CHAPTER 7 - TERSEMBUNYI
“Ayah..
Ibu.. Aku merindukan kalian.”
Malam
ini Amaryl masih sulit untuk memejamkan kedua matanya. Jelas saja, sebelumnya
ia telah seharian tidur di klinik selama ia tak sadarkan diri. Entah apa yang
harus ia lakukan malam ini, tapi hatinya tergerak untuk berjalan keluar dari
rumahnya.
Seperti
biasa, angin yang mengalir lembut dan suara jangkrik yang khas selalu menemani
malam yang sunyi di Kota Emerald. Amaryl berjalan selangkah demi selangkah
mengikuti kata hatinya. Dari rumahnya, Hutan Emerald terhubung melalui halaman
menuju bukit cahaya yang selalu ia datangi. Itu sebabnya ia selalu mengunjungi
bukit cahaya setiap kali ia merasakan kegalauan dan keresahan dalam dirinya.
***
Bangunan
ini sangat luas dan besar, bagiku ini lebih terlihat seperti hotel daripada
sebuah rumah. Mungkin ada sekitar puluhan ruangan yang ada di rumah ini. Kadang
aku berpikir kalau rumah ini memiliki sebuah ruangan rahasia yang menyimpan
benda-benda berharga di dalamnya seperti terdapat pada film-film detektif. Kalau
memang benar begitu, pasti akan sangat menarik untukku.
Sudah
beberapa hari ini aku mengalami kesulitan tidur. Anehnya meskipun tidurku
kurang, aku jarang mengalami kelelahan di siang harinya. Mungkin karena tubuh
ini memang dulunya sering dilatih untuk bisa mempertahankan stamina sebaik
mungkin. Sangat berbeda sekali dengan tubuh asliku. Bila saja aku berada disini
dengan tubuhku yang asli, mungkin kerjaanku hanya terus tidur.
Sepertinya
sekarang sudah sekitar jam sebelas malam. Aku hanya menatap langit-langit kamar
yang gelap. Gelisah rasanya bila terdiam ditempat yang sama terus menerus. Daripada
terus berbaring dikasur tanpa melakukan apapun, lebih baik aku keluar dari
kamarku dan mencari sesuatu yang menarik.
Sangat
sunyi disini. Rasanya semua sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Aku
keluar dari kamar dan berjalan menyusuri lorong-lorong rumah ini. Sungguh luar
biasa arsitektur dari rumah ini, berbeda bila dibandingkan dengan
bangunan-bangunan yang biasa aku lihat selama berada di dunia ini. Desain rumah
bisa dibilang memiliki model victorian[1]
khas eropa klasik.
Selama
berjalan mengitari rumah besar ini, aku teringat dengan perkataan Dionze
sebelum kami berpisah menuju kamar masing-masing. Sebelum tidur kami memang
sempat berbincang mengenai apa yang terjadi selama ia meninggalkanku dan
Amaryl. Ia menjelaskan semua tentang hubungan Clairess dan Amaryl selama ini
beserta dengan masalah-masalah yang dilalui oleh mereka. Ternyata memang benar,
sesuatu yang rumit sedang terjadi diantara mereka.
Aku
masih berjalan menyusuri tiap sudut rumah ini. Sudah jelas, apa yang aku
harapkan seperti sebuah pintu atau ruangan rahasia tidak akan mungkin kutemukan.
“Yaaa..
Namanya juga rahasia, pasti susah ditemukan. Kalau gampang ditemukan, namanya
bukan rahasia lagi.” pikirku dalam hati sambil tersenyum.
Saat
ini aku berada di sebuah ruangan besar di lantai satu, sebuah ruangan yang
memiliki jendela-jendela besar mengarah menuju halaman belakang. Terlihat taman
yang luas penuh semak tak terawat. Di tengah taman terdapat sebuah meja taman
beserta dengan empat kursi yang mengelilinginya. Karena rumah ini berada di
sebuah bukit, maka bisa jelas terlihat pemandangan Kota Emerald dari halaman
rumah.
Sekilas
aku melihat sesuatu dari luar jendela. Bukan, itu adalah seseorang yang sedang
berjalan melewati halaman belakang. Seketika bulu kudukku berdiri. Suasana
malam dari rumah megah ini berubah menjadi menyeramkan. Apakah di dunia ini
juga ada hantu?
Dibandingkan
dengan rasa takut, rasa penasaranku jauh lebih besar meski kakiku bergetar dengan
hebat. Aku mengintip keluar untuk memastikan siapakah orang sedang yang
berjalan sendirian di halaman rumah ini. Selain hantu yang ada dipikiranku, aku
khawatir bila itu adalah orang jahat yang ingin mencuri atau berbuat buruk di
rumah ini.
Semakin
aku perhatikan, ternyata seseorang yang berjalan itu adalah seorang wanita. Ya,
itu adalah Amaryl yang sedang berjalan sendiri di halaman rumahnya. Dengan
cepat aku mencari pintu keluar yang terhubung dengan halaman belakang rumah
ini. Meski gelap, aku akhirnya menemukannya dan segera menemui Amaryl.
“Apa
yang kamu lakukan di tengah malam begini?”
Amaryl
menengok ke arahku dengan ekspresi wajah keheranan.
“Loh,
Kak Enutra belum tidur ya?”
“Belum,
sudah beberapa hari ini aku mengalami kesulitan tidur. Kamu sendiri kok malah
ada di luar?”
“Tadi
siang aku tidur terlalu lama, sekarang malah gak ngantuk sama sekali. Oh ya,
mau ikut jalan-jalan denganku?” Amaryl tersenyum padaku.
“Jalan-jalan
ya? Boleh juga. Mau kemana kita?”
“Rahasia,
yang pasti kakak gak akan pernah lupa sama tempat itu.. Hihi..”
“Eh?
Iya deh..”
Aku
mengikutinya kemanapun ia melangkah pada malam ini. Selama perjalanan ia terus
mengobrol denganku. Berbagai hal ia ceritakan dengan penuh semangat termasuk
ketika pertama kalinya ia melihatku saat masih bersekolah di Bellatorus. Saat
itu ia sering memperhatikanku semenjak aku berhasil mengalahkan Cerberus di
Olympus, padahal sebelum peristiwa itu ia sama sekali tidak menyadari
keberadaanku saat di sekolah. Menurutnya aku adalah orang yang penuh dengan
kejutan, tak ada yang pernah menyangka bahwa seorang siswa SMA biasa tiba-tiba
pergi ke kerajaan lain mengalahkan monster raksasa sendirian dan menyelamatkan
banyak orang disana. Obrolan ini sedikit demi sedikit memberikan penjelasan
tentang keberadaan Enutra di dunia ini.
Langkahnya
tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang tidak asing bagiku. Aku
mengingat-ingat tempat apa yang sedang kupijak saat ini. Tiba-tiba terbesit
dalam pikiranku, ternyata tempat ini adalah...
“Selamat
datang di Bukit Cahaya!” Amaryl berteriak padaku sambil tersenyum.
Ternyata
benar apa yang aku pikirkan. Tempat ini adalah tempat dimana aku pernah
terpental jauh karena pukulan dahsyat dari gadis ini. Sebuah kenangan yang
buruk bagi seorang ksatria sepertiku.
“Woaahh..
Ternyata dari halaman belakang rumahmu bisa langsung tembus ke tempat ini ya?”
“Yup..
Masih ingat kan waktu kita pertama kali bertemu disini? Hihi..”
“Iya..
Iya.. Tolong jangan diingat-ingat lagi.” wajahku memerah.
Aku
senang bisa melihat Amaryl ceria kembali seperti saat pertama bertemu dengannya
kemarin. Di bukit ini aku bisa melihat pemandangan Kota Emerald dari sudut yang
berbeda dengan gemerlap lampu yang menghiasinya. Tidak heran jika ia selalu
menjadikan bukit ini sebagai tempat favoritnya.
Sreeekk.. Sreekk..
“Siapa
disana!” tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang mencurigakan dari balik
semak-semak.
Amaryl
terkejut setelah mendengar perkataanku dan berlari berlindung di belakangku.
Sebenarnya meskipun aku adalah seorang ksatria, aku tak bisa berbuat banyak
karena senjataku tersimpan di kamar.
Perlahan
aku mendekati sumber suara mencurigakan itu. Namun, tiba-tiba saja sebuah
bayangan hitam muncul berlari menjauh. Aku tak tahu apa itu, tapi sepertinya
sejak tadi kami berdua sedang diawasi oleh seseorang.
“Amaryl,
apa tadi kamu melihatnya?”
“Aku
tidak tahu, sejak tadi aku hanya berada di belakangmu sambil terpejam.”
“Hmm.. Baiklah, sepertinya kita harus segera pulang. Rasanya aku merasakan adanya bahaya disini.”
“Hmm.. Baiklah, sepertinya kita harus segera pulang. Rasanya aku merasakan adanya bahaya disini.”
Amaryl
mengangguk pertanda ia setuju dengan perkataanku. Entah apapun itu, aku
merasakan firasat buruk akan segera terjadi bila tetap berada di sini. Kami pun
segera pergi dari bukit cahaya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
Tiba-tiba,
tanah yang ku injak terasa lembek dan rapuh. Bukan, kami berdua tidak sengaja
terperosok ke dalam longsoran jurang terjal yang sempit. Kami terus berguling
dan berguling tak tahu hingga kapan bisa sampai ke dasarnya.
***
Seluruh
tubuhku terasa sangat sakit. Aku tak ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tapi,
perlahan-lahan rasa sakit itu mulai menghilang. Kubuka mataku dan mencoba untuk
memperhatikan sekelilingku. Aku melihat cahaya putih bersinar di hadapanku.
“Syukurlah,
Kak Enutra sudah sadar.”
“Eh? Ada dimana kita?”
“Barusan kita terperosok di jurang ini dan Kak Enutra tidak sadarkan diri sejak tadi, makanya aku berusaha menyembuhkan kakak dengan teknik healing-ku.”
“Eh? Ada dimana kita?”
“Barusan kita terperosok di jurang ini dan Kak Enutra tidak sadarkan diri sejak tadi, makanya aku berusaha menyembuhkan kakak dengan teknik healing-ku.”
“Oh
ya, aku baru ingat. Terima kasih ya.”
“Tidak,
aku yang berterima kasih. Kakak lah yang melindungiku ketika kita terjatuh
tadi.”
“Oh
ya? Hmm.. Sebaiknya kita jangan dulu saling berterima kasih. Kita harus mencari
tahu bagaimana cara agar bisa kembali pulang?”
“Benar
juga. Selama ini aku belum pernah melihat ada jurang di sekitar sini.”
“Baiklah,
mari kita cari pemecahannya bersama-sama.”
“Apa
yang kakak lakukan?”
“Tenang,
lihat saja dulu.”
Aku
mencoba untuk memanjat dinding jurang. Tapi sekuat apapun aku memanjat, aku
tergelincir kembali ke dasar. Rasanya mustahil bila kembali lagi ke atas dengan
cara memanjat, dinding jurang ini sangat terjal dan licin.
“Sepertinya
memang mustahil untuk bisa memanjat ke atas.” aku menggaruk kepalaku.
“Bagaimana
kalau kita tinggal dulu sementara disini sambil menunggu bantuan datang?”
“Eh,
disini? Hmm.. Baiklah, kalau begitu mari kita mengobrol. Siapa tahu kita dapat
menemukan ide untuk bisa pulang lewat obrolan ini.”
“Selama
aku bersama kakak, aku akan senang mengobrol disini.” Amaryl tersenyum padaku.
Aku menatap mata Amaryl sesaat, “Bolehkah aku
bertanya tentang apa yang terjadi sebelum kamu tak sadarkan diri pagi hari tadi?”
“Bisakah
kakak membicarakan hal lain?” Amaryl memalingkan wajahnya.
“Aku
sangat ingin membicarakan ini sejak tadi. Sebelum kita berpisah ke kamar
masing-masing, aku sempat mengobrol dengan Dionze.”
“Hah?
Kakak pacaran sama Kak Dionze? Kalian kan sama-sama laki-laki??”
“Ngomong apa kamu..” aku memukul kepala Amaryl, “Kami membicarakan tentang kamu. Ada masalah apa antara kamu dan Clairres?”
“Ngomong apa kamu..” aku memukul kepala Amaryl, “Kami membicarakan tentang kamu. Ada masalah apa antara kamu dan Clairres?”
“Tidak
ada apa-apa antara kami.” Amaryl menundukkan kepalanya seolah menutupi sesuatu.
“Lari
dari permasalahan bukanlah sebuah solusi. Aku mengerti dan memahami seluruh
perasaanmu.”
“Tidak, kakak tidak mengerti! Dialah yang telah membunuh orang tuaku! Aku benci dia! Aku benci Arthemis! Aku benci semuanya!”
“Tidak, kakak tidak mengerti! Dialah yang telah membunuh orang tuaku! Aku benci dia! Aku benci Arthemis! Aku benci semuanya!”
“Kamu
membenci aku?” Aku memotong omongannya.
Amaryl
berhenti berbicara dan melihatku, “Aku membenci kakak juga.. Jika.. Jika kakak
terus membicarakan hal ini.”
“Biar
aku ceritakan sesuatu padamu. Lari dari permasalahan itu buruk, tapi jauh lebih
buruk jika kamu membiarkan masalah itu kepada orang lain. Aku pun mengalami hal
yang sama sepertimu. Saat ini aku merasa bukan menjadi diriku yang biasanya.
Aku seperti terlempar jauh di suatu tempat yang tidak aku kenali. Suatu ketika,
aku bertemu dengan seseorang yang telah membawaku menuju permasalahan ini.
Semenjak aku bertemu dengannya, aku hanya terus menyalahkannya dan mencacinya.
Tapi, tak ada yang kudapat. Hanya rasa sakit yang kurasakan. Hingga suatu hari
aku sadar, tak ada yang mesti disalahkan meski itu melibatkan orang lain di
dalamnya. Yang seharusnya aku lakukan adalah melakukan yang terbaik untuk
diriku sendiri dan berhenti menyalahkan pada keadaan sampai aku bisa lepas dari
permasalahan tersebut.”
“Tapi
ini berbeda, kak.” Amaryl meneteskan air matanya.
“Berhenti
menyalahkan pada keadaan. Bila kamu terus begini, permasalahanmu tak akan
pernah berakhir dan akan menjadi beban tersendiri dalam hidupmu.”
Amaryl hanya tertunduk sambil menangisi kesalahannya selama ini. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya dalam keadaan seperti ini, tapi inilah saat yang tepat untuk membicarakan permasalahan itu padanya.
Amaryl hanya tertunduk sambil menangisi kesalahannya selama ini. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya dalam keadaan seperti ini, tapi inilah saat yang tepat untuk membicarakan permasalahan itu padanya.
“Kak,
boleh aku minta sesuatu?”
“Kenapa?”
“Aku
ingin memelukmu.”
“Eh?”
Tiba-tiba
Amaryl memelukku dengan erat sambil menangis. Awalnya aku merasa canggung
dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini. Tapi kemudian aku memeluknya balik
dan mengusap kepalanya.
“Maafkan
aku, maafkan untuk semuanya..” Amaryl berkata padaku sambil terisak.
“Sudah-sudah.
Syukurlah akhirnya kamu menyadarinya. Aku akan terus memelukmu hingga kamu
tenang.”
“Aku
ingin bersama kakak selamanya. Aku sayang Kak Enutra.”
“Iya..
Iya.. Tapi kalau kamu memelukku sekeras ini lama-lama aku bisa pecah.”
“Bila
kakak terluka, aku akan menyembuhkanmu lagi dengan ilmu healing-ku.”
Tiba-tiba
aku terbesit ide agar bisa keluar dari jurang setelah mendengar perkataannya
tadi.
“Amaryl,
aku punya ide agar kita bisa pergi dari sini.”
Amaryl
menatapku kebingungan, “Bagaimana caranya?”
“Masih
ingat waktu kamu memukulku kemarin malam?”
“Kakak
mau aku lempar seperti kemarin?”
“Kamu memang mau membunuhku ya? Bukaann.. Tolong keluarkan cahaya menyilaukan dari tubuhmu seperti yang kamu lakukan kemarin.”
“Baiklah. Tapi.. Aku rasa itu ide yang buruk untuk meminta pertolongan.”
“Ini bukan untuk meminta pertolongan, tapi ini untuk memancing pertolongan. Tolong keluarkan cahaya terkuat yang pernah kamu keluarkan.”
“Kamu memang mau membunuhku ya? Bukaann.. Tolong keluarkan cahaya menyilaukan dari tubuhmu seperti yang kamu lakukan kemarin.”
“Baiklah. Tapi.. Aku rasa itu ide yang buruk untuk meminta pertolongan.”
“Ini bukan untuk meminta pertolongan, tapi ini untuk memancing pertolongan. Tolong keluarkan cahaya terkuat yang pernah kamu keluarkan.”
“Baiklah
kalau begitu.”
Amaryl
berkonsentrasi dengan sangat serius. Sedikit demi sedikit cahaya aura tubuh mulai
menyelimuti dirinya. Dengan cepat sebuah cahaya yang bersinar terang menerangi
seluruh jurang dan memancar lurus ke atas hingga membentang tinggi ke langit.
***
Sudah
tengah malam, Clairres masih belum bisa tidur karena memikirkan apa yang telah
terjadi siang tadi. Saat ini ia berada di sebuah penginapan kecil dengan
jendala tepat mengarah ke Hutan Emerald. Ia memandang langit dan merenungi
kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat olehnya. Yang ia tahu, Amaryl masih
belum menerimanya dan hanya menganggapnya sebagai pembunuh kedua orang tuanya.
Ketika
ia melihat langit, tiba-tiba sebuah cahaya putih memancar keluar dari Hutan
Emerald.
“Cahaya
itu! Tidak mungkin! Cahaya itu adalah pintu gerbang datangnya bangsa Remidi!
Kenapa mereka membuatnya lagi di sana? Aku harus segera mencegahnya sebelum
terjadi banyak korban.”
Clairres
segera mengambil peralatan tempurnya dan berlari dengan sangat cepat menuju
sumber cahaya itu. Ia tidak begitu yakin bila cahaya itu adalah cahaya Remidi
karena tidak telihat kubah kegelapan di sekitarnya. Tapi mungkin karena ini
adalah malam, kubah kegelapan itu tidak terlalu terlihat dengan jelas. Lagi
pula cahaya yang menjulang ke langit itu sama percis seperti awal peristiwa
mengerikan lima tahun yang lalu.
***
“Kak,
energiku sudah hampir habis aku sudah tidak kuat lagi.”
“Tolong
tahan sebentar ya, firasatku mengatakan setidaknya satu orang akan segera muncul
sesaat lagi.”
Tiba-tiba
dari atas jurang terdengar suara teriakan seorang wanita.
“BERHENTI
KAU BANGSA REMIDI!”
Aku
tersenyum, rencanaku kali ini memang benar. Aku sudah mengira pasti dia akan
datang ke tempat ini.
“Cukup,
Amaryl. Kamu bisa menghentikannya.” aku menyuruh Amaryl agar ia segera
menghentikan cahaya tubuhnya.
Cahaya
yang tadi memancar dengan sangat terang kemudian meredup dan menghilang dengan
cepat. Amaryl terlihat sangat lemas. Aku menangkap tubuhnya yang perlahan jatuh
karena kehabisan energi.
“Clairres!
Tolong kami!”
“HAH?
APA INI?? INI BUKAN GERBANG REMIDI??”
“Ya,
akan ku jelaskan nanti. Tapi lihatlah ke dasar jurang ini. Ada aku, Enutra, dan
Amaryl terjebak di dasar jurang ini!”
“Apa??
Baiklah, tunggu sebentar aku akan segera menyelamatkan kalian.”
Clairres
pergi selama beberapa menit setelah aku meminta bantuan kepadanya hingga
akhirnya ia datang dengan beberapa orang dari kota. Mereka bergotong royong
menarik kami berdua dengan menggunakan tambang-tambang yang mereka punya.
Dengan aksi penyelamatan mereka yang berlangsung selama satu jam, akhirnya kami
berhasil sampai di atas jurang dengan selamat.
“Kami
berdua mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.”
“Iya,
lain kali berhati-hatilah jika berada disini. Akhir-akhir ini tanah di sini
agak sedikit labil dan mudah longsor.” salah seorang warga berkata kepada kami
dan kemudian mereka meninggalkan kami bertiga.
“Clairres,
aku minta maaf atas kelakuanku selama ini.” tiba-tiba saja Amaryl berkata pada
Clairres.
Clairres
diam terkejut mendengar apa yang baru saja Amaryl katakan. Ia menitikkan air
matanya sembari tersenyum hingga akhirnya ia memeluk Amaryl dengan erat.
“Aku
juga minta maaf ya.”
Mereka
berdua akhirnya berpelukan dan saling menangis satu sama lain. Aku melihatnya
dengan penuh senyuman seolah melihat sebuah kebahagiaan yang baru telah
terlahir kembali.
***
Dionze
membuka matanya setelah tidur nyenyak semalam. Ia berjalan dengan terhuyung
menuju kamar mandi untuk sekedar menyuci muka. Ketika ia berada di luar kamar,
ia mendengar suara tawa dari arah ruangan keluarga. Dengan rasa penasaran ia
pun menghampirinya.
Rasanya
hampir tidak percaya ketika ia sampai di ruang keluarga. Ia melihat Clairres
dan Amaryl sedang bercengkrama dengan penuh rasa senang.
“Loh,
kalian?”
“Wah
Dionze sudah bangun? Selamat pagii..” Amaryl dan Clairres menyapa Dionze.
“Dimana
Enutra?”
“Entahlah,
mungkin sekarang dia sedang tidur. Dia terlihat sangat kelelahan.” Clairres
menjawab.
“Wah
dia itu. Sepertinya semalam dia sudah bekerja keras. Kamu hebat, Enutra.”
Dionze berkata sendiri dalam hatinya.
***
[1] Gaya arsitektur eropa klasik yang menonjolkan
kesan megah dengan tiang-tiang besar sebagi penyangga rumah.
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 8 - VELIKA
BalasHapus