9 Juni 2013

DUNIA SEMU #7


CHAPTER 7 - TERSEMBUNYI

            “Ayah.. Ibu.. Aku merindukan kalian.”
            Malam ini Amaryl masih sulit untuk memejamkan kedua matanya. Jelas saja, sebelumnya ia telah seharian tidur di klinik selama ia tak sadarkan diri. Entah apa yang harus ia lakukan malam ini, tapi hatinya tergerak untuk berjalan keluar dari rumahnya.
            Seperti biasa, angin yang mengalir lembut dan suara jangkrik yang khas selalu menemani malam yang sunyi di Kota Emerald. Amaryl berjalan selangkah demi selangkah mengikuti kata hatinya. Dari rumahnya, Hutan Emerald terhubung melalui halaman menuju bukit cahaya yang selalu ia datangi. Itu sebabnya ia selalu mengunjungi bukit cahaya setiap kali ia merasakan kegalauan dan keresahan dalam dirinya.
***


            Bangunan ini sangat luas dan besar, bagiku ini lebih terlihat seperti hotel daripada sebuah rumah. Mungkin ada sekitar puluhan ruangan yang ada di rumah ini. Kadang aku berpikir kalau rumah ini memiliki sebuah ruangan rahasia yang menyimpan benda-benda berharga di dalamnya seperti terdapat pada film-film detektif. Kalau memang benar begitu, pasti akan sangat menarik untukku.
            Sudah beberapa hari ini aku mengalami kesulitan tidur. Anehnya meskipun tidurku kurang, aku jarang mengalami kelelahan di siang harinya. Mungkin karena tubuh ini memang dulunya sering dilatih untuk bisa mempertahankan stamina sebaik mungkin. Sangat berbeda sekali dengan tubuh asliku. Bila saja aku berada disini dengan tubuhku yang asli, mungkin kerjaanku hanya terus tidur.
            Sepertinya sekarang sudah sekitar jam sebelas malam. Aku hanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Gelisah rasanya bila terdiam ditempat yang sama terus menerus. Daripada terus berbaring dikasur tanpa melakukan apapun, lebih baik aku keluar dari kamarku dan mencari sesuatu yang menarik.
            Sangat sunyi disini. Rasanya semua sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Aku keluar dari kamar dan berjalan menyusuri lorong-lorong rumah ini. Sungguh luar biasa arsitektur dari rumah ini, berbeda bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan yang biasa aku lihat selama berada di dunia ini. Desain rumah bisa dibilang memiliki model victorian[1] khas eropa klasik.
            Selama berjalan mengitari rumah besar ini, aku teringat dengan perkataan Dionze sebelum kami berpisah menuju kamar masing-masing. Sebelum tidur kami memang sempat berbincang mengenai apa yang terjadi selama ia meninggalkanku dan Amaryl. Ia menjelaskan semua tentang hubungan Clairess dan Amaryl selama ini beserta dengan masalah-masalah yang dilalui oleh mereka. Ternyata memang benar, sesuatu yang rumit sedang terjadi diantara mereka.
            Aku masih berjalan menyusuri tiap sudut rumah ini. Sudah jelas, apa yang aku harapkan seperti sebuah pintu atau ruangan rahasia tidak akan mungkin kutemukan.
          “Yaaa.. Namanya juga rahasia, pasti susah ditemukan. Kalau gampang ditemukan, namanya bukan rahasia lagi.” pikirku dalam hati sambil tersenyum.
            Saat ini aku berada di sebuah ruangan besar di lantai satu, sebuah ruangan yang memiliki jendela-jendela besar mengarah menuju halaman belakang. Terlihat taman yang luas penuh semak tak terawat. Di tengah taman terdapat sebuah meja taman beserta dengan empat kursi yang mengelilinginya. Karena rumah ini berada di sebuah bukit, maka bisa jelas terlihat pemandangan Kota Emerald dari halaman rumah.
            Sekilas aku melihat sesuatu dari luar jendela. Bukan, itu adalah seseorang yang sedang berjalan melewati halaman belakang. Seketika bulu kudukku berdiri. Suasana malam dari rumah megah ini berubah menjadi menyeramkan. Apakah di dunia ini juga ada hantu?
            Dibandingkan dengan rasa takut, rasa penasaranku jauh lebih besar meski kakiku bergetar dengan hebat. Aku mengintip keluar untuk memastikan siapakah orang sedang yang berjalan sendirian di halaman rumah ini. Selain hantu yang ada dipikiranku, aku khawatir bila itu adalah orang jahat yang ingin mencuri atau berbuat buruk di rumah ini.
            Semakin aku perhatikan, ternyata seseorang yang berjalan itu adalah seorang wanita. Ya, itu adalah Amaryl yang sedang berjalan sendiri di halaman rumahnya. Dengan cepat aku mencari pintu keluar yang terhubung dengan halaman belakang rumah ini. Meski gelap, aku akhirnya menemukannya dan segera menemui Amaryl.
            “Apa yang kamu lakukan di tengah malam begini?”
            Amaryl menengok ke arahku dengan ekspresi wajah keheranan.
            “Loh, Kak Enutra belum tidur ya?”
            “Belum, sudah beberapa hari ini aku mengalami kesulitan tidur. Kamu sendiri kok malah ada di luar?”
            “Tadi siang aku tidur terlalu lama, sekarang malah gak ngantuk sama sekali. Oh ya, mau ikut jalan-jalan denganku?” Amaryl tersenyum padaku.
            “Jalan-jalan ya? Boleh juga. Mau kemana kita?”
            “Rahasia, yang pasti kakak gak akan pernah lupa sama tempat itu.. Hihi..”
            “Eh? Iya deh..”
            Aku mengikutinya kemanapun ia melangkah pada malam ini. Selama perjalanan ia terus mengobrol denganku. Berbagai hal ia ceritakan dengan penuh semangat termasuk ketika pertama kalinya ia melihatku saat masih bersekolah di Bellatorus. Saat itu ia sering memperhatikanku semenjak aku berhasil mengalahkan Cerberus di Olympus, padahal sebelum peristiwa itu ia sama sekali tidak menyadari keberadaanku saat di sekolah. Menurutnya aku adalah orang yang penuh dengan kejutan, tak ada yang pernah menyangka bahwa seorang siswa SMA biasa tiba-tiba pergi ke kerajaan lain mengalahkan monster raksasa sendirian dan menyelamatkan banyak orang disana. Obrolan ini sedikit demi sedikit memberikan penjelasan tentang keberadaan Enutra di dunia ini.
            Langkahnya tiba-tiba berhenti di sebuah tempat yang tidak asing bagiku. Aku mengingat-ingat tempat apa yang sedang kupijak saat ini. Tiba-tiba terbesit dalam pikiranku, ternyata tempat ini adalah...
            “Selamat datang di Bukit Cahaya!” Amaryl berteriak padaku sambil tersenyum.
            Ternyata benar apa yang aku pikirkan. Tempat ini adalah tempat dimana aku pernah terpental jauh karena pukulan dahsyat dari gadis ini. Sebuah kenangan yang buruk bagi seorang ksatria sepertiku.
            “Woaahh.. Ternyata dari halaman belakang rumahmu bisa langsung tembus ke tempat ini ya?”
            “Yup.. Masih ingat kan waktu kita pertama kali bertemu disini? Hihi..”
            “Iya.. Iya.. Tolong jangan diingat-ingat lagi.” wajahku memerah.
            Aku senang bisa melihat Amaryl ceria kembali seperti saat pertama bertemu dengannya kemarin. Di bukit ini aku bisa melihat pemandangan Kota Emerald dari sudut yang berbeda dengan gemerlap lampu yang menghiasinya. Tidak heran jika ia selalu menjadikan bukit ini sebagai tempat favoritnya.
            Sreeekk.. Sreekk..
            “Siapa disana!” tiba-tiba aku mendengar sesuatu yang mencurigakan dari balik semak-semak.
            Amaryl terkejut setelah mendengar perkataanku dan berlari berlindung di belakangku. Sebenarnya meskipun aku adalah seorang ksatria, aku tak bisa berbuat banyak karena senjataku tersimpan di kamar.
            Perlahan aku mendekati sumber suara mencurigakan itu. Namun, tiba-tiba saja sebuah bayangan hitam muncul berlari menjauh. Aku tak tahu apa itu, tapi sepertinya sejak tadi kami berdua sedang diawasi oleh seseorang.
            “Amaryl, apa tadi kamu melihatnya?”
            “Aku tidak tahu, sejak tadi aku hanya berada di belakangmu sambil terpejam.”
            “Hmm.. Baiklah, sepertinya kita harus segera pulang. Rasanya aku merasakan adanya bahaya disini.”
            Amaryl mengangguk pertanda ia setuju dengan perkataanku. Entah apapun itu, aku merasakan firasat buruk akan segera terjadi bila tetap berada di sini. Kami pun segera pergi dari bukit cahaya untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan.
            Tiba-tiba, tanah yang ku injak terasa lembek dan rapuh. Bukan, kami berdua tidak sengaja terperosok ke dalam longsoran jurang terjal yang sempit. Kami terus berguling dan berguling tak tahu hingga kapan bisa sampai ke dasarnya.
***

            Seluruh tubuhku terasa sangat sakit. Aku tak ingat apa yang sudah terjadi sebelumnya. Tapi, perlahan-lahan rasa sakit itu mulai menghilang. Kubuka mataku dan mencoba untuk memperhatikan sekelilingku. Aku melihat cahaya putih bersinar di hadapanku.
            “Syukurlah, Kak Enutra sudah sadar.”
            “Eh? Ada dimana kita?”
            “Barusan kita terperosok di jurang ini dan Kak Enutra tidak sadarkan diri sejak tadi, makanya aku berusaha menyembuhkan kakak dengan teknik healing-ku.”
            “Oh ya, aku baru ingat. Terima kasih ya.”
            “Tidak, aku yang berterima kasih. Kakak lah yang melindungiku ketika kita terjatuh tadi.”
            “Oh ya? Hmm.. Sebaiknya kita jangan dulu saling berterima kasih. Kita harus mencari tahu bagaimana cara agar bisa kembali pulang?”
            “Benar juga. Selama ini aku belum pernah melihat ada jurang di sekitar sini.”
            “Baiklah, mari kita cari pemecahannya bersama-sama.”
            “Apa yang kakak lakukan?”
            “Tenang, lihat saja dulu.”
            Aku mencoba untuk memanjat dinding jurang. Tapi sekuat apapun aku memanjat, aku tergelincir kembali ke dasar. Rasanya mustahil bila kembali lagi ke atas dengan cara memanjat, dinding jurang ini sangat terjal dan licin.
            “Sepertinya memang mustahil untuk bisa memanjat ke atas.” aku menggaruk kepalaku.
            “Bagaimana kalau kita tinggal dulu sementara disini sambil menunggu bantuan datang?”
            “Eh, disini? Hmm.. Baiklah, kalau begitu mari kita mengobrol. Siapa tahu kita dapat menemukan ide untuk bisa pulang lewat obrolan ini.”
            “Selama aku bersama kakak, aku akan senang mengobrol disini.” Amaryl tersenyum padaku.
            Aku  menatap mata Amaryl sesaat, “Bolehkah aku bertanya tentang apa yang terjadi sebelum kamu tak sadarkan diri pagi hari tadi?”
            “Bisakah kakak membicarakan hal lain?” Amaryl memalingkan wajahnya.
            “Aku sangat ingin membicarakan ini sejak tadi. Sebelum kita berpisah ke kamar masing-masing, aku sempat mengobrol dengan Dionze.”
            “Hah? Kakak pacaran sama Kak Dionze? Kalian kan sama-sama laki-laki??”
            “Ngomong apa kamu..” aku memukul kepala Amaryl, “Kami membicarakan tentang kamu. Ada masalah apa antara kamu dan Clairres?”
            “Tidak ada apa-apa antara kami.” Amaryl menundukkan kepalanya seolah menutupi sesuatu.
            “Lari dari permasalahan bukanlah sebuah solusi. Aku mengerti dan memahami seluruh perasaanmu.”
            “Tidak, kakak tidak mengerti! Dialah yang telah membunuh orang tuaku! Aku benci dia! Aku benci Arthemis! Aku benci semuanya!”
            “Kamu membenci aku?” Aku memotong omongannya.
            Amaryl berhenti berbicara dan melihatku, “Aku membenci kakak juga.. Jika.. Jika kakak terus membicarakan hal ini.”
            “Biar aku ceritakan sesuatu padamu. Lari dari permasalahan itu buruk, tapi jauh lebih buruk jika kamu membiarkan masalah itu kepada orang lain. Aku pun mengalami hal yang sama sepertimu. Saat ini aku merasa bukan menjadi diriku yang biasanya. Aku seperti terlempar jauh di suatu tempat yang tidak aku kenali. Suatu ketika, aku bertemu dengan seseorang yang telah membawaku menuju permasalahan ini. Semenjak aku bertemu dengannya, aku hanya terus menyalahkannya dan mencacinya. Tapi, tak ada yang kudapat. Hanya rasa sakit yang kurasakan. Hingga suatu hari aku sadar, tak ada yang mesti disalahkan meski itu melibatkan orang lain di dalamnya. Yang seharusnya aku lakukan adalah melakukan yang terbaik untuk diriku sendiri dan berhenti menyalahkan pada keadaan sampai aku bisa lepas dari permasalahan tersebut.”
            “Tapi ini berbeda, kak.” Amaryl meneteskan air matanya.
            “Berhenti menyalahkan pada keadaan. Bila kamu terus begini, permasalahanmu tak akan pernah berakhir dan akan menjadi beban tersendiri dalam hidupmu.”
            Amaryl hanya tertunduk sambil menangisi kesalahannya selama ini. Sebenarnya aku tidak tega melihatnya dalam keadaan seperti ini, tapi inilah saat yang tepat untuk membicarakan permasalahan itu padanya.
            “Kak, boleh aku minta sesuatu?”
            “Kenapa?”
            “Aku ingin memelukmu.”
            “Eh?”
            Tiba-tiba Amaryl memelukku dengan erat sambil menangis. Awalnya aku merasa canggung dengan apa yang sedang ia lakukan saat ini. Tapi kemudian aku memeluknya balik dan mengusap kepalanya.
            “Maafkan aku, maafkan untuk semuanya..” Amaryl berkata padaku sambil terisak.
            “Sudah-sudah. Syukurlah akhirnya kamu menyadarinya. Aku akan terus memelukmu hingga kamu tenang.”
            “Aku ingin bersama kakak selamanya. Aku sayang Kak Enutra.”
            “Iya.. Iya.. Tapi kalau kamu memelukku sekeras ini lama-lama aku bisa pecah.”
            “Bila kakak terluka, aku akan menyembuhkanmu lagi dengan ilmu healing-ku.”
            Tiba-tiba aku terbesit ide agar bisa keluar dari jurang setelah mendengar perkataannya tadi.
            “Amaryl, aku punya ide agar kita bisa pergi dari sini.”
            Amaryl menatapku kebingungan, “Bagaimana caranya?”
            “Masih ingat waktu kamu memukulku kemarin malam?”
            “Kakak mau aku lempar seperti kemarin?”
            “Kamu memang mau membunuhku ya? Bukaann.. Tolong keluarkan cahaya menyilaukan dari tubuhmu seperti yang kamu lakukan kemarin.”
            “Baiklah. Tapi.. Aku rasa itu ide yang buruk untuk meminta pertolongan.”
            “Ini bukan untuk meminta pertolongan, tapi ini untuk memancing pertolongan. Tolong keluarkan cahaya terkuat yang pernah kamu keluarkan.”
            “Baiklah kalau begitu.”
            Amaryl berkonsentrasi dengan sangat serius. Sedikit demi sedikit cahaya aura tubuh mulai menyelimuti dirinya. Dengan cepat sebuah cahaya yang bersinar terang menerangi seluruh jurang dan memancar lurus ke atas hingga membentang tinggi ke langit.
***

            Sudah tengah malam, Clairres masih belum bisa tidur karena memikirkan apa yang telah terjadi siang tadi. Saat ini ia berada di sebuah penginapan kecil dengan jendala tepat mengarah ke Hutan Emerald. Ia memandang langit dan merenungi kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat olehnya. Yang ia tahu, Amaryl masih belum menerimanya dan hanya menganggapnya sebagai pembunuh kedua orang tuanya.
            Ketika ia melihat langit, tiba-tiba sebuah cahaya putih memancar keluar dari Hutan Emerald.
            “Cahaya itu! Tidak mungkin! Cahaya itu adalah pintu gerbang datangnya bangsa Remidi! Kenapa mereka membuatnya lagi di sana? Aku harus segera mencegahnya sebelum terjadi banyak korban.”
            Clairres segera mengambil peralatan tempurnya dan berlari dengan sangat cepat menuju sumber cahaya itu. Ia tidak begitu yakin bila cahaya itu adalah cahaya Remidi karena tidak telihat kubah kegelapan di sekitarnya. Tapi mungkin karena ini adalah malam, kubah kegelapan itu tidak terlalu terlihat dengan jelas. Lagi pula cahaya yang menjulang ke langit itu sama percis seperti awal peristiwa mengerikan lima tahun yang lalu.
***

            “Kak, energiku sudah hampir habis aku sudah tidak kuat lagi.”
            “Tolong tahan sebentar ya, firasatku mengatakan setidaknya satu orang akan segera muncul sesaat lagi.”
            Tiba-tiba dari atas jurang terdengar suara teriakan seorang wanita.
            “BERHENTI KAU BANGSA REMIDI!”
            Aku tersenyum, rencanaku kali ini memang benar. Aku sudah mengira pasti dia akan datang ke tempat ini.
            “Cukup, Amaryl. Kamu bisa menghentikannya.” aku menyuruh Amaryl agar ia segera menghentikan cahaya tubuhnya.
            Cahaya yang tadi memancar dengan sangat terang kemudian meredup dan menghilang dengan cepat. Amaryl terlihat sangat lemas. Aku menangkap tubuhnya yang perlahan jatuh karena kehabisan energi.
            “Clairres! Tolong kami!”
            “HAH? APA INI?? INI BUKAN GERBANG REMIDI??”
            “Ya, akan ku jelaskan nanti. Tapi lihatlah ke dasar jurang ini. Ada aku, Enutra, dan Amaryl terjebak di dasar jurang ini!”
            “Apa?? Baiklah, tunggu sebentar aku akan segera menyelamatkan kalian.”
            Clairres pergi selama beberapa menit setelah aku meminta bantuan kepadanya hingga akhirnya ia datang dengan beberapa orang dari kota. Mereka bergotong royong menarik kami berdua dengan menggunakan tambang-tambang yang mereka punya. Dengan aksi penyelamatan mereka yang berlangsung selama satu jam, akhirnya kami berhasil sampai di atas jurang dengan selamat.
            “Kami berdua mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.”
            “Iya, lain kali berhati-hatilah jika berada disini. Akhir-akhir ini tanah di sini agak sedikit labil dan mudah longsor.” salah seorang warga berkata kepada kami dan kemudian mereka meninggalkan kami bertiga.
            “Clairres, aku minta maaf atas kelakuanku selama ini.” tiba-tiba saja Amaryl berkata pada Clairres.
            Clairres diam terkejut mendengar apa yang baru saja Amaryl katakan. Ia menitikkan air matanya sembari tersenyum hingga akhirnya ia memeluk Amaryl dengan erat.
            “Aku juga minta maaf ya.”
            Mereka berdua akhirnya berpelukan dan saling menangis satu sama lain. Aku melihatnya dengan penuh senyuman seolah melihat sebuah kebahagiaan yang baru telah terlahir kembali.
***

            Dionze membuka matanya setelah tidur nyenyak semalam. Ia berjalan dengan terhuyung menuju kamar mandi untuk sekedar menyuci muka. Ketika ia berada di luar kamar, ia mendengar suara tawa dari arah ruangan keluarga. Dengan rasa penasaran ia pun menghampirinya.
            Rasanya hampir tidak percaya ketika ia sampai di ruang keluarga. Ia melihat Clairres dan Amaryl sedang bercengkrama dengan penuh rasa senang.
            “Loh, kalian?”
            “Wah Dionze sudah bangun? Selamat pagii..” Amaryl dan Clairres menyapa Dionze.
            “Dimana Enutra?”
            “Entahlah, mungkin sekarang dia sedang tidur. Dia terlihat sangat kelelahan.” Clairres menjawab.
            “Wah dia itu. Sepertinya semalam dia sudah bekerja keras. Kamu hebat, Enutra.” Dionze berkata sendiri dalam hatinya.
***


[1] Gaya arsitektur eropa klasik yang menonjolkan kesan megah dengan tiang-tiang besar sebagi penyangga rumah.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39