CHAPTER 46 - RELIK
Udara di sekitarnya muram, kelam. Matahari masih jauh dari waktu tenggelam, namun cahayanya terasa redup, terhalang oleh kepulan asap tebal yang melayang di udara. Pandangan menjadi kabur. Di mana dahulu rimbunan pepohonan menghijau, kini hanya tersisa reruntuhan bangunan yang legam, berubah menjadi arang dan bara yang masih membara.
“Rekan-rekan, tetap waspada. Kita belum tahu apa yang terjadi, tapi
pastikan keselamatan Tuan Putri adalah prioritas utama,” seruku, suaraku
menggema, memberi perintah pada seluruh pasukan Vivian.
Mereka merapatkan barisan, tangan-tangan kokoh menggenggam senjata dengan
erat. Dengan kompak, para pejuang mengangguk, menerima komandoku. Vivian,
berada tepat di tengah, dilindungi formasi berbentuk huruf 'V'. Garda terdepan
diisi oleh para pengguna tameng seperti Dionze, sementara di belakang mereka
berdiri para ahli pedang. Di barisan belakang, para ahli tenaga dalam seperti
Mikoto bersiap merapalkan mantra. Aku sendiri berdiri di samping Dionze,
memimpin dengan pedang terhunus.
“Dionze, pantau jalur teraman untuk kita,” pintaku.
Dionze, sang Jenderal Olympus, mengangguk sigap. Ia mengangkat tameng logam
besarnya, melindungi tubuhnya sambil melangkah lincah melewati reruntuhan.
Gerakannya cepat, hampir seperti bayangan, meskipun tubuhnya dibalut baju zirah
yang terlihat berat. Setelah beberapa saat, ia berhenti, memutar tubuh, dan
mengangkat jempol tinggi ke udara, memberi isyarat.
“Baik. Jalur aman. Kita bergerak sekarang!” seruku. “Tetap awasi sekitar.
Musuh bisa datang dari mana saja.”
Kami bergerak maju dengan formasi ketat. Setiap mata mengawasi ke segala
penjuru, setiap langkah penuh kehati-hatian. Bau hangus menyengat menusuk
hidung. Asap tebal membuat paru-paru terasa sesak. Panas bara api yang masih
menyala di serpihan kayu seolah menancap di kulit. Di antara reruntuhan,
jasad-jasad manusia yang hangus terbakar tergeletak tak beraturan. Aku
memalingkan wajah Vivian, tak ingin dia melihat kekejian ini.
Langkah kami terhenti saat Dionze melambaikan tangan. Dia masih
berjaga-jaga, matanya tajam memindai setiap sudut.
“Dionze, kau pernah ke kota ini sebelumnya?” tanyaku.
Dionze mengangguk. “Ya. Kota ini dulu ramai, penuh manusia. Saya ke sini
untuk pertemuan Arthemis membahas perdamaian dengan Kerajaan Eternality.”
Aku memandang reruntuhan di sekeliling kami. Sulit dipercaya kota yang
pernah hidup kini tinggal puing-puing genosida.
Sebuah bayangan besar melesat cepat dari belakangku, mencuri perhatianku.
Aku mendongak. Seekor makhluk raksasa, tubuhnya seperti elang bersayap lebar
namun berkaki empat seperti singa, sedang melayang di udara, bersiap menyerang.
“Posisi siaga!” teriakku.
~KOAAAAK!
Makhluk itu menukik tajam, paruhnya terbuka, memancarkan energi cahaya yang
berkumpul menjadi bola besar.
~SYYUUUNG! DHUAAARRR!
Serangan energi itu menghantam para pejuang, melemparkan mereka ke belakang
meskipun sudah berlindung di balik tameng. Para ahli tenaga dalam merapalkan
mantra, menembakkan energi balasan. Namun, serangan mereka meleset. Makhluk itu
terlalu cepat, tubuh raksasanya bergerak lincah seperti angin.
“Dionze, bantu aku!” seruku.
Tanpa ragu, Dionze memasang kuda-kuda rendah. Aku berlari, berpijak pada
tamengnya, dan ia mendorongku ke udara dengan kekuatan besar. Dengan pedang
terhunus, aku melesat menuju makhluk itu, mengincar jantungnya. Namun, tepat
sebelum pedangku menghujam, makhluk itu menghilang, muncul kembali dari samping
dan menyerangku dengan cakarnya. Tubuhku terlempar keras, menghantam dinding
bangunan hingga retak.
“Enutra!” Vivian menjerit, mencoba mengejarku.
“Jangan tinggalkan posisi!” teriakku, menahan nyeri.
Makhluk itu kini menatap Vivian, bersiap menyerang. Jantungku berdegup
kencang. Tubuhku lemas, kekuatanku seolah mengkhianatiku di saat kritis.
Tiba-tiba, tameng hexagonal transparan muncul, melindungi Vivian dari
serangan. Seorang wanita berjubah putih dengan lambang Arthemis berdiri di
depan sebuah bangunan yang masih utuh, tongkat energi terangkat tinggi.
“Kalian semua, cepat masuk ke bangunan ini!” serunya lantang.
Tanpa ragu, kami bergerak mengikuti arahannya.
***
Kami bergegas
masuk ke dalam bangunan yang ditunjukkan Clairess. Semacam gedung pertunjukan
seni berinterior kokoh, dengan dinding-dinding yang memancarkan cahaya samar
dari pelindung energi. Udara di dalam terasa lebih tenang, seolah-olah waktu
melambat meskipun ancaman masih membayangi.
Dari dalam
bangunan, ada lebih dari lima belas orang yang sudah berada di sini lebih dulu,
sepuluh orang diantaranya masing-masing berdiri secara terpisah-pisah menghadap
dinding sambil menempelkan telapak tangannya. Ketika aku melangkah lebih jauh
ke dalam, sesosok yang kukenal menghentikan langkahku. Amaryl. Rambut
sepundaknya yang berwarna kemerahan memantulkan cahaya pelindung energi, dan
matanya, hijau terang seperti zamrud, memandangku dengan campuran keterkejutan
dan kebahagiaan.
“Kak Enutra?”
suaranya lembut, hampir berbisik, namun membawa beban emosi yang tak
terkatakan.
Aku hanya
menampakkan senyuman tipis. Melihatnya sekarang, mengenakan jubah Arthemis,
adalah pengingat kuat betapa Clairess telah berhasil mengubahnya menjadi sosok
yang lebih dewasa dalam waktu yang singkat.
“Amaryl...”
kataku, suaraku nyaris tenggelam dalam keheningan.
Dia melangkah
mendekat, lalu tanpa peringatan, memelukku erat. “Kau masih hidup!” katanya,
hampir menangis. “Aku pikir aku kehilanganmu selamanya setelah mendengar
kejatuhan Kota Velika oleh Bangsa Remidi.”
Aku membalas
pelukannya, mencoba menenangkan. Meskipun pertemuan terakhir sebelumnya hanya
sesaat, Amaryl sudah terasa menjadi adik perempuan bagiku, meskipun awal
pertemuan kami dulu tak begitu baik.
“Tenang
saja,” kataku pelan. “Aku tak semudah itu mati di tangan mereka.”
Amaryl mundur
sedikit, menyeka air matanya dengan punggung tangan, kemudian tersenyum kecil.
“Syukurlah. Aku benar-benar merasa senang kau di sini. Sekarang kita bisa
melawan Bangsa Remidi bersama.”
Sebelum aku
sempat menjawab, Clairess mendekat dan menyela dengan tegas. “Amaryl, kita
punya hal yang lebih mendesak sekarang. Ini bukan waktu untuk bernostalgia.”
Amaryl
mengangguk, wajahnya berubah serius, meskipun aku masih bisa melihat sisa emosi
yang belum mereda.
Clairess
memimpin kami ke sebuah meja besar di atas sebuah panggung pertunjukan. Di
sana, anggota-anggota Arthemis lainnya sudah menunggu. Sekilas secara awam,
terlihat bahwa mereka adalah para petarung terbaik dengan masing-masing
keunikan dan kekuatan luar biasa.
“Ini adalah
pasukan inti kami,” ujar Clairess memperkenalkan. “Kalian sudah mengenal
Amaryl. Yang di sebelahnya adalah Gaius, seorang ahli strategi dengan kemampuan
membaca pola pergerakan musuh.”
Gaius, pria
dengan rambut abu-abu pendek dan wajah tegas, hanya mengangguk singkat. Di
hadapannya ada peta besar dengan catatan-catatan kecil yang tertulis rapi.
“Di sebelah
Gaius, ada Mira dan Aegir,” lanjut Clairess.
Mira, seorang
wanita dengan rambut hitam panjang dan mata tajam, memberi anggukan hormat.
Tangannya yang bersarung kulit mengelus gagang dua pedang kembar di
pinggangnya. Aegir, di sisi lain, adalah pria bertubuh besar dengan tameng
besar di punggungnya, mirip dengan Dionze, meskipun lebih berotot.
“Terakhir,
ada Elivara, ahli pengobatan dan pelindung energi kami,” ujar Clairess,
menunjuk seorang wanita muda dengan wajah lembut. Dia sedang memeriksa salah
satu ahli tenaga dalam yang kelelahan.
“Pasukan
kecil ini adalah apa yang tersisa dari Arthemis,” lanjut Clairess dengan nada
serius. “Kami kehilangan banyak dalam perang ini. Setelah Kota Soracca jatuh
saat Bangsa Remidi datang pertama kali, Kota Haiwa yang menjadi lokasi markas
cadangan Arthemis pun ikut jatuh bulan lalu oleh serangan-serangan pasukan dan
monster Bangsa Remidi. Tapi jangan khawatir, mereka yang tersisa adalah yang
terbaik.”
Aku
mengangguk, mengingat betapa kuatnya mereka, namun juga menyadari bahwa kami
semua harus bersatu jika ingin memiliki peluang melawan bangsa Remidi.
“Enutra, aku
dengar kau telah berhasil menghancurkan kubah Bangsa Remidi di hutan Emerald.
Apa benar begitu?” tanya Clairess penasaran.
Aku
mengangguk, “Betul, tapi aku tidak sendiri saat itu.”
“Bagus.”
Clairess menyela, “Setidaknya kita punya peluang untuk menang dari mereka saat
ini. Ditambah dengan pasukan yang kalian bawa saat ini.”
“Tapi tunggu,
apa yang sebenarnya kau rencanakan? Bukankah ini terlalu terburu-buru.”
Clairess
kemudian membentangkan peta besar di meja, “Kita tidak bisa berlama-lama di
sini,” kemudian menunjuk beberapa lokasi strategis. “Bangsa Remidi telah
menempatkan pasukan mereka pada empat jalan utama penghubung Kota Haiwa dengan
daerah lain.”
“Tunggu-tunggu
maksudnya bagaimana?” potong Dionze di tengah penjelasan Clairess. “Maksud
tujuan kami ke tempat ini sebenarnya adalah meminta bantuan Arthemis untuk
menghancurkan kubah baru Bangsa Remidi yang baru di Kota Velika.”
Clairess
menatap dalam mata Dionze selama kurang lebih lima detik. Sekilas Mikoto yang
ada di sampingnya mengernyitkan dahi melihat tingkah Clairess.
“Tolong
dengarkan aku dulu sebentar.” terang Clairess melanjutkan, “Ada hal yang lebih
penting untuk kita selesaikan dibandingkan dengan menyelamatkan Kota Velika.”
“Hey, jaga omonganmu! Ada Putri Vivian di sini!” bentakku pada Clairess.
“Justru
karena ada Putri Vivian di sini, akan kuberitahu semua.” Clairess menghela
napas panjang, “Mohon maaf tuan putri, tapi anda adalah kunci untuk bisa
mengalahkan Bangsa Remidi.”
Sesaat
keadaan menjadi hening. Aku melirik Vivian yang duduk di sisiku. Dia tetap
tenang meskipun semua mata tertuju padanya.
“Semua ini
baru diketahui setelah salah satu dari mata-mata kami melapor sekembalinya dari
Soracca. Putri Vivian yang merupakan keturunan dari pemimpin Klan Veroka adalah
penjaga utama dari Relik Vitae, suatu relik yang dapat menyegel seluruh Bangsa
Remidi pergi dari dunia kita.”
“Tapi,
keturunan dari pemimpin klan Veroka bukan hanya aku, ada kakakku juga, Brian,
yang sepertinya juga sudah berada di kota ini.” sela Vivian ditengah
penjelasan.
“Betul, namun
Brian sudah tidak lagi menjadi penjaga utama karena ia telah melanggar
sumpahnya. Keberadaannya sudah tidak menjadi ancaman para Bangsa Remidi lagi.”
lanjut Clairess menjelaskan.
Kini sebagian
puzzle di kepalaku sudah mulai terhubung, jadi itukah sebab mengapa saat di
Velika dulu Vivian berkali-kali sempat mengalami penculikan hingga terakhir
disekap dan disiksa dengan dalih menanyakan keberadaan Brian setelah Istana
Velika jatuh. Serta penyebab kepergian sang kakak dari keluarga kerajaan pun
kemungkinan ada hubungannya dengan Relik Vitae yang dimaksud ini. Hanya kini
ada pertanyaan yang mengganjal dipikiranku, mengapa saat itu Sern seolah
membiarkan kami saat aku membawa pergi Vivian dari istana Velika? Mungkinkah
saat itu Sern belum mengetahui bahwa status penjaga utama Relik Vitae sudah
tidak lagi melekat pada Brian?
“Vivian, apa
kamu sebenarnya sudah tahu tentang semua ini sebelumnya?” tanyaku pelan pada
sang putri Kerajaan Eternality.
“Tidak
semuanya, hanya memang benar dulu ayahku pernah berkata bahwa dulu wilayah
kerajaan yang kami miliki merupakan hadiah atas jasa perlindungan dari suatu
relik. Namun aku tidak begitu paham detilnya karena ayahku belum menceritakan
apa-apa lagi sebelum wafatnya.” terang Vivian.
“Dari info
yang kami dapatkan relik tersebut ada di sebuah desa di timur dari Kota Haiwa
ini, namanya adalah Desa Balero.” jelas Claires kembali. “Jika kita bisa
mencapainya sebelum mereka, kita punya peluang untuk segera menyelesaikan ini
semua.”
“Kita harus
bergerak cepat,” ujar Gaius dengan suara berat. “Musuh akan terus mengincar
Putri Vivian setelah mereka tahu beliau adalah kunci.”
Aku bisa
melihat tekad di matanya, meskipun aku tahu dia juga takut.
Ketika kami
sedang menyusun strategi, salah seorang ahli tenaga dalam tiba-tiba terjatuh.
Energi pelindung bangunan mulai meredup, menyebabkan kilauan di dinding
memudar.
“Tidak...”
gumam Clairess, berlari menghampiri ahli itu. “Kau butuh istirahat.”
“Saya tidak
bisa... mereka akan menyerang...” jawabnya dengan suara lemah.
Dan benar
saja, sebuah ledakan mengguncang bangunan. Suara pekik keras menggema dari luar,
disusul dengan serangkaian dentuman yang memekakkan telinga.
“Serangan!”
teriakku.
Kami semua
bersiap. Dionze dan Aegir segera berdiri di depan pintu dengan tameng mereka,
Mira pun menarik pedang kembarnya. Clairess dan Elivara berusaha menstabilkan
pelindung energi.
Sementara itu
para pejuang Vivian juga dengan sigap membentuk formasi untuk melindungi sang
putri di tengahnya.
Aku melirik
Amaryl, yang berdiri di sebelahku dengan ekspresi marah namun penuh keberanian.
“Kali ini, kita lawan mereka bersama, kak.” katanya, memegang tongkat tenaga
dalamnya.
Aku
mengangguk, mencabut pedangku. “Bersiaplah. Kali ini, kita tidak akan mundur.”
***
Angin malam
berhembus lembut, membawa aroma asin dari laut yang mulai tenang. Di tepi hutan
pesisir, dua sosok duduk di sekitar api kecil. Zekko memandangi batu kristal di
tangannya, permukaannya bersinar lembut di bawah sinar rembulan. Di sebelahnya,
Riki mengikat kembali tali busur yang mulai aus, wajahnya penuh konsentrasi.
“Kita sudah
melewati setengah perjalanan, tapi rasanya beban ini semakin berat,” ujar
Zekko, menggenggam kristal itu lebih erat.
“Kau tidak
sendiri,” balas Riki tanpa mengalihkan pandangannya dari busurnya. “Batu itu
bukan hanya tanggung jawabmu. Ini tanggung jawab kita, untuk Desa Kalita, untuk
semua yang telah mereka hancurkan.”
Zekko
mengangguk pelan, namun pikirannya terlempar kembali ke tiga bulan yang lalu.
Serangan Bangsa Remidi datang di tengah kekacauan besar. Saat itu, mereka,
bersama Genba, guru besar mereka, serta kelompok pejuang lainnya, sedang
menggempur markas Tyrone. Tyrone, pemimpin pasukan Remidi yang terkenal kejam,
akhirnya ditumbangkan oleh Enutra, keponakan dari Genba, setelah pertempuran
sengit. Namun kemenangan itu terasa hambar bagi Zekko dan Riki, karena di waktu
yang sama, Desa Kalita diserang oleh pasukan Bangsa Remidi yang lain.
“Batu kristal
ini adalah warisan terakhir Kalita,” kata Zekko, memecah kesunyian. “Genba
mempertaruhkannya di tangan kita karena dia percaya kita bisa membawa harapan
ini ke tempat yang aman. Tapi, kadang aku merasa tidak cukup kuat untuk
melindunginya.”
Riki
menghentikan tangannya, menatap Zekko dengan sorot mata tegas. “Jangan pernah
meragukan dirimu, Zek. Genba memilihmu karena dia tahu kau bisa. Kita bisa. Dan
sekarang, satu-satunya cara untuk menghormati pengorbanannya adalah memastikan
batu ini sampai ke tempat yang tepat.”
Tujuan mereka
kini adalah Kota Haiwa, tempat di mana kelompok Arthemis sedang bersiap
membangun aliansi untuk melawan Bangsa Remidi. Meski belum bertemu langsung
dengan mereka, kabar tentang kelompok itu membawa secercah harapan.
Dua minggu
perjalanan melintasi laut dengan sampan kecil buatan mereka sendiri telah
menguji batas ketahanan fisik dan mental. Kini, perjalanan darat menuju Haiwa
membawa tantangan baru. Hutan di pesisir Kerajaan Pacifier, yang mereka lalui
sekarang, terkenal sebagai wilayah berbahaya yang dipenuhi monster dan patroli
Bangsa Remidi.
“Riki, kau
masih ingat kata-kata terakhir Genba sebelum kita menyerang markas Tyrone?”
tanya Zekko tiba-tiba.
“Tentu,”
jawab Riki, senyumnya tipis namun penuh emosi. “Dia bilang, ‘Panah kalian
adalah harapan terakhir Desa Kalita. Tariklah dengan keberanian, dan lepaskan
dengan keyakinan.’”
Zekko
menghela napas panjang. “Dia benar. Panah kita tidak hanya untuk melindungi
diri. Ini adalah janji kepada semua orang yang telah pergi. Mereka tidak mati
sia-sia.”
Langkah
mereka perlahan membawa mereka mendekati batas hutan menuju lembah terbuka.
“Kita harus
berhenti di sini untuk malam ini,” kata Riki, memeriksa medan di sekitarnya.
“Tidak bijak masuk ke lembah saat gelap. Kita butuh energi untuk menghadapi apa
pun yang menunggu di depan.”
Mereka
membangun tempat perlindungan kecil di bawah rerimbunan pohon, berusaha
menyembunyikan api agar tidak menarik perhatian. Sementara itu, Zekko terus
memandangi batu kristal di tangannya, seolah-olah mencari petunjuk atau
jawaban.
“Zek,” Riki
memanggil pelan. “Apa menurutmu kita akan bertemu dengan Enutra di Haiwa?”
Zekko terdiam
sejenak. “Mungkin. Dia punya tujuan yang sama dengan kita, melawan Bangsa
Remidi. Tapi untuk sekarang, kita fokus ke langkah berikutnya. Batu ini harus
sampai di tangan Arthemis.”
Riki
mengangguk setuju. Dia mengeluarkan satu anak panah, memeriksa ujungnya, dan
menggenggamnya erat. “Panah kita masih punya tugas besar. Ini belum selesai.”
Malam itu,
mereka beristirahat dengan gelisah, sadar bahwa perjalanan ke Haiwa bukanlah
akhir, melainkan awal dari pertempuran yang lebih besar. Batu kristal di tangan
mereka adalah kunci untuk membangun kembali Desa Kalita, tetapi juga simbol
perlawanan terhadap kejahatan yang telah menghancurkan kehidupan mereka.
Di bawah
cahaya bulan, dua pemanah dari Desa Kalita mempersiapkan diri untuk pertempuran
yang akan datang. Dengan panah mereka, mereka bersumpah untuk menuntaskan
dendam dan mengembalikan harapan bagi masa depan yang cerah. Malam ini, mereka
bukan hanya dua pejuang. Mereka adalah harapan terakhir Desa Kalita.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar