CHAPTER 19 - ILUSI
Vivian..
Vivian..
Entah sejak kapan aku jadi sering
memikirkannya. Padahal bila ku ingat-ingat lagi, mengobrol dengannya pun aku
belum pernah. Terakhir kali berbicara dengannya pun rasanya tidak seperti
mengobrol, saat itu dia langsung pergi begitu saja setelah aku mengucapkan
beberapa kata padanya. Sebenarnya apa yang ada dalam kepalaku ini? Aku sama
sekali tidak bisa untuk memahaminya.
Saat
ini aku berlari tanpa tujuan yang jelas. Dengan hanya mengandalkan insting dan
firasat, kakiku bergerak dengan sendirinya seolah tahu kemana harus melangkah. Untungnya
tak ada seorang pun yang menghalangiku selama mengitari seluruh sudut bangunan
ini. Aneh memang, bangunan yang dihuni oleh petinggi kubah ini seharusnya
memiliki banyak penjaga yang terus menerus mengawasi. Dalam pikiranku sering
terbesit apakah ini semua masih merupakan rencana dari Tyrone atau bukan?
Tapi.. Lupakan! Yang jelas saat ini aku meninggalkannya dengan Diksy hanya demi
memastikan keselamatan Vivian. “Ah kenapa aku harus memikirkan Vivian sampai
seperti ini?”
Akhirnya
aku berhenti tepat di depan sebuah pintu besi yang cukup besar dengan terdapat kotak
seukuran telapak tangan di sampingnya. Terdapat tulisan yang tidak ku mengerti
tepat di atas pintu tersebut. Aku tidak tahu mengapa aku berhenti. Rasanya seperti
telah dikendalikan oleh sesuatu hingga memaksaku untuk berhenti di depan pintu
ini.
Perlahan-lahan
rasa penasaran mulai menyelimuti diriku. Aku mengangkat tangan kananku dan
mencoba untuk menyentuh pintu tersebut. Aku tak begitu yakin dengan apa yang
sebenarnya kulakukan saat ini.
“Jika
saja aku mempunyai kekuatan seperti yang Diksy miliki, mungkin dengan mudah
pintu ini dapat dihancurkan.” gumamku sendirian.
Tiba-tiba
mataku terfokus pada kotak kecil di samping pintu tersebut. Entah apapun itu,
bila diperhatikan dengan seksama kotak itu seperti sebuah sensor telapak tangan
seperti yang ada dalam film-film fiksi ilmiah. Dengan adanya pemikiran seperti
itu, aku mulai berinisiatif unuk mencoba meletakkan telapak tanganku pada kotak
tersebut hingga akhirnya..
~Biiippp...
“Akses ditolak.”
Terdengar suara dari kotak
tersebut yang mengatakan bahwa akses untuk memasuki pintu tersebut telah
ditolak. Tentu saja ditolak, akan aneh jadinya bila aku dapat memasuki pintu
ini dengan menggunakan telapak tanganku. Tapi yang terpenting aku sudah
mengetahui bahwa benda tadi adalah kunci untuk dapat masuk dalam ruangan di
balik pintu ini dan cara untuk menggunakannya adalah dengan menempelkan telapak
tangan seseorang yang telah memiliki izin.
Tapi..
Entah apa sebenarnya yang ada di benakku hingga memaksakanku untuk bisa masuk
ke dalam ruangan ini? Mungkinkah ini adalah pengaruh dari kekuatan yang masih
belum bisa ku kendalikan itu? Kini pikiranku menjadi kalut karena perbuatanku
sendiri. Mengapa aku harus seperti ini?
***
“Dionze!!”
Mikoto meneriakkan nama seseorang yang pernah menjadi rekan seperjalanan
sebelumnya.
“Mikoto!
Apa yang kamu lakukan di sini?!” Dionze terkejut setelah mengetahui siapa
wanita yang menunggangi kuda itu.
“Awas
Dionze!” Mikoto kembali berteriak.
Sebuah
sinar penghancur remidi mengarahkan tembakannya pada Dionze. Tapi untunglah
karena refleks Dionze yang sangat luar biasa, tembakan tersebut dapat ditangkis
dengan sempurna olehnya.
“Hampir
saja.” Dionze menyeka keringat di dahinya lalu berlari sambil menebas beberapa
pasukan Remidi yang menghalanginya untuk mendekati Mikoto. “Mikoto, apa yang
kamu lakukan di tempat ini?”
“Aku
kemari sedang dalam misi penyelamatan.” Mikoto berkata dengan napas yang tidak
beraturan karena sibuk menghabisi para pasukan Remidi di hadapannya. “Kamu
sendiri kenapa bisa ada di sini?”
“Ah..
Cukup panjang ceritanya. Aku sendiri masih bingung mengapa bisa ada disini.”
“Hahaha..
Dasar bodoh.” Mikoto Menertawakan Dionze sambil mengatur kuda yang
ditungganginya. “Apa kamu tahu dimana Enutra?”
“Enutra?
Bukankah seharusnya dia bersamamu?”
“Jadi
kau tidak tahu ya?”
Belum
sempat Dionze menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan sekumpulan orang yang
cukup keras dari balik kabut asap. Satu persatu pasukan Remidi di dekatnya pun
mendadak tumbang tanpa diketahui sampai akhirnya ia menyadari munculnya sinar-sinar
putih seperti kekuatan yang dikeluarkan Mikoto dari balik kabut tersebut. Tidak
hanya itu, tampak beberapa pasukan remidi yang terlempar dari dalam kabut
seperti terbanting oleh kekuatan yang sangat besar. Ia juga melihat anak panah
yang melesat kencang mengenai pasukan remidi yang hampir menyerangnya dari
samping. Dionze tak mengerti dengan apa yang terjadi, apakah ini semua rencana
dari Genba juga?
Sampai
akhirnya ia melihat bayangan sekumpulan orang yang datang dari balik kabut asap
yang Genba buat sebelumnya. Ia melihat beberapa diantaranya ada yang
menggunakan kuda dan ada yang berlari tanpa menunggang apapun. Bila
diperhatikan lagi, mereka seperti sekumpulan orang dengan tipe kelas
berbeda-beda yang saling bekerja sama. Luar biasa orang-orang ini pikirnya
dalam hati.
“Mikoto..
Siapa mereka yang ada dibelakangmu itu?” Dionze bertanya pada Mikoto sambil
menunjuk sekelompok orang yang berada di balik kabut asap.
“Mereka
semua adalah teman-temanku.” Mikoto menjawab sambil terus mengeluarkan
kekuatannya untuk melumpuhkan para pasukan Remidi yang tersisa. “Nanti akan
kuperkenalkan mereka setelah kita berhasil menyisir tempat ini.”
“Baiklah,
aku juga ingin mengenalkanmu dengan teman-temanku.” tetapi ketika Dionze
melihat sekelilingnya, ia baru sadar bahwa Genba dan para pasukannya sudah
menghilang entah kemana. “Loh? Dimana Genba dan yang lainnya?”
“Genba?
Jadi kamu ke sini tidak sendiri? Pantas saja kau bisa menembus pertahanan
Remidi yang begitu hebatnya.”
“Ya,
tadi aku bersama Genba dan para pasukannya, tapi sekarang aku tidak tahu dimana
mereka.”
“Mungkin
mereka sudah lebih dulu masuk ke pusat kubah ini. Bila nanti kita bertemu, kami
harus berterima kasih pada mereka karena telah memudahkan kami untuk masuk ke
dalam kubah ini.”
Dionze
tersenyum dan mengangguk membalas perkataan Mikoto.
Setelah
itu Dionze kemuadian kembali melihat teman-teman Mikoto yang tadi berada di
balik asap. Semakin lama satu persatu dari mereka mulai nampak jelas terlihat
olehnya. Ia memerhatikan bahwa sepertinya mereka berasal dari kerajaan yang
berbeda-beda. Tapi, ada sesuatu yang terlihat janggal olehnya. Sampai akhirnya
ia terkejut setelah melihat seorang wanita yang sedang menunggangi kuda
diantara para petarung lainnya.
“Mi..
Mikoto.. I.. Itu.. Bukankah..”
“Yup..
Putri Vivian. Dialah yang mengajak kami kemari.”
***
Aku
masih berdiri sendiri di sini memandangi pintu besi di depanku. Rasanya seperti
orang bodoh saja pikirku dalam hati. Sebenarnya sempat terpikir untuk kembali
lagi menuju ruangan tempat Diksy dan Tyrone berada. Tapi, lagi-lagi tubuhku
seolah menolak segala perintah yang telah aku pikirkan.
“Imaji!
Apa aku bisa memanggilmu sekarang??” aku berteriak mencoba untuk memanggil
Imaji dan meminta bantuan padanya, tapi kali ini tidak seperti saat aku berada
di dalam penjara sebelumnya, sama sekali tidak ada yang terjadi.
Aku
menyenderkan punggungku pada dinding di samping pintu besi tersebut. Rasa lelah
dan letih mulai terasa. Entah sudah berapa lama aku berada di tempat ini. Tubuhku
terasa sangat lemas. Kerongkonganku pun semakin kering karena sejak tersadar
hingga sekarang belum ada setetes airpun yang mengalir melewatinya.
“Aku
lelah dengan semua ini.” tanpa sadar aku bergumam dengan sendirinya.
“Enutra!!”
tiba-tiba saja terdengar suara yang memanggilku dari arah aku datang tadi.
Aku
menoleh ke arah sumber suara tersebut. Aku agak terkejut setelah mengetahui
bahwa yang memanggilku adalah Diksy. Ia berlari menuju ke arahku sendirian. Apa
yang terjadi dengannya? Dimana Tyrone? Bukankah seharusnya ia menjaganya?
“Diksy,
apa yang telah terjadi?” aku segera membalas panggilannya setelah dia berhenti
di hadapanku. “Dimana Tyrone?”
“Justru
itulah yang ingin aku jelaskan padamu.”
“Hah?
Apa yang terjadi?” aku sedikit bingung.
“Awalnya
aku tetap menahannya untuk mencari tahu tentang keadaan keluargaku. Namun ia
hanya diam saja sambil menampakkan senyuman yang menyebalkan di wajahnya.”
“Setelah
itu?”
“Setelah
itu, tiba-tiba saja dia bergumam sambil mengatakan bahwa kita semua bodoh.
Hingga kemudian..”
“Hingga
kemudian?” aku merasakan firasat buruk akan hal ini.
“Ia
tiba-tiba saja menghilang dari hadapanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi
sebenarnya.”
“Menghilang??
Bagaimana mungkin?”
“Ya.
Tapi sebelumnya aku melihat ia melakukan gerakan yang sama seperti yang kau
lakukan ketika kita berteleportasi ke ruangannya.”
“Hahahaha.. Ada apa dengan kalian berdua,
hah??” terdengar suara Tyrone yang entah darimana datangnya.
“Tyrone! Dimana kau?!” Diksy berteriak.
“Sepertinya aku harus berhenti bermain-main
dengan kalian.”
Apa
maksudnya dengan bermain-main? Rasanya seperti sesuatu yang buruk akan terjadi
pada kami berdua.
Mendadak
tempat yang aku diami saat ini berubah menjadi sangat gelap. Aku dan Diksy sama
sekali tidak dapat melihat apapun dan sulit untuk memperkirakan apa yang akan
terjadi selanjutnya. Kami berdua kemudian saling menempelkan punggung satu sama
lain untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi. Sesekali Diksy berteriak
mengutuk Tyrone namun tak ada respon dari Tyron saat ini. Lagi-lagi firasatku
mengatakan bahwa ini semua akan bertambah buruk.
Tiba-tiba
satu persatu cahaya lampu muncul dari langit-langit hingga membuat semuanya
menjadi jelas terlihat. Tapi, apa yang terjadi membuatku tak percaya dengan apa
yang kulihat saat ini. Tempat yang tadi merupakan lorong-lorong kini berubah
menjadi sebuah ruangan kosong berbentuk kubus yang sangat luas. Dindingnya
berwarna putih dengan garis-garis hitam yang saling terhubung membentuk
geometri persegi panjang. Namun ada satu hal yang tidak berubah dari tempat
ini, pintu besi yang tadi ingin kulewati ternyata masih sama seperti
sebelumnya.
“Diksy,
apa kau tahu tempat apa ini?”
“Aku
tidak tahu. Tapi rasanya aku pernah mendengar mengenai ruangan ilusi yang
Tyrone miliki di bangunan ini. Mungkin saja tempat ini yang ia maksudkan.”
“Ruang
ilusi?”
“Hahaha.. Benar sekali, Diksy. Ini adalah
ruang ilusi yang sengaja aku persiapkan untuk kalian.” Lagi-lagi tyrone
berbicara pada kami berdua tanpa menampakkan dirinya.
“Tyrone! Bagaimana bisa kami bisa
berada di tempat ini??” Diksy berteriak.
“Bagaimana ya? Coba tanya Enutra bagaimana
kalian bisa sampai di tempat ini. Bukankah dia yang telah membawamu?”
Diksy langsung menatapku dengan
tatapan yang cukup menyeramkan. “Enutra, apa maksudnya dengan ini semua?”
Sesaat
aku terdiam karena terkejut dengan apa yang Diksy tanyakan barusan. “Sungguh
aku pun tidak mengerti dengan ia maksudkan.”
“Ahh.. Ternyata kalian masih belum mengerti
hah? Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ingin mengamati kalian berdua? Maksudku..
Kau, Enutra.”
“Apa maksudnya dengan
mengamatiku?”
“Ya, kekuatan misteriusmu
benar-benar membuatku penasaran. Terutama kekuatan teleportasi yang kau miliki.
Teleportasi seperti itu sangat mirip dengan yang kami miliki. Untuk itu aku
memancingmu untuk dapat masuk ke dalam ruangan ini.”
“Jadi begitu?” aku bergumam.
“Diksy, kalau begitu aku akan berusaha untuk kembali mengendalikan kekuatanku
dan keluar dari ruangan ini dengan teleportasiku.”
“Tidak akan semudah itu. Baru saja aku
mengaktifkan anti teleportasi di ruangan ini. Jadi kau tidak akan kemana-mana
dari tempat ini.” belum sempat Diksy menjawab, Tyrone sudah memotong
pembicaraan kami.
Aku
tertegun mendengar apa yang baru saja Tyrone jelaskan. Dalam diriku sempat
terpikir bahwa mungkin inilah akhir dari hidupku.
“Tenang
saja Enutra.” Diksy menggapai pundakku dengan tangannya. “Kita pasti bisa
menemukan jalan keluarnya.”
Aku
mengangguk. Rasanya seperti orang bodoh saja jika mengingat bahwa aku sempat
putus asa dengan keadaan ini. Rasa optimis mulai muncul setelah Diksy
mengatakan hal tadi. Aku yakin, pasti akan ada jalan keluar dari ruangan ini.
“Baiklah, sementara aku akan membiarkan
kalian disini dulu tanpa melakukan apa-apa. Aku ingin mengurusi beberapa
masalah yang disebabkan oleh teman kalian, Dionze.”
Dionze? Jadi dia ada disini? Apa
dia sudah tahu bahwa aku dan Diksy terjebak di tempat ini?
***
“Dionze,
tinggal sedikit lagi pasuka Remidi yang tersisa.” Mikoto masih berada di atas
kuda putih yang ia tunggangi sejak tadi.
“Ya,
aku benar-benar tidak menyangka bahwa kita bisa masuk sejauh ini.” Dionze
membalas perkataan Mikoto sambil terus menghajar pasukan Remidi yang ada di
dekatnya. “Bagaimana dengan Putri Vivian, apakah dia baik-baik saja?”
“Tenang
saja, ia dikelilingi oleh orang-orang yang hebat kok.”
“Baiklah
kalau memang begitu adanya.”
Saat
ini Dionze bersama yang lainnya sudah berhasil menembus pertahan awal bangsa
Remidi di dekat gerbang kegelapan. Ia masih tidak menyangka bahwa ia harus
bersama Mikoto beserta teman-temannya dan Putri Vivian yang juga ikut
bersamanya. Semua yang terjadi benar-benar berada di luar dugannya. Ketika ia
berhasil melewati barisan pertahanan depan Remidi, Mikoto memberitahu mengenai
sebab mengapa dia datang ke kubah kegelapan ini. Ternyata Enutra mengalami
masalah yang serius. Saat ini seluruh kerajaan menganggapnya sebagai seorang
buronan atas semua teror yang terjadi di Eternality. Raja Algeas lah yang mengatakannya
langsung kepada masyarakat. Tapi, setelah Putri Vivian kembali, diam-diam ia
menceritakan kenyataannya kepada sembilan belas peserta terpilih yang tersisa di
Velika. Mikoto saat itu tidak terlalu terkejut dengan kenyataan yang Putri
Vivian katakan tersebut, begitu juga dengan teman-temannya, mereka semua yakin
bahwa Enutra bukanlah seorang yang seperti Raja Algeas katakan. Karena itulah
mereka semua sepakat untuk menyelamatkan Enutra secara diam-diam.
“Ehm..
Mikoto, aku ingin bertanya padamu.” Dionze bertanya pada Mikoto sambi berjalan menuju
pusat kubah kegelapan.
Wajah
Mikoto sedikit merah saat itu. Entah apa yang terjadi, sebenarnya Mikoto agak
sedikit senang setelah bertemu kembali dengan Dionze. “I.. Iya, ada apa?”
“Aku
ingin tahu bagaimana Enutra bisa terpisah dengan kalian? Bukankah sebagai
peserta terpilih Velika harus tetap bersama-sama?”
“Sebenarnya
aku pun tidak tahu. Rasanya seperti ada yang terlewat begitu saja. Terakhir aku
bertemu dengannya pada saat pertandingan di hari kedua.”
“Jadi
begitu ya?” Dionze menengadahkan kepalanya ke langit. “Dia memang penuh dengan
misteri.”
“Ngomong-ngomong,
apa kau masih belum mengetahui keberadaan teman-temanmu?”
“Entahlah,
mereka tiba-tiba menghilang begitu saja. Benar-benar tidak bertanggung jawab.
Sudah membawaku ke tempat ini tanpa sebab, tapi sekarang mereka malah
meninggalkanku.”
“Hahaha..
Sudahlah.. Jika kamu tidak datang ke tempat ini, kita mungkin tidak akan
bertemu lagi.” Mikoto kemudian tersenyum pada Dionze.
Dionze
pun membalas senyuman Mikoto. Sementara itu, ia juga masih berpikir tentang alasan
Genba membawanya ke kubah kegelapan. Sempat teringat ketika ia dan Genba masih
berada di dalam penjara bawah tanah Istana Velika, pada saat itu Genba
menjanjikan kebebasan jika ia ikut dalam kelompoknya. Entah apa yang sebenarnya
Genba inginkan darinya, tapi sepertinya ada hal lain dibanding sekedar untuk
menerobos kubah kegelapan.
“Mikoto,
aku tidak menyangka bahwa keadaan di dalam kubah kegelapan ternyata seperti
ini.” Dionze memerhatikan sekitarnya yang terdiri dari mesin-mesin hitam besar
tanpa awak.
“Sama,
aku kira kubah ini hanya terdiri dari pasukan Remidi saja. Ini pertama kalinya
aku masuk ke dalam kubah kegelapan.”
“Tapi
sebenarnya dulu aku pernah ikut serta dalam evakuasi penyelamatan kubah
kegelapan di kota Gerihas, Olympus.”
“Oh
ya, aku pernah dengar mengenai insiden itu.”
“Meski
kami tidak bisa mengalahkan pasukan Remidi, tapi aku pernah masuk ke dalam
kubah tersebut.”
“Lalu
apa yang kau lihat?”
“Berbeda
dengan yang ada di sini, Kubah Gerihas tidak memiliki mesin-mesin besar seperti
ini. Tapi, pertahanannya jauh lebih kuat dan mereka juga memiliki
monster-monster mengerikan di dalamnya.”
“Oh
jadi begitu ya? Tapi bukankah kamu juga pernah menyerang kubah ini sebelumnya
dan sempat diserang oleh ratusan serigala yang ganas?”
“Justru
itu, rasanya ada yang aneh dengan kubah ini. Aku tidak menemukan monster dan
serigala yang saat itu menyerang pasukanku. Lagipula saat itu aku tidak sempat
memasuki kubah ini.”
Tapi
tiba-tiba langkah Mikoto terhenti ketika hendak membalas perkataan Dionze. Ia
terdiam sambil melihat ke atas bangunan pusat kubah kegelapan. Tak hanya
Mikoto, semuanya pun seperti itu. Dionze penasaran dengan apa yang mereka lihat
hingga akhirnya.. Hingga akhirnya ia melihat ratusan mayat tergantung di depan bangunan
pusat kubah kegelapan. Ia kemudian menyadari bahwa sebagian dari mayat tersebut
adalah pasukannya beserta dua jenderal yang menemaninya saat itu.
“Sungguh
sangat mengerikan. Kurang ajar kau Remidi!!!” Dionze berteriak sekeras-kerasnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar