Kukira sepanjang perjalanan berada di atas laut akan sangat membosankan, ternyata tidak juga. Padahal ini adalah kali pertamanya aku menaiki kapal laut sebesar ini dalam waktu yang cukup lama. Langkah kaki menyusuri dek kapal yang tersusun dari kayu-kayu mahoni. Mengitari setiap sisi kapal yang disuguhi pemandangan cakrawala yang jelas.
Riuh pekik kawanan camar saling menyambut di bawah naungan awan tipis. Melayang-layang mengikuti arah asap cerobong yang menjulang tinggi. Sementara di permukaan ada sekitar lima-enam ekor lumba melompat beriringan. Mereka berenang mengikuti arus riak terpaan dari kapal. Sesekali juga terdengar kikikan seolah saling bergurau mengejar satu sama lain.
Aku terpaku. Kabarnya sore ini kapal akan
berlabuh. Tanpa sadar kedua sudut bibir ini naik menampakkan senyuman tanggung.
Tak lama lagi aku akan meninggalkan kapal ini dengan segala peristiwanya.
Sejak fajar terbit, para kru yang tersisa
sibuk berlarian menyiapkan segala halnya. Wajar saja karena sejak kejadian
Vanator beberapa hari yang lalu mereka kekurangan banyak personil. Meski ada
beberapa sukarelawan yang membantu, tetap saja tak merubah keadaan.
“Enutra, sedang apa kau di sini sendirian?”
terdengar sapaan dari balik pundak.
“Hey, Dionze.” balasku singkat.
“Tidak sedang bersama Vivian?”
Aku menggeleng, “Jujur saja saat ini aku
sangat ingin menemaninya.”
“Memang apa yang terjadi? Apa terjadi
pertengkaran diantara kalian?”
Sesaat hening bersambut angin laut yang
hangat. Menyibak rambut hitamku yang sudah mulai memanjang. Refleks tanganku
kemudian menatanya agar tak menyentuh mata.
“Tidak juga. Hanya saja sekarang Vivian
sedang mandi.” Jawabku tegas.
Dionze hanya menimpal sekadarnya dengan
sebuah anggukan kecil. Lalu berdiri di samping menatap luasnya laut bersender
pada pagar dek.
“Tidak ada niatan untuk pergi mengintip?”
bisik Dionze perlahan.
Sesaat mataku mendelik ke atas.
“Aku tidak mau mati muda, Dionze.” Balasku
singkat.
“Kenapa?”
Angin laut kembali berhembus menerpa wajah.
Terasa lembab dan hangat mengalir pada setiap inchi kulitku.
“Vivian sedang bersama dengan Mikoto di
pemandian air panas kapal ini.”
Hening kembali menyela di antara kami. Hanya
terdengar deburan air yang terhempas oleh buritan kapal.
Dionze menghela napas, “Baiklah, kau benar.
Kalau begitu mari kita sarapan dulu untuk menunggu mereka.”
Sejenak aku terdiam, menatap luasnya laut
yang berbatas cakrawala. Kemudian berbalik seraya berlalu mengikuti Dionze yang
sudah lebih dulu berjalan menuju restoran kapal.
Tak bergeming, hanya menetes satu butir
keringat kecil mengalir di pelipis. “Ngomong-ngomong, percakapan macam apa
barusan?”
***
Temaram lilin kecil berkedip kelap menyuar
ruang kayu selebar tujuh belas jengkal di kedua dindingnya. Membentuk bayangan
beriak seorang individu yang terduduk pada ranjang berangka besi. Dagunya
terantuk di atas kepalan tangannya sendiri hingga kemudian menumpu. Terkadang
punggungnya bergetar ritmik perlahan naik turun.
“Maafkan kakakmu ini, Vivian.”
Dialah Brian Veroka, sang putra mahkota
Kerajaan Eternality sekaligus pembunuh bayaran berjuluk Angelkill. Di balik
tudung kelamnya yang menyungkup, ia sembunyikan wajah sendu meski tak ada yang
menilik.
“Maaf karena aku tak bisa menjelaskan
semuanya padamu. Semua itu terjadi begitu saja, dan kini aku harus kembali
meninggalkanmu.” cakapnya sendirian disertai senggukan kecil yang menyayat.
Vivian, sang adik perempuannya terpaksa harus
ia tinggalkan karena suatu hal. Untuk saat ini, akan sangat berbahaya bila ia
terlalu sering bertemu dengan adiknya tersebut. Juga saat itu, pertempuran
melawan Boraz di anjungan kapal, ia sempat gelisah ketika Vivian berada di
dekatnya. Ada kecemasan berlebih sehingga pertempuran dengan Boraz pun tak bisa
ia maksimalkan dengan baik.
Sesaat ia menoleh pada sebuah botol kecil
seukuran genggaman tangan, berisi cairan hijau semu transparan. Sebuah ramuan
khusus pemulih stamina racikan Vivian. Seketika teringat akan pertemuan
terakhir kalinya bersama Enutra, sang ksatria penjaga Vivian. Benar, Enutra
telah menemuinya beberapa kali selama ia berada di kapal ini. Dialah yang telah
memberikan ramuan tersebut dari Vivian.
Meski seringkali diacuhkan, lelaki itu selalu
antusias setiap kali mengunjunginya. Ada suatu ketika saat ia kembali mencoba
untuk memancing tanya mengenai sebab Brian membunuh ayahnya sendiri serta
alasan menjauhnya ia dari Vivian, namun semua hanya berakhir dengan jawaban
hening darinya. Seolah tak ada yang salah, Enutra pun hanya membalas dengan
senyuman kecil dan kembali mengalihkan topik pembicaraan lain untuk mencairkan
suasana.
Meski hanya beberapa kali,
pertemuan-pertemuan tersebut membuat Brian paham bahwa ksatria bernama Enutra
itu bukanlah orang yang jahat. Padahal ia menyadari, ia bukanlah seorang yang
mudah untuk memercayai siapapun sekalipun orang tersebut terlihat baik di
hadapannya. Ia mengganggap lelaki yang terkesan sangat naif dan penuh semangat
itu cukup pantas untuk menjadi pelindung adiknya. Setidaknya ia juga dapat
dipercaya dalam menjaga rahasia. Vivian masih belum mengetahui keberadaannya.
Bukan tanpa alasan ia berada di kapal ini, meski resiko untuk bertemu dengan
Vivian sangatlah besar. Untuk sekarang, hanya kapal inilah satu-satunya
kendaraan yang mampu membawanya pergi menuju Desa Balero, salah satu desa di
Kerajaan Pacifier.
Di lain hal, kabar mengenai kehebatan Enutra
memang bukan hanya sekadar isapan jempol belaka. Seni berpedang yang ia gunakan
cukup unik dan bertenaga. Gerakannya sangat lincah, seperti bukan manusia.
Meski di awal terlihat kewalahan, namun ketika ia mengeluarkan kemampuan
aslinya, seperti sulit untuk menemukan tandingan yang cukup kuat untuk
mengalahkannya. Sekalipun Brian harus bertarung dengan Enutra, ia memilih untuk
pergi daripada harus bertarung dengannya.
Sesekali ia juga menilai gaya berbicara
Enutra yang dinilai asing untuk seorang penduduk Eternality. Ada beberapa
dialek dan logat yang tak biasa didengar olehnya. Sempat pula terpikir bahwa
lelaki tersebut merupakan pendatang dari negeri lain meski akhirnya terpatahkan
karena fakta asal usulnya yang cukup dikenal di kalangan kerajaan.
Dari yang ia ketahui, sebelum Enutra
dinobatkan sebagai Ksatria Cerberus oleh raja Olympus, lelaki tersebut hanyalah
seorang siswa biasa yang tidak mencolok. Bahkan awalnya Raja Algeas sangat
geram ketika mengetahui ada warganya yang diberi gelar terhormat di Kerajaan
Olympus. Namun akhirnya diredakan oleh Vivian yang saat itu menyarankan untuk
mengundangnya dalam membentuk aliansi ksatria tiga kerajaan untuk melawan
Bangsa Remidi.
Lelaki yang cukup misterius, meski akhirnya
Brian hanya menghiraukan hal tersebut. Tak pernah terpikirkan bahwa lelaki
jenaka dan naif seperti Enutra akan berbuat hal yang buruk bagi kerajaan.
Apalagi terhadap adiknya.
Mengingat hal-hal tadi, Brian pun tersenyum
sesaat.
Seakan rasa sedihnya memudar, ia pun beranjak
dari ranjang yang sejak tadi didudukinya. Melangkah beberapa jengkal dan
mengambil sebuah buku catatan yang teronggok di meja kayu dekat pintu. Buku
dengan sampul kulit coklat bercorak ukiran khas Kerajaan Eternality perlahan ia
buka helai demi helai halamannya. Sesekali berhenti sejenak untuk memperhatikan
tulisan di dalamnya secara seksama. Terkadang pula ia lewat beberapa lembar
kertas demi menemukan sesuatu yang dituju. Tak perlu dijelaskan, ada misi pribadi
yang harus ia selesaikan.
~Deg..
Tak ada angin ataupun ombak, tiba-tiba Brian
tersungkur. Tangannya bergetar sangat hebat. Pandangan matanya semakin kabur
dan cenderung memudar. Keringat dingin menyeruak membasahi sekujur tubuhnya.
“Ia kembali lagi!” ucapnya dalam hati.
***
“Wooowww.. Lihat itu Vivian. Daratan sudah
mulai terlihat. Kita akan segera berlabuh.” seruku sambil menunjuk-nunjuk titik
hitam kecil pada cakrawala di hadapan kapal.
Vivian tersenyum disertai anggukan kecil yang
menawan. “Sepertinya begitu, akhirnya kita bisa sampai juga di Kerajaan
Pacifier.”
“Enutra, kamu benar-benar memalukan. Begitu
saja kamu sudah girang?” dengus Mikoto yang sejak tadi duduk di samping Vivian.
“Heh kucing bunting[1] betina. Memangnya kamu tidak muak lama-lama
terombang-ambing dengan pemandangan air yang sama dari awal kita berangkat?”
tanyaku menggebu-gebu, “Ditambah suasana mengerikan saat badai kemarin yang
hampir membuat kapal ini karam. Aku sudah benar-benar muak!”
“Kucing bunting betina?!” nampak urat-urat
tegang berdenyut di kepala Mikoto. Tangannya telah mengepal bersiap memukul,
namun kemudian tertahan oleh Dionze yang sigap menahan lengan Mikoto di
sampingnya.
“Sudah-sudah.” sela Vivian menenangkan,
“Daripada harus bertengkar, mari kita rayakan akhir perjalanan kita ini dengan
bersulang jus buah racikanku ini.”
Perlahan amarah Mikoto mereda, meskipun
tatapan sinisnya masih belum menghilang dari pandanganku.
“Segar sekaliii… Apapun yang Vivian buat
memang selalu membuatku bersemangat.”
“Berisik mesum maniak!” Mikoto menimpal.
Kubalas dengan juluran lidah dengan mata yang
memicing padanya.
“Oh ya Enutra, apa rencanamu selanjutnya
setelah kita sampai di Kerajaan Pacifier ini?” Dionze bertanya sejenak setelah
meneguk jus buatan Vivian.
“Kita akan menuju ke Markas Arthemis yang
baru di Kota Haiwa. Menemui Clairess untuk menyusun strategi dan mengumpulkan
kekuatan untuk menyelamatkan teman-teman pelatihan ksatria aliansi tiga
kerajaan yang terjebak di Istana Velika.”
Dionze mengangguk.
“Hmm, Clairess, sudah berapa lama kita tidak
bertemu dengannya ya?”
Seketika wajah Mikoto merah padam namun tak
dapat berbuat apapun selain menyeruput cepat Jus yang digenggamnya. Sementara
Vivian hanya melihatnya dengan senyuman kaku karena sadar akan tingkah aneh
Mikoto.
“Kalau tidak salah, sekitar enam bulan yang
lalu saat terakhir kita meninggalkannya di Kota Emerald saat itu.” terangku
seraya menatap langit, “Semestinya sekarang ia sudah berada di markas Arthemis
bersama dengan Amaryl.”
Dionze mengangkat kedua alisnya. “Waktu
terasa berjalan sangat singkat, padahal ada banyak peristiwa yang telah kita
lalui selama ini.”
“Benar, rasanya baru kemarin kita bertemu dan
membantu mereka berdua di Kota Emerald.” Lanjutku seraya menggoyang-goyang
lembut gelas jus di genggaman. “Kira-kira bagaimana reaksi mereka nanti setelah
bertemu kembali dengan kita?”
“Entahlah, yang jelas kuharapkan mereka
berdua tetap akur dan terus menjalani hidup yang terbaik.”
Kali ini, aku mengangguk tanda setuju.
Setelah itu kembali hening.
“Ngomong-ngomong, apa kamu masih ingat saat
pertama kali kita bertemu?” Tanyaku memulai topik baru.
Seketika Dionze melebarkan senyumnya hingga
tampak barisan gigi putih di dalamnya, “Hahaha.. Mana mungkin aku melupakannya.
Hampir saja saat itu aku menebasmu ya?”
Aku tersenyum tanggung. “I-iya, kalau saja
waktu itu aku tidak memperlihatkan perisai Cerberus-ku, mungkin kamu akan terus
menghantam dengan pedang mengerikanmu.”
“Lagipula aneh sekali, tiba-tiba saja ada
orang mencurigakan yang muncul dari semak-semak dan langsung meminta untuk
berteman.” tawanya masih belum berhenti.
“Benar begitu? Emang aneh sih si mesum ini.”
Timpal Mikoto memanasi. “Malah yang lebih menyebalkan lagi waktu pertama kali
dia bertemu denganku.” lanjutnya mengarahkan pembicaraan pada Vivian.
Gawat!
“La.. Laaa.. Lalalala.. Gak dengar.. Gak
dengar..” cibirku keras agar Vivian tak mendengarnya.
Padahal di sebelah, Vivian hanya senyum
terkikih dengan bibir manis yang tertutup telapak tangannya.
“Tenang saja, Enutra. Aku sudah tahu kok
ceritanya.”
Seketika wajahku tertoleh kaku dengan tatapan
semu kosong dan mulut menganga pada Vivian.
“Begitulah, Vivian. Si mesum ini memang
menyebalkan semenjak pertama kali kita bertemu.” Lanjut Mikoto dengan sikap
tangan menyilang menutupi bagian dadanya. “Sampai sekarang pun aku tak sudi
untuk mengingat-ingat kelakuan si mesum aneh itu.”
Sekali lagi Vivian hanya menimpal dengan
kikikan lembut setelah mendengar cerita dari kami semua. Sedangkan aku seakan
kehilangan muka di hadapan Vivian, tak kusangka ia sudah mendengar cerita
tentang pertemuan awalku dengan Mikoto. Syukurnya, Vivian terlihat santai
menanggapinya.
“Kalau Vivian sendiri bagaimana pengalaman
pertamamu bertemu dengan si mesum ini? Apa kau tidak merasa jijik dengannya?”
Vivian menggeleng. “Aku justru merasa senang
saat pertama kali bertemu dengannya dua belas tahun yang lalu.”
“HAH?? DUA BELAS TAHUN YANG LALU?” seruku dan
Mikoto.
“Kenapa kamu juga ikut kaget, Enutra?” tanya
Dionze santai.
Spontan tanganku menutup mulut sesaat.
“Ma-maksudku.. Eh.. Sudah selama itu ya?” Kilahku terkekeh.
“Iya, kami sebenarnya sudah pernah bertemu
saat kecil dulu.” Mata sayunya menatap langit. “Ia telah menolongku ketika aku
tersesat dalam Hutan Emerald sendirian.”
Aku hanya mampu menyimak karena ingatan
tersebut sama sekali tidak pernah terbesit dalam kepalaku.
“Waktu kecil dulu, keluargaku pernah
melakukan kunjungan ke Kota Emerald untuk menemui seorang duke[2] di sana.” Tutur Vivian yang kemudian lanjut
meneguk sedikit jus di genggamannya. “Setelah selesai akan urusan tersebut,
kemudian kami beristirahat pada sebuah Villa di daerah hutan Emerald. Kebetulan
saat itu adalah hari ulang tahunku juga, dan aku meminta pada ayahku untuk
menyiapkan perayaan kecil di sana.”
Mungkin ini perasaanku saja, namun ketika
Vivian menceritakan kisahnya tersebut, Dionze terus memperhatikanku seolah ada
rasa curiga. Aku hanya bisa bepura-pura tak menyadarinya.
“Karena dulu rasa ingin tahuku begitu tinggi,
aku mengejar seekor kelinci hingga tersesat jauh ke dalam hutan. Di saat itulah
aku pertama kali menemuinya. Ia menenangkanku dengan menangkapkan kelinci yang
kukejar dan memberikannya kepadaku. Ia juga menerangkan berbagai cerita satwa
dan alam di hutan tersebut. Sikapnya yang begitu ramah telah mengurangi rasa
takutku hingga berangsur-angsur menghilang. Sampai akhirnya aku kembali untuk
menemui keluargaku saat itu.” Lanjut Vivian yang kemudian tersenyum menatap
wajahku yang sepertinya sejak tadi memerah sepenuhnya.
“Tunggu! Apa kamu tidak curiga dengan si
mesum itu?” sela Mikoto ketus.
Aku menoleh keras pada Mikoto. “Heyy!!”
Vivian lalu menggenggam lembut tanganku.
“Tentu saja tidak, kami baru berumur enam tahun saat itu. Dan dia begitu baik
padaku.”
“Vivian, maaf tapi sepertinya aku-..”
Vivian lalu menepuk-nepuk punggung tanganku.
“Kamu sudah melupakannya kan? Tak apa, saat itu memang sudah sangat lama
sekali, dan kita pun masih begitu muda.” Ia lalu mengangkat genggaman tangan
kami lalu meletakkannya di dadanya. “Tapi bagiku pertemuan tersebut sangat
berkesan di hatiku.”
Sepertinya wajahku saat ini sudah terlihat
sangat merah sekali.
“Baiklah, semua punya kesan masing-masing
dengan si mesum itu. Tapi bisakah kita bicarakan topik lain?”
“Ya siapa juga yang mau dibicarakan??
Seolah-olah aku yang jadi tokoh utama di obrolan kali ini.” Balasku mendengus.
Seketika itu gelak tawa pecah di antara kami
berempat. Terkadang, suasana hangat seperti ini rasanya tidak ingin segera
berlalu.
Banyak peristiwa mengerikan telah kualami di
dunia antah berantah ini. Bukan hanya sekadar membuat bulu kuduk merinding,
tapi pertaruhan nyawa pun pernah kualami. Sangat berbeda sekali dengan
kehidupanku dulu di Bandung. Satu-satunya hal yang kutakuti hanyalah kegagalan
saat ujian akhir di sekolahku. Ketimpangannya terlalu jauh.
Di tengah-tengah percakapan nan hangat,
tiba-tiba Dionze menepuk-nepuk cepat pada pundakku.
“Enutra, lihat itu!”
Aku pun menoleh ke arah yang ditunjukan,
diikuti juga oleh beberapa orang di sekitarku yang penasaran oleh seruan
Dionze. Dari arah tersebut tampak beberapa kepulan asap tebal yang membumbung
tinggi menuju langit, tepat mengarah pada dermaga berada. Tanganku mencengkeram
erat gagang pedang yang tergantung di pinggang. Firasatku kali ini rasanya
benar-benar tidak enak.
***
[1] Kata slang untuk istilah hamil
[2] Duke adalah salah satu gelar kebangsawanan yang kedudukannya tepat
di bawah raja/king.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar