2 Februari 2025

DUNIA SEMU #44

CHAPTER 44 - IKATAN DARAH

Baru saja langit malam tergantikan terang sesaat setelah terbitnya sang surya dari ufuk timur, kini kembali redup diselimuti awan kelabu pekat yang menggelayut perlahan menutupi setiap pancaran hangat mentari. Dari arah timur laut, angin bergemuruh ikut memamerkan aksinya, menghempaskan ombak laut lepas, berkali-kali menghantam haluan kapal. Aura mencekam mulai memenuhi atmosfir. Namun ini bukanlah akibat dari rangkaian perubahan cuaca yang terjadi di luar, melainkan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi beberapa saat setelah dimulainya jamuan sarapan. Pembunuh merajalela dan berkeliaran bebas di dalam kapal besar ini.

Aku, Vivian, dan beberapa Pejuang Vivian kini telah meninggalkan ruang. Awalnya aku meminta Vivian untuk tetap tinggal demi keselamatannya. Namun ia tetap bersikeras menolak dan tak ingin terpisah dariku. Meski membuat hatiku senang, di lain hal keputusannya tersebut membuat beberapa penumpang pria di kelas bangsawan menunjukan tatapan sinis padaku. Tentu saja aku harus menghiraukannya, yang jelas prioritas saat ini adalah keselamatan Vivian.

Kami membagi tim menjadi dua kelompok bersama para pejuang. Satu tim yang terdiri dari empat ahli pedang, empat ahli tenaga dalam, dan dua healer bertugas untuk mengevakuasi dan menjaga para penumpang yang lain. Sedangkan tim kedua yang terdiri dari empat ahli pedang, termasuk diriku, tiga ahli tenaga dalam, tiga healer, dan Vivian pergi menuju anjungan tempat kapten kapal berada. Sebelumnya aku telah menjelaskan kejadian semalam kepada para pejuang sembari berdiskusi untuk menyiapkan strategi. Namun tentu saja aku dan Vivian akan lebih berhati-hati bila terjadi serangan tak terduga.

Kupikir penjahat kali ini lebih berbahaya dari yang pernah kutemui sebelumnya. Ia mampu menyembunyikan hawa keberadaannya. Tidak jelas ukuran kekuatan dan bahkan jumlahnya. Ditambah situasi terjebak kami yang sangat tidak menguntungkan di dalam kapal ini oleh keadaan cuaca di luar. Kondisiku pun tidak berada dalam performa yang terbaik karena efek mabuk laut semenjak pertama menaiki kapal ini.

Kini jarak kami menuju anjungan kapal hanya sekitar lima meter lagi, namun serentak langkah terhenti ketika dua orang terdepan memberi tanda.

“Tuan Wargot dan Tuan Jostas, tolong katakan apa yang telah terjadi.” pinta Vivian penasaran.

Mereka tidak menjawabnya. Hanya nampak raut wajah dengan mata yang agak terbelalak serta mulut sedikit menganga. Tuan Jostas segera memberi tanda memanggilku. Hanya aku. Sesaat aku mengangguk memberi kode pada Vivian dan kemudian mendekati mereka berdua.

“Apa yang sebenarnya terjadi Tuan Joss-..”

Tenggorokanku seketika tercekat tak bersuara.

Merah. Hanya satu kata itu yang dapat aku ucapkan ketika melihat kondisi anjungan kapal saat ini. Ceceran darah dan organ-organ tubuh yang tercerai berai memenuhi lantai. Sisa pembantaian sadis telah terjadi tepat berada di depan mataku. Para juru masak yang telah datang terlebih dahulu dan para kru kapal termasuk kapten telah terbunuh dengan tercabik-cabik.

“Tunggu, bila para juru masak dan kru kapal telah terbunuh, berarti pembunuh itu masih berada tak jauh dari kita!” teriak Jostas.

Benar saja, tiba-tiba sebuah bayangan hitam melesat cepat dari atap anjungan. Menggetarkan lantai dengan detuman yang sangat keras.

Tidaakk!” jerit Vivian pada salah satu pejuang.

Tak lebih dari dua detik, seketika cairan merah pekat mengucur deras. Sebuah belati semacam kukri menancap dalam pada salah satu kepala ahli pedang kami. Wargot.

Empat belas....” bisik seorang pria dari balik tubuh tuan Wargot.

Tanganku kaku seakan pedang terkunci dari sarungnya. Serangan yang begitu cepat. Bahkan aku sama sekali tak menyadari darimana datangnya pria itu.

“Wow, bagus sekali. Tak perlu susah-susah aku membuat rencana untuk membunuh target utamaku.” ucap serak pria misterius itu setelah menjatuhkan tubuh Tuan Wargot yang sudah tak bernyawa. “Ternyata dia malah datang sendiri untuk menemuiku. Hahahahaha...”

Seorang pria paruh baya berbadan tinggi kekar muncul dari samarnya kegelapan anjungan. Kepalanya plontos dengan janggut hitam legam menyatu dengan cambangnya. Senyum lebar terpampang memperlihatkan barisan giginya yang tak rata. Menenteng sebilah belati bersimbah darah segar.

Para pejuang segera membentuk lingkaran untuk melindungi Vivian. Mereka semua menyadari betapa berbahayanya pria tersebut.

“Sebenarnya siapa dan apa yang kau inginkan?!” kuacungkan pedang pada pria tersebut.

Pria tersebut masih tersenyum mengacuhkan pertanyaanku. Hingga tiba-tiba belati kukri di tangannya sudah melayang dan berputar cepat tepat di hadapanku tanpa kusadari.

“Aku Boraz! Salah satu dari tujuh pimpinan Vanator!” seru pria tersebut sesaat setelah melemparkan belatinya.

Tubuhku terhempas hebat. Seketika pandangan menjadi gelap. Terasa pula cairan hangat memancar menciprat ke segala arah. Tapi aneh, tak ada rasa sakit yang menyambar.

Kenyataannya belati tersebut tidak mengenaiku. Melainkan sebuah jasad dari salah satu kru kapal yang telah dilemparkan seseorang untuk menghalau serangan tersebut. Kucoba untuk menoleh mencari siapa yang telah melakukannya. Namun tak ada satu orang pun di sana. Hanya ada kelompok kami yang masih terdiam mematung, menatap cengang pada pria bernama Boraz tersebut.

Tubuhku masih tersungkur di atas lantai anjungan kapal, terhimpit jasad yang telah menyelamatkan nyawaku. Perlahan kuangkat tubuh serta jasad yang menindihku. Masih belum begitu awas namun terdengar suara dentingan logam yang begitu intens.

“KURRANG AJJAAARR!!! DASAR KAU SERANGGA PENGGANGGU!!”

Ada orang lain lagi di sana. Seorang lelaki gesit berpakaian jubah kulit panjang serba hitam. Wajahnya tak terlihat, tertutup oleh tudung yang terhubung dari jubahnya. Ia bertarung melawan Boraz menggunakan dua belati hitam kecil di tangan kanan dan kirinya. Serangannya sangat cepat tanpa henti. Terus menekan seolah bergerak tanpa napas. Sementara Boraz hanya bisa menangkis menahan.

“CUKUP SERANGGA HITAM!! SUDAHI SAJA PERMAINAN KEKANAKAN INI!!”

Seketika sebuah ayunan lantang belati Boraz menghempakan sang lelaki bertudung. Membuatnya terbanting menabrak kemudi kapal hingga hancur. Serangan tersebut membuat lelaki tersebut memuntahkan sedikit darah. Para pejuang Vivian hanya terdiam memerhatikan, tak ada yang berani membantunya. Tanpa pikir panjang, aku bergerak untuk mendekatinya.

“STOP!” lelaki itu mengarahkan belatinya padaku.

Langkahku terhenti. Apa yang dipikirkan oleh lelaki itu?

Tanpa berkata-kata lagi, secepat kilat ia melompat memberikan serangan lanjutan yang lebih intens dari sebelumnya pada Boraz.

Sementara mereka terus bertarung, kucoba untuk mengalihkan perhatianku pada Vivian dan kelompokku. Dari sudut mata, sekilas Boraz seperti menampakkan senyuman picik padaku meski terdesak oleh serangan pria bertudung.

Mataku terbelalak. Seketika aku tersadar oleh ucapan Boraz sebelumnya. Ia adalah salah satu pemimpin Vanator! Bila begitu seharusnya ia datang bersama anak-anak buahnya!

Segera kuperhatikan sekitarku, tak ada satu orang asing pun yang tampak selain Boraz dan lelaki bertudung tersebut. Hingga -…

Enam dari delapan pejuang Vivian yang tersisa tiba-tiba berbalik mengarahkan senjata pada Vivian dan dua pejuang lain.

“Sial, aku terlambat menyadarinya!”

Sang lelaki bertudung yang sejak tadi menyerang Boraz seketika mundur, lalu dengan cekatan melompat menuju Vivian yang tengah terkepung.

“HAHAHA.. ADA CELAH!”

Boraz mengambil ancang-ancang. Kemudian belatinya diayunkan sekuat tenaga mengarah pada lelaki bertudung.

~Zlaaashhh!

~Aarghh..

Suasana anjungan mendadak senyap tak bersuara, melainkan erangan sang lelaki bertudung. Darah segar memancar deras dari punggungnya. Ia terhempas keras, berguling-guling di lantai hingga terhenti pada salah satu sudut dinding anjungan.

“Lima belas!” Boraz tersenyum.

Tak berhenti di sana, dengan segera ia melompat, mengangkat tinggi belati dengan kedua tangannya. Sasarannya kali ini adalah Vivian!

Saat itu juga, seketika pandangan dan kesadaranku memudar.

***

 

Denting demi denting logam terus berderu saling bersahutan. Terkadang kilatan cahaya dan percikan api tercipta mengisi atmosfer anjungan. Terang dan bising. Namun pandangan dan pendengaranku kini justru semakin kabur diselimuti kabut merah dan dengungan tak menentu. Kekuatan ini kembali datang menguasai tubuh.

Entah mungkin sepuluh atau lima belas menit, keadaan ini terus menyelimuti kesadaran. Namun kini sudah terasa lebih baik. Pandanganku mulai berangsur membaik, meski tak ada satu anggota tubuh pun yang bisa ku kendalikan. Tapi yang jelas, sudah kupastikan bahwa Vivian sudah selamat. Lepas dari kepungan para Vanator yang justru kini tengah bergelimpangan tak berdaya di lantai anjungan.

Sekarang yang ada dihadapanku adalah Boraz. Dengan pedangku yang terhunus pada lehernya, ia terlihat lemah dan kelelahan. Napasnya terengah-engah dengan postur tubuh sedikit membungkuk. Tak tampak lagi senyuman picik di wajah besarnya. Pakaiannya terkoyak hebat hingga memperlihatkan tubuh bersimbah darah penuh dengan sayatan pedang.

Pa... Pantas saja Morark kewalahan menghadapimu, tak kusangka kau memang sekuat ini!”

Tentu saja dalam kondisi seperti ini aku tak bisa membalas perkataanya. Hanya bisa mengamati, seperti penonton mengikuti aksi dibalik layar kaca.

“HAHAHAHAHAHA!!” Boraz tiba-tiba melepas tawa keras. “Aku tak peduli dengan sikap diammu yang terus membisu! Meski telah kalah darimu, namun kali ini Vanator-lah yang akan menang!”

Entah apa maksud dari perkataannya. Namun mulutku masih tak bergeming.

“Kapal ini sudah dikuasai oleh Vanator sejak tadi! Kalian hanya terlalu sibuk melawanku. Padahal lebih dari setengah penumpang kapal ini adalah anggota Vanator!” dengus Boraz melanjutkan, “Termasuk Kayaw, satu dari delapan pimpinan Vanator lainnya.”

Setelah mendengar penjelasan Boraz, entah mengapa kekuatan ini justru malah semakin memudar. Kurasakan penglihatan dan pendengaranku menjadi semakin jelas. Hampir seluruh anggota tubuhku pun dapat dikendalikan kembali. Aneh! Mengapa harus di situasi genting seperti ini?

Aku tak merubah posisiku. Jangan sampai Boraz menyadari pelemahan kekuatanku.

Dari jauh terdengar derap langkah sekelompok orang yang berlari mendekati anjungan.

“Sudah terdengar jelas! Bersiaplah untuk menerima kekalahan kalian!!!” seru Boraz.

Derap langkah terhenti. Belasan pria wanita bersenjata lengkap telah berdiri di gerbang ruang anjungan. Namun bukannya semakin senang, mimik wajah Boraz berubah menjadi tegang dan berkeringat. Tanpa sadar, aku pun menoleh.

“Astaga!” seketika teriakanku memecah, “Dionze! Mikoto! Sejak kapan kalian ada di kapal ini?!”

Mikoto dan Dionze hanya membalas dengan senyuman kaku.

“Apa yang telah terjadi?? Dimana Kayaw?!”

“Maksudmu pria lebay berpakaian nyentrik itu?” timpal Dionze dengan ekspresi wajah seriusnya, “Ia dan para bawahannya telah kami kalahkan.”

“Ti.. Tidak mungkin!! Bagaimana bisa?!” pekik Boraz seraya mengayunkan belati dengan sisa tenaganya ke arah dadaku.

“Enutra! Awaaasss!” Dionze memperingatkan.

Aku yang dalam kondisi kehilangan kekuatan, lengah mengatasi serangan Boraz yang tiba-tiba. Tak bisa kuhindari, hanya bisa memejamkan mata, pasrah menunggu takdir yang akan terjadi.

~Zrraaattt

Kurasakan darah segar memancar ke segala arah. Perasaan yang sama seperti saat lelaki bertudung menyelamatkanku sebelumnya.

Saat kubuka mata, Boraz tersungkur tak berdaya. Sebilah belati kecil menancap dalam tepat di jantungnya. Seluruh anggota tubuhnya melemah diakhiri dengan hembusan napas panjang yang tersengal.

Aku menoleh ke belakang, lelaki bertudung yang sebelumnya tersungkur kini setengah berdiri ditopang lututnya.

“Bodoh! Kenapa kau malah lengah di saat seperti ini?”

Aku tersenyum, “Terima kasih, kau telah dua kali menyelamatkan nyawaku.”

Dengan segera para pejuang Vivian yang tersisa mendekati dan merangkul kami semua. Aku pun segera mendekati Vivian dan memastikan keadaannya. Tanpa aba-aba, Vivian menyerangku dengan pelukan erat tanpa henti.

“Hey kalian ini, mau di manapun, selalu saja bermesraan.” Mikoto menyela.

Wajah kami berdua memerah. Perlahan Vivian pun melepaskan pelukannya. Lalu ia pun beranjak pada Mikoto.

“Mikoto.. Syukurlah kamu selamat.” Vivian berbalik memeluk Mikoto. “Selama ini kami benar-benar mengkhawatirkanmu.”

“Iya, aku sangat bersyukur karena saat itu Dionze berada bersamaku.” ucap Mikoto sambil menepuk punggung Dionze. “Selama berada di Celadoni, dialah yang telah merawat dan menyembuhkanku.”

Kemudian Vivian melepaskan pelukannya lalu membungkukan badan tanda hormat pada Dionze, “Terima kasih wahai ksatria Olympus.”

Dionze membungkuk dan berlutut hormat, “Bukan suatu masalah bagiku, tuan putri. Memang kewajiban bagiku untuk selalu menyelamatkan orang-orang terdekatku.”

Mendengar kata kata-kata Dionze, seketika wajah Mikoto memerah dan tertunduk.

Aku pun tak mau tertinggal merayakan kebahagiaan ini, lalu melompat mendekati Mikoto.

“Mikoto! Syukurlah kamu sela-...”

Ujung tongkat energi Mikoto mendarat keras tepat di ubun-ubun kepalaku.

Jangan berani-berani kamu dekati aku, mesum.” teriak Mikoto sembari menyilangkan kedua tangan menutup dadanya. “Sikap mesummu itu sama sekali belum berubah.

Aku hanya bisa meringis sementara orang-orang di sekitarku tertawa. Kemudian kupalingkan pandangan pada lelaki bertudung yang masih duduk meringkuk di sudut ruangan. Sejak tadi ia terus menyendiri, menolak setiap bantuan yang ditawarkan. Melihat hal tersebut, tanpa sadar kakiku bergerak melangkah mendekatinya. Saat jarak kami hanya sejengkal, aku diam sejenak di hadapannya. Ia menaikan wajahnya sejajar pahaku. Setelah itu kuulurkan tangan. Namun, tanpa basa basi seketika ia menepisnya.

“Hei!” suaraku meninggi.

Lelaki itu hanya diam tak berkutik.

“Bila kau memang tak suka untuk bergabung dengan kami, setidaknya perkenalkanlah dulu dirimu!” sahutku sambil kuulurkan tangan sekali lagi.

Masih tak ada satu patah kata pun yang terucap dari mulutnya. Hanya terdiam sejenak, lalu bergerak menopang lutut kirinya untuk berdiri beranjak dari posisinya. Melangkah meninggalkan kami dengan terpincang. Namun sebelum melewati pintu anjungan, ia berhenti dan berkata tanpa membalikan badan.

“Tak perlu kalian bersimpati padaku.” ucapnya datar.

Kemudian ia menoleh sesaat, melepaskan tudung yang sejak tadi melekat menutupi wajahnya. 

“Karena yang telah kulakukan hanya demi kepentinganku sendiri.” lanjutnya lagi.

Senyap. Semua terdiam. Beberapa saling menatap satu sama lain, menggelengkan kepala dan menaikan pundak. Hanya ada satu orang yang berbeda, rona wajah Vivian kini berubah merah padam. Kedua dahinya mengerut, menaikan alis lentiknya naik ke tengah. Bibir tipisnya sedikit terbuka. Matanya berkaca penuh akan air mata, hingga kemudian tumpah membanjiri pipinya.

“Kamu tidak apa-apa, Vivian?”

Ia tidak menjawab. Tangan mungilnya hanya menutupi bibirnya yang basah karena air mata. Napasnya pun mulai tak beraturan berselang sengguk yang semakin menjadi.

“Enutra.. Diaa.. Diaa..” ucap Vivian terbata berusaha menjelaskan.

Kupijat lembut salah satu pundaknya, berusaha untuk menenangkan.

“Dia Brian, kakakku!” lanjutnya diakhiri dengan pecah tangis, mengejutkan seisi ruangan.

Entah siapa yang mendorong punggungku saat itu. Namun seketika kaki ini segera berayun berlari secepat mungkin. Aku tak sendiri. Meski tanpa menoleh, kurasakan derap belasan pasang kaki mengikuti di belakang. Sadar, bahwa kami harus segera mengejarnya!

Sekitar sepuluh menit berlalu, namun yang kami lakukan tampak nihil. Keberadaan lelaki diduga kakak dari Vivian tersebut seakan menghilang. Tak ada satu pun jejak yang tertinggal. Mungkin ia sudah meninggalkan kapal ini, tapi rasanya terlalu mustahil mengingat sekeliling kami hanyalah hamparan laut tanpa ujung hingga tujuh hari ke depan.

Kini kami saling terpencar. Aku memasuki sebuah ruangan kamar gelap di sudut kabin. Dengan bermodalkan nyala lilin di atas credenza[1] setinggi pinggang dekat pintu masuk. Seketika tubuhku beringsut mundur setelah semburat pelita mulai mengisi sudut ruang. Siluet seorang lelaki nampak duduk dengan juluran tangan yang menumpu pada lututnya di ranjang setinggi kurang lebih dua puluh sentimeter. Ia menunduk, wajahnya tak ditampakkan. Namun jubah kulit yang ia kenakan tak menyembunyikan jati dirinya. Tak salah lagi, dia memang lelaki yang Vivian panggil Brian!

“Tenang saja, aku tak akan kemana-mana.” suara serak terucap darinya.

Sontak aku berteriak dan mengayunkan telunjuk kananku ke belakang, “Tapi kumohon temuilah Vivian!”

“Maaf.” jawabnya singkat.

Tak pikir panjang segera ku tarik lengan lemahnya yang menggantung tertumpu pada lutut. Namun usahaku sama sekali tak membuatnya berkutik. Ia masih memiliki tenaga untuk menahan tarikanku.

“Maaf, tapi aku masih belum sanggup untuk bertemu dengannya.” ucapnya makin parau.  

Perlahan genggaman tanganku mengendur selepas mendengar ucapannya.

Ia kemudian menatap mataku dalam-dalam. Mengatupkan kedua bibirnya rapat-rapat.

“Aku mohon.” pintanya terbata, “Tolong jangan katakan padanya bahwa aku masih ada di sini.”

Sejenak kualihkan tatapan darinya. Nampaknya memang ada hal penting dibalik perilaku tak lazimnya ini.

“Setidaknya tolong katakan sejujurnya padaku bahwa bukan kau yang telah membunuh Raja Algeas.”

Brian kembali menunduk, “Maaf, tapi memang benar akulah yang telah membunuhnya.”

Mataku terbelalak, mulutku menganga, dan tak disadari kakiku pun telah mundur selangkah mendengar pernyataannya. Sempat membuatku terperanjat, namun kucoba untuk kembali menarik napas panjang.

“Aku mengerti. Pasti ada alasan untuk semua itu kan?”

Tak ada satu kata pun terucap dari mulut Brian. Hanya anggukan kecil yang ia perlihatkan padaku. Beberapa bulir basah pada lantai kayu cedar juga ikut menjawab percakapan kami.

Hanya selang beberapa saat, akhinya aku mundur pamit meninggalkannya. Menutup lembut daun pintu ruang dan berjalan pelan menjauhinya.      

Aku kembali menemui Vivian dengan tangan hampa. Ketika itu sebagian orang masih berada di anjungan. Beberapa orang sigap membereskan sisa kekacauan dan merapikan para jenazah korban kebiadaban Boraz. Beberapa lainnya berkumpul mendiskusikan siapa yang berhak untuk mengendalikan kapal. Vivian masih bersama Mikoto, berdiri merangkul menenangkannya.

“Vivian, aku mohon maaf.” ucapku sejenak berjeda, “Aku tak berhasil menemukannya. Sepertinya ia berhasil meninggalkan kapal ini.”

Di luar dugaan, Vivian hanya diam menatapku dalam. Masih ada senggukan kecil berselang pada setiap tarikan napas. Lalu kemudian melepas lembut rangkulan Mikoto dan berbalik ke arahku.

Sejenak ia menarik napas panjang lalu menunjukkan senyuman simpul namun kaku di kedua sudut bibirnya, “Tidak apa-apa.”

          Aku mengusap mata lalu sedikit menyubit pangkal hidungku, “Padahal tadi jarak kita hanya beberapa Langkah darinya.”

          Vivian lalu menggapai tanganku dan menggenggamnya dengan kedua telapaknya, “Setidaknya aku masih memilikimu yang hingga saat ini tetap selamat dan terus melindungiku.”

          ~Ehemmm…

          Mikoto berdehem cukup keras di belakang kami. “Waaahhh.. Dionze kamana yaa?? Tadi katanya hanya mau ambil air minum saja, tapi sampai sekarang masih belum datang jugaa..”

          Mataku memicing melihat tingkah Mikoto.

          “Baiklah, rekan-rekan semua!” seruku pada semua orang yang berada di dalam anjungan kapal, “Setelah semua beres, malam ini kita berkumpul. Kita harus melakukan diskusi untuk rencana kita ke depannya. Kita tidak tahu apakah semua ini telah selesai atau tidak.”

          Serentak semua berkata ‘SIAP’ menanggapi seruanku. Mulai saat ini tingkat kewaspadaan kami harus semakin ditingkatkan.

***


[1] salah satu jenis furniture dengan bentuk setengah lemari atau berupa lemari penyimpanan dan meja yang mana bentuknya sama seperti meja console yang memiliki banyak fungsi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar