1 Januari 2014

DUNIA SEMU #20


CHAPTER 20 - TERPERANGKAP

            “Diksy, apa kamu pernah berpikir kalau kamu merasa berada di suatu tempat dan tubuh yang salah.”
            Diksi menengok sambil memiringkan kepalanya tanda bahwa dia terlihat bingung, “Maksudmu?”
            “Emmhh.. Iya, jadi seperti kalau kamu tidak seharunya berada di sini dengan tubuh yang lain.”
            “Sebenarnya aku masih bingung dengan maksudmu, tapi mungkin aku bisa menyimpulkan sedikit jawaban padamu.” Diksy semakin memperhatikanku. “Masing-masing orang memiliki cara yang berbeda dalam bersikap dan menyikapi masalahnya, itu bisa jadi masalahnya tergantung bagaimana orang itu menyikapi kenyataannya. Hari ini kita hidup dan hari ini juga kita nyata dalam kehidupan di dunia ini dengan melakukan aktifitas, menyadari kenyataan yang sudah kita lewati. Jadi untuk kasusmu itu, mungkin kamu kurang menyadari tentang kenyataan yang sedang kau alami sekarang dan tetap jalani hidupmu seperti biasa tanpa merasa seperti terbebani hal-hal yang negatif.”

            Aku mengangguk meski sebenarnya bukan itu yang aku maksudkan. Tapi kata-katanya ada benarnya juga, aku harus menyadari kenyataan bahwa sekarang aku berada di sini dan tidak perlu memikirkan hal-hal negatif yang nantinya akan merugikan diriku sendiri. Diksy memang bukanlah orang yang bisa dipandang sebelah mata. Ia sungguh orang yang hebat.
            Kami berdua sedang duduk termenung sambil menyandarkan punggung di dinding ruangan ilusi yang Tyron buat. Sementara tak ada yang bisa kami perbuat agar dapat keluar dari tempat ini selain berharap suatu keajaiban akan datang menolong. Sebelumnya aku sempat berusaha untuk mengendalikan kembali kekuatan misteriusku, tapi tetap saja hasilnya nihil, aku masih belum bisa mengendalikannya. Begitu pula dengan Diksy yang sempat mencoba kembali menggunakan skill yang pernah digunakan untuk menghancurkan pintu besi sebelumnya, tapi pintu besi ini terlalu kuat ditambah lagi stamina Diksy yang sudah semakin menurun.
            Aku menatap lagi benda kotak mirip sensor telapak tangan yang ada di samping pintu.
            “Diksy, apa kamu memiliki akses khusus untuk bisa masuk ke dalam kubah kegelapan ini?”
            “Dulunya sih iya, tapi semenjak aku dimasukkan ke dalam penjara aneh Tyron, aku tidak tahu lagi apakah masih bisa atau tidak.”
            “Bisa kamu coba tempelkan telapak tanganmu di sini?” aku menunjuk pada sensor telapak tangan di samping pintu.
            “Apa ini? Meskipun aku memiliki akses istimewa sebelumnya, tapi aku tidak pernah berhubungan dengan benda seperti ini.”
            “Sudah, tempelkan saja.”
            Diksy pun menurutiku dan menempelkan telapak tangannya pada benda tersebut.
            ~Biiippp...
            “Akses ditolak.”
            Diksy menatap aneh padaku, “Sebenarnya apa yang ingin kau lakukan?”
            “Jadi begitu ya?” aku bergumam. “Sepertinya benda ini bukanlah kunci yang aku pikirkan sebelumnya.”
            “Lalu sebenarnya benda apakah yang tadi aku tempelkan itu?”
            “Meski masih belum kupastikan, tapi sepertinya rahasia dari ruangan ini sudah sedikit terbuka untukku.”
***

            Masih terbayang jelas apa yang sempat dikatakan oleh ayahnya sesaat sebelum ia memutuskan untuk pergi dari istana.
            “Vivian, jangan pernah kamu mendekati Enutra lagi atau..”
            “Atau apa, ayah?” Vivian menangis.
            “Atau aku tidak akan menganggapmu sebagai putriku lagi.”
            Setiap kali ia mengingat percakapan itu, air mata mengalir dari kedua matanya yang indah. Sebenarnya dari dalam lubuk hati ia tidak ingin meninggalkan ayahnya seperti ini. Namun, ia harus memilih kebenaran meskipun menentang ayahnya sendiri. Ia sudah tidak tahan dengan semua kebohongan ayahnya selama ini.
            Sebuah saputangan putih dengan pola garis merah dan biru di sampingnya muncul tepat di hadapan wajahnya.
            “Tuan Putri, jangan bersedih. Kita pasti akan menemukan Enutra.” Ryo menenangkan Vivian dengan meminjamkan sapu tangan miliknya. “Aku yakin, dia pasti akan baik-baik saja.”
            “Terima kasih, tuan...” Vivian tersenyum canggung sambil mengusap air mata dengan sapu tangan yang dipinjamkan Ryo.
            “Ryo Shinobu. Panggil saja aku Ryo.” dengan wajah yang ramah Ryo mengenalkan dirinya pada Vivian.
            “Baiklah.. Terima kasih, Ryo.” Vivian, masih agak canggung dengan teman-teman barunya ini. Jarang bagi Vivian untuk berbicara dengan orang-orang yang seumuran dengannya.
            ~Dhuaaarrr..
            Terdengar suara ledakkan yang cukup keras dari selatan bangunan pusat kubah kegelapan. Seluruh peserta Velika melihat menuju sumber ledakan dan kemudian mereka semua terpana melihat apa yang terjadi setelahnya. Tiga ekor monster banteng raksasa setengah manusia muncul dari arah ledakan tadi.
***

            “Semuanya, mari kita lawan moster itu!” Mikoto berteriak memerintahkan teman-temannya. “Bagi para tanker, tolong tetap lindungi tuan putri!”
            “Mikoto, jadi kamu adalah pemimpin di kelompok ini?” Dionze cukup terpana pada kepemimpinan Mikoto.
            Wajah mikoto memerah setelah mendengar perkataan Dionze. “U’um. Entah mengapa mereka menunjukku sebagai pemimpin di sini.”
            “Jadi begitu ya? Oh ya, sebagai seorang tanker, apa aku harus melindungi Putri Vivian juga?”
            “Jangan!” Kata itu keluar begitu saja dari mulut Mikoto. “Maksudku, bisa kah kau membantu untuk melindungi barisan depan bersamaku?” wajah Mikoto semakin memerah.
            “Baiklah kalau begitu, mari kita hajar ketiga Minotaur[1] itu!”
            Mikoto menatap aneh Dionze, “Bagaimana kau tahu nama monster itu?”
            Dionze tersenyum sambil berlari, “Entahlah, semua monster mereka sepertinya diambil dari monster mitologi di kerajaan kami.”
***

            “Jendral Zach! Jendral Zach! Dimana dia?! Pengawal, panggil Jendral Zach kemari!” Raja Algeas berteriak-teriak kepada seluruh pengawalnya. Ia terlihat sangat kesal saat ini. Bagaimana tidak, putrinya beserta para peserta terpilih didikannya hilang entah kemana. Ia baru menyadari kejadian ini ketika pagi hari setelah semalam sebelumnya ia berbicara dengan putrinya. Benar-benar tak disangka bahwa dia lebih memilih Enutra yang sama sekali belum dikenalnya dibanding dengan ayahnya sendiri.
            Saat ini ia sedang berdiri di atas balkon Istana Velika yang menghadap langsung menuju hutan selatan Istana Velika. Tangannya memegang tongkat kerajaan berlapis emas dengan ukiran khas kerajaan serta terpasang berlian merah seukuran genggaman tangan diatasnya yang berfungsi sebagai penopang tubuhnya yang mulai renta.
            “Yang mulia, Jendral Zach menghadap.” Jendral Zach, salah satu jenderal terbaik Kerajaan Eternality datang menghampirinya sambil berjongkok membungkukkan tubuhnya memberikan tanda hormat.
            Tiba-tiba saja Raja Algeas menendang kepala Jendral Zach. “Dasar kau tidak berguna! Bukankah sudah kukatakan padamu agar selalu menjaga Vivian?!”
            “Aku minta maaf, yang mulia. Sungguh minta maaf.” Jendral Zach kembali berjongkok menghormati Raja algeas dengan darah yang mengalir di kepalanya.
            “Berisik! Apa saja yang sebenarnya kalian lakukan hah?”
            “Aku sudah memerintahkan seluruh pasukanku untuk berjaga di sekitar kamar tuan putri, tapi sepertinya tuan putri sudah mengetahui segala titik kelemahan kami.”
            “Aaarghhh!! Dasar bodoh kalian semua! Mulai sekarang cepat kau bantu Jendral Wilhem untuk menemukan Vivian dan para peserta sialan itu! Jika kau gagal lagi, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu seperti yang aku lakukan pada Jendral Ganea.”
            “Siap laksanakan, yang mulia.”
            Raja Algeas akhirnya meninggalkan balkon tersebut tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
***

            “Diksy.” Aku memanggil Diksy yang sedari tadi hanya duduk terdiam di sampingku.
            “Hemm..”
            “Kamu terlihat kesal.”
            Diksy memicingkan matanya. “Siapa pun pasti akan kesal jika terus menerus dikurung seperti ini.”
            “Benar juga.” Aku kembali duduk termenung.
            “Diksy.” Sekali lagi aku memanggilnya.
            “Heemmmm..”
            “Sebenarnya umurmu berapa?”
            “Kenapa kamu menanyakan hal yang tidak penting seperti itu?!” Diksy terlihat semakin kesal.
            “Diksy.”
            “Yaaaa ampunn.. Apa kamu bisa diam sedikit hah??”
            “Maaf kalau memang aku mengganggumu, tapi ini sangat penting bagiku.”
            Diksy menundukkan kepalanya tanda menyerah, “Dua puluh sembilan tahun.”
            “Wooo.. Ternyata kamu memang jauh lebih tua dariku!”
            “Dasar bocah sialan.” Diksy menatapku dengan tatapan sinis yang menyeramkan sambil bergumam, “Lalu apa pentingnya bagimu setelah mengetahui umurku?”
            “Boleh aku memanggilmu Om Paman Diksy?” Aku mengedipkan mata berkali-kali.
            “SEJAK KAPAN SAYA NIKAH SAMA BIBI KAMUU??” Diksy berteriak keras tepat di telingaku. Aku hanya tersenyum sambil memberi tanda ‘peace’ padanya.
            “Hahaha.. Maaf.. Maaf.. Saya hanya tidak suka dengan suasana sepi yang membosankan.”
            “Ya ampun, bagaimana bisa kau bersikap santai di saat seperti ini?” Diksy bergumam sambil memegang dahinya.
            “Paman Diksy, kira-kira apa yang Dionze lakukan di sini?”
            “Tolong berhenti memanggilku paman.” Diksy menggerutu. “Entahlah, bagaimana mungkin dia mengetahui bahwa kita ada di tempat ini?”
            “Benar juga, terakhir kali aku bertemu dengannya ketika peristiwa bom di Velika.”
            Diksy terlihat muram, “Maafkan aku, itu semua karena salahku.”
            “Sudah lupakan saja. Lagi pula itu bukan sepenuhnya kesalahanmu.” Aku tersenyum pada Diksy. “Ujung-ujungnya ternyata dalangnya adalah bangsa Remidi. Apa mungkin Dionze bekerja sama dengan Tyron juga?”
            “Tidak mungkin. Dia adalah salah satu jenderal Olympus yang paling membenci bangsa Remidi.”
            “Haa?? Oh ya? Memang apa yang terjadi?”
            “Apa kau mengingat insiden kubah kegelapan di Gerihas?”
            Secara refleks aku menggeleng karena memang tidak mungkin aku mengingat hal yang belum pernah ku alami. “Ehmm aku lupa, mungkin pada saat itu aku sedang tidak fokus dengan berita yang beredar.”
            “Yasudahlah. Mungkin Kerajaan Eternality tidak ingin mencari tahu mengenai peristiwa-peristiwa di kerajaan kami.” Diksy menyenderkan kepalanya dan menatap ke langit-langit. “Saat itu di kerajaan Olympus lagi-lagi muncul kubah kegelapan Remidi dan Kota Gerihas lah yang menjadi korbannya.”
            Aku semakin serius mendengarkan cerita Diksy dengan sangat seksama.
            “Kota Gerihas adalah salah satu kota terbesar yang dimiliki Kerajaan Olympus karena kota tersebut adalah pusat pemasok senjata terbesar di kerajaan kami. Memang sangat cerdik sekali, bangsa Remidi selalu menyerang tempat-tempat vital di seluruh dunia untuk melemahkan kami.” Diksy menarik napas. “Tapi bukan hanya itu, Kota Gerihas juga adalah kota kelahiran Dionze. Dengan kata lain, Seluruh keluarga Dionze berada di Kota tersebut. Saat itu Dionze sebenarnya sedang mendapat tugas untuk mengurus pertahanan istana di Kota Atheins, tapi setelah mendengar berita mengenai penyerangan Remidi di Gerihas, ia langsung memohon untuk segera ditugaskan sebagai salah satu anggota penyelamatan Gerihas.”
            “Anggota penyelamatan Gerihas?”
            “Ya, terdiri dari para jenderal beserta pasukannya serta para ahli medis yang bertugas untuk mengevakuasi warga yang terkena bencana tersebut. Peran Dionze sangat besar saat itu. Bahkan ia adalah satu-satunya jenderal yang berhasil membuka jalan untuk mengeluarkan para korban dengan cara memasuki kubah tersebut tanpa terluka.” Diksy kemudian menghembuskan napasnya dan menunduk. “Tapi sayang, sehebat apapun usahanya, ia tidak berhasil untuk menyelamatkan orang tua dan saudara-saudaranya. Mereka sudah terlebih dahulu tewas oleh amukan pasukan serta para monster ganas Bangsa Remidi.”
            Aku cukup terpana dengan cerita Diksy. Tak disangka meskipun Dionze terlihat sangat hebat, tapi ternyata ia pun memiliki sejarah yang kelam terhadap Bangsa Remidi.
            “Oleh karena itu, ia selalu ikut serta setiap kali diadakan penyerangan terhadap kubah kegelapan. Termasuk yang terakhir di kubah kegelapan Emerald ini.”
            “Jadi begitu ya?” aku mengangguk mengerti. “Jadi memang tidak mungkin kalau Dionze menjadi salah satu pengikut Bangsa Remidi.”
            “Tapi, apapun bisa terjadi sih.”
            “Maksudmu?” aku sedikit bingung.
            “Mungkin saja Bangsa Remidi menjanjikan sesuatu yang berharga atau mungkin melakukan ancaman seperti yang mereka lakukan padaku.”
            Aku menepuk pundak Diksy, “Tapi, apapun yang terjadi, aku yakin Dionze adalah orang yang sangat baik dan hebat. Aku tetap berpikiran positif padanya. Lagipula tadi Tyron juga mengatakan kalau Dionze memberikan masalah padanya. Itu berarti bahwa Dionze memang melawannya, bukan berkomplot dengannya.”
            “Ya, benar juga. Aku percaya.” Diksy tersenyum sambil menatap langit-langit.
            “Diksy, apa yang kamu liat sih di langit-langit?”
            “Diam. Kamu merusak suasana saja.” Diksy memicingkan matanya.
***

            “Mikoto! Awas di belakangmu!” Dionze berteriak pada Mikoto.
            Sebuah ekor raksasa melesat dengan cepatnya mengarah pada Mikoto yang sedang berkonsentrasi mengeluarkan skill penyerangnya. Ia tak sempat mendengar peringatan dari Dionze hingga akhirnya suara hantaman yang sangat keras terdengar oleh seluruh orang yang ada di dalam medan pertempuran.
            Mikoto hanya menyadari serangan tersebut sepersekian detik dan hanya bisa menutup matanya sebelum akhirnya ekor tersebut menghantamnya. Namun setelah ia kembali membuka matanya, ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang telah menahannya dari hantaman ekor tersebut.
            “Kau tidak apa-apa, Minagi?”
            “Vega?”
            Seseorang telah menyelamatkannya dengan menahan serangan tersebut oleh tangannya, dia adalah Vega Punk, seorang petarung tangan kosong atau disebut dengan Martialist. Vega juga adalah salah seorang tanker yang di plot oleh Mikoto karena kekuatannya yang besar setara dengan para kesatria bertameng di kelompoknya.
            “Apa kau tidak terluka?” Vega menyapanya.
            “Vega, kenapa kau tidak melindungi tuan putri?”
            “Jadi begini caramu membalas kebaikan seseorang?”
            “Ummh.. Maafkan aku. Terima kasih, Vega.”
            “Yasudah, lagian aku tadi hanya tidak sengaja dekat denganmu saja. Tuan putri masih aman bersama para tanker lainnya.” Kemudian Vega merapalkan jurus dan memukul minotaur yang tadi hampir mencelakakan Mikoto. “Kalau begitu aku kembali melindungi tuan putri ya, Minagi.”
            Mikoto mengangguk menyetujuinya.
            “Mikoto! Kau tidak apa-apa?” Dionze menghampirinya. “Maafkan aku karena tidak sempat melindungimu.”
            Mikoto tersenyum, “Sudahlah, lagi pula aku tidak apa-apa.”
            “Sungguh aku sangat menyesal.” Dionze menundukkan kepalanya.
            “Ayo kita kembali kalahkan para minotaur itu!”
            Belum sempat Dionze mengiyakan kata-kata Mikoto, sebuah anak panah melesat cepat melewati sela diantara mereka berdua. Dionze menengok ke arah sumber panah tersebut dan melihat ratusan pasukan Remidi berdatangan bersamaan dengan munculnya beberapa ekor monster minotaur lainnya.
***

            Tyron duduk bersantai sambil menghisap benda seperti cerutu dan memegang segelas minuman berwarna di tangan kanannya. Ia mengamati monitor-monitor besar di sekelilingnya yang terus menampilkan seluruh gambar keadaan di kubah kegelapan. Sesekali dia tersenyum sambil meminum minuman yang ada di tangan kanannya.
            “Untuk apa kau mengendap-endap seperti itu setelah berhasil menghabisi beberapa pasukanku?” tiba-tiba saja Tyron berteriak tanpa merubah posisi duduknya.
            “Aku datang untuk menagih janjimu padaku.” Seorang pria berdiri di belakangnya.
            “Janji? Oh ya.. Ya.. Silahkan duduk saja, Genba.”
***




[1] Dalam mitologi Yunani, Minotaur (bahasa Yunani: Μινόταυρος, Minótauros) adalah monster berbentuk manusia yang berkepala banteng.

2 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39