CHAPTER 15 - PERTEMUAN
Sejauh
mata memandang, terhampar luas padang rumput pada sebuah bukit dengan beberapa
pohon yang berbaris begitu rapih. Awan putih menggantung di atas langit dan
berjalan beriringan seakan menemani matahari yang bersinar hangat. Satu dua
burung gereja terbang dan hinggap untuk mengambil beberapa ranting kemudian
membawanya pergi entah kemana.
Seorang
gadis kecil berbaring di atas hijaunya rumput menikmati indahnya alam. Ia
memejamkan kedua matanya seraya mendengarkan suara kicau burung dan desir angin
lembut yang membelai kulit putihnya. Ia tersenyum seakan suasana damai ini tak
akan pernah berakhir selamanya.
Ia
kemudian duduk dan menengadahkan kepalanya untuk melihat indahnya langit. Rambutnya
yang lurus panjang hitam kemerahan tersibak oleh hempasan angin kencang. Meski cukup
keras, namun kecantikan seorang putri terpancar ketika rambutnya yang indah
terurai oleh hempasan angin.
“Vivian..”
seorang pria paruh baya memanggilnya dari kejauhan. Pria tersebut duduk pada
sebuah kursi lipat dengan mengenakan pakaian mewah berhiaskan aksesori-aksesori
kebangsawanan. Disekitarnya terdapat para pengawal yang mengipasi dan
melayaninya. Dia adalah Raja Algeas, sang penguasa Kerajaan Eternality dan
sekaligus ayah dari gadis kecil itu. “Ingat, jangan pergi terlalu jauh dari
ayah ya.”
“Iya
ayah.” gadis kecil itu masih duduk terdiam di tempatnya. “Aku masih ingin
menikmati tempat ini lebih lama lagi.”
Pria
tersebut menganggukan kepalanya sambil tersenyum tanda menyetujuinya.
Kala
itu Putri Vivian yang masih berumur tujuh tahun pergi bersama ayah dan ibunya
serta beberapa pengawal untuk mengunjungi
salah satu tempat terbaik di wilayahnya. Mereka berkumpul untuk sekedar
merayakan ulang tahun Vivian dengan cara yang sederhana. Tak ada satupun tamu
yang diundang demi meramaikan acara tersebut. Bukan karena Raja Algeas memiliki
banyak musuh, itu semua adalah permintaan dari Vivian yang ketika itu ingin
merasakan dan berada lebih dekat dengan alam.
Vivian
sangat menyukai alam yang indah dan damai seperti ini. Setelah ia puas
berbaring diatas rumput segar, ia kemudian berdiri dan berlari-lari dengan
riang melewati beberapa pohon yang tumbuh di sekitarnya. Sesekali ia terdiam
sejenak untuk memperhatikan binatang-binatang kecil yang belum pernah dilihat
sebelumnya. Musim di kala itu memang merupakan saat yang sempurna untuk
menikmati keindahan alam.
Suatu
ketika Vivian melihat sesuatu yang bergerak dari balik semak-semak. Ada sedikit
perasaan takut pada dirinya. Namun karena rasa penasarannya lebih besar,
pelan-pelan ia mendekati semak-semak tersebut. Ternyata, dilihatnya beberapa
ekor anak kelinci yang sedang berkumpul memakan rerumputan. Baru pertama kali
ia melihat binatang seperti itu. Ia sangat senang sekali dan sangat ingin
menyentuh mereka. Tapi anak-anak kelinci tersebut terlalu sulit baginya untuk
ditangkap. Ia berlari kesana kemari hanya untuk menangkap satu kelinci saja.
Seolah tidak memiliki rasa lelah, ia terus menerus berlari dan mengejar
binatang imut tersebut.
Sudah
terlalu jauh Vivian berlari meninggalkan ayah dan ibunya demi mengejar
kelinci-kelinci kecil tadi. Ia baru sadar bahwa ia sedang berada jauh di dalam
hutan yang sangat asing baginya. Sejauh mata memandang, ia hanya melihat
pepohonan yang lebih rimbun dibanding saat ia bersama keluarganya tadi. “Dimana
ini?” pikirnya.
Vivian
yang saat itu masih sangat kecil hanya bisa menangis. Bukan karena takut tidak
bisa kembali, ia lebih takut pada ayahnya. Ia takut bila ayahnya marah setelah
menemukannya berada di tempat yang jauh dari mereka. Ayahnya adalah seorang
yang sangat tegas pada putrinya. Sungguh berbeda bila membandingkan perangainya
ketika berhadapan dengan rakyat dan koleganya. Rakyat Eternality lebih mengenal
Algeas sebagai sosok raja yang ramah dan tidak pernah berbuat hal yang buruk.
Vivian
masih terduduk dan menangis sendirian di tengah hutan. Entah apa yang harus
dilakukan olehnya hingga kemudian ia melihat seekor kelinci melompat ke
arahnya. Seketika tangisnya berhenti dan tergantikan dengan senyum manis di
bibirnya. Ia mengelus binatang imut itu dengan penuh kasih sayang. Sayang,
kelinci tersebut sepertinya tak ingin berlama-lama berada pada dekapannya.
Kelinci itu tiba-tiba melompat dan masuk ke dalam semak-semak yang agak rimbun.
Lagi-lagi
Vivian menangis. Matanya penuh dengan air mata yang tak henti-hentinya keluar
bagaikan keran tanpa tutup. Namun, samar-samar ia seperti melihat kelinci yang
tadi ia elus datang kembali ke hadapannya. Matanya yang penuh dengan air mata
dengan segera diusapkannya. Ternyata memang benar bahwa kelinci itu datang
kembali, tapi ia tidak datang sendirian. Terlihat seorang anak laki-laki sedang
memegang kelinci tepat dihadapannya. Anak laki-laki tersebut kemudian
menyodorkan kelinci tersebut padanya.
“Kamu
gak apa-apa? Ini kelinci. Kamu cari ini kan?” anak laki-laki tersebut berkata
pada vivian yang mulai berhenti menangis.
Vivian
kemudian menerima kelinci yang disodorkan oleh anak laki-laki tersebut. Sambil
memeluk dan mengelus kelinci, ia perhatikan anak laki-laki yang ada
dihadapannya. Anak laki-laki itu sepertinya seumuran dengannya. Ia memiliki
rambut hitam lurus pendek, hidungnya agak sedikit mancung, kulitnya sedikit
gelap dan memakai baju kulit sederhana. Sudah jelas baginya bahwa anak
laki-laki tersebut hanyalah seorang anak dari keluarga biasa.
“Kamu
kenapa? Kamu sepertinya tersesat ya?”
Vivian
mengangguk tanpa berbicara sedikitpun sambil mengelus kelinci yang baru saja ia
terima dari anak laki-laki tersebut.
“Ya
sudah, aku akan mengantarmu ya. Kebetulan aku sudah lumayan hafal hutan ini
karena ayahku sering membawaku setiap kali ia berburu di sini.”
Vivian
kemudian mengikutinya berjalan meninggalkan tempat tadi. Sepanjang perjalanan,
anak lelaki itu banyak bercerita tentang beraneka ragam satwa yang ada di hutan
tersebut. Vivian hanya mendengarkannya tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
Bukan karena takut, entah apa yang ada di pikirannya saat itu hingga membuatnya
sulit untuk berkata. Tapi, ia sangat senang sekali bisa berada di dekat anak
lelaki tersebut. Ia merasa lebih aman dibanding saat ia sendiri sebelumnya.
Akhirnya
Vivian berhenti berjalan karena telah kembali sampai di padang rumput tempat ia
sempat membaringkan tubuh sebelumnya. Untunglah ayah dan ibunya masih
beristirahat di tempat yang sama. Sepertinya mereka tidak menyadari bahwa
anaknya sempat tersesat di hutan sendirian.
Vivian
kemudian melihat anak laki-laki yang ada di dekatnya dengan wajah yang agak
sedikit merah. Ia kemudian mengembalikan kelinci yang sejak tadi ia peluk
selama perjalanan. Ada perasaan aneh dalam dirinya.
“Nama
kamu siapa?” Vivian yang sejak tadi diam akhirnya mencoba untuk berbicara.
“Aku
Enutra, rumahku ada di dekat sini.” anak laki-laki itu menjawab sambil
tersenyum.
Enutra.
Nama itu tidak akan pernah ia lupakan selamanya. Percakapan kali ini adalah
pertama kali dalam hidupnya dengan seorang anak lelaki yang seumuran dengannya.
“Aku
Vivian. Terima kasih sudah mengantarku kembali.” Vivian kemudian tersenyum dan
berlari meninggalkan anak lelaki tersebut dengan wajah yang memerah. Ia selalu
berharap akan bertemu kembali dengannya suatu saat nanti. Selalu. Selalu
berharap.
***
Sepi,
gelap, dan dingin. Entah sudah berapa lama Vivian berada di tempat ini. Ia tak
ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Tiba-tiba saja ia terbangun dalam
keadaan dirantai di sebuah ruangan asing seperti penjara bawah tanah istana. Ia
tak sanggup untuk meronta dan berteriak, rasanya sungguh lemas sekali. Suara
decit tikus bergema mememecah kesunyian di ruangan yang suram ini. Mungkin
selama ini hanya para tikuslah yang menemaninya di tengah kesendirian. Dalam
hati ia terus bertanya siapa yang tega berbuat seperti ini padanya.
Terdengar
suara langkah kaki dari ujung lorong gelap yang menghubungkan sel penjaranya
dengan penjara lainnya. Mungkin ada sekitar dua, tidak, mungkin ada sekitar
empat orang yang sedang datang mendekati selnya. Vivian terus berdoa seraya
berharap bahwa suara langkah kaki itu adalah orang-orang yang akan datang
menyelamatkannya.
“Vivian!”
tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya. Vivian menoleh ke arah
sumber suara tersebut. Ia merasa familiar dengan panggilan tersebut.
“Ayah!”
Vivian segera membalas panggilannya. Ternyata yang memanggilnya adalah ayahnya
sendiri, Raja Algeas. Ia datang bersama dengan para pengawalnya yang terdiri
dari beberapa jenderal. “Syukurlah, ayah menemukanku di sini.”
“Vivian..
Ayah sangat khawatir padamu.”
“Ayah,
sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa aku ada di sini?”
“Nanti
akan ayah jelaskan. Yang penting, kita harus segera keluar dari sini sebelum
para pengkhianat itu menyerang kita lagi.” Raja Algeas segera menggenggam dan
menarik tangan Vivian.
“Pengkhianat?
Pengkhianat siapa maksud ayah?” Vivian terhenti. Selama ini ia hanya mengetahui
bahwa ayahnya adalah sosok raja yang sangat ramah bagi rakyatnya, mustahil jika
ada yang mengkhianatinya.
“Ya,
Enutra lah yang telah mengkhianati ayah.”
Seketika
Vivian terhenyak mendengar perkataan ayahnya. Tidak mungkin. Tidak mungkin
orang yang selama ini ia kagumi berani mengkhianati ayahnya. Tapi, mungkin saja
itu hanya kebohongan ayahnya. Ia sudah tahu beberapa kebenaran di balik topeng
ayahnya selama ini.
“AYAH
BOHONG!” Vivian melepas paksa genggaman ayahnya.
“JANGAN
MEMBANTAH PADA AYAHMU!” Raja Algeas membalas membentak Vivian dan menarik
kembali tangannya. “Ayo ikut ayah!”
Vivian
menangis tak bisa berbuat apa-apa. Dalam hatinya ia terus percaya bahwa Enutra
bukanlah orang yang tega berbuat hal seperti itu. Ia percaya. Ia percaya suatu
saat kebenaran akan segera terungkap.
***
“HAH!”
Dionze
baru saja terbangun dari tidurnya. Napasnya tidak teratur. Badannya sangat
tegang dan urat-uratnya terlihat muncul. Seluruh pakaiannya basah karena
keringat dingin. Entah apa yang semalam ia mimpikan, namun rasanya ia telah
bermimpi tentang hal yang sangat buruk.
Saat
ini Dionze masih berada di sebuah desa kecil bernama Desa Kallita bersama
Genba. Sebuah desa yang cukup damai meskipun jauh dari peradaban kota-kota
besar. Desa ini terdiri dari rumah-rumah pohon yang saling terhubung satu sama
lain melalui jembatan-jembatan kayu. Bila dilihat sekilas, desa ini mungkin
tidak akan terlihat sama sekali. Sungguh peradaban yang unik.
“Hey
Dionze! Sudah bangun rupanya?” Genba menyapa Dionze yang baru saja melewati
jendela kamar. “Ayo cepat bersiap, bukankah kita akan segera pergi?”
Dionze
baru ingat bahwa kemarin malam ia sempat membicarakan tentang beberapa hal yang
membuatnya terkejut. Mungkin itu lah yang membuatnya bermimpi buruk semalam.
Kali ini ia akan melakukan perjalanan bersama Genba, tapi hingga sekarang ia
belum mengetahui kemana ia akan pergi.
“Ah
ya, maaf.” Dionze membalas sapaan Genba. “Apa saya telat.”
“Tenang
saja, matahari masih kurang dari satu derajat dari pandangan kita. Tapi,
persiapkan saja dulu dirimu.” Genba kemudian melihat ke arah samping kanannya.
Entah apa yang ia lihat namun sepertinya cukup membuatnya penasaran. “Ah, nanti
akan ku kabari lagi. Pokoknya lekas bersiap-siap ya.”
Dionze
mengangguk menyanggupinya seraya Genba pergi meninggalkannya.
Tak
lama kemudian akhirnya Dionze sudah bersiap dengan peralatan perangnya yang
terlihat berat dan kuat. Sekilas ia melihat keluar memerhatikan anak-anak buah
Genba sedang berkumpul di alun-alun desa yang letaknya tak jauh dari tempat ia
singgah. Nampaknya perjalanan kali ini cukup penting Genba dan kelompoknya.
Dionze sama sekali belum mengetahui apa yang akan Genba rencanakan nanti.
Selepas
ia menyiapkan peralatan perang miliknya, Dionze kemudian pergi menuju alun-alun
desa dimana Genba berada. Genba terlihat sangat sibuk sekali memberikan
pengarahan kepada para anak buahnya.
“Genba.”
Dionze menyapanya yang sedang sibuk berbicara dengan beberapa anak buahnya.
“Maaf bila aku mengganggumu.”
“Oh
tidak.. Justru aku yang meminta maaf karena mengabaikanmu. Maafkan aku karena
sedang sibuk.” Genba meminta maaf sambil tersenyum ramah padanya. Sejenak ia
mendiamkan anak buahnya.
“Maaf.
Aku masih penasaran, sebenarnya kita akan menuju kemana dan apa yang akan kita
lakukan?”
“Oh
ya. Hahaha.. aku belum memberitahumu.” Genba tertawa sambil menepuk pundak
Dionze. “Bersiaplah. Kita akan menuju kubah kegelapan di Hutan Emerald.”
“Ku..
Kubah Kegelapan? Kubah kegelapan Bangsa Remidi maksudmu??” Dionze terkejut
dengan apa yang baru saja Genba katakan.
“Ya..
Soal apa yang akan kita lakukan. Pokoknya perhatikan saja nanti.” Genba
tersenyum dan berkata sebelum melanjutkan pembicaraannya bersama para anak
buahnya. “Yang jelas semuanya akan sangat menarik bagi kita berdua.”
***
Ternyata
memang seperti ini rasanya menjadi seorang tawanan di dunia ini. Dulu aku
sempat berpikir bagaimana Dionze saat ditawan waktu itu dan kini aku
merasakannya. Tempat ini sangat menyedihkan. Gelap, dingin, dan busuk. Dan yang
lebih menyedihkannya lagi, aku sangat bosan berada di sini. Menyebalkan.
“Hey..
Ssssttt.. Hey..”
Tiba-tiba
saja terdengar suara yang tidak asing di telingaku. Aku menoleh ke segala arah
untuk mencari sumber suara tersebut, tapi tak ada seorang pun di ruangan ini.
“Hey..
Aku di sini!”
Suara
itu kembali muncul dan datang dari atas kepalaku. Tapi lagi-lagi aku sama
sekali tidak melihat wujud orang yang telah memanggilku. Aku mulai berpikir
bahwa ini mungkin adalah efek bius yang mengakibatkan halusinasi padaku.
Tiba-tiba
saja sekelibat hitam lewat meloncat dari atas kepalaku. Aku terkejut dan bahkan
hampir berteriak dengan apa yang terjadi barusan. Ternyata yang tadi meloncat
adalah seekor tikus hitam yang cukup besar. Tikus itu terdiam sambil melihatku
cukup lama.
“Hey,
tadi saya panggil kamu berkali-kali tapi kenapa malah diam saja?”
Apa
yang terjadi? Tikus itu berbicara padaku! Aku masih belum percaya, apa efek
bius itu masih ada sehingga membuatku berhalusinasi seperti ini?
“Ya
ampuunn.. Kenapa kamu diam saja? Kau lupa denganku hah?”
Seketika
aku teringat dengan apa yang terjadi ketika pertama kali aku berada di dunia
ini.
“Kamu!
Si kucing itu?!”
“Aaahh..
Akhirnya sadar juga.”
“Tapi
kamu sekarang tikus dan eh..”
Tikus
itu memotong omonganku, “Sudah.. Sudah.. Aahh.. Mulai saat ini kau panggil aku
dengan dengan Imaji saja.”
“Apapun
itu, yang jelas untuk apa kau kemari??”
“Bukankah
sudah kubilang padamu. Aku akan selalu mengawasimu.” Tikus itu kemudian
berputar-putar mengitari ruangan penjara. “Aaahh.. Lagi-lagi kamu terlibat
masalah.”
“Mana
aku tahu akan seperti ini jadinya.” aku mengerutkan dahiku.
“Baiklah,
aku akan membantumu.”
“Bagus.”
aku sangat senang mendengarnya. “Tapi, apa yang bisa kamu lakukan dengan bentuk
menjijikan seperti itu?”
“Kurang
ajar kamu. Lihat saja dan perhatikan.” tikus itu berputar membelakangiku dan
kemudian pergi ke luar ruangan.
Aku
mulai berpikir apa yang sebenarnya dilakukan oleh tikus itu. Apa mungkin ia
sedang berusaha mengambil kunci untuk melepaskanku? Ah sungguh beruntungnya aku
jika tikus itu memang benar-benar bisa menyelamatkanku.
Tak
lama kemudian tikus itu datang. Aku perhatikan dengan seksama apa yang ada pada
tikus tersebut. Tak ada apapun. Tikus itu tidak membawa kunci atau apapun yang
dapat menyelamatkanku.
“Apa
yang kamu lakukan tadi? Kau tidak membawakan sesuatu untuk melepaskanku??”
Tikus
itu menunduk dengan mata berkaca, “Aku tidak tahu dimana kunci untuk
melepaskanmu berada.”
“Sudah
kukatakan tak ada yang bisa kuharapkan dengan bentukmu yang seperti itu.” Aku
menghela napas. “Hentikan juga ekspresi menjijikanmu itu.”
Tak
lama kemudian aku mendengar seseorang yang berjalan mendekati ruangan selku.
Entah siapa pun itu, sepertinya dia hanya datang sendirian.
Orang
itu pun datang. Ternyata ia adalah seorang lelaki berpostur tegap tinggi dengan
memakai jubah hitam. Aku tidak mengenalnya sama sekali. Penampilannya yang
kelam dengan pakaian serba hitam terlihat seperti salah seorang pemimpin tokoh
jahat yang biasa aku tonton di film-film laga. Tapi saat ini ia hanya
memperhatikanku dari luar ruangan dengan tatapan dan senyuman yang menyeramkan.
“Aku
tak menyangka bahwa kamulah yang membuat semua rencanaku menjadi tidak menarik
lagi.” lelaki itu tiba-tiba bergumam.
Aku
hanya diam melihatnya dengan tatapan tajam. Entah apa yang dikatakan olehnya,
aku sama sekali tak mengerti. Sepertinya ia sedang merencanakan sesuatu sehingga
menyekapku di tempat ini. Setidaknya kini aku tahu mengenai kebenaran
konspirasi antara Raja Algeas dan lelaki itu. Tapi, siapa dia sebenarnya? Apa
yang akan ia lakukan padaku?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar