15 Desember 2013

DUNIA SEMU #19


CHAPTER 19 - ILUSI

            Vivian..
            Vivian..
            Entah sejak kapan aku jadi sering memikirkannya. Padahal bila ku ingat-ingat lagi, mengobrol dengannya pun aku belum pernah. Terakhir kali berbicara dengannya pun rasanya tidak seperti mengobrol, saat itu dia langsung pergi begitu saja setelah aku mengucapkan beberapa kata padanya. Sebenarnya apa yang ada dalam kepalaku ini? Aku sama sekali tidak bisa untuk memahaminya.

            Saat ini aku berlari tanpa tujuan yang jelas. Dengan hanya mengandalkan insting dan firasat, kakiku bergerak dengan sendirinya seolah tahu kemana harus melangkah. Untungnya tak ada seorang pun yang menghalangiku selama mengitari seluruh sudut bangunan ini. Aneh memang, bangunan yang dihuni oleh petinggi kubah ini seharusnya memiliki banyak penjaga yang terus menerus mengawasi. Dalam pikiranku sering terbesit apakah ini semua masih merupakan rencana dari Tyrone atau bukan? Tapi.. Lupakan! Yang jelas saat ini aku meninggalkannya dengan Diksy hanya demi memastikan keselamatan Vivian. “Ah kenapa aku harus memikirkan Vivian sampai seperti ini?”
            Akhirnya aku berhenti tepat di depan sebuah pintu besi yang cukup besar dengan terdapat kotak seukuran telapak tangan di sampingnya. Terdapat tulisan yang tidak ku mengerti tepat di atas pintu tersebut. Aku tidak tahu mengapa aku berhenti. Rasanya seperti telah dikendalikan oleh sesuatu hingga memaksaku untuk berhenti di depan pintu ini.
            Perlahan-lahan rasa penasaran mulai menyelimuti diriku. Aku mengangkat tangan kananku dan mencoba untuk menyentuh pintu tersebut. Aku tak begitu yakin dengan apa yang sebenarnya kulakukan saat ini.
            “Jika saja aku mempunyai kekuatan seperti yang Diksy miliki, mungkin dengan mudah pintu ini dapat dihancurkan.” gumamku sendirian.
            Tiba-tiba mataku terfokus pada kotak kecil di samping pintu tersebut. Entah apapun itu, bila diperhatikan dengan seksama kotak itu seperti sebuah sensor telapak tangan seperti yang ada dalam film-film fiksi ilmiah. Dengan adanya pemikiran seperti itu, aku mulai berinisiatif unuk mencoba meletakkan telapak tanganku pada kotak tersebut hingga akhirnya..
            ~Biiippp...
            “Akses ditolak.”
            Terdengar suara dari kotak tersebut yang mengatakan bahwa akses untuk memasuki pintu tersebut telah ditolak. Tentu saja ditolak, akan aneh jadinya bila aku dapat memasuki pintu ini dengan menggunakan telapak tanganku. Tapi yang terpenting aku sudah mengetahui bahwa benda tadi adalah kunci untuk dapat masuk dalam ruangan di balik pintu ini dan cara untuk menggunakannya adalah dengan menempelkan telapak tangan seseorang yang telah memiliki izin.
            Tapi.. Entah apa sebenarnya yang ada di benakku hingga memaksakanku untuk bisa masuk ke dalam ruangan ini? Mungkinkah ini adalah pengaruh dari kekuatan yang masih belum bisa ku kendalikan itu? Kini pikiranku menjadi kalut karena perbuatanku sendiri. Mengapa aku harus seperti ini?
***

            “Dionze!!” Mikoto meneriakkan nama seseorang yang pernah menjadi rekan seperjalanan sebelumnya.
            “Mikoto! Apa yang kamu lakukan di sini?!” Dionze terkejut setelah mengetahui siapa wanita yang menunggangi kuda itu.
            “Awas Dionze!” Mikoto kembali berteriak.
            Sebuah sinar penghancur remidi mengarahkan tembakannya pada Dionze. Tapi untunglah karena refleks Dionze yang sangat luar biasa, tembakan tersebut dapat ditangkis dengan sempurna olehnya.
            “Hampir saja.” Dionze menyeka keringat di dahinya lalu berlari sambil menebas beberapa pasukan Remidi yang menghalanginya untuk mendekati Mikoto. “Mikoto, apa yang kamu lakukan di tempat ini?”
            “Aku kemari sedang dalam misi penyelamatan.” Mikoto berkata dengan napas yang tidak beraturan karena sibuk menghabisi para pasukan Remidi di hadapannya. “Kamu sendiri kenapa bisa ada di sini?”
            “Ah.. Cukup panjang ceritanya. Aku sendiri masih bingung mengapa bisa ada disini.”
            “Hahaha.. Dasar bodoh.” Mikoto Menertawakan Dionze sambil mengatur kuda yang ditungganginya. “Apa kamu tahu dimana Enutra?”
            “Enutra? Bukankah seharusnya dia bersamamu?”
            “Jadi kau tidak tahu ya?”
            Belum sempat Dionze menjawab, tiba-tiba terdengar teriakan sekumpulan orang yang cukup keras dari balik kabut asap. Satu persatu pasukan Remidi di dekatnya pun mendadak tumbang tanpa diketahui sampai akhirnya ia menyadari munculnya sinar-sinar putih seperti kekuatan yang dikeluarkan Mikoto dari balik kabut tersebut. Tidak hanya itu, tampak beberapa pasukan remidi yang terlempar dari dalam kabut seperti terbanting oleh kekuatan yang sangat besar. Ia juga melihat anak panah yang melesat kencang mengenai pasukan remidi yang hampir menyerangnya dari samping. Dionze tak mengerti dengan apa yang terjadi, apakah ini semua rencana dari Genba juga?
            Sampai akhirnya ia melihat bayangan sekumpulan orang yang datang dari balik kabut asap yang Genba buat sebelumnya. Ia melihat beberapa diantaranya ada yang menggunakan kuda dan ada yang berlari tanpa menunggang apapun. Bila diperhatikan lagi, mereka seperti sekumpulan orang dengan tipe kelas berbeda-beda yang saling bekerja sama. Luar biasa orang-orang ini pikirnya dalam hati.
            “Mikoto.. Siapa mereka yang ada dibelakangmu itu?” Dionze bertanya pada Mikoto sambil menunjuk sekelompok orang yang berada di balik kabut asap.
            “Mereka semua adalah teman-temanku.” Mikoto menjawab sambil terus mengeluarkan kekuatannya untuk melumpuhkan para pasukan Remidi yang tersisa. “Nanti akan kuperkenalkan mereka setelah kita berhasil menyisir tempat ini.”
            “Baiklah, aku juga ingin mengenalkanmu dengan teman-temanku.” tetapi ketika Dionze melihat sekelilingnya, ia baru sadar bahwa Genba dan para pasukannya sudah menghilang entah kemana. “Loh? Dimana Genba dan yang lainnya?”
            “Genba? Jadi kamu ke sini tidak sendiri? Pantas saja kau bisa menembus pertahanan Remidi yang begitu hebatnya.”
            “Ya, tadi aku bersama Genba dan para pasukannya, tapi sekarang aku tidak tahu dimana mereka.”
            “Mungkin mereka sudah lebih dulu masuk ke pusat kubah ini. Bila nanti kita bertemu, kami harus berterima kasih pada mereka karena telah memudahkan kami untuk masuk ke dalam kubah ini.”
            Dionze tersenyum dan mengangguk membalas perkataan Mikoto.
            Setelah itu Dionze kemuadian kembali melihat teman-teman Mikoto yang tadi berada di balik asap. Semakin lama satu persatu dari mereka mulai nampak jelas terlihat olehnya. Ia memerhatikan bahwa sepertinya mereka berasal dari kerajaan yang berbeda-beda. Tapi, ada sesuatu yang terlihat janggal olehnya. Sampai akhirnya ia terkejut setelah melihat seorang wanita yang sedang menunggangi kuda diantara para petarung lainnya.
            “Mi.. Mikoto.. I.. Itu.. Bukankah..”
            “Yup.. Putri Vivian. Dialah yang mengajak kami kemari.”
***

            Aku masih berdiri sendiri di sini memandangi pintu besi di depanku. Rasanya seperti orang bodoh saja pikirku dalam hati. Sebenarnya sempat terpikir untuk kembali lagi menuju ruangan tempat Diksy dan Tyrone berada. Tapi, lagi-lagi tubuhku seolah menolak segala perintah yang telah aku pikirkan.
            “Imaji! Apa aku bisa memanggilmu sekarang??” aku berteriak mencoba untuk memanggil Imaji dan meminta bantuan padanya, tapi kali ini tidak seperti saat aku berada di dalam penjara sebelumnya, sama sekali tidak ada yang terjadi.
            Aku menyenderkan punggungku pada dinding di samping pintu besi tersebut. Rasa lelah dan letih mulai terasa. Entah sudah berapa lama aku berada di tempat ini. Tubuhku terasa sangat lemas. Kerongkonganku pun semakin kering karena sejak tersadar hingga sekarang belum ada setetes airpun yang mengalir melewatinya.
            “Aku lelah dengan semua ini.” tanpa sadar aku bergumam dengan sendirinya.
            “Enutra!!” tiba-tiba saja terdengar suara yang memanggilku dari arah aku datang tadi.
            Aku menoleh ke arah sumber suara tersebut. Aku agak terkejut setelah mengetahui bahwa yang memanggilku adalah Diksy. Ia berlari menuju ke arahku sendirian. Apa yang terjadi dengannya? Dimana Tyrone? Bukankah seharusnya ia menjaganya?
            “Diksy, apa yang telah terjadi?” aku segera membalas panggilannya setelah dia berhenti di hadapanku. “Dimana Tyrone?”
            “Justru itulah yang ingin aku jelaskan padamu.”
            “Hah? Apa yang terjadi?” aku sedikit bingung.
            “Awalnya aku tetap menahannya untuk mencari tahu tentang keadaan keluargaku. Namun ia hanya diam saja sambil menampakkan senyuman yang menyebalkan di wajahnya.”
            “Setelah itu?”
            “Setelah itu, tiba-tiba saja dia bergumam sambil mengatakan bahwa kita semua bodoh. Hingga kemudian..”
            “Hingga kemudian?” aku merasakan firasat buruk akan hal ini.
            “Ia tiba-tiba saja menghilang dari hadapanku. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.”
            “Menghilang?? Bagaimana mungkin?”
            “Ya. Tapi sebelumnya aku melihat ia melakukan gerakan yang sama seperti yang kau lakukan ketika kita berteleportasi ke ruangannya.”
            “Hahahaha.. Ada apa dengan kalian berdua, hah??” terdengar suara Tyrone yang entah darimana datangnya.
            “Tyrone!          Dimana kau?!” Diksy berteriak.
            “Sepertinya aku harus berhenti bermain-main dengan kalian.”
            Apa maksudnya dengan bermain-main? Rasanya seperti sesuatu yang buruk akan terjadi pada kami berdua.
            Mendadak tempat yang aku diami saat ini berubah menjadi sangat gelap. Aku dan Diksy sama sekali tidak dapat melihat apapun dan sulit untuk memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya. Kami berdua kemudian saling menempelkan punggung satu sama lain untuk mencegah sesuatu yang buruk terjadi. Sesekali Diksy berteriak mengutuk Tyrone namun tak ada respon dari Tyron saat ini. Lagi-lagi firasatku mengatakan bahwa ini semua akan bertambah buruk.
            Tiba-tiba satu persatu cahaya lampu muncul dari langit-langit hingga membuat semuanya menjadi jelas terlihat. Tapi, apa yang terjadi membuatku tak percaya dengan apa yang kulihat saat ini. Tempat yang tadi merupakan lorong-lorong kini berubah menjadi sebuah ruangan kosong berbentuk kubus yang sangat luas. Dindingnya berwarna putih dengan garis-garis hitam yang saling terhubung membentuk geometri persegi panjang. Namun ada satu hal yang tidak berubah dari tempat ini, pintu besi yang tadi ingin kulewati ternyata masih sama seperti sebelumnya.
            “Diksy, apa kau tahu tempat apa ini?”
            “Aku tidak tahu. Tapi rasanya aku pernah mendengar mengenai ruangan ilusi yang Tyrone miliki di bangunan ini. Mungkin saja tempat ini yang ia maksudkan.”
            “Ruang ilusi?”
            “Hahaha.. Benar sekali, Diksy. Ini adalah ruang ilusi yang sengaja aku persiapkan untuk kalian.” Lagi-lagi tyrone berbicara pada kami berdua tanpa menampakkan dirinya.
            “Tyrone! Bagaimana bisa kami bisa berada di tempat ini??” Diksy berteriak.
            “Bagaimana ya? Coba tanya Enutra bagaimana kalian bisa sampai di tempat ini. Bukankah dia yang telah membawamu?”
            Diksy langsung menatapku dengan tatapan yang cukup menyeramkan. “Enutra, apa maksudnya dengan ini semua?”
            Sesaat aku terdiam karena terkejut dengan apa yang Diksy tanyakan barusan. “Sungguh aku pun tidak mengerti dengan ia maksudkan.”
            “Ahh.. Ternyata kalian masih belum mengerti hah? Bukankah sudah ku katakan bahwa aku ingin mengamati kalian berdua? Maksudku.. Kau, Enutra.”
            “Apa maksudnya dengan mengamatiku?”
            “Ya, kekuatan misteriusmu benar-benar membuatku penasaran. Terutama kekuatan teleportasi yang kau miliki. Teleportasi seperti itu sangat mirip dengan yang kami miliki. Untuk itu aku memancingmu untuk dapat masuk ke dalam ruangan ini.”
            “Jadi begitu?” aku bergumam. “Diksy, kalau begitu aku akan berusaha untuk kembali mengendalikan kekuatanku dan keluar dari ruangan ini dengan teleportasiku.”
            “Tidak akan semudah itu. Baru saja aku mengaktifkan anti teleportasi di ruangan ini. Jadi kau tidak akan kemana-mana dari tempat ini.” belum sempat Diksy menjawab, Tyrone sudah memotong pembicaraan kami.
            Aku tertegun mendengar apa yang baru saja Tyrone jelaskan. Dalam diriku sempat terpikir bahwa mungkin inilah akhir dari hidupku.
            “Tenang saja Enutra.” Diksy menggapai pundakku dengan tangannya. “Kita pasti bisa menemukan jalan keluarnya.”
            Aku mengangguk. Rasanya seperti orang bodoh saja jika mengingat bahwa aku sempat putus asa dengan keadaan ini. Rasa optimis mulai muncul setelah Diksy mengatakan hal tadi. Aku yakin, pasti akan ada jalan keluar dari ruangan ini.
            “Baiklah, sementara aku akan membiarkan kalian disini dulu tanpa melakukan apa-apa. Aku ingin mengurusi beberapa masalah yang disebabkan oleh teman kalian, Dionze.”
            Dionze? Jadi dia ada disini? Apa dia sudah tahu bahwa aku dan Diksy terjebak di tempat ini?
***

            “Dionze, tinggal sedikit lagi pasuka Remidi yang tersisa.” Mikoto masih berada di atas kuda putih yang ia tunggangi sejak tadi.
            “Ya, aku benar-benar tidak menyangka bahwa kita bisa masuk sejauh ini.” Dionze membalas perkataan Mikoto sambil terus menghajar pasukan Remidi yang ada di dekatnya. “Bagaimana dengan Putri Vivian, apakah dia baik-baik saja?”
            “Tenang saja, ia dikelilingi oleh orang-orang yang hebat kok.”
            “Baiklah kalau memang begitu adanya.”
            Saat ini Dionze bersama yang lainnya sudah berhasil menembus pertahan awal bangsa Remidi di dekat gerbang kegelapan. Ia masih tidak menyangka bahwa ia harus bersama Mikoto beserta teman-temannya dan Putri Vivian yang juga ikut bersamanya. Semua yang terjadi benar-benar berada di luar dugannya. Ketika ia berhasil melewati barisan pertahanan depan Remidi, Mikoto memberitahu mengenai sebab mengapa dia datang ke kubah kegelapan ini. Ternyata Enutra mengalami masalah yang serius. Saat ini seluruh kerajaan menganggapnya sebagai seorang buronan atas semua teror yang terjadi di Eternality. Raja Algeas lah yang mengatakannya langsung kepada masyarakat. Tapi, setelah Putri Vivian kembali, diam-diam ia menceritakan kenyataannya kepada sembilan belas peserta terpilih yang tersisa di Velika. Mikoto saat itu tidak terlalu terkejut dengan kenyataan yang Putri Vivian katakan tersebut, begitu juga dengan teman-temannya, mereka semua yakin bahwa Enutra bukanlah seorang yang seperti Raja Algeas katakan. Karena itulah mereka semua sepakat untuk menyelamatkan Enutra secara diam-diam.
            “Ehm.. Mikoto, aku ingin bertanya padamu.” Dionze bertanya pada Mikoto sambi berjalan menuju pusat kubah kegelapan.
            Wajah Mikoto sedikit merah saat itu. Entah apa yang terjadi, sebenarnya Mikoto agak sedikit senang setelah bertemu kembali dengan Dionze. “I.. Iya, ada apa?”
            “Aku ingin tahu bagaimana Enutra bisa terpisah dengan kalian? Bukankah sebagai peserta terpilih Velika harus tetap bersama-sama?”
            “Sebenarnya aku pun tidak tahu. Rasanya seperti ada yang terlewat begitu saja. Terakhir aku bertemu dengannya pada saat pertandingan di hari kedua.”
            “Jadi begitu ya?” Dionze menengadahkan kepalanya ke langit. “Dia memang penuh dengan misteri.”
            “Ngomong-ngomong, apa kau masih belum mengetahui keberadaan teman-temanmu?”
            “Entahlah, mereka tiba-tiba menghilang begitu saja. Benar-benar tidak bertanggung jawab. Sudah membawaku ke tempat ini tanpa sebab, tapi sekarang mereka malah meninggalkanku.”
            “Hahaha.. Sudahlah.. Jika kamu tidak datang ke tempat ini, kita mungkin tidak akan bertemu lagi.” Mikoto kemudian tersenyum pada Dionze.
            Dionze pun membalas senyuman Mikoto. Sementara itu, ia juga masih berpikir tentang alasan Genba membawanya ke kubah kegelapan. Sempat teringat ketika ia dan Genba masih berada di dalam penjara bawah tanah Istana Velika, pada saat itu Genba menjanjikan kebebasan jika ia ikut dalam kelompoknya. Entah apa yang sebenarnya Genba inginkan darinya, tapi sepertinya ada hal lain dibanding sekedar untuk menerobos kubah kegelapan.
            “Mikoto, aku tidak menyangka bahwa keadaan di dalam kubah kegelapan ternyata seperti ini.” Dionze memerhatikan sekitarnya yang terdiri dari mesin-mesin hitam besar tanpa awak.
            “Sama, aku kira kubah ini hanya terdiri dari pasukan Remidi saja. Ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kubah kegelapan.”
            “Tapi sebenarnya dulu aku pernah ikut serta dalam evakuasi penyelamatan kubah kegelapan di kota Gerihas, Olympus.”
            “Oh ya, aku pernah dengar mengenai insiden itu.”
            “Meski kami tidak bisa mengalahkan pasukan Remidi, tapi aku pernah masuk ke dalam kubah tersebut.”
            “Lalu apa yang kau lihat?”
            “Berbeda dengan yang ada di sini, Kubah Gerihas tidak memiliki mesin-mesin besar seperti ini. Tapi, pertahanannya jauh lebih kuat dan mereka juga memiliki monster-monster mengerikan di dalamnya.”
            “Oh jadi begitu ya? Tapi bukankah kamu juga pernah menyerang kubah ini sebelumnya dan sempat diserang oleh ratusan serigala yang ganas?”
            “Justru itu, rasanya ada yang aneh dengan kubah ini. Aku tidak menemukan monster dan serigala yang saat itu menyerang pasukanku. Lagipula saat itu aku tidak sempat memasuki kubah ini.”
            Tapi tiba-tiba langkah Mikoto terhenti ketika hendak membalas perkataan Dionze. Ia terdiam sambil melihat ke atas bangunan pusat kubah kegelapan. Tak hanya Mikoto, semuanya pun seperti itu. Dionze penasaran dengan apa yang mereka lihat hingga akhirnya.. Hingga akhirnya ia melihat ratusan mayat tergantung di depan bangunan pusat kubah kegelapan. Ia kemudian menyadari bahwa sebagian dari mayat tersebut adalah pasukannya beserta dua jenderal yang menemaninya saat itu.
            “Sungguh sangat mengerikan. Kurang ajar kau Remidi!!!” Dionze berteriak sekeras-kerasnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar