubah posisi duduknya.
“Aku
datang untuk menagih janjimu padaku.” Seorang pria berdiri di belakangnya.
“Janji?
Oh ya.. Ya.. Silahkan duduk saja, Genba.”
“Tidak
perlu, sekarang aku sudah membawa Dionze padamu seperti yang kamu inginkan.
Sekarang dimana batu kristal itu?!”
“Iya..
Iya.. Duduk saja dulu dan mari kita nikmati pertunjukan di luar sana.”
“Tidak
usah banyak basa basi!”
“Kenapa
kau harus kesal seperti itu?”
“Ternyata
kau hanya mempermainkanku, hah!”Tangan Genba mengepal keras, “Aku sudah
memasang banyak peledak di seluruh titik vital kubah ini. Oleh karena itu
jangan kau bertele-tele lagi atau kuhancurkan tempat ini!” Genba kemudian
mengeluarkan benda kecil bertombol seperti sebuah alat pengendali.
“Tunggu
dulu, kenapa kau jadi begitu marah?” Tyron bertanya dengan tatapan merendahkan
dan senyuman yang menyeringai.
“Serahkan
saja batu kristal itu! Bukankah aku sudah memenuhi semua permintaanmu?!”
“Kalau
aku masih tidak mau memberikannya, memangnya kau benar-benar ingin meledakkan
tempat ini? Aku tidak peduli jika kubah ini hancur, aku bisa melarikan diri
dengan mudah memakai ilmu teleportasi.”
“Tapi
kau akan kehilangan data berharga yang masih kukunci di ruang ilusi.”
Tyron
langsung terdiam seolah tersudut oleh perkataan Genba. Tapi tak lama kemudian
ia kembali tersenyum dan berkata, “Ahh.. Siapa juga yang peduli dengan data
bodoh itu?”
“Bukankah
kau sendiri yang bersikeras untuk mendapatkan data itu agar bisa kembali
menduduki salah satu pimpinan pusat Bangsa Remidi?”
“KALAU
BEGITU KENAPA KAU MASIH MENGUNCINYA DISANA?!” seketika emosi Tyron meluap
sambil menggebrakkan meja yang ada di hadapannya.
“Aku
tidak bisa begitu saja percaya terhadap janjimu. Dulu hampir saja aku
memberikannya padamu, tapi untunglah aku sudah mengenal segala akal bulusmu.”
Tak lama kemudian beberapa pengikut Genba mulai berdatangan satu per satu.
“Segera serahkan batu kristal leluhur kami!” Genba berteriak.
Tyron
masih tertunduk diam seolah mencari-cari alasan. Tangannya yang cukup besar
bila dibandingkan dengan tangan orang-orang normal dikepalkannya sekuat
mungkin. Napasnya tidak beraturan menahan emosi yang sewaktu-waktu akan
meledak.
“Tuan,
coba lihat monitor itu! Bukankah itu Diksy?” salah seorang pengikut Genba
menunjuk pada salah satu monitor di dekat Tyron.
“Kau
benar!” Genba mengiyakan. “Tapi, apa yang ia lakukan di ruangan ilusi dan
dengan siapa dia di sana?”
“HAHAHAHAHAHA..”
tiba-tiba saja Tyron tertawa lantang.
“Ada
apa denganmu, hah!” Genba menyelanya.
“Kau
tahu siapa yang sekarang bersama dengan Diksy? Dia adalah Enutra. Bocah dengan
kekuatan aneh yang ingin kau lindungi itu. Apa kau ingin melenyapkannya juga?”
“Hah!?
Enutra?!” Genba terperangah. “Sejak kapan kau menyimpannya di sana?”
“Ummhh..
Kapan ya?”
“Cih..
Dasar kurang ajar!” Kemudian Genba menunjuk dua anak buahnya, “Riki, Zekko,
cepat pergi dan keluarkan mereka dari tempat itu!”
“Baik,
master!” keduanya lalu pergi meninggalkan semua orang yang ada di ruangan
tersebut.
“Tidak
usah repot-repot.” Tyron menyela sambil tersenyum menyeringai. “Aku bisa dengan
mudah menyerahkannya kepadamu jika kau memberitahu dimana data yang kubutuhkan
itu berada.”
“Dasar
licik.” Genba semakin emosi. “Dan kau tetap tidak akan menyerahkan kristal
leluhur kami bukan?”
“Akan
kupikirkan lagi... Emmmhh.. Mungkin? Hahahahaha.” Tyron tertawa semakin keras.
Genba
semakin terpojokkan dengan keadaan yang ia alami sekarang. Ia hanya terdiam
seolah menyerah pada siasat busuk Tyron. Tapi dibalik diamnya itu, bola matanya
terus bergerak mencoba agar dapat menemukan sesuatu yang bisa memberikannya
jalan keluar dari kebuntuan ini. Di saat-saat terdesak seperti ini, tiba-tiba
saja matanya tertuju pada sebuah tombol hijau seukuran ibu jari tepat di depan
monitor yang menampilkan keadaan di ruangan ilusi. Ia yakin bahwa tombol tersebut
dapat melepaskannya dari jeratan siasat buruk Tyron.
Genba yang sejak tadi diam akhirnya
menggerakkan tangan kanannya ke belakang. Perlahan tapi pasti ia mulai
mengambil anak panah yang terkumpul rapi pada sebuah wadah kulit di
punggungnya. Sementara itu tangan kirinya mengambil sebuah benda berbentuk
barbel kecil yang sejak tadi menempel pada sabuknya. Benda tersebut kemudian ia
sedikit goyangkan dan berubah bentuk seolah membukakan diri dari
lipatan-lipatan yang bergerak secara beraturan hingga akhirnya menjadi sebuah
busur panah yang kokoh. Ia lalu meletakkan anak panah yang diambilnya pada
busur tadi dan membidiknya pada Tyron.
“Apa
yang kau lakukan hah?” Tyron bertanya sambil tertawa seolah menyepelekan. “Mau
mencoba membunuhku dengan panah menyedihkan itu hah? Hahaha.”
“Jangan
pernah menyepelekan kemampuanku.” Tiba-tiba saja Genba mengubah arah bidikannya
dan langsung melepaskan anak panahnya dari yang asalnya menuju Tyron berubah
mengarah pada tombol hijau yang ia lihat sebelumnya tadi.
“Hah?
Sial!” Tyron sadar dengan apa yang akan dilakukan Genba dan mencoba untuk
menghentikannya anak panah tersebut dengan kecepatan tubuhnya.
Tapi
apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, hampir saja Tyron merubah arah panah
yang dilesatkan oleh Genba namun tiba-tiba saja puluhan panah kecil menusuk
tubuhnya membuatnya tidak bergerak seketika dan terjatuh.
Tombol
itu pun akhirnya tertekan dan dengan segera Genba mendekati benda panjang hitam
yang biasa digunakan Tyron untuk mengumumkan sesuatu pada pengeras suara. Ketika
ia melewati Tyron, Genba menatap tajam mata Tyron seolah dalam gerakan lambat dan
berkata padanya, “Jangan pernah meremehkan para penduduk Desa Kallita.” sampai
akhirnya ia berbicara melalui benda tadi untuk memberitahukan dua orang yang
terjebak di dalam ruang ilusi.
***
“Kalian sudah bisa bebas sekarang! Segera
tinggalkan ruangan ini melalui pintu yang sudah kusediakan di ujung ruangan
hadapan kalian!”
Terdengar suara nyaring yang
lagi-lagi entah darimana datangnya. Namun sepertinya suara itu berbeda dengan
suara Tyron.
Aku
dan Diksy saling menatap bingung.
“Diksy,
suara siapa itu?”
“Entahlah,
tapi rasanya aku seperti mengenalnya.”
“Apa yang kalian berdua lakukan? Cepat pergi
dari sana! Tyron sudah kulumpuhkan.” Suara itu muncul kembali dengan nada
memerintah.
Tanpa
berpikir apa-apa lagi kami berdua pun akhirnya langsung berdiri dan berlari
menuju pintu yang diperintahkan oleh suara tadi.
Awalnya
aku tidak melihat apa-apa di depan sana, tapi kemudian dinding di depan kami
mulai mengeluarkan suara aneh dan muncul garis hitam tipis membentuk segi empat
sambil mengeluarkan asap putih. Pintu! Ya sepertinya itu adalah sebuah pintu
yang akan mengeluarkan kami berdua. Benar saja, dinding itu akhirnya bergeser
ke bawah dan membuatnya menjadi sebuah jalan keluar dari ruangan ini.
Jarak
kami sebelumnya dengan pintu keluar itu cukup jauh karena ruangan ini sangat
luas, mungkin sekitar empat kali dari luas lapangan sepak bola.
“Takkan kubiarkan kalian lolos begitu saja!”
Tiba-tiba suara Tyron kembali muncul dan ia terdengar sangat marah.
Apa yang terjadi dengan orang yang menolong
kami tadi? Tapi dibanding memikirkan hal itu, firasatku mengatakan bahwa
sepertinya akan terjadi hal yang buruk. Benar saja, pintu itu pelahan-lahan
kembali bergerak menutup. Jarak kami mungkin sekitar beberapa meter lagi. Meski
pintu itu menutup, sebenarnya kami berdua pasti bisa melewatinya. Namun
ternyata kenyataannya lain, kini tiba-tiba saja bermunculan pasukan-pasukan
remidi di hadapan kami! Mereka berusaha menghambat kami agar tidak bisa sampai
menuju jalan keluar.
“Sial..
Padahal tinggal sedikit lagi.” Diksy bergumam. “Akan kuhancurkan kalian
semua!!”
Diksy
menghancurkan mereka seketika dengan menggunakan cakar besinya mirip seperti
Wolverin dalam film X-men. Aku sangat terpukau dengan kemampuannya. Meski
sedang dalam keadaan lemah, tapi dia tetap memiliki kekuatan luar biasa yang
tersisa di tubuhnya. Itu mungkin sebab ia bisa menjadi seorang jenderal besar
di kerajaannya pikirku.
Aku
pun tak tinggal diam. Pedang Dartmouth Eterna yang masih berada di tanganku
langsung kugunakan untuk menangkis segala serangan yang mengarah pada kami
berdua. Jujur, aku masih belum terbiasa untuk membunuh siapapun jadi yang
kulakukan hanya menangkis dan menghindar.
“Kalau
seperti ini terus, kita bisa-bisa akan terjebak disini selamanya.” Aku
berbicara pada Diksy selagi terus menangkis serangan pasukan-pasukan Remidi.
“Tidak,
kita tidak boleh menyia-nyiakan apa yang telah dilakukan orang yang membukakan
jalan keluar ini. Kita harus keluar dari sini!”
“Tapi
ini terlalu sulit..” belum selesai aku berbicara, aku menyadari bahwa salah
satu pasukan Remidi sedang menyerangku dari samping kanan menggunakan kapak
yang cukup besar. Aku hanya bisa pasrah, gerakanku seolah terkunci dan tak bisa
menghindari serangan tersebut hingga akhirnya..
~Zleebb
Entah apa yang terjadi, salah
satu pasukan Remidi yang tadi akan menyerangku itu tiba-tiba saja tumbang dengan sebuah tusukan anak panah
di dada kirinya.
“Jika
kau memang ingin benar-benar keluar dari tempat ini, maka bunuhlah mereka
semua! Jangan hanya menghindar!” terdengar suara seseorang dari luar pintu.
Samar-sama
aku melihat dua orang yang berdiri dengan membawa busur panah di tangannya.
Siapa mereka?
Bersamaan
dengan kehadiran mereka, satu persatu pasukan remidi yang menghalangi kami
mulai berjatuhan dan membuka jalan kami untuk sampai menuju jalan keluar.
“Enutra,
ayo cepat! Kita harus segera keluar.” Diksy berteriak padaku.
Aku
mengangguk dan kemudian berlari secepat mungkin selagi masih terbuka jalan bagi
kami berdua. Kedua orang yang berada di luar pintu sudah menunggu dan
menjulurkan tangannya untuk membantu kami. Pintu yang terus menutup bergeser ke
atas masih belum berhenti dan masih tersisa celah bagi kami berdua untuk
keluar. Hanya saja, celah itu cukup tinggi karena pintu tersebut bergeser
menutup menuju ke atas.
Kami
akhirnya telah sampai dan berhenti di depan pintu tersebut. Salah satu dari dua
orang yang menolong kami tadi kini sedang berada di atas pintu sambil
menjulurkan tangannya.
“Enutra,
cepat naik ke atas punggungku!” Diksy menyuruhku.
“Tunggu,
tapi bagaimana denganmu?”
“Tinggalkan
saja aku di sini! Untuk apa penjahat sepertiku selamat?”
“Woii!!
Cepat!!” orang yang menjulurkan tangan di atas pintu mulai protes terhadap kami
berdua.
“Ayo
tunggu apa lagi, pasukan-pasukan Remidi yang masih tersisa juga mulai mendekati
kita!” Diksy terus memaksa.
“Aah..
Apa sih yang kalian berdua lakukan?” terdengar suara dari luar pintu.
Tiba-tiba
ada sesuatu yang menarik tubuh kami dan kemudian mengeluarkan kami berdua dari
ruangan ilusi sebelum pintu keluar tersebut menutup sempurna.
“Ada
apa dengan kalian berdua, hah?” Salah satu dari dua orang yang menolong kami
bertanya dengan nada sedikit marah. “Aku sampai menunggu kalian begitu lama.”
“Tunggu,
siapa kalian sebenarnya?” aku bertanya kepada mereka berdua.
Salah
satu dari mereka berdua pun mengenalkan diri. “Aku Zekko.” Lalu ia menunjuk teman
di sampingnya. “Dan dia adalah Riki.”
“Zekko?
Riki?” aku bergumam.
“Kau
mengenal mereka?” Diksy bertanya padaku.
“Sama
sekali tidak.. Hehe..” aku menggaruk kepalaku sementara Diksy memicingkan
matanya padaku.
“Maafkan
kami karena telah merepotkan kalian. Oh ya, terima kasih juga karena telah
menyelamatkan kami.” Diksy sedikit menunduk tanda meminta maaf.
“Ah,
tidak apa-apa. Yang penting kalian akhirnya selamat.” Riki membalasnya.
“Sudah
selesai saling basa basinya? Ayo cepat kita segera pergi dari sini! Aku tidak
tahu apa yang terjadi dengan Master Genba bersama Tyron di sana?” Zekko
langsung memotong pembicaraan mereka.
“Genba?”
aku kembali bergumam. “Siapa dia?”
***
“Takkan
kubiarkan kalian lolos begitu saja!” Tyron berteriak sambil berusaha keras
menggerakkan tubuhnya.
Genba
menengok ke sampingnya dan terkejut setelah melihat Tyron yang berhasil bediri.
“Tidak mungkin! Tidak mungkin efek serangan pelumpuhku dapat habis secepat
ini?”
Genba
kemudian menarik kembali anak panahnya dan mencoba untuk menembaknya kembali.
Tapi, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menahan dengan memegangi
tangannya. Ia menengok untuk melihat siapa yang telah mengganggunya. Ternyata beberapa
anak buahnya sedang memeganginya dan sementara yang lainnya mengarahkan anak
panah pada Genba.
“Apa
yang terjadi? Apa yang kalian lakukan?”
“HAHAHAHA..”
Tyron tertawa lantang sembari menekan dua tombol di hadapannya untuk menutup
pintu ruang ilusi dan memanggil para pasukan remidi di dalamnya. “Apakah kau
lupa dengan kekuatanku hah? Mereka semua bisa dengan mudah ku pengaruhi!”
“Jadi
mereka semua sudah kau hipnotis?!” kini Genba tidak dapat bergerak karena
seluruh pergerakkannya semakin terkunci oleh beberapa anak buahnya.
“Ya,
meski kau mencoba untuk melumpuhkanku, tapi aku masih bisa mengatasimu.” Tyron
menyeringai.
“Sial,
aku telah lengah.” Genba merasa dikalahkan. “Tapi kau tidak akan pernah bisa
mengendalikanku!”
“Hmm..
Memang benar aku sulit untuk mengendalikanmu. Entah apa yang terjadi?” Tyron
berusaha untuk berjalan sambil memegangi kursi dan meja di dekatnya sebagai
penumpu karena efek lumpuh yang masih belum sepenuhnya hilang. “Tapi aku bisa
dengan mudah membunuhmu! Hahahaha!”
~Clapp..
~Zzzzaaapp..
Tyron
memetik jarinya dan sebuah anak panah melesat menembus perut kanan Genba yang sedang
dicengkram oleh beberapa anak buahnya.
“Ugh..
Dasar busuk kau, Tyron!” Genba menahan rasa sakit yang luar biasa karena luka
akibat panah yang tertancap di perutnya.
“Kau
masih banyak bicara juga ternyata?”
Tyron
kemudian kembali memetikkan jarinya.
~Clapp..
~Zzzzaaapp.. ~Zzzzaaapp..
Darah semakin banyak
menetes di lantai tempat Genba berdiri. Dua anak panah lagi telah menancap di
bahu kiri dan dada kanannya. Genba semakin lemah dan sulit untuk bergerak.
“Kenapa kau tidak melawan
ketika anak buahmu memegangimu?” Tyron berbicara pada Genba.
Genba terbatuk dan
mengeluarkan darah dari mulutnya, “K.. Karena aku tidak akan pernah menyakiti
anak buahku sepertimu.”
“Hahaha.. Masih bisa
bicara ternyata?”
~Clap..
~Zzzzaaapp..
Satu lagi anak panah menancap
pada perut kiri Genba. Kepalanya tertunduk menahan sakit akibat empat anak
panah yang tertancap di tubuhnya. Darah segar terus keluar menetes dari tiap
batang anak panah yang menancap. Genba kemudian berusaha mengangkat kepalanya
dan melihat ke arah monitor yang menampilkan gambar keadaan ruang ilusi.
“Ada
apa? Kau masih ingin bicara?” Tyron terus memancing emosi Genba.
Genba
tiba-tiba tersenyum, “Setidaknya usahaku tidak akan terlalu sia-sia.”
Tyron
menaikkan sebelah alisnya, “Hahaha.. Sudah jelas kau kalah sekarang. Masih saja
bermulut besar.” Tyron kembali memetikkan jarinya dan seluruh pengikut Genba
menembakkan anak panahnya pada Genba. “Sepertinya efek lumpuhku sudah
sepenuhnya hilang. Kalian! Ayo ikut aku memberikan pelajaran pada anak-anak di
luar sana.”
Seketika
Tyron dan seluruh anak buah Genba menghilang dengan teleportasi meninggalkan
Genba sendiri di ruangan monitor milik Tyron. Sementara itu Genba tergeletak di
lantai dengan belasan anak panah yang tertancap di tubuhnya. Ia masih berusaha untuk
sadar meskipun dirasa sudah tak ada harapan lagi baginya untuk hidup.
“Semoga saja semua tetap
berjalan sesuai rencana.” Genba sedikit bergumam sambil terus mengeluarkan
darah dari mulutnya.
Tiba-tiba pintu ruangannya
terbuka dan beberapa orang masuk mendekatinya. Ia sudah sulit untuk mengenali
mereka, seluruh pandangannya mulai kabur dan menghitam.
***
Kini aku dan Diksy terus
berlari mengikuti Zekko dan Riki di depan. Entah akan dibawa kemana kami berdua
ini, tapi setidaknya aku percaya mereka adalah orang-orang baik karena mereka
lah yang membantu kami keluar dari ruangan tersebut.
Sayup-sayup terdengar
pembicaraan mereka berdua di depan. “Semoga saja master Genba baik-baik saja.”
Dalam hati aku terus
bertanya siapa itu Genba?
Akhirnya mereka berhenti
di depan sebuah pintu ruangan. Riki kemudian membukanya secara perlahan.
Setelah pintu itu terbuka, mereka berdua terlihat terkejut dangan apa yang ada
di dalamnya. Aku dan Diksy pun penasaran dengan apa yang terjadi dan ikut masuk
ke dalam ruangan tersebut.
“Master!! Sadarlah
master!!” Riki berteriak.
Di
dalam ruangan tersebut tergeletak seorang pria berambut panjang keemasan diikat
buntut kuda dengan belasan panah tertancap di tubuhnya. Riki terus menerus
berteriak berusaha menyadarkan orang tersebut sambil terus menerus memanggilnya
master.
Lalu
Zekko kemudian berbicara perlahan sambil memegangi tangan orang tersebut,
“Master, aku mohon tetaplah hidup. Kami berdua telah menyelamatkan keponakanmu.
Setidaknya master harus sempat berbicara dengannya.”
“Hah??
Keponakan?” Sontak aku terkejut mendengar apa yang Zekko katakan.
“Jadi
dia pamanmu?” Diksy menatapku dengan tatapan kebingungan sementara aku hanya
mengangkat kedua pundakku.
“E..
Enutra.. Ughh.. Kemarilah..” pria itu kemudian memanggilku dengan terbata-bata.
“Sudah lama ya.. Ughh.. Kita tidak bertemu.”
Aku
mendekati pria itu dan tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Tetaplah
berjuang membela kebaikan. Ugh.. Jangan sia-siakan pengorbananku..” selesai
berbicara kemudian pria terkulai lemas tak sadarkan diri. Zekko yang sedang
memeganginya berusaha untuk mencari detak nadi di tangan pria tersebut.
“Tak
ada.. Tak ada detak nadi!” Zekko berteriak.
“Master!!”
Riki menangis sambil memegangi tangan Genba.
Aku
kemudian menutup mata Pria itu yang tidak lain adalah paman Enutra.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar