16 Februari 2025

DUNIA SEMU #46

CHAPTER 46 - RELIK

Deru jangkar besi menghempas permukaan laut, menciptakan riak besar yang menciprat liar ke udara. Sebuah kapal besar perlahan berlabuh di dermaga kayu yang terlihat tua dan rapuh. Tak ada sambutan meriah. Tak ada suara kerumunan manusia. Hening, seolah tempat ini telah lama ditinggalkan oleh kehidupan. Hingga akhirnya, satu per satu penumpang turun, menapakkan kaki di tanah yang terasa dingin dan asing.

Udara di sekitarnya muram, kelam. Matahari masih jauh dari waktu tenggelam, namun cahayanya terasa redup, terhalang oleh kepulan asap tebal yang melayang di udara. Pandangan menjadi kabur. Di mana dahulu rimbunan pepohonan menghijau, kini hanya tersisa reruntuhan bangunan yang legam, berubah menjadi arang dan bara yang masih membara.

“Rekan-rekan, tetap waspada. Kita belum tahu apa yang terjadi, tapi pastikan keselamatan Tuan Putri adalah prioritas utama,” seruku, suaraku menggema, memberi perintah pada seluruh pasukan Vivian.

Mereka merapatkan barisan, tangan-tangan kokoh menggenggam senjata dengan erat. Dengan kompak, para pejuang mengangguk, menerima komandoku. Vivian, berada tepat di tengah, dilindungi formasi berbentuk huruf 'V'. Garda terdepan diisi oleh para pengguna tameng seperti Dionze, sementara di belakang mereka berdiri para ahli pedang. Di barisan belakang, para ahli tenaga dalam seperti Mikoto bersiap merapalkan mantra. Aku sendiri berdiri di samping Dionze, memimpin dengan pedang terhunus.

“Dionze, pantau jalur teraman untuk kita,” pintaku.

Dionze, sang Jenderal Olympus, mengangguk sigap. Ia mengangkat tameng logam besarnya, melindungi tubuhnya sambil melangkah lincah melewati reruntuhan. Gerakannya cepat, hampir seperti bayangan, meskipun tubuhnya dibalut baju zirah yang terlihat berat. Setelah beberapa saat, ia berhenti, memutar tubuh, dan mengangkat jempol tinggi ke udara, memberi isyarat.

“Baik. Jalur aman. Kita bergerak sekarang!” seruku. “Tetap awasi sekitar. Musuh bisa datang dari mana saja.”

Kami bergerak maju dengan formasi ketat. Setiap mata mengawasi ke segala penjuru, setiap langkah penuh kehati-hatian. Bau hangus menyengat menusuk hidung. Asap tebal membuat paru-paru terasa sesak. Panas bara api yang masih menyala di serpihan kayu seolah menancap di kulit. Di antara reruntuhan, jasad-jasad manusia yang hangus terbakar tergeletak tak beraturan. Aku memalingkan wajah Vivian, tak ingin dia melihat kekejian ini.

Langkah kami terhenti saat Dionze melambaikan tangan. Dia masih berjaga-jaga, matanya tajam memindai setiap sudut.

“Dionze, kau pernah ke kota ini sebelumnya?” tanyaku.

Dionze mengangguk. “Ya. Kota ini dulu ramai, penuh manusia. Saya ke sini untuk pertemuan Arthemis membahas perdamaian dengan Kerajaan Eternality.”

Aku memandang reruntuhan di sekeliling kami. Sulit dipercaya kota yang pernah hidup kini tinggal puing-puing genosida.

Sebuah bayangan besar melesat cepat dari belakangku, mencuri perhatianku. Aku mendongak. Seekor makhluk raksasa, tubuhnya seperti elang bersayap lebar namun berkaki empat seperti singa, sedang melayang di udara, bersiap menyerang.

“Posisi siaga!” teriakku.

~KOAAAAK!

Makhluk itu menukik tajam, paruhnya terbuka, memancarkan energi cahaya yang berkumpul menjadi bola besar.

~SYYUUUNG! DHUAAARRR!

Serangan energi itu menghantam para pejuang, melemparkan mereka ke belakang meskipun sudah berlindung di balik tameng. Para ahli tenaga dalam merapalkan mantra, menembakkan energi balasan. Namun, serangan mereka meleset. Makhluk itu terlalu cepat, tubuh raksasanya bergerak lincah seperti angin.

“Dionze, bantu aku!” seruku.

Tanpa ragu, Dionze memasang kuda-kuda rendah. Aku berlari, berpijak pada tamengnya, dan ia mendorongku ke udara dengan kekuatan besar. Dengan pedang terhunus, aku melesat menuju makhluk itu, mengincar jantungnya. Namun, tepat sebelum pedangku menghujam, makhluk itu menghilang, muncul kembali dari samping dan menyerangku dengan cakarnya. Tubuhku terlempar keras, menghantam dinding bangunan hingga retak.

“Enutra!” Vivian menjerit, mencoba mengejarku.

“Jangan tinggalkan posisi!” teriakku, menahan nyeri.

Makhluk itu kini menatap Vivian, bersiap menyerang. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku lemas, kekuatanku seolah mengkhianatiku di saat kritis.

Tiba-tiba, tameng hexagonal transparan muncul, melindungi Vivian dari serangan. Seorang wanita berjubah putih dengan lambang Arthemis berdiri di depan sebuah bangunan yang masih utuh, tongkat energi terangkat tinggi.

“Kalian semua, cepat masuk ke bangunan ini!” serunya lantang.

 

Tanpa ragu, kami bergerak mengikuti arahannya.

***

 

Kami bergegas masuk ke dalam bangunan yang ditunjukkan Clairess. Semacam gedung pertunjukan seni berinterior kokoh, dengan dinding-dinding yang memancarkan cahaya samar dari pelindung energi. Udara di dalam terasa lebih tenang, seolah-olah waktu melambat meskipun ancaman masih membayangi.

Dari dalam bangunan, ada lebih dari lima belas orang yang sudah berada di sini lebih dulu, sepuluh orang diantaranya masing-masing berdiri secara terpisah-pisah menghadap dinding sambil menempelkan telapak tangannya. Ketika aku melangkah lebih jauh ke dalam, sesosok yang kukenal menghentikan langkahku. Amaryl. Rambut sepundaknya yang berwarna kemerahan memantulkan cahaya pelindung energi, dan matanya, hijau terang seperti zamrud, memandangku dengan campuran keterkejutan dan kebahagiaan.

“Kak Enutra?” suaranya lembut, hampir berbisik, namun membawa beban emosi yang tak terkatakan.

 

Aku hanya menampakkan senyuman tipis. Melihatnya sekarang, mengenakan jubah Arthemis, adalah pengingat kuat betapa Clairess telah berhasil mengubahnya menjadi sosok yang lebih dewasa dalam waktu yang singkat.

“Amaryl...” kataku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan.

Dia melangkah mendekat, lalu tanpa peringatan, memelukku erat. “Kau masih hidup!” katanya, hampir menangis. “Aku pikir aku kehilanganmu selamanya setelah mendengar kejatuhan Kota Velika oleh Bangsa Remidi.”

Aku membalas pelukannya, mencoba menenangkan. Meskipun pertemuan terakhir sebelumnya hanya sesaat, Amaryl sudah terasa menjadi adik perempuan bagiku, meskipun awal pertemuan kami dulu tak begitu baik.

“Tenang saja,” kataku pelan. “Aku tak semudah itu mati di tangan mereka.”

Amaryl mundur sedikit, menyeka air matanya dengan punggung tangan, kemudian tersenyum kecil. “Syukurlah. Aku benar-benar merasa senang kau di sini. Sekarang kita bisa melawan Bangsa Remidi bersama.”

Sebelum aku sempat menjawab, Clairess mendekat dan menyela dengan tegas. “Amaryl, kita punya hal yang lebih mendesak sekarang. Ini bukan waktu untuk bernostalgia.”

Amaryl mengangguk, wajahnya berubah serius, meskipun aku masih bisa melihat sisa emosi yang belum mereda.

Clairess memimpin kami ke sebuah meja besar di atas sebuah panggung pertunjukan. Di sana, anggota-anggota Arthemis lainnya sudah menunggu. Sekilas secara awam, terlihat bahwa mereka adalah para petarung terbaik dengan masing-masing keunikan dan kekuatan luar biasa.

“Ini adalah pasukan inti kami,” ujar Clairess memperkenalkan. “Kalian sudah mengenal Amaryl. Yang di sebelahnya adalah Gaius, seorang ahli strategi dengan kemampuan membaca pola pergerakan musuh.”

Gaius, pria dengan rambut abu-abu pendek dan wajah tegas, hanya mengangguk singkat. Di hadapannya ada peta besar dengan catatan-catatan kecil yang tertulis rapi.

“Di sebelah Gaius, ada Mira dan Aegir,” lanjut Clairess.

Mira, seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan mata tajam, memberi anggukan hormat. Tangannya yang bersarung kulit mengelus gagang dua pedang kembar di pinggangnya. Aegir, di sisi lain, adalah pria bertubuh besar dengan tameng besar di punggungnya, mirip dengan Dionze, meskipun lebih berotot.

“Terakhir, ada Elivara, ahli pengobatan dan pelindung energi kami,” ujar Clairess, menunjuk seorang wanita muda dengan wajah lembut. Dia sedang memeriksa salah satu ahli tenaga dalam yang kelelahan.

“Pasukan kecil ini adalah apa yang tersisa dari Arthemis,” lanjut Clairess dengan nada serius. “Kami kehilangan banyak dalam perang ini. Setelah Kota Soracca jatuh saat Bangsa Remidi datang pertama kali, Kota Haiwa yang menjadi lokasi markas cadangan Arthemis pun ikut jatuh bulan lalu oleh serangan-serangan pasukan dan monster Bangsa Remidi. Tapi jangan khawatir, mereka yang tersisa adalah yang terbaik.”

Aku mengangguk, mengingat betapa kuatnya mereka, namun juga menyadari bahwa kami semua harus bersatu jika ingin memiliki peluang melawan bangsa Remidi.

“Enutra, aku dengar kau telah berhasil menghancurkan kubah Bangsa Remidi di hutan Emerald. Apa benar begitu?” tanya Clairess penasaran.

Aku mengangguk, “Betul, tapi aku tidak sendiri saat itu.”

“Bagus.” Clairess menyela, “Setidaknya kita punya peluang untuk menang dari mereka saat ini. Ditambah dengan pasukan yang kalian bawa saat ini.”

“Tapi tunggu, apa yang sebenarnya kau rencanakan? Bukankah ini terlalu terburu-buru.”

Clairess kemudian membentangkan peta besar di meja, “Kita tidak bisa berlama-lama di sini,” kemudian menunjuk beberapa lokasi strategis. “Bangsa Remidi telah menempatkan pasukan mereka pada empat jalan utama penghubung Kota Haiwa dengan daerah lain.”

“Tunggu-tunggu maksudnya bagaimana?” potong Dionze di tengah penjelasan Clairess. “Maksud tujuan kami ke tempat ini sebenarnya adalah meminta bantuan Arthemis untuk menghancurkan kubah baru Bangsa Remidi yang baru di Kota Velika.”

Clairess menatap dalam mata Dionze selama kurang lebih lima detik. Sekilas Mikoto yang ada di sampingnya mengernyitkan dahi melihat tingkah Clairess.

“Tolong dengarkan aku dulu sebentar.” terang Clairess melanjutkan, “Ada hal yang lebih penting untuk kita selesaikan dibandingkan dengan menyelamatkan Kota Velika.”

“Hey, jaga omonganmu! Ada Putri Vivian di sini!” bentakku pada Clairess.

“Justru karena ada Putri Vivian di sini, akan kuberitahu semua.” Clairess menghela napas panjang, “Mohon maaf tuan putri, tapi anda adalah kunci untuk bisa mengalahkan Bangsa Remidi.”

Sesaat keadaan menjadi hening. Aku melirik Vivian yang duduk di sisiku. Dia tetap tenang meskipun semua mata tertuju padanya.

“Semua ini baru diketahui setelah salah satu dari mata-mata kami melapor sekembalinya dari Soracca. Putri Vivian yang merupakan keturunan dari pemimpin Klan Veroka adalah penjaga utama dari Relik Vitae, suatu relik yang dapat menyegel seluruh Bangsa Remidi pergi dari dunia kita.”

“Tapi, keturunan dari pemimpin klan Veroka bukan hanya aku, ada kakakku juga, Brian, yang sepertinya juga sudah berada di kota ini.” sela Vivian ditengah penjelasan.

“Betul, namun Brian sudah tidak lagi menjadi penjaga utama karena ia telah melanggar sumpahnya. Keberadaannya sudah tidak menjadi ancaman para Bangsa Remidi lagi.” lanjut Clairess menjelaskan.

Kini sebagian puzzle di kepalaku sudah mulai terhubung, jadi itukah sebab mengapa saat di Velika dulu Vivian berkali-kali sempat mengalami penculikan hingga terakhir disekap dan disiksa dengan dalih menanyakan keberadaan Brian setelah Istana Velika jatuh. Serta penyebab kepergian sang kakak dari keluarga kerajaan pun kemungkinan ada hubungannya dengan Relik Vitae yang dimaksud ini. Hanya kini ada pertanyaan yang mengganjal dipikiranku, mengapa saat itu Sern seolah membiarkan kami saat aku membawa pergi Vivian dari istana Velika? Mungkinkah saat itu Sern belum mengetahui bahwa status penjaga utama Relik Vitae sudah tidak lagi melekat pada Brian?

“Vivian, apa kamu sebenarnya sudah tahu tentang semua ini sebelumnya?” tanyaku pelan pada sang putri Kerajaan Eternality.

“Tidak semuanya, hanya memang benar dulu ayahku pernah berkata bahwa dulu wilayah kerajaan yang kami miliki merupakan hadiah atas jasa perlindungan dari suatu relik. Namun aku tidak begitu paham detilnya karena ayahku belum menceritakan apa-apa lagi sebelum wafatnya.” terang Vivian.

“Dari info yang kami dapatkan relik tersebut ada di sebuah desa di timur dari Kota Haiwa ini, namanya adalah Desa Balero.” jelas Claires kembali. “Jika kita bisa mencapainya sebelum mereka, kita punya peluang untuk segera menyelesaikan ini semua.”

“Kita harus bergerak cepat,” ujar Gaius dengan suara berat. “Musuh akan terus mengincar Putri Vivian setelah mereka tahu beliau adalah kunci.”

Aku bisa melihat tekad di matanya, meskipun aku tahu dia juga takut.

Ketika kami sedang menyusun strategi, salah seorang ahli tenaga dalam tiba-tiba terjatuh. Energi pelindung bangunan mulai meredup, menyebabkan kilauan di dinding memudar.

“Tidak...” gumam Clairess, berlari menghampiri ahli itu. “Kau butuh istirahat.”

“Saya tidak bisa... mereka akan menyerang...” jawabnya dengan suara lemah.

Dan benar saja, sebuah ledakan mengguncang bangunan. Suara pekik keras menggema dari luar, disusul dengan serangkaian dentuman yang memekakkan telinga.

“Serangan!” teriakku.

Kami semua bersiap. Dionze dan Aegir segera berdiri di depan pintu dengan tameng mereka, Mira pun menarik pedang kembarnya. Clairess dan Elivara berusaha menstabilkan pelindung energi.

Sementara itu para pejuang Vivian juga dengan sigap membentuk formasi untuk melindungi sang putri di tengahnya.

Aku melirik Amaryl, yang berdiri di sebelahku dengan ekspresi marah namun penuh keberanian. “Kali ini, kita lawan mereka bersama, kak.” katanya, memegang tongkat tenaga dalamnya.

Aku mengangguk, mencabut pedangku. “Bersiaplah. Kali ini, kita tidak akan mundur.”

***

 

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma asin dari laut yang mulai tenang. Di tepi hutan pesisir, dua sosok duduk di sekitar api kecil. Zekko memandangi batu kristal di tangannya, permukaannya bersinar lembut di bawah sinar rembulan. Di sebelahnya, Riki mengikat kembali tali busur yang mulai aus, wajahnya penuh konsentrasi.

“Kita sudah melewati setengah perjalanan, tapi rasanya beban ini semakin berat,” ujar Zekko, menggenggam kristal itu lebih erat.

“Kau tidak sendiri,” balas Riki tanpa mengalihkan pandangannya dari busurnya. “Batu itu bukan hanya tanggung jawabmu. Ini tanggung jawab kita, untuk Desa Kalita, untuk semua yang telah mereka hancurkan.”

Zekko mengangguk pelan, namun pikirannya terlempar kembali ke tiga bulan yang lalu. Serangan Bangsa Remidi datang di tengah kekacauan besar. Saat itu, mereka, bersama Genba, guru besar mereka, serta kelompok pejuang lainnya, sedang menggempur markas Tyrone. Tyrone, pemimpin pasukan Remidi yang terkenal kejam, akhirnya ditumbangkan oleh Enutra, keponakan dari Genba, setelah pertempuran sengit. Namun kemenangan itu terasa hambar bagi Zekko dan Riki, karena di waktu yang sama, Desa Kalita diserang oleh pasukan Bangsa Remidi yang lain.

“Batu kristal ini adalah warisan terakhir Kalita,” kata Zekko, memecah kesunyian. “Genba mempertaruhkannya di tangan kita karena dia percaya kita bisa membawa harapan ini ke tempat yang aman. Tapi, kadang aku merasa tidak cukup kuat untuk melindunginya.”

Riki menghentikan tangannya, menatap Zekko dengan sorot mata tegas. “Jangan pernah meragukan dirimu, Zek. Genba memilihmu karena dia tahu kau bisa. Kita bisa. Dan sekarang, satu-satunya cara untuk menghormati pengorbanannya adalah memastikan batu ini sampai ke tempat yang tepat.”

Tujuan mereka kini adalah Kota Haiwa, tempat di mana kelompok Arthemis sedang bersiap membangun aliansi untuk melawan Bangsa Remidi. Meski belum bertemu langsung dengan mereka, kabar tentang kelompok itu membawa secercah harapan.

Dua minggu perjalanan melintasi laut dengan sampan kecil buatan mereka sendiri telah menguji batas ketahanan fisik dan mental. Kini, perjalanan darat menuju Haiwa membawa tantangan baru. Hutan di pesisir Kerajaan Pacifier, yang mereka lalui sekarang, terkenal sebagai wilayah berbahaya yang dipenuhi monster dan patroli Bangsa Remidi.

“Riki, kau masih ingat kata-kata terakhir Genba sebelum kita menyerang markas Tyrone?” tanya Zekko tiba-tiba.

“Tentu,” jawab Riki, senyumnya tipis namun penuh emosi. “Dia bilang, ‘Panah kalian adalah harapan terakhir Desa Kalita. Tariklah dengan keberanian, dan lepaskan dengan keyakinan.’”

Zekko menghela napas panjang. “Dia benar. Panah kita tidak hanya untuk melindungi diri. Ini adalah janji kepada semua orang yang telah pergi. Mereka tidak mati sia-sia.”

Langkah mereka perlahan membawa mereka mendekati batas hutan menuju lembah terbuka.

“Kita harus berhenti di sini untuk malam ini,” kata Riki, memeriksa medan di sekitarnya. “Tidak bijak masuk ke lembah saat gelap. Kita butuh energi untuk menghadapi apa pun yang menunggu di depan.”

Mereka membangun tempat perlindungan kecil di bawah rerimbunan pohon, berusaha menyembunyikan api agar tidak menarik perhatian. Sementara itu, Zekko terus memandangi batu kristal di tangannya, seolah-olah mencari petunjuk atau jawaban.

“Zek,” Riki memanggil pelan. “Apa menurutmu kita akan bertemu dengan Enutra di Haiwa?”

Zekko terdiam sejenak. “Mungkin. Dia punya tujuan yang sama dengan kita, melawan Bangsa Remidi. Tapi untuk sekarang, kita fokus ke langkah berikutnya. Batu ini harus sampai di tangan Arthemis.”

Riki mengangguk setuju. Dia mengeluarkan satu anak panah, memeriksa ujungnya, dan menggenggamnya erat. “Panah kita masih punya tugas besar. Ini belum selesai.”

Malam itu, mereka beristirahat dengan gelisah, sadar bahwa perjalanan ke Haiwa bukanlah akhir, melainkan awal dari pertempuran yang lebih besar. Batu kristal di tangan mereka adalah kunci untuk membangun kembali Desa Kalita, tetapi juga simbol perlawanan terhadap kejahatan yang telah menghancurkan kehidupan mereka.

Di bawah cahaya bulan, dua pemanah dari Desa Kalita mempersiapkan diri untuk pertempuran yang akan datang. Dengan panah mereka, mereka bersumpah untuk menuntaskan dendam dan mengembalikan harapan bagi masa depan yang cerah. Malam ini, mereka bukan hanya dua pejuang. Mereka adalah harapan terakhir Desa Kalita.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar