29 September 2013

DUNIA SEMU #15



CHAPTER 15 - PERTEMUAN
   
           Sejauh mata memandang, terhampar luas padang rumput pada sebuah bukit dengan beberapa pohon yang berbaris begitu rapih. Awan putih menggantung di atas langit dan berjalan beriringan seakan menemani matahari yang bersinar hangat. Satu dua burung gereja terbang dan hinggap untuk mengambil beberapa ranting kemudian membawanya pergi entah kemana.

            Seorang gadis kecil berbaring di atas hijaunya rumput menikmati indahnya alam. Ia memejamkan kedua matanya seraya mendengarkan suara kicau burung dan desir angin lembut yang membelai kulit putihnya. Ia tersenyum seakan suasana damai ini tak akan pernah berakhir selamanya.

            Ia kemudian duduk dan menengadahkan kepalanya untuk melihat indahnya langit. Rambutnya yang lurus panjang hitam kemerahan tersibak oleh hempasan angin kencang. Meski cukup keras, namun kecantikan seorang putri terpancar ketika rambutnya yang indah terurai oleh hempasan angin.
            “Vivian..” seorang pria paruh baya memanggilnya dari kejauhan. Pria tersebut duduk pada sebuah kursi lipat dengan mengenakan pakaian mewah berhiaskan aksesori-aksesori kebangsawanan. Disekitarnya terdapat para pengawal yang mengipasi dan melayaninya. Dia adalah Raja Algeas, sang penguasa Kerajaan Eternality dan sekaligus ayah dari gadis kecil itu. “Ingat, jangan pergi terlalu jauh dari ayah ya.”
            “Iya ayah.” gadis kecil itu masih duduk terdiam di tempatnya. “Aku masih ingin menikmati tempat ini lebih lama lagi.”
            Pria tersebut menganggukan kepalanya sambil tersenyum tanda menyetujuinya.
            Kala itu Putri Vivian yang masih berumur tujuh tahun pergi bersama ayah dan ibunya serta  beberapa pengawal untuk mengunjungi salah satu tempat terbaik di wilayahnya. Mereka berkumpul untuk sekedar merayakan ulang tahun Vivian dengan cara yang sederhana. Tak ada satupun tamu yang diundang demi meramaikan acara tersebut. Bukan karena Raja Algeas memiliki banyak musuh, itu semua adalah permintaan dari Vivian yang ketika itu ingin merasakan dan berada lebih dekat dengan alam.
            Vivian sangat menyukai alam yang indah dan damai seperti ini. Setelah ia puas berbaring diatas rumput segar, ia kemudian berdiri dan berlari-lari dengan riang melewati beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya. Sesekali ia terdiam sejenak untuk memperhatikan binatang-binatang kecil yang belum pernah dilihat sebelumnya. Musim di kala itu memang merupakan saat yang sempurna untuk menikmati keindahan alam.
            Suatu ketika Vivian melihat sesuatu yang bergerak dari balik semak-semak. Ada sedikit perasaan takut pada dirinya. Namun karena rasa penasarannya lebih besar, pelan-pelan ia mendekati semak-semak tersebut. Ternyata, dilihatnya beberapa ekor anak kelinci yang sedang berkumpul memakan rerumputan. Baru pertama kali ia melihat binatang seperti itu. Ia sangat senang sekali dan sangat ingin menyentuh mereka. Tapi anak-anak kelinci tersebut terlalu sulit baginya untuk ditangkap. Ia berlari kesana kemari hanya untuk menangkap satu kelinci saja. Seolah tidak memiliki rasa lelah, ia terus menerus berlari dan mengejar binatang imut tersebut.
            Sudah terlalu jauh Vivian berlari meninggalkan ayah dan ibunya demi mengejar kelinci-kelinci kecil tadi. Ia baru sadar bahwa ia sedang berada jauh di dalam hutan yang sangat asing baginya. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat pepohonan yang lebih rimbun dibanding saat ia bersama keluarganya tadi. “Dimana ini?” pikirnya.
            Vivian yang saat itu masih sangat kecil hanya bisa menangis. Bukan karena takut tidak bisa kembali, ia lebih takut pada ayahnya. Ia takut bila ayahnya marah setelah menemukannya berada di tempat yang jauh dari mereka. Ayahnya adalah seorang yang sangat tegas pada putrinya. Sungguh berbeda bila membandingkan perangainya ketika berhadapan dengan rakyat dan koleganya. Rakyat Eternality lebih mengenal Algeas sebagai sosok raja yang ramah dan tidak pernah berbuat hal yang buruk.
            Vivian masih terduduk dan menangis sendirian di tengah hutan. Entah apa yang harus dilakukan olehnya hingga kemudian ia melihat seekor kelinci melompat ke arahnya. Seketika tangisnya berhenti dan tergantikan dengan senyum manis di bibirnya. Ia mengelus binatang imut itu dengan penuh kasih sayang. Sayang, kelinci tersebut sepertinya tak ingin berlama-lama berada pada dekapannya. Kelinci itu tiba-tiba melompat dan masuk ke dalam semak-semak yang agak rimbun.
            Lagi-lagi Vivian menangis. Matanya penuh dengan air mata yang tak henti-hentinya keluar bagaikan keran tanpa tutup. Namun, samar-samar ia seperti melihat kelinci yang tadi ia elus datang kembali ke hadapannya. Matanya yang penuh dengan air mata dengan segera diusapkannya. Ternyata memang benar bahwa kelinci itu datang kembali, tapi ia tidak datang sendirian. Terlihat seorang anak laki-laki sedang memegang kelinci tepat dihadapannya. Anak laki-laki tersebut kemudian menyodorkan kelinci tersebut padanya.
            “Kamu gak apa-apa? Ini kelinci. Kamu cari ini kan?” anak laki-laki tersebut berkata pada vivian yang mulai berhenti menangis.
            Vivian kemudian menerima kelinci yang disodorkan oleh anak laki-laki tersebut. Sambil memeluk dan mengelus kelinci, ia perhatikan anak laki-laki yang ada dihadapannya. Anak laki-laki itu sepertinya seumuran dengannya. Ia memiliki rambut hitam lurus pendek, hidungnya agak sedikit mancung, kulitnya sedikit gelap dan memakai baju kulit sederhana. Sudah jelas baginya bahwa anak laki-laki tersebut hanyalah seorang anak dari keluarga biasa.
            “Kamu kenapa? Kamu sepertinya tersesat ya?”
            Vivian mengangguk tanpa berbicara sedikitpun sambil mengelus kelinci yang baru saja ia terima dari anak laki-laki tersebut.
            “Ya sudah, aku akan mengantarmu ya. Kebetulan aku sudah lumayan hafal hutan ini karena ayahku sering membawaku setiap kali ia berburu di sini.”
            Vivian kemudian mengikutinya berjalan meninggalkan tempat tadi. Sepanjang perjalanan, anak lelaki itu banyak bercerita tentang beraneka ragam satwa yang ada di hutan tersebut. Vivian hanya mendengarkannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Bukan karena takut, entah apa yang ada di pikirannya saat itu hingga membuatnya sulit untuk berkata. Tapi, ia sangat senang sekali bisa berada di dekat anak lelaki tersebut. Ia merasa lebih aman dibanding saat ia sendiri sebelumnya.
            Akhirnya Vivian berhenti berjalan karena telah kembali sampai di padang rumput tempat ia sempat membaringkan tubuh sebelumnya. Untunglah ayah dan ibunya masih beristirahat di tempat yang sama. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa anaknya sempat tersesat di hutan sendirian.
            Vivian kemudian melihat anak laki-laki yang ada di dekatnya dengan wajah yang agak sedikit merah. Ia kemudian mengembalikan kelinci yang sejak tadi ia peluk selama perjalanan. Ada perasaan aneh dalam dirinya.
            “Nama kamu siapa?” Vivian yang sejak tadi diam akhirnya mencoba untuk berbicara.
            “Aku Enutra, rumahku ada di dekat sini.” anak laki-laki itu menjawab sambil tersenyum.
            Enutra. Nama itu tidak akan pernah ia lupakan selamanya. Percakapan kali ini adalah pertama kali dalam hidupnya dengan seorang anak lelaki yang seumuran dengannya.
            “Aku Vivian. Terima kasih sudah mengantarku kembali.” Vivian kemudian tersenyum dan berlari meninggalkan anak lelaki tersebut dengan wajah yang memerah. Ia selalu berharap akan bertemu kembali dengannya suatu saat nanti. Selalu. Selalu berharap.
***

            Sepi, gelap, dan dingin. Entah sudah berapa lama Vivian berada di tempat ini. Ia tak ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Tiba-tiba saja ia terbangun dalam keadaan dirantai di sebuah ruangan asing seperti penjara bawah tanah istana. Ia tak sanggup untuk meronta dan berteriak, rasanya sungguh lemas sekali. Suara decit tikus bergema mememecah kesunyian di ruangan yang suram ini. Mungkin selama ini hanya para tikuslah yang menemaninya di tengah kesendirian. Dalam hati ia terus bertanya siapa yang tega berbuat seperti ini padanya.
            Terdengar suara langkah kaki dari ujung lorong gelap yang menghubungkan sel penjaranya dengan penjara lainnya. Mungkin ada sekitar dua, tidak, mungkin ada sekitar empat orang yang sedang datang mendekati selnya. Vivian terus berdoa seraya berharap bahwa suara langkah kaki itu adalah orang-orang yang akan datang menyelamatkannya.
            “Vivian!” tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya. Vivian menoleh ke arah sumber suara tersebut. Ia merasa familiar dengan panggilan tersebut.
            “Ayah!” Vivian segera membalas panggilannya. Ternyata yang memanggilnya adalah ayahnya sendiri, Raja Algeas. Ia datang bersama dengan para pengawalnya yang terdiri dari beberapa jenderal. “Syukurlah, ayah menemukanku di sini.”
            “Vivian.. Ayah sangat khawatir padamu.”
            “Ayah, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa aku ada di sini?”
            “Nanti akan ayah jelaskan. Yang penting, kita harus segera keluar dari sini sebelum para pengkhianat itu menyerang kita lagi.” Raja Algeas segera menggenggam dan menarik tangan Vivian.
            “Pengkhianat? Pengkhianat siapa maksud ayah?” Vivian terhenti. Selama ini ia hanya mengetahui bahwa ayahnya adalah sosok raja yang sangat ramah bagi rakyatnya, mustahil jika ada yang mengkhianatinya.
            “Ya, Enutra lah yang telah mengkhianati ayah.”
            Seketika Vivian terhenyak mendengar perkataan ayahnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin orang yang selama ini ia kagumi berani mengkhianati ayahnya. Tapi, mungkin saja itu hanya kebohongan ayahnya. Ia sudah tahu beberapa kebenaran di balik topeng ayahnya selama ini.
            “AYAH BOHONG!” Vivian melepas paksa genggaman ayahnya.
            “JANGAN MEMBANTAH PADA AYAHMU!” Raja Algeas membalas membentak Vivian dan menarik kembali tangannya. “Ayo ikut ayah!”
            Vivian menangis tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia terus percaya bahwa Enutra bukanlah orang yang tega berbuat hal seperti itu. Ia percaya. Ia percaya suatu saat kebenaran akan segera terungkap.
***

            “HAH!”
            Dionze baru saja terbangun dari tidurnya. Napasnya tidak teratur. Badannya sangat tegang dan urat-uratnya terlihat muncul. Seluruh pakaiannya basah karena keringat dingin. Entah apa yang semalam ia mimpikan, namun rasanya ia telah bermimpi tentang hal yang sangat buruk.
            Saat ini Dionze masih berada di sebuah desa kecil bernama Desa Kallita bersama Genba. Sebuah desa yang cukup damai meskipun jauh dari peradaban kota-kota besar. Desa ini terdiri dari rumah-rumah pohon yang saling terhubung satu sama lain melalui jembatan-jembatan kayu. Bila dilihat sekilas, desa ini mungkin tidak akan terlihat sama sekali. Sungguh peradaban yang unik.
            “Hey Dionze! Sudah bangun rupanya?” Genba menyapa Dionze yang baru saja melewati jendela kamar. “Ayo cepat bersiap, bukankah kita akan segera pergi?”
            Dionze baru ingat bahwa kemarin malam ia sempat membicarakan tentang beberapa hal yang membuatnya terkejut. Mungkin itu lah yang membuatnya bermimpi buruk semalam. Kali ini ia akan melakukan perjalanan bersama Genba, tapi hingga sekarang ia belum mengetahui kemana ia akan pergi.
            “Ah ya, maaf.” Dionze membalas sapaan Genba. “Apa saya telat.”
            “Tenang saja, matahari masih kurang dari satu derajat dari pandangan kita. Tapi, persiapkan saja dulu dirimu.” Genba kemudian melihat ke arah samping kanannya. Entah apa yang ia lihat namun sepertinya cukup membuatnya penasaran. “Ah, nanti akan ku kabari lagi. Pokoknya lekas bersiap-siap ya.”
            Dionze mengangguk menyanggupinya seraya Genba pergi meninggalkannya.
            Tak lama kemudian akhirnya Dionze sudah bersiap dengan peralatan perangnya yang terlihat berat dan kuat. Sekilas ia melihat keluar memerhatikan anak-anak buah Genba sedang berkumpul di alun-alun desa yang letaknya tak jauh dari tempat ia singgah. Nampaknya perjalanan kali ini cukup penting Genba dan kelompoknya. Dionze sama sekali belum mengetahui apa yang akan Genba rencanakan nanti.
            Selepas ia menyiapkan peralatan perang miliknya, Dionze kemudian pergi menuju alun-alun desa dimana Genba berada. Genba terlihat sangat sibuk sekali memberikan pengarahan kepada para anak buahnya.
            “Genba.” Dionze menyapanya yang sedang sibuk berbicara dengan beberapa anak buahnya. “Maaf bila aku mengganggumu.”
            “Oh tidak.. Justru aku yang meminta maaf karena mengabaikanmu. Maafkan aku karena sedang sibuk.” Genba meminta maaf sambil tersenyum ramah padanya. Sejenak ia mendiamkan anak buahnya.
            “Maaf. Aku masih penasaran, sebenarnya kita akan menuju kemana dan apa yang akan kita lakukan?”
            “Oh ya. Hahaha.. aku belum memberitahumu.” Genba tertawa sambil menepuk pundak Dionze. “Bersiaplah. Kita akan menuju kubah kegelapan di Hutan Emerald.”
            “Ku.. Kubah Kegelapan? Kubah kegelapan Bangsa Remidi maksudmu??” Dionze terkejut dengan apa yang baru saja Genba katakan.
            “Ya.. Soal apa yang akan kita lakukan. Pokoknya perhatikan saja nanti.” Genba tersenyum dan berkata sebelum melanjutkan pembicaraannya bersama para anak buahnya. “Yang jelas semuanya akan sangat menarik bagi kita berdua.”
***

            Ternyata memang seperti ini rasanya menjadi seorang tawanan di dunia ini. Dulu aku sempat berpikir bagaimana Dionze saat ditawan waktu itu dan kini aku merasakannya. Tempat ini sangat menyedihkan. Gelap, dingin, dan busuk. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, aku sangat bosan berada di sini. Menyebalkan.
            “Hey.. Ssssttt.. Hey..”
            Tiba-tiba saja terdengar suara yang tidak asing di telingaku. Aku menoleh ke segala arah untuk mencari sumber suara tersebut, tapi tak ada seorang pun di ruangan ini.
            “Hey.. Aku di sini!”
            Suara itu kembali muncul dan datang dari atas kepalaku. Tapi lagi-lagi aku sama sekali tidak melihat wujud orang yang telah memanggilku. Aku mulai berpikir bahwa ini mungkin adalah efek bius yang mengakibatkan halusinasi padaku.
            Tiba-tiba saja sekelibat hitam lewat meloncat dari atas kepalaku. Aku terkejut dan bahkan hampir berteriak dengan apa yang terjadi barusan. Ternyata yang tadi meloncat adalah seekor tikus hitam yang cukup besar. Tikus itu terdiam sambil melihatku cukup lama.
            “Hey, tadi saya panggil kamu berkali-kali tapi kenapa malah diam saja?”
            Apa yang terjadi? Tikus itu berbicara padaku! Aku masih belum percaya, apa efek bius itu masih ada sehingga membuatku berhalusinasi seperti ini?
            “Ya ampuunn.. Kenapa kamu diam saja? Kau lupa denganku hah?”
            Seketika aku teringat dengan apa yang terjadi ketika pertama kali aku berada di dunia ini.
            “Kamu! Si kucing itu?!”
            “Aaahh.. Akhirnya sadar juga.”
            “Tapi kamu sekarang tikus dan eh..”
            Tikus itu memotong omonganku, “Sudah.. Sudah.. Aahh.. Mulai saat ini kau panggil aku dengan dengan Imaji saja.”
            “Apapun itu, yang jelas untuk apa kau kemari??”
            “Bukankah sudah kubilang padamu. Aku akan selalu mengawasimu.” Tikus itu kemudian berputar-putar mengitari ruangan penjara. “Aaahh.. Lagi-lagi kamu terlibat masalah.”
            “Mana aku tahu akan seperti ini jadinya.” aku mengerutkan dahiku.
            “Baiklah, aku akan membantumu.”
            “Bagus.” aku sangat senang mendengarnya. “Tapi, apa yang bisa kamu lakukan dengan bentuk menjijikan seperti itu?”
            “Kurang ajar kamu. Lihat saja dan perhatikan.” tikus itu berputar membelakangiku dan kemudian pergi ke luar ruangan.
            Aku mulai berpikir apa yang sebenarnya dilakukan oleh tikus itu. Apa mungkin ia sedang berusaha mengambil kunci untuk melepaskanku? Ah sungguh beruntungnya aku jika tikus itu memang benar-benar bisa menyelamatkanku.
            Tak lama kemudian tikus itu datang. Aku perhatikan dengan seksama apa yang ada pada tikus tersebut. Tak ada apapun. Tikus itu tidak membawa kunci atau apapun yang dapat menyelamatkanku.
            “Apa yang kamu lakukan tadi? Kau tidak membawakan sesuatu untuk melepaskanku??”
            Tikus itu menunduk dengan mata berkaca, “Aku tidak tahu dimana kunci untuk melepaskanmu berada.”
            “Sudah kukatakan tak ada yang bisa kuharapkan dengan bentukmu yang seperti itu.” Aku menghela napas. “Hentikan juga ekspresi menjijikanmu itu.”
            Tak lama kemudian aku mendengar seseorang yang berjalan mendekati ruangan selku. Entah siapa pun itu, sepertinya dia hanya datang sendirian.
            Orang itu pun datang. Ternyata ia adalah seorang lelaki berpostur tegap tinggi dengan memakai jubah hitam. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Penampilannya yang kelam dengan pakaian serba hitam terlihat seperti salah seorang pemimpin tokoh jahat yang biasa aku tonton di film-film laga. Tapi saat ini ia hanya memperhatikanku dari luar ruangan dengan tatapan dan senyuman yang menyeramkan.
            “Aku tak menyangka bahwa kamulah yang membuat semua rencanaku menjadi tidak menarik lagi.” lelaki itu tiba-tiba bergumam.
            Aku hanya diam melihatnya dengan tatapan tajam. Entah apa yang dikatakan olehnya, aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya ia sedang merencanakan sesuatu sehingga menyekapku di tempat ini. Setidaknya kini aku tahu mengenai kebenaran konspirasi antara Raja Algeas dan lelaki itu. Tapi, siapa dia sebenarnya? Apa yang akan ia lakukan padaku?
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar