3 Juni 2013

DUNIA SEMU #6


CHAPTER 6 - KEKUATAN HATI

            “APAA?? TIDAK!! KELUAR KAMU!! KAK ENUTRA, TOLONG USIR WANITA INI!!”
            Aku tersentak kaget, tiba-tiba saja Amaryl berteriak kepadaku dan menyuruh wanita itu keluar. Ada apa dengannya? Apakah wanita itu yang telah membuat Amaryl pingsan tadi Pagi?
            “Amaryl, Ada apa denganmu?” aku berusaha menenangkan Amaryl.
            “Baiklah, aku akan keluar.” wanita berjubah itu tiba-tiba saja keluar sambil menundukan wajahnya.
            “Tu.. Tunggu..”

            Aku dan Dionze berusaha untuk mengejarnya tapi Amaryl masih memegang tanganku dan mencegahku agar tak mengejar wanita itu. Aku hanya bisa mengisyaratkan Dionze agar segera mengejar wanita berjubah itu. Entah apa yang membuat Amaryl begitu marah terhadap wanita itu, tapi aku tidak mau terjadi kesalahpahaman padanya. Setelah itu Amaryl kembali tak sadarkan diri.
***

            Masih terdapat banyak tanda tanya yang menyelimuti pikiran Dionze. Tadi wanita berjubah itu memintanya agar ikut menjenguk Amaryl, tapi kini tiba-tiba dia hanya pergi tanpa arah. Dari belakang Dionze berusaha mengikuti dan mendekatinya.
            Ia berlari mengikuti wanita itu yang kini sudah berada di jalanan kota. Dionze masih belum mampu menyebutkan nama wanita berjubah itu, ia lupa untuk menanyakan siapa dirinya. Meskipun demikian, ia merasa bahwa wanita itu pernah ditemuinya di suatu tempat.
            Tiba-tiba wanita berjubah itu menghentikan langkah kakinya. Dia terdiam dan menundukkan kepalanya. Dionze berjalan menghampirinya namun tiba-tiba tanah yang wanita itu pijak menjadi basah. Bukan. Bukan karena hujan. Wanita berjubah itu meneteskan air matanya. Dionze merasa bahwa Amaryl dan wanita berjubah itu memiliki hubungan yang sangat kuat.
            Wanita itu berbalik menghadap Dionze. Sambil mengusap air matanya, ia memberikan senyuman seolah mengisyaratkan bahwa dia tidak apa-apa.
            “Ka.. Kamu tidak apa-apa?”
            Tanpa berbicara apa-apa, wanita itu hanya menggelengkan kepalanya.
            “Saya mohon maaf atas apa yang terjadi barusan.”
            “Tidak apa-apa, hal seperti tadi memang sudah sering terjadi.”
            “Sering terjadi?”
***

            Lagi-lagi gadis ini memejamkan matanya. Tangannya masih menggenggam erat tanganku. Sepertinya memang benar bahwa wanita berjubah itu yang telah membuatnya tak sadarkan diri ketika pagi tadi. Tak banyak bisa kulakukan selain menunggunya hingga ia sadar kembali.
            Aku memperhatikan sekitarku. Meskipun dunia ini dipenuhi hal-hal yang tidak masuk akal seperti tenaga dalam yang dapat menyembuhkan, tapi masih saja terdapat klinik pengobatan seperti ini. Bahkan dokter pun bukan seorang healer seperti gadis ini, dia hanya orang biasa yang telah mempelajari ilmu pengobatan layaknya dokter di duniaku.
            Jika saja aku dapat menelusup menuju ingatan Enutra, mungkin semua ini akan menjadi mudah bagiku. Tapi tak seperti yang aku bayangkan, menggunakan ingatan Enutra menjadi ingatanku adalah sesuatu yang sulit. Kadang aku berpikir untuk menemui kembali orang yang memasuki raga kucing saat di rumah Javier seminggu yang lalu.
            Tiba-tiba suara aneh muncul dari dalam perutku.
            “SIALAN DIONZE, MAKAN SIANGKU DIMANAA??”
***

            Kini Dionze duduk di sebuah bangku taman bersama dengan seorang wanita berjubah putih yang telah ia temui sejak siang tadi. Hari semakin senja, entah sudah berapa lama ia berdiam disini tanpa berbicara sedikit pun dengannya. Wanita berjubah itu masih saja terdiam menundukkan kepalanya. Meskipun ia sempat berbicara dengannya, tapi setelah itu dia hanya diam dan kembali meneteskan air matanya.
            “Kenapa kamu hanya terus berdiam diri seperti ini?” Dionze mencoba untuk membuka pembicaraan.
            Wanita itu masih saja berdiam diri.
            “Hmm.. Aku mungkin tidak bisa berbuat banyak untukmu. Tapi sekali lagi aku meminta maaf atas apa yang terjadi saat di klinik pengobatan tadi.”
            “Aku sudah mengatakan padamu bahwa aku tidak apa-apa. Kenapa kamu masih saja mengikutiku?” wanita itu akhirnya berbicara pada Dionze.
            “Akhirnya kau bicara juga.” Dionze tersenyum pada wanita itu. “Aku hanya khawatir denganmu, sejak tadi aku melihatmu terus menangis.”
            Wanita itu mengusapkan kedua matanya.
            “Baiklah, sekarang aku tidak akan menangis lagi. Sekarang kamu bisa meninggalkanku.” wanita itu tersenyum pada Dionze.
            “Aku tidak akan pergi sebelum kamu menjelaskan semuanya.”
            “Kamu tidak akan mengerti.”
            “Tapi, aku selalu berpikir bahwa kita pernah sering bertemu sebelumnya. Siapa tahu kita bisa menyelesaikan masalahmu dan masalah Amaryl.”
            “Jendral Dionze, jendral yang terkenal tangguh dan berani dalam segala medan perang dari Kerajaan Olympus. Memiliki keahlian yang luar biasa dalam mengendalikan tameng. Bergelar ‘Cor Fortium Tanker’ karena selalu mempunyai keberanian dalam melindungi setiap pasukan. Sebenarnya dari awal aku sudah mengetahui siapa dirimu.”
            “K.. Kau mengetahui diriku sampai sedetail itu?” Dionze terkejut dengan semua penjelasan wanita berjubah itu.
            “Aku Clairres, pemimpin Arthemis yang baru. Aku rasa kita memang selalu bertemu dalam setiap perundingan antar kerajaan Olympus dan Eternality. Sudah lama aku tak bertemu denganmu.”
            “Clairres?? Pantas saja aku seperti pernah melihatmu. Kau sengaja tidak menggunakan seragam Arthemismu kan?”
            “Aku sedang tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin membawa Amaryl menuju markas Arthemis.”
            “Membawa Amaryl?”
          “Sebenarnya aku seharusnya membawanya sejak lima tahun yang lalu semenjak orang tuanya meninggal. Tapi..” Clairres menitikkan air matanya.
            “Tapi?”
            “Amaryl selalu menolak dan menganggapku sebagai pembunuh kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, sering kali ia tak sadarkan diri setiap kali aku bertemu dengannya seperti yang terjadi pagi tadi.”
            Dionze menyadari bahwa ini semua menjadi semakin rumit.
            “Kenapa kamu bersikeras untuk membawa Amaryl ke markas Arthemis?”
            “Karena dia adalah satu-satunya orang yang bisa melakukan kekuatan super healing rahasia milik keluarga Leister.” Clairres sedikit berbohong pada Dionze.
            “Super Healing rahasia keluarga Leister?” Dionze merasa bingung.
            “Berdasarkan info yang aku dapatkan dari sekolah Amaryl, akhir-akhir ini prestasinya mengalami penurunan drastis. Entah apa yang terjadi, padahal dulu dia adalah murid yang paling berprestasi sebelum orang tuanya meninggal. Aku merasa bersalah.. Aku merasa gagal.. Padahal orang tuanya sudah berpesan padaku untuk merawat Amaryl.” Clairres menundukan kepalanya semakin dalam.
            “Teruslah berjuang, semangatlah. Aku mungkin masih belum mengerti dan belum bisa berbuat banyak, tapi aku dan Enutra akan membantumu sekuat tenaga.”
            Clairres menatap Dionze dengan senyuman berharap secercah harapan hadir dalam dirinya.
            “Aku mempercayai kalian.”
            “Kalau bagitu aku akan kembali lagi ke klinik. Mungkin sebentar lagi kami akan membawanya pulang ke rumahnya. Tetap semangat, Okeh!” Dionze tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.
            “Okeh?”
***

            Entah sampai kapan aku harus menunggu Amaryl di klinik ini. Tangannya yang lembut masih menggenggam erat tanganku. Aku tak menyangka kalau harus berurusan dengan hal seperti ini, sudah dua kali dia tak sadarkan diri di hari yang sama.
            “Ayaahh.. Ibuu.. Aku mohon jangan tinggalkan aku..” suara lirih Amaryl dari balik ‘tidur’nya.
            Sejenak aku mengira bahwa Amaryl telah sadar, tapi setelah kuperhatikan bahwa matanya masih terpejam dan masih belum ada pergerakan dari anggota tubuh lainnya. Sepertinya ia sedang memimpikan kedua orang tuanya. Dilihat dari pengamatanku, ia mengalami trauma psikologis yang cukup berat dan terekam secara terus menerus dalam memori pikiran sehingga melemahkan fisiknya. Biar bagaimanapun, wanita berjubah putih itu pasti memiliki jawaban dari semua masalah ini.
            Tangan Amaryl tiba-tiba semakin keras menggenggam tanganku. Matanya mulai terbuka perlahan-lahan dan menatapku. Aku tersenyum dan bersyukur, akhirnya ia bisa kembali siuman setelah berkali-kali tak sadarkan diri.
            “Kak Enutra kenapa pegang-pegang tangan aku??!!” tiba-tiba Amaryl berteriak kepadaku dan melepaskan genggamannya.
            “Eh?? Bukannya kamu yang duluan pegang tangan aku???”
            “Dasar, kakak mesum. Manfaatin kesempatan selagi aku pingsan ya?”
            “WAAA.. Kurang ajar juga nih lama-lama.” aku memasang ekpresi wajah tidak senang.
            “Hihi.. Kakak lucu.” tapi tiba-tiba Amaryl tersenyum kepadaku.
            Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada dipikirannya, tapi syukurlah akhirnya dia kini sudah benar-benar sadar. Sekarang aku tinggal menunggu Dionze, aku ingin menghajarnya karena makan siangku belum juga datang.
            “Kak, aku ingin pulang.” tiba-tiba Amaryl berkata padaku.
            “Oh ya, nanti saya tanyakan pada dokter ya.”
            Setelah aku tanyakan pada dokter, akhinya Amaryl sudah diperbolehkan pulang. Selama ini ia ditempatkan di sini hanya untuk mengistirahatkan dan menenangkan tubuhnya. Syukurlah, setidaknya Amaryl memang tidak mengalami masalah yang serius.
            Tak lama setelah aku menanyakan pada dokter, akhirnya Dionze datang. Aku yakin dia akan memberikan kabar buruk untukku. Aku sama sekali tidak melihat bungkusan makanan yang seharusnya ia bawa dari tadi.
            “Wah.. Amaryl sudah siuman lagi ya?” Dionze berkata pada Amaryl.
            “KAMU DARIMANA AJA??!! LAMA BANGET??!! MAKANAN BUATKU MANA WOOYY!!”
            “Iya kak, aku malah sudah diperbolehkan pulang sama dokter.”
            “Sial, saya dicuekin.” aku memasang tampang murung.
            “Kalian mau menginap di rumahku?” tiba-tiba Amaryl mengajak aku dan Dionze.
            Aku dan Dionze saling menatap. “PASTINYAA!!”
***

            “Aku memang tidak pantas berada disini. Berkali-kali aku berusaha, tak akan pernah bisa sebanding dengan mereka. Andai mereka masih ada disini, semua ini tidak harus terjadi.”
            Clairres, seorang wanita berjubah putih duduk merenung di sebuah kursi taman sudut Kota Emerald. Tangannya mengepal seolah kecewa dengan semua yang telah ia lakukan selama ini. Dia adalah pemimpin dari Arthemis Union, sebuah organisasi perdamaian dunia yang berisikan orang-orang berkemampuan khusus.
            Saat ini Arthemis mengalami masa-masa yang sulit. Berbagai masalah muncul dari sekedar masalah kriminal kecil hingga perebutan wilayah antar kerajaan. Namun, masalah-masalah tersebut tidak sebanding setelah datangnya bangsa Remidi beserta monster-monster aneh yang menyerang dan berusaha menghancurkan seluruh umat manusia.
            Lima tahun yang lalu ketika semua masalah ini dimulai. Entah darimana munculnya, tiba-tiba berdiri kubah-kubah hitam di beberapa titik di seluruh dunia. Salah satu yang terbesar yaitu di Kota Soracca, Kerajaan Pacifier, yang letaknya tidak jauh dari markas pusat Arthemis. Sebuah tempat yang tak akan pernah terlupakan bagi umat manusia di seluruh dunia.
            Saat itu, kubah hitam yang berdiameter ratusan kilometer menutupi sebagian besar Kota Soracca. Semua orang mengira bahwa itu hanya awan hitam yang menutupi kota. Namun, tiba-tiba sebuah cahaya terang memancar dari pusat kubah menuju langit. Tanah bergetar sangat hebat, bangunan-bangunan runtuh berkeping-keping, orang-orang berlarian tak menentu arah. Semua berpikir ini adalah kiamat, tak terkecuali orang-orang yang berada di markas pusat Arthemis.
            Cahaya itu semakin terang dan terus menyala hingga akhirnya tanah berhenti bergetar. Semua orang tak berdaya dengan apa yang telah terjadi pada hari itu. Tiba-tiba, dari balik cahaya muncul ratusan hingga ribuan orang berpakaian aneh menyebar menyisir isi Kota Soracca. Mereka menghancurkan setiap bangunan yang ada dan membunuh orang-orang yang masih hidup di dalam kubah tersebut. Kekacauan semakin menjadi ketika kubah itu semakin bertambah luas dan menutupi seluruh Kota Soracca.
            Arthemis tak tinggal diam melihat kekacauan ini. Sebagai sebuah organisasi perdamaian dunia yang terdiri dari empat kerajaan, mereka mendatangi kubah tersebut dan mencoba untuk menyelamatkan penduduk dari musibah ini. Belum sampai masuk menuju kubah tersebut, mereka sudah dihadang oleh ratusan prajurit berpakaian aneh yang menyerang membabi buta. Misi penyelamatan akhirnya berubah menjadi medan perang yang sangat menakutkan. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak terutama dari pihak Arthemis yang semakin lama semakin melemah. Meskipun semua tenaga dikerahkan, dari sekian banyak korban yang tersisa hanya sekitar satu persen penduduk yang berhasil dievakuasi.
            Namun itu semua belum selesai, seekor monster raksasa dengan wujud seperti naga berkepala seratus dengan sayap dipunggungnya muncul entah darimana. Monster itu menyerang rombongan Arthemis yang baru saja berhasil menghindari serangan brutal dari orang-orang berpakaian aneh. Selain itu, orang-orang berpakaian aneh tidak habis-habisnya muncul dari dalam kubah dan meneriakkan “HIDUP BANGSA REMIDI!!”. Mereka juga sempat berkata bahwa monster menakutkan itu bernama Tifon.
            Diantara para perjuang Arthemis yang masih hidup, ada tiga Healer legendaris yang masih berjuang mati-matian menyelamatkan semuanya, mereka adalah Hamarold, Grissel, dan Clairres. Bila saja ketiga healer legendaris itu tidak ada, mungkin saja Arthemis Union sudah hancur sejak tadi. Meski demikian, keadaan mereka pun saat ini tidak dalam keadaan yang sangat baik.
            Serangan bertubi-tubi datang tak henti-hentinya menghancurkan setiap pertahanan Arthemis. Dari sekitar dua ratus pasukan Arthemis, kini hanya tersisa tujuh puluh lima orang yang masih bisa bertahan. Belum ada bantuan yang datang dari pasukan pertahanan Kerajaan Pacifier.
            Suatu ketika, Tifon yang sejak tadi mengamuk liar tiba-tiba saja menyerang pada satu target. Clairres saat itu menjadi target utama dari monster raksasa mengerikan tersebut. Entah apa yang terjadi, Tifon hanya menyerangnya meskipun pasukan lain berusaha mengalihkan perhatiannya. Meski dia adalah salah satu orang yang terkuat diantara mereka, tentu saja energi yang terpakai tak akan bisa bertahan selamanya.
            Hingga akhirnya, sebuah semburan api luar bisa disertai kilat keluar dari dua kepala Tifon mengarah pada Clairres. Ia tak bisa berbuat apa-apa, yang dipikirkan hanya pasrah menyerahkan diri pada nasib. Namun diluar dugaan, dua orang tiba-tiba saja menutupi dua serangan dahsyat tersebut dan menghindarkan Clairres dari kematiaan. Dua orang itu adalah, Hamarold dan Grissel Leister, orang yang rela melindunginya dengan segenap kemampuan. Clairres menyaksikan hal paling mengerikan dalam hidupnya, dua orang yang telah merawat dan mengajarkan berbagai hal padanya rela mengorbankan hidup demi melindunginya.
            Lima jam telah berlalu. Sebuah usaha penyelamatan yang berakhir menjadi pembantaian akhirnya selesai dengan menyisakan empat belas anggota Arthemis dan dua orang penduduk Kota Soracca. Semua ini berakhir ketika puluhan ribu pasukan pertahanan Kerajaan Pacifier datang dan berhasil mengevakuasi seluruh korban kekejaman bangsa remidi. Tifon saat ini masih belum di hancurkan. Monster itu beserta para pasukan Bangsa Remidi tiba-tiba saja pergi setelah muncul bantuan dari pertahanan Kerajaan Pacifier.
            Dari sekian banyak korban yang telah gugur, dua diantaranya adalah pemimpin dari Arthemis Union, Hamarold dan Grissel Leister. Clairres masih belum mempercayai semua yang telah terjadi. Berkali-kali ia mencoba untuk membangunkan mereka berdua dengan tenaga dalamnya, tapi itu semua berakhir nihil.
            Clairres masih teringat kata-kata terakhir yang dikatakan oleh Hamarold sebelum ia gugur.
            “Clairres, katakan permintaan maaf kami pada Amaril. Kami mohon tolong rawatlah anak kami seperti kami merawatmu sejak kecil. Terima kasih. Selamat tinggal.
            Tak henti-hentinya air mata Clairres turun setiap kali ia mengingat kata-kata tersebut. Kini ia merasa dirinya hanya sebagai seorang pecundang. Jangankan merawat Amaryl, bertemu pun rasanya masih sulit baginya.
***

            Entah apa yang ada dihadapanku saat ini. Untuk sebuah rumah, bangunan ini tampak seperti sebuah gedung besar berlantai empat. Sungguh luar biasa megah rumah dari anak healer legendaris ini.
            “A.. Amaryl, apa benar kamu tinggal di rumah besar ini sendirian?”
            “Yup. Dulu sebenarnya aku memang bersama para pelayan sih. Tapi seiring dengan berkurangnya harta keluarga kami, satu persatu pelayan kami pun pergi dan meninggalkan aku sendiri di rumah ini. Ayo cepat masuk, hari sudah mulai gelap nih. Aku yakin kalian juga pasti sudah lapar. Mari kita sama-sama memasak.”
            Aku dan Dionze tidak berhenti mengagumi rumah besar dihadapan kami. Selama di Bandung, belum pernah aku melihat rumah sebesar dan semegah ini. Saking besarnya rumah ini, aku bahkan tidak mampu mengingat dimana pintu keluar dan pintu masuknya. Sungguh luar biasa dunia ini, dunia yang penuh dengan kejutan dan misteri.
***

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39