12 Januari 2014

DUNIA SEMU #21


CHAPTER 21 - JALAN KELUAR

            “Untuk apa kau mengendap-endap seperti itu setelah berhasil menghabisi beberapa pasukanku?” tiba-tiba saja Tyron berteriak tanpa merubah posisi duduknya.
            “Aku datang untuk menagih janjimu padaku.” Seorang pria berdiri di belakangnya.
            “Janji? Oh ya.. Ya.. Silahkan duduk saja, Genba.”
            “Tidak perlu, sekarang aku sudah membawa Dionze padamu seperti yang kamu inginkan. Sekarang dimana batu kristal itu?!”

            “Iya.. Iya.. Duduk saja dulu dan mari kita nikmati pertunjukan di luar sana.”
            “Tidak usah banyak basa basi!”
            “Kenapa kau harus kesal seperti itu?”
            “Ternyata kau hanya mempermainkanku, hah!”Tangan Genba mengepal keras, “Aku sudah memasang banyak peledak di seluruh titik vital kubah ini. Oleh karena itu jangan kau bertele-tele lagi atau kuhancurkan tempat ini!” Genba kemudian mengeluarkan benda kecil bertombol seperti sebuah alat pengendali.
            “Tunggu dulu, kenapa kau jadi begitu marah?” Tyron bertanya dengan tatapan merendahkan dan senyuman yang menyeringai.
            “Serahkan saja batu kristal itu! Bukankah aku sudah memenuhi semua permintaanmu?!”
            “Kalau aku masih tidak mau memberikannya, memangnya kau benar-benar ingin meledakkan tempat ini? Aku tidak peduli jika kubah ini hancur, aku bisa melarikan diri dengan mudah memakai ilmu teleportasi.”
            “Tapi kau akan kehilangan data berharga yang masih kukunci di ruang ilusi.”
            Tyron langsung terdiam seolah tersudut oleh perkataan Genba. Tapi tak lama kemudian ia kembali tersenyum dan berkata, “Ahh.. Siapa juga yang peduli dengan data bodoh itu?”
            “Bukankah kau sendiri yang bersikeras untuk mendapatkan data itu agar bisa kembali menduduki salah satu pimpinan pusat Bangsa Remidi?”
            “KALAU BEGITU KENAPA KAU MASIH MENGUNCINYA DISANA?!” seketika emosi Tyron meluap sambil menggebrakkan meja yang ada di hadapannya.
            “Aku tidak bisa begitu saja percaya terhadap janjimu. Dulu hampir saja aku memberikannya padamu, tapi untunglah aku sudah mengenal segala akal bulusmu.” Tak lama kemudian beberapa pengikut Genba mulai berdatangan satu per satu. “Segera serahkan batu kristal leluhur kami!” Genba berteriak.
            Tyron masih tertunduk diam seolah mencari-cari alasan. Tangannya yang cukup besar bila dibandingkan dengan tangan orang-orang normal dikepalkannya sekuat mungkin. Napasnya tidak beraturan menahan emosi yang sewaktu-waktu akan meledak.
            “Tuan, coba lihat monitor itu! Bukankah itu Diksy?” salah seorang pengikut Genba menunjuk pada salah satu monitor di dekat Tyron.
            “Kau benar!” Genba mengiyakan. “Tapi, apa yang ia lakukan di ruangan ilusi dan dengan siapa dia di sana?”
            “HAHAHAHAHAHA..” tiba-tiba saja Tyron tertawa lantang.
            “Ada apa denganmu, hah!” Genba menyelanya.
            “Kau tahu siapa yang sekarang bersama dengan Diksy? Dia adalah Enutra. Bocah dengan kekuatan aneh yang ingin kau lindungi itu. Apa kau ingin melenyapkannya juga?”
            “Hah!? Enutra?!” Genba terperangah. “Sejak kapan kau menyimpannya di sana?”
            “Ummhh.. Kapan ya?”
            “Cih.. Dasar kurang ajar!” Kemudian Genba menunjuk dua anak buahnya, “Riki, Zekko, cepat pergi dan keluarkan mereka dari tempat itu!”
            “Baik, master!” keduanya lalu pergi meninggalkan semua orang yang ada di ruangan tersebut.
            “Tidak usah repot-repot.” Tyron menyela sambil tersenyum menyeringai. “Aku bisa dengan mudah menyerahkannya kepadamu jika kau memberitahu dimana data yang kubutuhkan itu berada.”
            “Dasar licik.” Genba semakin emosi. “Dan kau tetap tidak akan menyerahkan kristal leluhur kami bukan?”
            “Akan kupikirkan lagi... Emmmhh.. Mungkin? Hahahahaha.” Tyron tertawa semakin keras.
            Genba semakin terpojokkan dengan keadaan yang ia alami sekarang. Ia hanya terdiam seolah menyerah pada siasat busuk Tyron. Tapi dibalik diamnya itu, bola matanya terus bergerak mencoba agar dapat menemukan sesuatu yang bisa memberikannya jalan keluar dari kebuntuan ini. Di saat-saat terdesak seperti ini, tiba-tiba saja matanya tertuju pada sebuah tombol hijau seukuran ibu jari tepat di depan monitor yang menampilkan keadaan di ruangan ilusi. Ia yakin bahwa tombol tersebut dapat melepaskannya dari jeratan siasat buruk Tyron.
             Genba yang sejak tadi diam akhirnya menggerakkan tangan kanannya ke belakang. Perlahan tapi pasti ia mulai mengambil anak panah yang terkumpul rapi pada sebuah wadah kulit di punggungnya. Sementara itu tangan kirinya mengambil sebuah benda berbentuk barbel kecil yang sejak tadi menempel pada sabuknya. Benda tersebut kemudian ia sedikit goyangkan dan berubah bentuk seolah membukakan diri dari lipatan-lipatan yang bergerak secara beraturan hingga akhirnya menjadi sebuah busur panah yang kokoh. Ia lalu meletakkan anak panah yang diambilnya pada busur tadi dan membidiknya pada Tyron.
            “Apa yang kau lakukan hah?” Tyron bertanya sambil tertawa seolah menyepelekan. “Mau mencoba membunuhku dengan panah menyedihkan itu hah? Hahaha.”
            “Jangan pernah menyepelekan kemampuanku.” Tiba-tiba saja Genba mengubah arah bidikannya dan langsung melepaskan anak panahnya dari yang asalnya menuju Tyron berubah mengarah pada tombol hijau yang ia lihat sebelumnya tadi.
            “Hah? Sial!” Tyron sadar dengan apa yang akan dilakukan Genba dan mencoba untuk menghentikannya anak panah tersebut dengan kecepatan tubuhnya.
            Tapi apa yang terjadi sungguh di luar dugaan, hampir saja Tyron merubah arah panah yang dilesatkan oleh Genba namun tiba-tiba saja puluhan panah kecil menusuk tubuhnya membuatnya tidak bergerak seketika dan terjatuh.
            Tombol itu pun akhirnya tertekan dan dengan segera Genba mendekati benda panjang hitam yang biasa digunakan Tyron untuk mengumumkan sesuatu pada pengeras suara. Ketika ia melewati Tyron, Genba menatap tajam mata Tyron seolah dalam gerakan lambat dan berkata padanya, “Jangan pernah meremehkan para penduduk Desa Kallita.” sampai akhirnya ia berbicara melalui benda tadi untuk memberitahukan dua orang yang terjebak di dalam ruang ilusi.
***

            “Kalian sudah bisa bebas sekarang! Segera tinggalkan ruangan ini melalui pintu yang sudah kusediakan di ujung ruangan hadapan kalian!”
            Terdengar suara nyaring yang lagi-lagi entah darimana datangnya. Namun sepertinya suara itu berbeda dengan suara Tyron.
            Aku dan Diksy saling menatap bingung.
            “Diksy, suara siapa itu?”
            “Entahlah, tapi rasanya aku seperti mengenalnya.”
            “Apa yang kalian berdua lakukan? Cepat pergi dari sana! Tyron sudah kulumpuhkan.” Suara itu muncul kembali dengan nada memerintah.
            Tanpa berpikir apa-apa lagi kami berdua pun akhirnya langsung berdiri dan berlari menuju pintu yang diperintahkan oleh suara tadi.
            Awalnya aku tidak melihat apa-apa di depan sana, tapi kemudian dinding di depan kami mulai mengeluarkan suara aneh dan muncul garis hitam tipis membentuk segi empat sambil mengeluarkan asap putih. Pintu! Ya sepertinya itu adalah sebuah pintu yang akan mengeluarkan kami berdua. Benar saja, dinding itu akhirnya bergeser ke bawah dan membuatnya menjadi sebuah jalan keluar dari ruangan ini.
            Jarak kami sebelumnya dengan pintu keluar itu cukup jauh karena ruangan ini sangat luas, mungkin sekitar empat kali dari luas lapangan sepak bola.
            “Takkan kubiarkan kalian lolos begitu saja!” Tiba-tiba suara Tyron kembali muncul dan ia terdengar sangat marah.
             Apa yang terjadi dengan orang yang menolong kami tadi? Tapi dibanding memikirkan hal itu, firasatku mengatakan bahwa sepertinya akan terjadi hal yang buruk. Benar saja, pintu itu pelahan-lahan kembali bergerak menutup. Jarak kami mungkin sekitar beberapa meter lagi. Meski pintu itu menutup, sebenarnya kami berdua pasti bisa melewatinya. Namun ternyata kenyataannya lain, kini tiba-tiba saja bermunculan pasukan-pasukan remidi di hadapan kami! Mereka berusaha menghambat kami agar tidak bisa sampai menuju jalan keluar.
            “Sial.. Padahal tinggal sedikit lagi.” Diksy bergumam. “Akan kuhancurkan kalian semua!!”
            Diksy menghancurkan mereka seketika dengan menggunakan cakar besinya mirip seperti Wolverin dalam film X-men. Aku sangat terpukau dengan kemampuannya. Meski sedang dalam keadaan lemah, tapi dia tetap memiliki kekuatan luar biasa yang tersisa di tubuhnya. Itu mungkin sebab ia bisa menjadi seorang jenderal besar di kerajaannya pikirku.
            Aku pun tak tinggal diam. Pedang Dartmouth Eterna yang masih berada di tanganku langsung kugunakan untuk menangkis segala serangan yang mengarah pada kami berdua. Jujur, aku masih belum terbiasa untuk membunuh siapapun jadi yang kulakukan hanya menangkis dan menghindar.
            “Kalau seperti ini terus, kita bisa-bisa akan terjebak disini selamanya.” Aku berbicara pada Diksy selagi terus menangkis serangan pasukan-pasukan Remidi.
            “Tidak, kita tidak boleh menyia-nyiakan apa yang telah dilakukan orang yang membukakan jalan keluar ini. Kita harus keluar dari sini!”
            “Tapi ini terlalu sulit..” belum selesai aku berbicara, aku menyadari bahwa salah satu pasukan Remidi sedang menyerangku dari samping kanan menggunakan kapak yang cukup besar. Aku hanya bisa pasrah, gerakanku seolah terkunci dan tak bisa menghindari serangan tersebut hingga akhirnya..
            ~Zleebb
            Entah apa yang terjadi, salah satu pasukan Remidi yang tadi akan menyerangku itu tiba-tiba  saja tumbang dengan sebuah tusukan anak panah di dada kirinya.
            “Jika kau memang ingin benar-benar keluar dari tempat ini, maka bunuhlah mereka semua! Jangan hanya menghindar!” terdengar suara seseorang dari luar pintu.
            Samar-sama aku melihat dua orang yang berdiri dengan membawa busur panah di tangannya. Siapa mereka?
            Bersamaan dengan kehadiran mereka, satu persatu pasukan remidi yang menghalangi kami mulai berjatuhan dan membuka jalan kami untuk sampai menuju jalan keluar.
            “Enutra, ayo cepat! Kita harus segera keluar.” Diksy berteriak padaku.
            Aku mengangguk dan kemudian berlari secepat mungkin selagi masih terbuka jalan bagi kami berdua. Kedua orang yang berada di luar pintu sudah menunggu dan menjulurkan tangannya untuk membantu kami. Pintu yang terus menutup bergeser ke atas masih belum berhenti dan masih tersisa celah bagi kami berdua untuk keluar. Hanya saja, celah itu cukup tinggi karena pintu tersebut bergeser menutup menuju ke atas.
            Kami akhirnya telah sampai dan berhenti di depan pintu tersebut. Salah satu dari dua orang yang menolong kami tadi kini sedang berada di atas pintu sambil menjulurkan tangannya.
            “Enutra, cepat naik ke atas punggungku!” Diksy menyuruhku.
            “Tunggu, tapi bagaimana denganmu?”
            “Tinggalkan saja aku di sini! Untuk apa penjahat sepertiku selamat?”
            “Woii!! Cepat!!” orang yang menjulurkan tangan di atas pintu mulai protes terhadap kami berdua.
            “Ayo tunggu apa lagi, pasukan-pasukan Remidi yang masih tersisa juga mulai mendekati kita!” Diksy terus memaksa.
            “Aah.. Apa sih yang kalian berdua lakukan?” terdengar suara dari luar pintu.
            Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik tubuh kami dan kemudian mengeluarkan kami berdua dari ruangan ilusi sebelum pintu keluar tersebut menutup sempurna.
            “Ada apa dengan kalian berdua, hah?” Salah satu dari dua orang yang menolong kami bertanya dengan nada sedikit marah. “Aku sampai menunggu kalian begitu lama.”
            “Tunggu, siapa kalian sebenarnya?” aku bertanya kepada mereka berdua.
            Salah satu dari mereka berdua pun mengenalkan diri. “Aku Zekko.” Lalu ia menunjuk teman di sampingnya. “Dan dia adalah Riki.”
            “Zekko? Riki?” aku bergumam.
            “Kau mengenal mereka?” Diksy bertanya padaku.
            “Sama sekali tidak.. Hehe..” aku menggaruk kepalaku sementara Diksy memicingkan matanya padaku.
            “Maafkan kami karena telah merepotkan kalian. Oh ya, terima kasih juga karena telah menyelamatkan kami.” Diksy sedikit menunduk tanda meminta maaf.
            “Ah, tidak apa-apa. Yang penting kalian akhirnya selamat.” Riki membalasnya.
            “Sudah selesai saling basa basinya? Ayo cepat kita segera pergi dari sini! Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Master Genba bersama Tyron di sana?” Zekko langsung memotong pembicaraan mereka.
            “Genba?” aku kembali bergumam. “Siapa dia?”
***

            “Takkan kubiarkan kalian lolos begitu saja!” Tyron berteriak sambil berusaha keras menggerakkan tubuhnya.
            Genba menengok ke sampingnya dan terkejut setelah melihat Tyron yang berhasil bediri. “Tidak mungkin! Tidak mungkin efek serangan pelumpuhku dapat habis secepat ini?”
            Genba kemudian menarik kembali anak panahnya dan mencoba untuk menembaknya kembali. Tapi, tiba-tiba ia merasa ada seseorang yang menahan dengan memegangi tangannya. Ia menengok untuk melihat siapa yang telah mengganggunya. Ternyata beberapa anak buahnya sedang memeganginya dan sementara yang lainnya mengarahkan anak panah pada Genba.
            “Apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan?”
            “HAHAHAHA..” Tyron tertawa lantang sembari menekan dua tombol di hadapannya untuk menutup pintu ruang ilusi dan memanggil para pasukan remidi di dalamnya. “Apakah kau lupa dengan kekuatanku hah? Mereka semua bisa dengan mudah ku pengaruhi!”
            “Jadi mereka semua sudah kau hipnotis?!” kini Genba tidak dapat bergerak karena seluruh pergerakkannya semakin terkunci oleh beberapa anak buahnya.
            “Ya, meski kau mencoba untuk melumpuhkanku, tapi aku masih bisa mengatasimu.” Tyron menyeringai.
            “Sial, aku telah lengah.” Genba merasa dikalahkan. “Tapi kau tidak akan pernah bisa mengendalikanku!”
            “Hmm.. Memang benar aku sulit untuk mengendalikanmu. Entah apa yang terjadi?” Tyron berusaha untuk berjalan sambil memegangi kursi dan meja di dekatnya sebagai penumpu karena efek lumpuh yang masih belum sepenuhnya hilang. “Tapi aku bisa dengan mudah membunuhmu! Hahahaha!”
            ~Clapp..
            ~Zzzzaaapp..
            Tyron memetik jarinya dan sebuah anak panah melesat menembus perut kanan Genba yang sedang dicengkram oleh beberapa anak buahnya.
            “Ugh.. Dasar busuk kau, Tyron!” Genba menahan rasa sakit yang luar biasa karena luka akibat panah yang tertancap di perutnya.
            “Kau masih banyak bicara juga ternyata?”
            Tyron kemudian kembali memetikkan jarinya.
       ~Clapp..                            
            ~Zzzzaaapp.. ~Zzzzaaapp..
            Darah semakin banyak menetes di lantai tempat Genba berdiri. Dua anak panah lagi telah menancap di bahu kiri dan dada kanannya. Genba semakin lemah dan sulit untuk bergerak.
            “Kenapa kau tidak melawan ketika anak buahmu memegangimu?” Tyron berbicara pada Genba.
            Genba terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya, “K.. Karena aku tidak akan pernah menyakiti anak buahku sepertimu.”
            “Hahaha.. Masih bisa bicara ternyata?”
            ~Clap..
            ~Zzzzaaapp..
            Satu lagi anak panah menancap pada perut kiri Genba. Kepalanya tertunduk menahan sakit akibat empat anak panah yang tertancap di tubuhnya. Darah segar terus keluar menetes dari tiap batang anak panah yang menancap. Genba kemudian berusaha mengangkat kepalanya dan melihat ke arah monitor yang menampilkan gambar keadaan ruang ilusi.
            “Ada apa? Kau masih ingin bicara?” Tyron terus memancing emosi Genba.
            Genba tiba-tiba tersenyum, “Setidaknya usahaku tidak akan terlalu sia-sia.”
            Tyron menaikkan sebelah alisnya, “Hahaha.. Sudah jelas kau kalah sekarang. Masih saja bermulut besar.” Tyron kembali memetikkan jarinya dan seluruh pengikut Genba menembakkan anak panahnya pada Genba. “Sepertinya efek lumpuhku sudah sepenuhnya hilang. Kalian! Ayo ikut aku memberikan pelajaran pada anak-anak di luar sana.”
            Seketika Tyron dan seluruh anak buah Genba menghilang dengan teleportasi meninggalkan Genba sendiri di ruangan monitor milik Tyron. Sementara itu Genba tergeletak di lantai dengan belasan anak panah yang tertancap di tubuhnya. Ia masih berusaha untuk sadar meskipun dirasa sudah tak ada harapan lagi baginya untuk hidup.
            “Semoga saja semua tetap berjalan sesuai rencana.” Genba sedikit bergumam sambil terus mengeluarkan darah dari mulutnya.
            Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan beberapa orang masuk mendekatinya. Ia sudah sulit untuk mengenali mereka, seluruh pandangannya mulai kabur dan menghitam.
***

            Kini aku dan Diksy terus berlari mengikuti Zekko dan Riki di depan. Entah akan dibawa kemana kami berdua ini, tapi setidaknya aku percaya mereka adalah orang-orang baik karena mereka lah yang membantu kami keluar dari ruangan tersebut.
            Sayup-sayup terdengar pembicaraan mereka berdua di depan. “Semoga saja master Genba baik-baik saja.”
            Dalam hati aku terus bertanya siapa itu Genba?
            Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah pintu ruangan. Riki kemudian membukanya secara perlahan. Setelah pintu itu terbuka, mereka berdua terlihat terkejut dangan apa yang ada di dalamnya. Aku dan Diksy pun penasaran dengan apa yang terjadi dan ikut masuk ke dalam ruangan tersebut.
            “Master!! Sadarlah master!!” Riki berteriak.
       Di dalam ruangan tersebut tergeletak seorang pria berambut panjang keemasan diikat buntut kuda dengan belasan panah tertancap di tubuhnya. Riki terus menerus berteriak berusaha menyadarkan orang tersebut sambil terus menerus memanggilnya master.
       Lalu Zekko kemudian berbicara perlahan sambil memegangi tangan orang tersebut, “Master, aku mohon tetaplah hidup. Kami berdua telah menyelamatkan keponakanmu. Setidaknya master harus sempat berbicara dengannya.”
       “Hah?? Keponakan?” Sontak aku terkejut mendengar apa yang Zekko katakan.
       “Jadi dia pamanmu?” Diksy menatapku dengan tatapan kebingungan sementara aku hanya mengangkat kedua pundakku.
       “E.. Enutra.. Ughh.. Kemarilah..” pria itu kemudian memanggilku dengan terbata-bata. “Sudah lama ya.. Ughh.. Kita tidak bertemu.”
       Aku mendekati pria itu dan tak tahu apa yang harus aku lakukan.
       “Tetaplah berjuang membela kebaikan. Ugh.. Jangan sia-siakan pengorbananku..” selesai berbicara kemudian pria terkulai lemas tak sadarkan diri. Zekko yang sedang memeganginya berusaha untuk mencari detak nadi di tangan pria tersebut.
       “Tak ada.. Tak ada detak nadi!” Zekko berteriak.
       “Master!!” Riki menangis sambil memegangi tangan Genba.
       Aku kemudian menutup mata Pria itu yang tidak lain adalah paman Enutra.
***
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar