Baru saja langit malam tergantikan
terang sesaat setelah terbitnya sang surya dari ufuk timur, kini kembali redup
diselimuti awan kelabu pekat yang menggelayut perlahan menutupi setiap pancaran
hangat mentari. Dari arah timur laut, angin bergemuruh ikut memamerkan aksinya,
menghempaskan ombak laut lepas, berkali-kali menghantam haluan kapal.
Aura mencekam mulai memenuhi atmosfir. Namun ini bukanlah akibat dari rangkaian
perubahan cuaca yang terjadi di luar, melainkan kejadian mengerikan yang baru
saja terjadi beberapa saat setelah dimulainya jamuan sarapan. Pembunuh merajalela dan berkeliaran bebas di
dalam kapal besar ini.
Aku, Vivian, dan beberapa Pejuang Vivian kini telah meninggalkan ruang. Awalnya aku meminta Vivian untuk tetap tinggal demi keselamatannya. Namun ia tetap bersikeras menolak dan tak ingin terpisah dariku. Meski membuat hatiku senang, di lain hal keputusannya tersebut membuat beberapa penumpang pria di kelas bangsawan menunjukan tatapan sinis padaku. Tentu saja aku harus menghiraukannya, yang jelas prioritas saat ini adalah keselamatan Vivian.
Kami membagi
tim menjadi dua kelompok bersama para pejuang. Satu tim yang terdiri dari empat
ahli pedang, empat ahli tenaga dalam, dan dua healer bertugas untuk
mengevakuasi dan menjaga para penumpang yang lain. Sedangkan tim kedua yang
terdiri dari empat ahli pedang, termasuk diriku, tiga ahli tenaga dalam, tiga
healer, dan Vivian pergi menuju anjungan tempat kapten kapal berada. Sebelumnya
aku telah menjelaskan kejadian semalam kepada para pejuang sembari berdiskusi
untuk menyiapkan strategi. Namun tentu saja aku dan Vivian akan lebih
berhati-hati bila terjadi serangan tak terduga.
Kupikir
penjahat kali ini lebih berbahaya dari yang pernah kutemui sebelumnya. Ia mampu
menyembunyikan hawa keberadaannya. Tidak jelas ukuran kekuatan dan bahkan
jumlahnya. Ditambah situasi terjebak kami yang sangat tidak menguntungkan di
dalam kapal ini oleh keadaan cuaca di luar. Kondisiku pun tidak berada dalam
performa yang terbaik karena efek mabuk laut semenjak pertama menaiki kapal
ini.
Kini jarak
kami menuju anjungan kapal hanya sekitar lima meter lagi, namun serentak
langkah terhenti ketika dua orang terdepan memberi tanda.
“Tuan Wargot
dan Tuan Jostas, tolong katakan apa yang telah terjadi.” pinta Vivian
penasaran.
Mereka tidak
menjawabnya. Hanya nampak raut wajah dengan mata yang agak terbelalak serta
mulut sedikit menganga. Tuan Jostas segera memberi tanda memanggilku. Hanya
aku. Sesaat aku mengangguk memberi kode pada Vivian dan kemudian mendekati
mereka berdua.
“Apa yang
sebenarnya terjadi Tuan Joss-..”
Tenggorokanku
seketika tercekat tak bersuara.
Merah. Hanya
satu kata itu yang dapat aku ucapkan ketika melihat kondisi anjungan kapal saat
ini. Ceceran darah dan organ-organ tubuh yang tercerai berai memenuhi lantai.
Sisa pembantaian sadis telah terjadi tepat berada di depan mataku. Para juru
masak yang telah datang terlebih dahulu dan para kru kapal termasuk kapten
telah terbunuh dengan tercabik-cabik.
“Tunggu, bila
para juru masak dan kru kapal telah terbunuh, berarti pembunuh itu masih berada tak jauh dari kita!” teriak Jostas.
Benar saja, tiba-tiba sebuah
bayangan hitam melesat cepat dari atap anjungan. Menggetarkan lantai dengan
detuman yang sangat keras.
“Tidaakk!”
jerit
Vivian pada salah satu pejuang.
Tak lebih
dari dua detik, seketika cairan merah pekat
mengucur deras. Sebuah belati semacam kukri menancap dalam pada salah
satu kepala ahli pedang kami. Wargot.
“Empat
belas....” bisik seorang pria dari balik tubuh tuan Wargot.
Tanganku kaku
seakan pedang terkunci dari sarungnya. Serangan yang begitu cepat. Bahkan aku
sama sekali tak menyadari darimana datangnya pria itu.
“Wow, bagus
sekali. Tak perlu susah-susah aku membuat rencana untuk membunuh target
utamaku.” ucap serak pria misterius itu setelah menjatuhkan tubuh Tuan Wargot
yang sudah tak bernyawa. “Ternyata dia malah datang sendiri untuk menemuiku.
Hahahahaha...”
Seorang pria
paruh baya berbadan tinggi kekar muncul dari samarnya kegelapan anjungan.
Kepalanya plontos dengan janggut hitam legam menyatu dengan cambangnya. Senyum
lebar terpampang memperlihatkan barisan giginya yang tak rata. Menenteng
sebilah belati bersimbah darah segar.
Para pejuang
segera membentuk lingkaran untuk melindungi Vivian. Mereka semua menyadari
betapa berbahayanya pria tersebut.
“Sebenarnya
siapa dan apa yang kau inginkan?!” kuacungkan pedang pada pria tersebut.
Pria tersebut
masih tersenyum mengacuhkan pertanyaanku. Hingga tiba-tiba belati kukri di
tangannya sudah melayang dan berputar cepat tepat di hadapanku tanpa kusadari.
“Aku Boraz!
Salah satu dari tujuh pimpinan Vanator!” seru pria tersebut sesaat setelah
melemparkan belatinya.
Tubuhku
terhempas hebat. Seketika pandangan menjadi gelap. Terasa pula cairan hangat
memancar menciprat ke segala arah. Tapi aneh, tak ada rasa sakit yang
menyambar.
Kenyataannya
belati tersebut tidak mengenaiku. Melainkan sebuah jasad dari salah satu kru
kapal yang telah dilemparkan seseorang untuk menghalau serangan tersebut.
Kucoba untuk menoleh mencari siapa yang telah melakukannya. Namun tak ada satu
orang pun di sana. Hanya ada kelompok kami yang masih terdiam mematung, menatap
cengang pada pria bernama Boraz tersebut.
Tubuhku masih
tersungkur di atas lantai anjungan kapal, terhimpit jasad yang telah
menyelamatkan nyawaku. Perlahan kuangkat tubuh serta jasad yang menindihku.
Masih belum begitu awas namun terdengar suara dentingan logam yang begitu
intens.
“KURRANG
AJJAAARR!!! DASAR KAU SERANGGA PENGGANGGU!!”
Ada orang
lain lagi di sana. Seorang lelaki gesit berpakaian jubah kulit panjang serba
hitam. Wajahnya tak terlihat, tertutup oleh tudung yang terhubung dari
jubahnya. Ia bertarung melawan Boraz menggunakan dua belati hitam kecil di
tangan kanan dan kirinya. Serangannya sangat cepat tanpa henti. Terus menekan
seolah bergerak tanpa napas. Sementara Boraz hanya bisa menangkis menahan.
“CUKUP
SERANGGA HITAM!! SUDAHI SAJA PERMAINAN KEKANAKAN INI!!”
Seketika
sebuah ayunan lantang belati Boraz menghempakan sang lelaki bertudung.
Membuatnya terbanting menabrak kemudi kapal hingga hancur. Serangan tersebut
membuat lelaki tersebut memuntahkan sedikit darah. Para pejuang Vivian hanya
terdiam memerhatikan, tak ada yang berani membantunya. Tanpa pikir panjang, aku
bergerak untuk mendekatinya.
“STOP!”
lelaki itu mengarahkan belatinya padaku.
Langkahku
terhenti. Apa yang dipikirkan oleh lelaki itu?
Tanpa
berkata-kata lagi, secepat kilat ia melompat memberikan serangan lanjutan yang
lebih intens dari sebelumnya pada Boraz.
Sementara
mereka terus bertarung, kucoba untuk mengalihkan perhatianku pada Vivian dan
kelompokku. Dari sudut mata, sekilas Boraz seperti menampakkan senyuman picik
padaku meski terdesak oleh serangan pria bertudung.
Mataku
terbelalak. Seketika aku tersadar oleh ucapan Boraz sebelumnya. Ia adalah salah
satu pemimpin Vanator! Bila begitu seharusnya ia datang bersama anak-anak
buahnya!
Segera
kuperhatikan sekitarku, tak ada satu orang asing pun yang tampak selain Boraz
dan lelaki bertudung tersebut. Hingga -…
Enam dari
delapan pejuang Vivian yang tersisa tiba-tiba berbalik mengarahkan senjata pada
Vivian dan dua pejuang lain.
“Sial, aku
terlambat menyadarinya!”
Sang lelaki
bertudung yang sejak tadi menyerang Boraz seketika mundur, lalu dengan cekatan
melompat menuju Vivian yang tengah terkepung.
“HAHAHA.. ADA
CELAH!”
Boraz
mengambil ancang-ancang. Kemudian belatinya diayunkan sekuat tenaga mengarah
pada lelaki bertudung.
~Zlaaashhh!
~Aarghh..
Suasana anjungan mendadak senyap
tak bersuara, melainkan erangan sang lelaki bertudung. Darah segar memancar
deras dari punggungnya. Ia terhempas keras, berguling-guling di lantai hingga
terhenti pada salah satu sudut dinding anjungan.
“Lima belas!” Boraz tersenyum.
Tak berhenti di sana, dengan
segera ia melompat, mengangkat tinggi belati dengan kedua tangannya. Sasarannya
kali ini adalah Vivian!
Saat itu juga, seketika pandangan
dan kesadaranku memudar.
***
Denting demi denting logam terus
berderu saling bersahutan. Terkadang kilatan cahaya dan percikan api tercipta
mengisi atmosfer anjungan. Terang dan bising. Namun pandangan dan pendengaranku
kini justru semakin kabur diselimuti kabut merah dan dengungan tak menentu.
Kekuatan ini kembali datang menguasai tubuh.
Entah mungkin
sepuluh atau lima belas menit, keadaan ini terus menyelimuti kesadaran. Namun
kini sudah terasa lebih
baik. Pandanganku mulai berangsur membaik, meski tak ada satu anggota tubuh pun
yang bisa ku kendalikan. Tapi yang jelas, sudah kupastikan bahwa Vivian sudah
selamat. Lepas dari kepungan para Vanator yang justru kini tengah
bergelimpangan tak berdaya di lantai anjungan.
Sekarang yang ada dihadapanku
adalah Boraz. Dengan pedangku yang terhunus pada lehernya, ia terlihat lemah
dan kelelahan. Napasnya terengah-engah dengan postur tubuh sedikit membungkuk.
Tak tampak lagi senyuman picik di wajah besarnya. Pakaiannya terkoyak hebat
hingga memperlihatkan tubuh bersimbah darah penuh dengan sayatan pedang.
“Pa... Pantas saja Morark kewalahan menghadapimu, tak kusangka kau
memang sekuat ini!”
Tentu saja dalam kondisi seperti
ini aku tak bisa membalas perkataanya. Hanya bisa mengamati, seperti penonton
mengikuti aksi dibalik layar kaca.
“HAHAHAHAHAHA!!” Boraz tiba-tiba
melepas tawa keras. “Aku tak peduli dengan sikap diammu yang terus membisu!
Meski telah kalah darimu, namun kali ini Vanator-lah yang akan menang!”
Entah apa maksud dari
perkataannya. Namun mulutku masih tak bergeming.
“Kapal ini sudah dikuasai oleh
Vanator sejak tadi! Kalian hanya terlalu sibuk melawanku. Padahal lebih dari
setengah penumpang kapal ini adalah anggota Vanator!” dengus Boraz melanjutkan,
“Termasuk Kayaw, satu dari delapan pimpinan Vanator lainnya.”
Setelah mendengar penjelasan
Boraz, entah mengapa kekuatan ini justru malah semakin memudar. Kurasakan
penglihatan dan pendengaranku menjadi semakin jelas. Hampir seluruh anggota
tubuhku pun dapat dikendalikan kembali. Aneh! Mengapa harus di situasi genting
seperti ini?
Aku tak merubah posisiku. Jangan
sampai Boraz menyadari pelemahan kekuatanku.
Dari jauh terdengar derap langkah
sekelompok orang yang berlari mendekati anjungan.
“Sudah terdengar jelas! Bersiaplah
untuk menerima kekalahan kalian!!!” seru Boraz.
Derap langkah terhenti. Belasan
pria wanita bersenjata lengkap telah berdiri di gerbang ruang anjungan. Namun
bukannya semakin senang, mimik wajah Boraz berubah menjadi tegang dan
berkeringat. Tanpa sadar,
aku pun menoleh.
“Astaga!” seketika teriakanku
memecah, “Dionze! Mikoto! Sejak kapan kalian ada di kapal ini?!”
Mikoto dan Dionze hanya membalas
dengan senyuman kaku.
“Apa yang telah terjadi?? Dimana
Kayaw?!”
“Maksudmu pria lebay berpakaian
nyentrik itu?” timpal Dionze dengan ekspresi wajah seriusnya, “Ia dan para
bawahannya telah kami kalahkan.”
“Ti.. Tidak mungkin!! Bagaimana
bisa?!” pekik Boraz seraya mengayunkan belati dengan sisa tenaganya ke arah
dadaku.
“Enutra! Awaaasss!” Dionze
memperingatkan.
Aku yang dalam kondisi kehilangan
kekuatan, lengah mengatasi serangan Boraz yang tiba-tiba. Tak bisa kuhindari,
hanya bisa memejamkan mata, pasrah menunggu takdir yang akan terjadi.
~Zrraaattt
Kurasakan darah segar memancar ke
segala arah. Perasaan yang sama seperti saat lelaki bertudung menyelamatkanku
sebelumnya.
Saat kubuka mata, Boraz tersungkur tak berdaya.
Sebilah belati kecil menancap dalam tepat di jantungnya. Seluruh anggota tubuhnya melemah diakhiri
dengan hembusan napas panjang yang tersengal.
Aku menoleh ke belakang, lelaki
bertudung yang sebelumnya tersungkur kini setengah berdiri ditopang lututnya.
“Bodoh! Kenapa kau malah lengah di
saat seperti ini?”
Aku tersenyum, “Terima kasih, kau
telah dua kali menyelamatkan nyawaku.”
Dengan segera para pejuang Vivian
yang tersisa mendekati dan merangkul kami semua. Aku pun segera mendekati
Vivian dan memastikan keadaannya. Tanpa aba-aba, Vivian menyerangku dengan
pelukan erat tanpa henti.
“Hey kalian ini, mau di manapun,
selalu saja bermesraan.” Mikoto menyela.
Wajah kami berdua memerah.
Perlahan Vivian pun melepaskan pelukannya. Lalu ia pun beranjak pada Mikoto.
“Mikoto.. Syukurlah kamu selamat.”
Vivian berbalik memeluk Mikoto. “Selama ini kami benar-benar
mengkhawatirkanmu.”
“Iya, aku sangat bersyukur karena
saat itu Dionze berada bersamaku.” ucap Mikoto sambil menepuk punggung Dionze.
“Selama berada di Celadoni, dialah yang telah merawat dan menyembuhkanku.”
Kemudian Vivian melepaskan
pelukannya lalu membungkukan badan tanda hormat pada Dionze, “Terima kasih
wahai ksatria Olympus.”
Dionze membungkuk dan berlutut
hormat, “Bukan suatu masalah bagiku, tuan putri. Memang kewajiban bagiku untuk
selalu menyelamatkan orang-orang terdekatku.”
Mendengar kata kata-kata Dionze,
seketika wajah Mikoto memerah dan tertunduk.
Aku pun tak mau tertinggal merayakan kebahagiaan ini, lalu melompat
mendekati Mikoto.
“Mikoto! Syukurlah kamu sela-...”
Ujung tongkat energi Mikoto
mendarat keras tepat di ubun-ubun kepalaku.
“Jangan berani-berani kamu dekati aku, mesum.” teriak Mikoto
sembari menyilangkan kedua tangan menutup dadanya. “Sikap mesummu itu sama
sekali belum berubah.
Aku hanya bisa meringis sementara
orang-orang di sekitarku tertawa. Kemudian kupalingkan pandangan pada lelaki
bertudung yang masih duduk meringkuk di sudut ruangan. Sejak tadi ia terus
menyendiri, menolak setiap bantuan yang ditawarkan. Melihat hal tersebut, tanpa
sadar kakiku bergerak melangkah mendekatinya. Saat jarak kami hanya sejengkal,
aku diam sejenak di hadapannya. Ia menaikan wajahnya sejajar pahaku. Setelah itu kuulurkan tangan. Namun, tanpa basa
basi seketika ia
menepisnya.
“Hei!” suaraku meninggi.
Lelaki itu hanya diam tak
berkutik.
“Bila kau memang tak suka untuk
bergabung dengan kami, setidaknya perkenalkanlah dulu dirimu!” sahutku sambil
kuulurkan tangan sekali lagi.
Masih tak ada satu patah kata pun
yang terucap dari mulutnya. Hanya terdiam sejenak, lalu bergerak menopang lutut kirinya untuk berdiri beranjak dari posisinya. Melangkah
meninggalkan kami dengan terpincang. Namun sebelum melewati pintu anjungan, ia
berhenti dan berkata tanpa membalikan badan.
“Tak perlu kalian bersimpati
padaku.” ucapnya datar.
Kemudian ia menoleh sesaat,
melepaskan tudung yang sejak tadi melekat menutupi wajahnya.
“Karena yang telah kulakukan hanya
demi kepentinganku sendiri.” lanjutnya lagi.
Senyap. Semua terdiam. Beberapa
saling menatap satu sama lain, menggelengkan kepala dan menaikan pundak. Hanya
ada satu orang yang berbeda, rona wajah Vivian kini berubah merah padam. Kedua dahinya mengerut, menaikan alis lentiknya naik ke tengah. Bibir
tipisnya sedikit terbuka. Matanya berkaca penuh akan air mata, hingga
kemudian tumpah membanjiri pipinya.
“Kamu tidak apa-apa, Vivian?”
Ia tidak menjawab. Tangan
mungilnya hanya menutupi bibirnya yang basah karena air mata. Napasnya pun
mulai tak beraturan berselang sengguk yang semakin menjadi.
“Enutra.. Diaa.. Diaa..” ucap
Vivian terbata berusaha menjelaskan.
Kupijat lembut salah
satu pundaknya, berusaha untuk menenangkan.
“Dia Brian, kakakku!” lanjutnya
diakhiri dengan pecah tangis, mengejutkan seisi ruangan.
Entah siapa yang mendorong punggungku saat itu. Namun seketika kaki ini segera berayun
berlari secepat mungkin. Aku tak sendiri. Meski tanpa menoleh, kurasakan derap belasan pasang kaki
mengikuti di belakang. Sadar, bahwa kami
harus segera mengejarnya!
Sekitar sepuluh menit berlalu,
namun yang kami lakukan tampak nihil. Keberadaan lelaki diduga kakak dari Vivian
tersebut seakan menghilang. Tak ada satu pun jejak yang tertinggal. Mungkin ia
sudah meninggalkan kapal ini, tapi rasanya terlalu mustahil mengingat
sekeliling kami hanyalah hamparan laut tanpa ujung hingga tujuh hari ke depan.
Kini kami
saling terpencar. Aku memasuki sebuah ruangan kamar gelap di sudut kabin.
Dengan bermodalkan nyala lilin di atas
credenza[1]
setinggi pinggang dekat pintu masuk. Seketika tubuhku beringsut mundur setelah
semburat pelita mulai mengisi sudut ruang. Siluet
seorang lelaki nampak duduk dengan juluran tangan yang menumpu pada lututnya di
ranjang setinggi kurang lebih dua puluh sentimeter. Ia menunduk, wajahnya tak
ditampakkan. Namun jubah kulit yang ia kenakan tak menyembunyikan jati dirinya.
Tak salah lagi, dia memang lelaki yang Vivian panggil Brian!
“Tenang saja, aku tak akan
kemana-mana.” suara serak terucap darinya.
Sontak aku berteriak dan
mengayunkan telunjuk kananku ke belakang, “Tapi kumohon temuilah Vivian!”
“Maaf.” jawabnya singkat.
Tak pikir panjang segera ku tarik
lengan lemahnya yang menggantung tertumpu pada lutut. Namun usahaku
sama sekali tak membuatnya berkutik. Ia masih memiliki tenaga untuk menahan
tarikanku.
“Maaf, tapi aku masih belum
sanggup untuk bertemu dengannya.” ucapnya makin parau.
Perlahan
genggaman tanganku mengendur selepas mendengar ucapannya.
Ia kemudian menatap mataku dalam-dalam. Mengatupkan
kedua bibirnya rapat-rapat.
“Aku mohon.” pintanya terbata,
“Tolong jangan katakan padanya bahwa aku masih ada di sini.”
Sejenak kualihkan tatapan darinya.
Nampaknya memang ada hal penting dibalik perilaku tak lazimnya ini.
“Setidaknya tolong katakan
sejujurnya padaku bahwa bukan kau yang telah membunuh Raja Algeas.”
Brian kembali menunduk, “Maaf,
tapi memang benar akulah yang telah membunuhnya.”
Mataku terbelalak, mulutku
menganga, dan tak disadari kakiku pun telah mundur selangkah mendengar
pernyataannya. Sempat membuatku terperanjat, namun kucoba untuk kembali menarik
napas panjang.
“Aku mengerti. Pasti ada alasan
untuk semua itu kan?”
Tak ada satu kata pun terucap dari
mulut Brian. Hanya anggukan kecil yang ia perlihatkan padaku. Beberapa bulir
basah pada lantai kayu cedar juga ikut menjawab percakapan kami.
Hanya selang beberapa saat,
akhinya aku mundur pamit meninggalkannya. Menutup lembut daun pintu ruang dan
berjalan pelan menjauhinya.
Aku kembali menemui Vivian dengan
tangan hampa. Ketika itu sebagian orang masih berada di anjungan. Beberapa
orang sigap membereskan sisa kekacauan dan merapikan para jenazah korban
kebiadaban Boraz. Beberapa lainnya berkumpul mendiskusikan siapa yang berhak
untuk mengendalikan kapal. Vivian masih bersama Mikoto, berdiri merangkul
menenangkannya.
“Vivian, aku mohon maaf.” ucapku
sejenak berjeda, “Aku tak berhasil menemukannya. Sepertinya ia berhasil
meninggalkan kapal ini.”
Di luar dugaan, Vivian hanya diam
menatapku dalam. Masih ada senggukan kecil berselang pada setiap tarikan napas. Lalu kemudian melepas lembut rangkulan Mikoto dan berbalik ke arahku.
Sejenak ia menarik napas panjang
lalu menunjukkan senyuman simpul namun kaku di kedua sudut bibirnya, “Tidak
apa-apa.”
Aku
mengusap mata lalu sedikit menyubit pangkal hidungku, “Padahal tadi jarak kita
hanya beberapa Langkah darinya.”
Vivian
lalu menggapai tanganku dan menggenggamnya dengan kedua telapaknya, “Setidaknya
aku masih memilikimu yang hingga saat ini tetap selamat dan terus
melindungiku.”
~Ehemmm…
Mikoto
berdehem cukup keras di belakang kami. “Waaahhh.. Dionze kamana yaa?? Tadi
katanya hanya mau ambil air minum saja, tapi sampai sekarang masih belum datang
jugaa..”
Mataku
memicing melihat tingkah Mikoto.
“Baiklah,
rekan-rekan semua!” seruku pada semua orang yang berada di dalam anjungan
kapal, “Setelah semua beres, malam ini kita berkumpul. Kita harus melakukan
diskusi untuk rencana kita ke depannya. Kita tidak tahu apakah semua ini telah
selesai atau tidak.”
Serentak
semua berkata ‘SIAP’ menanggapi seruanku. Mulai saat ini tingkat kewaspadaan
kami harus semakin ditingkatkan.
[1] salah satu jenis furniture dengan bentuk setengah
lemari atau berupa lemari penyimpanan dan meja yang mana bentuknya sama seperti
meja console yang memiliki banyak fungsi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar