28 Januari 2025

DUNIA SEMU #43


CHAPTER 43 - KEWASPADAAN

Cahaya matahari mulai memasuki sela-sela kabin kamar kapal. Malam telah berganti pagi, namun mataku malah terasa sangat berat. Aku sama sekali tak bisa tidur. Mungkin kantung mataku sudah sebesar kantung Doraemon[1] yang menggelayut besar di bawah mata. Semalaman terjadi perdebatan batin yang sangat hebat antara malaikat dan setan di dalam kepalaku. Bagaimana tidak, tubuh tak berdaya Vivian yang tengah tertidur bagaikan sebuah hidangan lezat, benar-benar membuat pikiranku kacau bagaikan serigala lapar. Untunglah hingga pagi ini, sang malaikat berhasil membuat KO[2] si setan pemberi hasutan duniawi. Namun sungguh aku tak tahu, apakah sang malaikat akan terus menang hingga esok dan seterusnya karena kapal ini masih terus berlayar menuju pelabuhan Kerajaan Pacifier hingga tujuh hari kedepan.

Syukurlah, tak ada ancaman yang berarti selama aku berada di kamarnya. Baru kali ini instingku memberikan peringatan yang salah. Padahal hawa kejahatan terasa begitu kuat semenjak pelayan kemarin memberikan minuman berisi racun pada kami. Atau mungkin mereka memang sengaja mengulur waktu untuk melemahkan penjagaanku pada Vivian. Yang pasti, akan kujaga selalu Vivian hingga tak ada satupun yang bisa melukainya meski hanya sehelai rambut.

“Selamat pagi, Enutra.” sapa lirih Vivian mengalihkan pandanganku padanya.

“Pagi, Vivian.” balasku melemparkan senyum terbaik yang kumiliki. “Malam ini tidur nyenyak?”

Vivian terduduk lalu menggeliatkan tubuhnya dengan mengangkat salah satu tangan ke atas sambil menguap, “Malam ini tidurku benar-benar nyenyak. Terima kasih ya Enutra. Karena telah menjagaku semala-” seketika ucapannya terhenti setelah menengok ke arahku. “Ya ampun!! Apa yang telah terjadi?? Ada apa dengan dengan hidungmu yang penuh darah itu??”

Aku sama sekali tak bisa berkata-kata. Baru saja terjadi sebuah pemandangan terindah yang baru kali ini kulihat dengan jelas di hadapan mataku. Naluri lelakiku membuyarkan konsentrasi dan pikiran setelah menyaksikan geliat bidadari cantik yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya.

“Enutraa!” seru Vivian memecahkan lamunan indahku.

“Eh.. Iya?”

Kali ini Vivian memasang wajah cemberut yang sangat imut. Hatiku tak berhenti meleleh melihat tingkahnya yang menggemaskan.

“Itu hidungmu!” seru Vivian lagi sambil menunjuk pada wajahku.

Segera ku sentuh hidungku dan tampak cairan merah membasahi jari-jariku.

“Whoaa.. Aku mimisan!? Maafkan aku Vivian.”

Segera ku basuh mukaku pada wastafel besi yang berada pada salah satu sudut dinding kamar, sementara Vivian hanya tertawa kecil melihat tingkah kikuk diriku.

Selang sekitar satu jam, kami pun mulai beranjak dari kamar untuk sarapan. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, tak lupa kubawa pedang dan perlengkapan bertarung lainnya selama berada di samping Vivian. Pandanganku tak berhenti mengawasi sekitar, mengamati hal yang mencurigakan sekecil apapun.

Tak lama kami berdua sampai pada sebuah ruangan besar berisi jejeran meja bulat dan kursi-kursi yang mengelilinginya, semacam restoran ala-ala kapal Titanic dengan diiringi lagu-lagu instrumental. Ketika kami masuk, tampak seluruh penumpang dan kru kapal menunduk menghormati kedatangan Vivian. Tentu saja hal tersebut lumrah terjadi mengingat Vivian masih menjadi seorang bangsawan kerajaan dan seluruh penumpang dan kru telah mengetahui kenyataan tersebut semenjak kapal masih bertengger di pelabuhan Celadoni.

Salah satu pelayan kapal kemudian mengantar kami pada salah satu meja khusus dengan dua kursi yang telah dipersiapkan. Dari sekian pelayan yang hadir dalam ruang makan ini, tak nampak pelayan pembawa sirup beracun kemarin. Dalam benakku ada sedikit rasa penasaran, mungkin kemarin memang benar bahwa pelayan tersebut adalah penjahat yang tengah menyamar. Namun, mungkin pula kemarin pelayan tersebut memang dijebak dan sekarang sedang berada pada tempat lain, yang pasti situasi Vivian masih belum dirasa aman.

Sampai saat ini kru kapal dan para pejuang yang lain masih belum mengetahui kejadian semalam. Hal tersebut sengaja kulakukan untuk mencegah terjadinya kegaduhan yang akan menguntungkan sang penjahat untuk beraksi berikutnya. Karena aku berpikir bahwa penjahat tersebut kemungkinan adalah orang yang menyamar dari dalam kru atau juga berada di salah satu dari para pejuang. Bahkan mungkin juga ada lebih dari satu penjahat.

“Kenapa kamu melamun saja? Hidangannya sedang dihantarkan loh.” canda Vivian di tengah perasaan risau yang kualami.

“Ah iya. Maafkan aku. Aku hanya sedang memikirkan tentang kejadian semalam.”

Vivian lalu tersenyum, “Jujur saja aku sangat senang atas segala perhatianmu itu.”

Riuh para penumpang kapal mulai berdatangan, seakan menjadi latar dalam percakapan kami. Sesekali pula detingan piring saling bersentuhan mengalun mendampingi musik instrumental yang terkadang melantunkan nada-nada sendu. Sementara itu aku hanya menatap mata Vivian. Terpaku pada iris coklatnya yang indah.

“Tapi, untuk saat ini mari kita lupakan sejenak segala permasalahan yang kita hadapi. Cukup nikmati hidangan yang akan datang sesaat lagi.”

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan anggukan kecil. Entah berapa kali harus kulihat ia menggunakan topeng-topeng untuk menutupi segala kecemasan dan ketakutannya. Sungguh wanita yang sangat tegar.

Tak lama para pramusaji datang dengan troli yang diatasnya tersaji hidangan-hidangan yang masih tertutup tudung logam. Mereka datang menghampiri kami berdua terlebih dahulu, kemudian membukanya hingga nampak uap asap yang menyembul menutupi hidangan. Setelah uap tersbut memudar, barulah terlihat sajian-sajian mewah yang terdiri dari makanan laut, daging-daging panggang, serta beberapa sup yang belum kuketahui isinya. Dari pandangan awamku, tentu saja hidangan-hidangan ini bukanlah hidangan yang murah.

“Mari kita makan, Enutra.” ajak Vivian sembari menggenggam garpu dan pisau di masing-masing tangannya. “Lihat! Hidangan-hidangan ini seperti melambai-lambai menanti untuk kita nikmati.”

Aku tertawa mendengar gurauan Vivian. Baru hari ini aku melihatnya bercanda sebahagia ini.

“Ahahaha.. Bukan hanya melambai, aku juga mendengar hidangan-hidangan ini memanggil namaku dan namamu.”

Jari-jari mungil Vivian menutupi bibirnya diikuti dengan suara tawa kecil setelah mendengar balasan gurauanku.

“Ada-ada saja. Seram sekali bila memang benar-benar hidangan-hidangan ini dapat berbicara.” kemudian ia mengayunkan tangan di depan bibirnya. “Sudah-sudah. Mari kita segera makan.”

Aku tersenyum sejenak. Namun entah mengapa ketika Vivian akan menyuapi salah satu makanan ke dalam mulutnya, refleks tanganku menggenggam lengannya menghentikan suapan.

“Eh, ada apa, Enutra?”

Vivian menatapku sayu. Alisnya mengerut turun. 

Untuk saat itu aku masih belum menyadari atas apa yang telah kulakukan. Seolah waktu berhenti, masing-masing dari kami sama-sama terdiam saling menatap.

“Ma-maafkan aku, Vivian.” perlahan kulepas genggamanku. “Entah ini hanya instingku, namun aku hanya takut jika kejadian semalam terjadi kembali.”

Vivian kemudian menyimpan kembali makanan pada garpunya. Ia sedikit terdiam namun jelas ada rasa panik yang terlihat dari tatapan matanya yang kosong.

Dengan segera kupanggil salah satu pelayan yang berada di dekatku. Setelah itu aku membisikkan sesuatu padanya dan setelah itu ia segera pergi menuju dapur. Tak lama pria berbadan tambun menghampiri. Baju putih dengan kancing-kancing besar di tengahnya beserta topi tinggi di kepalanya, terlihat seperti koki-koki yang ada di duniaku dulu, datang menghampiri kami berdua.

“Selamat pagi yang mulia putri. Saya Gustand, kepala koki di kapal ini. Apa ada yang bisa saya bantu?” ucap pria tersebut sopan.

Vivian kemudian menoleh ke arahku dengan alis yang mengerut setelah sang kepala koki menghampiri.

“Maaf, tapi akulah yang meminta anda untuk menghampiri meja kami.” ucapku membuka perbincangan.

“Oh baiklah tuan muda ksatria. Apa yang ingin anda tanyakan?”

“Ehm. Untuk alasan keamanan, ada semacam prosedur standar dari kerajaan yang harus anda lakukan di sini.” ucapku membual, sementara Vivian masih menatapku mengernyitkan dahinya. “Menurut aturan, setiap kali keluarga kerajaan akan memakan hidangan baru di suatu tempat, maka sang pembuat masakan wajib mencicipi sepotong dari masing-masing makanan dan minuman di hadapan mereka untuk memastikan bahwa hidangan tersebut benar-benar aman.”

“Sepertinya aku baru mendengar peraturan seperti itu.” potong sang kepala koki.

Telapak tanganku mendadak berkeringat mendengar balasannya, “Mungkin anda baru pertama kali memberikan hidangan pada keluarga kerajaan. Tak ada salahnya bukan bila anda mematuhi aturan tersebut?”

“Hmm.. Aku ragu akan aturan tersebut.” lagi-lagi bantahan sang kepala koki membuatku sedikit panik. “Tapi sepertinya hal ini harus dilakukan mengingat kondisi kerajaan yang saat ini penuh dengan konflik.”

Seolah beban berat terlepas dari pundakku, aku menghela napas sepanjang-panjangnya. Sementara Vivian masih melihatku dengan tatapan yang sama.

Sang kepala koki kemudian mengambil garpu dan pisaunya. Dengan segera ia mencicipi setiap hidangan yang ada di atas meja kami berdua. Namun ketika ia mencicipi hidangannya yang terakhir, seketika ia terdiam mengernyitkan alisnya.

Tuan Gustand, anda tidak apa-apa?” tanya Vivian sedikit cemas.

“Ti-tidak mungkin.” koki berbadan tambun tersebut bergumam dan menjatuhkan garpu yang ia genggam.

Sontak aku pun berdiri dan memegang erat pedang yang terpasang di pinggang. “Apa yang terjadi?”

Sementara hampir seluruh penumpang yang lain pun ikut melihat ke arah kami.

Gustand menarik topi dan menjatuhkannya sambil berteriak keras.

“TIDAK MUNGKIN!! TAK KUSANGKA BAHWA MASAKANKU BISA SEENAK INI!!!!”

Seluruh ruangan menjadi hening.

Aku memicingkan mata menatapnya.

“Baiklah Tuan Gustand, anda sudah boleh kembali ke ruangan anda.” pintaku tenang.

Sang kepala koki kemudian membungkuk hormat dan kemudian pergi meninggalkan kami.

Aku pun kembali duduk dengan tatapan mata yang masih memicing pada sang koki.

“Sepertinya hida-..”

Seketika ucapanku terhenti ketika menoleh pada Vivian. Kali ini ia tertawa sangat lepas. Kedua tangan mungilnya lagi-lagi menutupi bibir cantik yang tak henti-henti bergelegak.

“Kau benar-benar lucu, Enutra.” Vivian kemudian menarik napas dalam untuk mengatur bicaranya. “Tak kusangka kau mampu berimprovisasi di saat-saat seperti ini. Meskipun hasilnya terlihat sangat konyol.”

Mungkin wajahku saat ini sudah sangat merah. Seakan enggan untuk menatap wajah puas Vivian, sementara aku masih menundukkan kepala.

Namun tiba-tiba Vivian menggenggam lembut tangan kananku.

“Terima kasih, Enutra.”

Akhirnya kunaikkan kepala memandang wajahnya.

“Terima kasih atas segala usahamu untukku.”

Terpaksa aku tersenyum kaku menanggapinya.

“Baru kali ini aku bisa tertawa lepas semenjak kita meninggalkan istana tempo hari.”

Vivian terdiam sejenak. Kali ini raut wajahnya seketika berubah, seolah ia akan membicarakan hal yang lebih serius.

“Entah kenapa aku jadi ingin menceritakan tentang hidup dan keluargaku.” pandangan matanya semakin dalam, “Dan ku yakin sejak kita meninggalkan istana, kau pasti memiliki banyak pertanyaan mengenai kakak laki-lakiku, Brian Veroka.”

Refleks tangan kiriku menggenggam balik tangannya. Terlihat wajah Vivian menjadi sedikit memerah.

“Bila kau tak sanggup untuk menceritakannya, tak usah dipaksakan.”

“Tidak apa-apa, lagi pula ini adalah keinginanku sendiri.” kemudian Vivian tersenyum kembali, “Tapi sebagai gantinya, nanti kau harus menceritakan tentang kisah hidupmu juga ya.”

Aku hanya bisa tersenyum kaku mengingat aku bukanlah Enutra yang sesungguhnya.

“Baiklah Vivian, aku akan mendengar semuanya.”

Setelah itu Vivian lalu menceritakan semua tentang kisah hidupnya. Apa yang ia ceritakan tak jauh berbeda dari kisah dongeng seorang putri raja yang selalu diliputi dengan kebahagiaan. Namun terkadang pula terselip kisah-kisah pilu ketika ibunya meninggal saat ia masih kecil dan juga bagaimana ia merasa terpenjara oleh aturan-aturan istana yang kaku. Hingga tiba ketika ia mulai menceritakan mengenai kakaknya, Brian Veroka. Calon putra mahkota penerus kerajaan yang justru pergi menghilang setelah terjadi perdebatan hebat dengan sang raja.

“Jadi hingga saat ini tidak ada yang tahu keberadaan kakakmu?”

Vivian menggangguk, “Yang sempat kudengar bahwa dia kini menjadi seorang pembunuh bayaran professional dengan nama alias ‘AngelKill’ di Kerajaan Olympus.”

Sesaat setelah Vivian menyebutkan kata ‘AngelKill’, entah mengapa muncul perasaan tak enak. Seolah seseorang tengah mengawasiku dengan hawa yang sangat jahat. Namun kemudian kuabaikan karena beberapa hari ini instingku seringkali salah dalam mengidentifikasi bahaya.

“Jadi itukah sebab Sern saat itu sempat menyiksamu?” lanjutku meneruskan obrolan.

“Iya. Saat itu ia memaksaku untuk memberitahu dimana kakakku berada.” Vivian tertunduk, “Padahal aku juga ingin mengetahui keberadaan kakakku.”

Kemudian aku menepuk pelan pada pundak Vivian, “Suatu saat pasti ada waktunya kalian semua akan dipertemukan kembali.”

“Dan yang paling menyedihkan, ia dituduh sebagai pembunuh ayahku olehnya.” Vivian mulai menangis sesenggukan, “Sebenci-bencinya kakak, mana mungkin ia mau membunuh ayahnya sendiri.”

Sekali lagi aku hanya bisa menepuk pundaknya berusaha untuk menenangkan.

Tak lama Vivian kemudian menyeka air mata yang membasahi pipi dengan kedua tangannya.

“Tapi aku masih tetap percaya. Suatu saat aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.” tutur Vivian sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Tak henti-hentinya aku kagum terhadap ketegaranmu, Vivian. Ketegaranmu itulah yang membuat kepercayaan diriku semakin tumbuh untuk selalu melindungimu dan kerajaanmu.”

Vivian pun akhirnya tersenyum kembali dan menatap mataku dalam-dalam. Kini sikapku agak salah tingkah, biar bagaimanapun seorang jomblo[3] sepertiku tidak akan terbiasa dengan situasi canggung bersama dengan seorang wanita.

“Naah.. Sekarang giliranmu untuk menceritakan tentang kisah hidupmu.”

Seketika aku terdiam dengan senyum kaku dan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tanganku. Celaka pikirku, jangan sampai ia tahu kalau aku bukanlah Enutra yang sebenarnya. Biarpun aku mengarang-ngarang cerita, dia pasti akan tahu kalau aku berbohong. Aku harus bisa mengalihkan pembicaraan ini.

“Ti-tiada yang menarik dengan kehidupanku ini. Lagipula aku hanyalah rakyat jelata pada umumnya.” ucapku terkekeh tak jelas.

“Mana mungkin seluruh kisah hidupmu tak ada yang menarik.” balas Vivian antusias, “Apalagi kau merupakan satu dari sekian ksatria yang dipanggil oleh ayahku. Setidaknya ada lebih dari satu hal menarik yang bisa kau ceritakan padaku.”

Aku agak memaling-malingkan tatapan darinya, “Emmm.. Itu.. Iyaa…”

Namun sebelum melanjutkan obrolan, tiba-tiba terdengar keributan dari balik ruangan koki hingga menghentikan pembicaraan kami.

“WAAAA.. GAWAT TEMAN-TEMAN! BARUSAN AKU MENEMUKAN MAYAT GANIT DENGAN KEPALA TERPISAH DI GUDANG BAWAH.”

“BODOH! MENGAPA KAU BERTERIAK SEPERTI ITU DI TEMPAT INI? KAU TAHU KAN KALAU DI RUANGAN SEBELAH ADA TUAN PUTRI!”

“TA-TAPI INI GANIT TEMAN-TEMAN. GANIT TERBUNUH!”

“YA SUDAH, MARI KITA LAPORKAN HAL INI DULU PADA KAPTEN KAPAL!”

Perlahan keributan tersebut mereda, namun sekarang seluruh pengunjung restoran saling bergumam bingung. Terlihat raut kepanikan pada wajah mereka. Ada pula beberapa Pejuang Vivian yang segera berdiri bersiap dengan peralatan tempurnya saat mendengar keributan tersebut dan saling menatap memberikan kode satu sama lain.

“Vivian, sepertinya situasi jadi semakin tak terkendali. Penjahat ini mulai bergerak. Setelah selesai makan nanti, mari kita berkumpul dengan para pejuang dan menemui kapten kapal untuk membahas masalah ini.”

Vivian sempat terdiam sesaat dengan tatapan kosong dan kemudian menggeleng, “Tidak Enutra, menurutku kita tidak usah banyak menunggu lagi. Aku sudah tidak ingin melanjutkan makan. Kita memang harus segera menyelesaikan masalah ini.”

Aku pun menatap dalam pada Vivian dan kemudian mengangguk. Setelahnya, aku memberikan isyarat pada para Pejuang Vivian untuk berkumpul dan membuat rencana.

***



[1] sebuah karakter robot kucing berwarna biru, berasal dari abad ke-22, pergi ke abad ke-20 untuk menolong Nobita dalam serial animasi Jepang Doraemon.

[2] Knock Out, istilah yang biasa terdapat dalam olah raga tinju ketika salah satu peserta tumbang dan tak mampu melanjutkan pertandingan.

[3] Jomblo adalah istilah keadaan seseorang ketika sedang tidak memiliki pasangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar