10 Februari 2025

DUNIA SEMU #45

CHAPTER 45 - DERMAGA

Kukira sepanjang perjalanan berada di atas laut akan sangat membosankan, ternyata tidak juga. Padahal ini adalah kali pertamanya aku menaiki kapal laut sebesar ini dalam waktu yang cukup lama. Langkah kaki menyusuri dek kapal yang tersusun dari kayu-kayu mahoni. Mengitari setiap sisi kapal yang disuguhi pemandangan cakrawala yang jelas.

Riuh pekik kawanan camar saling menyambut di bawah naungan awan tipis. Melayang-layang mengikuti arah asap cerobong yang menjulang tinggi. Sementara di permukaan ada sekitar lima-enam ekor lumba melompat beriringan. Mereka berenang mengikuti arus riak terpaan dari kapal. Sesekali juga terdengar kikikan seolah saling bergurau mengejar satu sama lain.

Aku terpaku. Kabarnya sore ini kapal akan berlabuh. Tanpa sadar kedua sudut bibir ini naik menampakkan senyuman tanggung. Tak lama lagi aku akan meninggalkan kapal ini dengan segala peristiwanya.

Sejak fajar terbit, para kru yang tersisa sibuk berlarian menyiapkan segala halnya. Wajar saja karena sejak kejadian Vanator beberapa hari yang lalu mereka kekurangan banyak personil. Meski ada beberapa sukarelawan yang membantu, tetap saja tak merubah keadaan.

“Enutra, sedang apa kau di sini sendirian?” terdengar sapaan dari balik pundak.

“Hey, Dionze.” balasku singkat.

“Tidak sedang bersama Vivian?”

Aku menggeleng, “Jujur saja saat ini aku sangat ingin menemaninya.”

“Memang apa yang terjadi? Apa terjadi pertengkaran diantara kalian?”

Sesaat hening bersambut angin laut yang hangat. Menyibak rambut hitamku yang sudah mulai memanjang. Refleks tanganku kemudian menatanya agar tak menyentuh mata.

“Tidak juga. Hanya saja sekarang Vivian sedang mandi.” Jawabku tegas.

Dionze hanya menimpal sekadarnya dengan sebuah anggukan kecil. Lalu berdiri di samping menatap luasnya laut bersender pada pagar dek.

“Tidak ada niatan untuk pergi mengintip?” bisik Dionze perlahan.

Sesaat mataku mendelik ke atas.

“Aku tidak mau mati muda, Dionze.” Balasku singkat.

“Kenapa?”

Angin laut kembali berhembus menerpa wajah. Terasa lembab dan hangat mengalir pada setiap inchi kulitku.

“Vivian sedang bersama dengan Mikoto di pemandian air panas kapal ini.”

Hening kembali menyela di antara kami. Hanya terdengar deburan air yang terhempas oleh buritan kapal.

Dionze menghela napas, “Baiklah, kau benar. Kalau begitu mari kita sarapan dulu untuk menunggu mereka.”

Sejenak aku terdiam, menatap luasnya laut yang berbatas cakrawala. Kemudian berbalik seraya berlalu mengikuti Dionze yang sudah lebih dulu berjalan menuju restoran kapal.

Tak bergeming, hanya menetes satu butir keringat kecil mengalir di pelipis. “Ngomong-ngomong, percakapan macam apa barusan?”

***

 

Temaram lilin kecil berkedip kelap menyuar ruang kayu selebar tujuh belas jengkal di kedua dindingnya. Membentuk bayangan beriak seorang individu yang terduduk pada ranjang berangka besi. Dagunya terantuk di atas kepalan tangannya sendiri hingga kemudian menumpu. Terkadang punggungnya bergetar ritmik perlahan naik turun.

“Maafkan kakakmu ini, Vivian.”

Dialah Brian Veroka, sang putra mahkota Kerajaan Eternality sekaligus pembunuh bayaran berjuluk Angelkill. Di balik tudung kelamnya yang menyungkup, ia sembunyikan wajah sendu meski tak ada yang menilik.

“Maaf karena aku tak bisa menjelaskan semuanya padamu. Semua itu terjadi begitu saja, dan kini aku harus kembali meninggalkanmu.” cakapnya sendirian disertai senggukan kecil yang menyayat.

Vivian, sang adik perempuannya terpaksa harus ia tinggalkan karena suatu hal. Untuk saat ini, akan sangat berbahaya bila ia terlalu sering bertemu dengan adiknya tersebut. Juga saat itu, pertempuran melawan Boraz di anjungan kapal, ia sempat gelisah ketika Vivian berada di dekatnya. Ada kecemasan berlebih sehingga pertempuran dengan Boraz pun tak bisa ia maksimalkan dengan baik.

Sesaat ia menoleh pada sebuah botol kecil seukuran genggaman tangan, berisi cairan hijau semu transparan. Sebuah ramuan khusus pemulih stamina racikan Vivian. Seketika teringat akan pertemuan terakhir kalinya bersama Enutra, sang ksatria penjaga Vivian. Benar, Enutra telah menemuinya beberapa kali selama ia berada di kapal ini. Dialah yang telah memberikan ramuan tersebut dari Vivian.

Meski seringkali diacuhkan, lelaki itu selalu antusias setiap kali mengunjunginya. Ada suatu ketika saat ia kembali mencoba untuk memancing tanya mengenai sebab Brian membunuh ayahnya sendiri serta alasan menjauhnya ia dari Vivian, namun semua hanya berakhir dengan jawaban hening darinya. Seolah tak ada yang salah, Enutra pun hanya membalas dengan senyuman kecil dan kembali mengalihkan topik pembicaraan lain untuk mencairkan suasana.

Meski hanya beberapa kali, pertemuan-pertemuan tersebut membuat Brian paham bahwa ksatria bernama Enutra itu bukanlah orang yang jahat. Padahal ia menyadari, ia bukanlah seorang yang mudah untuk memercayai siapapun sekalipun orang tersebut terlihat baik di hadapannya. Ia mengganggap lelaki yang terkesan sangat naif dan penuh semangat itu cukup pantas untuk menjadi pelindung adiknya. Setidaknya ia juga dapat dipercaya dalam menjaga rahasia. Vivian masih belum mengetahui keberadaannya. Bukan tanpa alasan ia berada di kapal ini, meski resiko untuk bertemu dengan Vivian sangatlah besar. Untuk sekarang, hanya kapal inilah satu-satunya kendaraan yang mampu membawanya pergi menuju Desa Balero, salah satu desa di Kerajaan Pacifier.

Di lain hal, kabar mengenai kehebatan Enutra memang bukan hanya sekadar isapan jempol belaka. Seni berpedang yang ia gunakan cukup unik dan bertenaga. Gerakannya sangat lincah, seperti bukan manusia. Meski di awal terlihat kewalahan, namun ketika ia mengeluarkan kemampuan aslinya, seperti sulit untuk menemukan tandingan yang cukup kuat untuk mengalahkannya. Sekalipun Brian harus bertarung dengan Enutra, ia memilih untuk pergi daripada harus bertarung dengannya.

Sesekali ia juga menilai gaya berbicara Enutra yang dinilai asing untuk seorang penduduk Eternality. Ada beberapa dialek dan logat yang tak biasa didengar olehnya. Sempat pula terpikir bahwa lelaki tersebut merupakan pendatang dari negeri lain meski akhirnya terpatahkan karena fakta asal usulnya yang cukup dikenal di kalangan kerajaan.

Dari yang ia ketahui, sebelum Enutra dinobatkan sebagai Ksatria Cerberus oleh raja Olympus, lelaki tersebut hanyalah seorang siswa biasa yang tidak mencolok. Bahkan awalnya Raja Algeas sangat geram ketika mengetahui ada warganya yang diberi gelar terhormat di Kerajaan Olympus. Namun akhirnya diredakan oleh Vivian yang saat itu menyarankan untuk mengundangnya dalam membentuk aliansi ksatria tiga kerajaan untuk melawan Bangsa Remidi.

Lelaki yang cukup misterius, meski akhirnya Brian hanya menghiraukan hal tersebut. Tak pernah terpikirkan bahwa lelaki jenaka dan naif seperti Enutra akan berbuat hal yang buruk bagi kerajaan. Apalagi terhadap adiknya.

Mengingat hal-hal tadi, Brian pun tersenyum sesaat.

Seakan rasa sedihnya memudar, ia pun beranjak dari ranjang yang sejak tadi didudukinya. Melangkah beberapa jengkal dan mengambil sebuah buku catatan yang teronggok di meja kayu dekat pintu. Buku dengan sampul kulit coklat bercorak ukiran khas Kerajaan Eternality perlahan ia buka helai demi helai halamannya. Sesekali berhenti sejenak untuk memperhatikan tulisan di dalamnya secara seksama. Terkadang pula ia lewat beberapa lembar kertas demi menemukan sesuatu yang dituju. Tak perlu dijelaskan, ada misi pribadi yang harus ia selesaikan.

~Deg..

Tak ada angin ataupun ombak, tiba-tiba Brian tersungkur. Tangannya bergetar sangat hebat. Pandangan matanya semakin kabur dan cenderung memudar. Keringat dingin menyeruak membasahi sekujur tubuhnya. “Ia kembali lagi!” ucapnya dalam hati.

***

 

“Wooowww.. Lihat itu Vivian. Daratan sudah mulai terlihat. Kita akan segera berlabuh.” seruku sambil menunjuk-nunjuk titik hitam kecil pada cakrawala di hadapan kapal.

Vivian tersenyum disertai anggukan kecil yang menawan. “Sepertinya begitu, akhirnya kita bisa sampai juga di Kerajaan Pacifier.”

“Enutra, kamu benar-benar memalukan. Begitu saja kamu sudah girang?” dengus Mikoto yang sejak tadi duduk di samping Vivian.

“Heh kucing bunting[1] betina. Memangnya kamu tidak muak lama-lama terombang-ambing dengan pemandangan air yang sama dari awal kita berangkat?” tanyaku menggebu-gebu, “Ditambah suasana mengerikan saat badai kemarin yang hampir membuat kapal ini karam. Aku sudah benar-benar muak!”

“Kucing bunting betina?!” nampak urat-urat tegang berdenyut di kepala Mikoto. Tangannya telah mengepal bersiap memukul, namun kemudian tertahan oleh Dionze yang sigap menahan lengan Mikoto di sampingnya.

“Sudah-sudah.” sela Vivian menenangkan, “Daripada harus bertengkar, mari kita rayakan akhir perjalanan kita ini dengan bersulang jus buah racikanku ini.”

Perlahan amarah Mikoto mereda, meskipun tatapan sinisnya masih belum menghilang dari pandanganku.

“Segar sekaliii… Apapun yang Vivian buat memang selalu membuatku bersemangat.”

“Berisik mesum maniak!” Mikoto menimpal.

Kubalas dengan juluran lidah dengan mata yang memicing padanya.

“Oh ya Enutra, apa rencanamu selanjutnya setelah kita sampai di Kerajaan Pacifier ini?” Dionze bertanya sejenak setelah meneguk jus buatan Vivian.

“Kita akan menuju ke Markas Arthemis yang baru di Kota Haiwa. Menemui Clairess untuk menyusun strategi dan mengumpulkan kekuatan untuk menyelamatkan teman-teman pelatihan ksatria aliansi tiga kerajaan yang terjebak di Istana Velika.”

Dionze mengangguk.

“Hmm, Clairess, sudah berapa lama kita tidak bertemu dengannya ya?”

Seketika wajah Mikoto merah padam namun tak dapat berbuat apapun selain menyeruput cepat Jus yang digenggamnya. Sementara Vivian hanya melihatnya dengan senyuman kaku karena sadar akan tingkah aneh Mikoto.

“Kalau tidak salah, sekitar enam bulan yang lalu saat terakhir kita meninggalkannya di Kota Emerald saat itu.” terangku seraya menatap langit, “Semestinya sekarang ia sudah berada di markas Arthemis bersama dengan Amaryl.”

Dionze mengangkat kedua alisnya. “Waktu terasa berjalan sangat singkat, padahal ada banyak peristiwa yang telah kita lalui selama ini.”

“Benar, rasanya baru kemarin kita bertemu dan membantu mereka berdua di Kota Emerald.” Lanjutku seraya menggoyang-goyang lembut gelas jus di genggaman. “Kira-kira bagaimana reaksi mereka nanti setelah bertemu kembali dengan kita?”

“Entahlah, yang jelas kuharapkan mereka berdua tetap akur dan terus menjalani hidup yang terbaik.”

Kali ini, aku mengangguk tanda setuju. Setelah itu kembali hening.

“Ngomong-ngomong, apa kamu masih ingat saat pertama kali kita bertemu?” Tanyaku memulai topik baru.

Seketika Dionze melebarkan senyumnya hingga tampak barisan gigi putih di dalamnya, “Hahaha.. Mana mungkin aku melupakannya. Hampir saja saat itu aku menebasmu ya?”

Aku tersenyum tanggung. “I-iya, kalau saja waktu itu aku tidak memperlihatkan perisai Cerberus-ku, mungkin kamu akan terus menghantam dengan pedang mengerikanmu.”

“Lagipula aneh sekali, tiba-tiba saja ada orang mencurigakan yang muncul dari semak-semak dan langsung meminta untuk berteman.” tawanya masih belum berhenti.

“Benar begitu? Emang aneh sih si mesum ini.” Timpal Mikoto memanasi. “Malah yang lebih menyebalkan lagi waktu pertama kali dia bertemu denganku.” lanjutnya mengarahkan pembicaraan pada Vivian.

Gawat!

“La.. Laaa.. Lalalala.. Gak dengar.. Gak dengar..” cibirku keras agar Vivian tak mendengarnya.

Padahal di sebelah, Vivian hanya senyum terkikih dengan bibir manis yang tertutup telapak tangannya.

“Tenang saja, Enutra. Aku sudah tahu kok ceritanya.”

Seketika wajahku tertoleh kaku dengan tatapan semu kosong dan mulut menganga pada Vivian.

“Begitulah, Vivian. Si mesum ini memang menyebalkan semenjak pertama kali kita bertemu.” Lanjut Mikoto dengan sikap tangan menyilang menutupi bagian dadanya. “Sampai sekarang pun aku tak sudi untuk mengingat-ingat kelakuan si mesum aneh itu.”

Sekali lagi Vivian hanya menimpal dengan kikikan lembut setelah mendengar cerita dari kami semua. Sedangkan aku seakan kehilangan muka di hadapan Vivian, tak kusangka ia sudah mendengar cerita tentang pertemuan awalku dengan Mikoto. Syukurnya, Vivian terlihat santai menanggapinya.

“Kalau Vivian sendiri bagaimana pengalaman pertamamu bertemu dengan si mesum ini? Apa kau tidak merasa jijik dengannya?”

Vivian menggeleng. “Aku justru merasa senang saat pertama kali bertemu dengannya dua belas tahun yang lalu.”

“HAH?? DUA BELAS TAHUN YANG LALU?” seruku dan Mikoto.

“Kenapa kamu juga ikut kaget, Enutra?” tanya Dionze santai.

Spontan tanganku menutup mulut sesaat. “Ma-maksudku.. Eh.. Sudah selama itu ya?” Kilahku terkekeh.

“Iya, kami sebenarnya sudah pernah bertemu saat kecil dulu.” Mata sayunya menatap langit. “Ia telah menolongku ketika aku tersesat dalam Hutan Emerald sendirian.”

Aku hanya mampu menyimak karena ingatan tersebut sama sekali tidak pernah terbesit dalam kepalaku.

“Waktu kecil dulu, keluargaku pernah melakukan kunjungan ke Kota Emerald untuk menemui seorang duke[2] di sana.” Tutur Vivian yang kemudian lanjut meneguk sedikit jus di genggamannya. “Setelah selesai akan urusan tersebut, kemudian kami beristirahat pada sebuah Villa di daerah hutan Emerald. Kebetulan saat itu adalah hari ulang tahunku juga, dan aku meminta pada ayahku untuk menyiapkan perayaan kecil di sana.”

Mungkin ini perasaanku saja, namun ketika Vivian menceritakan kisahnya tersebut, Dionze terus memperhatikanku seolah ada rasa curiga. Aku hanya bisa bepura-pura tak menyadarinya.

“Karena dulu rasa ingin tahuku begitu tinggi, aku mengejar seekor kelinci hingga tersesat jauh ke dalam hutan. Di saat itulah aku pertama kali menemuinya. Ia menenangkanku dengan menangkapkan kelinci yang kukejar dan memberikannya kepadaku. Ia juga menerangkan berbagai cerita satwa dan alam di hutan tersebut. Sikapnya yang begitu ramah telah mengurangi rasa takutku hingga berangsur-angsur menghilang. Sampai akhirnya aku kembali untuk menemui keluargaku saat itu.” Lanjut Vivian yang kemudian tersenyum menatap wajahku yang sepertinya sejak tadi memerah sepenuhnya.

“Tunggu! Apa kamu tidak curiga dengan si mesum itu?” sela Mikoto ketus.

Aku menoleh keras pada Mikoto. “Heyy!!”

Vivian lalu menggenggam lembut tanganku. “Tentu saja tidak, kami baru berumur enam tahun saat itu. Dan dia begitu baik padaku.”

“Vivian, maaf tapi sepertinya aku-..”

Vivian lalu menepuk-nepuk punggung tanganku. “Kamu sudah melupakannya kan? Tak apa, saat itu memang sudah sangat lama sekali, dan kita pun masih begitu muda.” Ia lalu mengangkat genggaman tangan kami lalu meletakkannya di dadanya. “Tapi bagiku pertemuan tersebut sangat berkesan di hatiku.”

Sepertinya wajahku saat ini sudah terlihat sangat merah sekali.

“Baiklah, semua punya kesan masing-masing dengan si mesum itu. Tapi bisakah kita bicarakan topik lain?”

“Ya siapa juga yang mau dibicarakan?? Seolah-olah aku yang jadi tokoh utama di obrolan kali ini.” Balasku mendengus.

Seketika itu gelak tawa pecah di antara kami berempat. Terkadang, suasana hangat seperti ini rasanya tidak ingin segera berlalu.

Banyak peristiwa mengerikan telah kualami di dunia antah berantah ini. Bukan hanya sekadar membuat bulu kuduk merinding, tapi pertaruhan nyawa pun pernah kualami. Sangat berbeda sekali dengan kehidupanku dulu di Bandung. Satu-satunya hal yang kutakuti hanyalah kegagalan saat ujian akhir di sekolahku. Ketimpangannya terlalu jauh.

Di tengah-tengah percakapan nan hangat, tiba-tiba Dionze menepuk-nepuk cepat pada pundakku.

“Enutra, lihat itu!”

Aku pun menoleh ke arah yang ditunjukan, diikuti juga oleh beberapa orang di sekitarku yang penasaran oleh seruan Dionze. Dari arah tersebut tampak beberapa kepulan asap tebal yang membumbung tinggi menuju langit, tepat mengarah pada dermaga berada. Tanganku mencengkeram erat gagang pedang yang tergantung di pinggang. Firasatku kali ini rasanya benar-benar tidak enak.

***



[1] Kata slang untuk istilah hamil

[2] Duke adalah salah satu gelar kebangsawanan yang kedudukannya tepat di bawah raja/king.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar