CHAPTER
43 - KEWASPADAAN
Cahaya matahari mulai memasuki sela-sela kabin kamar kapal. Malam telah berganti pagi, namun mataku malah terasa sangat berat. Aku sama sekali tak bisa tidur. Mungkin kantung mataku sudah sebesar kantung Doraemon[1] yang menggelayut besar di bawah mata. Semalaman terjadi perdebatan batin yang sangat hebat antara malaikat dan setan di dalam kepalaku. Bagaimana tidak, tubuh tak berdaya Vivian yang tengah tertidur bagaikan sebuah hidangan lezat, benar-benar membuat pikiranku kacau bagaikan serigala lapar. Untunglah hingga pagi ini, sang malaikat berhasil membuat KO[2] si setan pemberi hasutan duniawi. Namun sungguh aku tak tahu, apakah sang malaikat akan terus menang hingga esok dan seterusnya karena kapal ini masih terus berlayar menuju pelabuhan Kerajaan Pacifier hingga tujuh hari kedepan.
Syukurlah, tak ada ancaman yang
berarti selama aku berada di kamarnya. Baru kali ini instingku memberikan
peringatan yang salah. Padahal hawa kejahatan terasa begitu kuat semenjak
pelayan kemarin memberikan minuman berisi racun pada kami. Atau mungkin mereka
memang sengaja mengulur waktu untuk melemahkan penjagaanku pada Vivian. Yang
pasti, akan kujaga selalu Vivian hingga tak ada satupun yang bisa melukainya
meski hanya sehelai rambut.
“Selamat pagi, Enutra.” sapa lirih
Vivian mengalihkan pandanganku padanya.
“Pagi, Vivian.” balasku
melemparkan senyum terbaik yang kumiliki. “Malam ini tidur nyenyak?”
Vivian terduduk lalu menggeliatkan
tubuhnya dengan mengangkat salah satu tangan ke atas sambil menguap, “Malam ini
tidurku benar-benar nyenyak. Terima kasih ya Enutra. Karena telah menjagaku
semala-” seketika ucapannya terhenti setelah menengok ke arahku. “Ya ampun!!
Apa yang telah terjadi?? Ada apa dengan dengan hidungmu yang penuh darah itu??”
Aku sama sekali tak bisa
berkata-kata. Baru saja terjadi sebuah pemandangan terindah yang baru kali ini
kulihat dengan jelas di hadapan mataku. Naluri lelakiku membuyarkan konsentrasi
dan pikiran setelah menyaksikan geliat bidadari cantik yang baru saja terbangun
dari tidur lelapnya.
“Enutraa!” seru Vivian memecahkan
lamunan indahku.
“Eh.. Iya?”
Kali ini Vivian memasang wajah
cemberut yang sangat imut. Hatiku tak berhenti meleleh melihat tingkahnya yang
menggemaskan.
“Itu hidungmu!” seru Vivian lagi
sambil menunjuk pada wajahku.
Segera ku sentuh hidungku dan
tampak cairan merah membasahi jari-jariku.
“Whoaa.. Aku mimisan!? Maafkan aku
Vivian.”
Segera ku basuh mukaku pada
wastafel besi yang berada pada salah satu sudut dinding kamar, sementara Vivian
hanya tertawa kecil melihat tingkah kikuk diriku.
Selang sekitar satu jam, kami pun
mulai beranjak dari kamar untuk sarapan. Demi menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, tak lupa kubawa pedang dan perlengkapan bertarung lainnya selama
berada di samping Vivian. Pandanganku tak berhenti mengawasi sekitar, mengamati
hal yang mencurigakan sekecil apapun.
Tak lama kami berdua sampai pada
sebuah ruangan besar berisi jejeran meja bulat dan kursi-kursi yang
mengelilinginya, semacam restoran ala-ala kapal Titanic dengan diiringi
lagu-lagu instrumental. Ketika kami masuk, tampak seluruh penumpang dan kru
kapal menunduk menghormati kedatangan Vivian. Tentu saja hal tersebut lumrah
terjadi mengingat Vivian masih menjadi seorang bangsawan kerajaan dan seluruh
penumpang dan kru telah mengetahui kenyataan tersebut semenjak kapal masih
bertengger di pelabuhan Celadoni.
Salah satu pelayan kapal kemudian
mengantar kami pada salah satu meja khusus dengan dua kursi yang telah
dipersiapkan. Dari sekian pelayan yang hadir dalam ruang makan ini, tak nampak
pelayan pembawa sirup beracun kemarin. Dalam benakku ada sedikit rasa penasaran,
mungkin kemarin memang benar bahwa pelayan tersebut adalah penjahat yang tengah
menyamar. Namun, mungkin pula kemarin pelayan tersebut memang dijebak dan
sekarang sedang berada pada tempat lain, yang pasti situasi Vivian masih belum
dirasa aman.
Sampai saat ini kru kapal dan para
pejuang yang lain masih belum mengetahui kejadian semalam. Hal tersebut sengaja
kulakukan untuk mencegah terjadinya kegaduhan yang akan menguntungkan sang
penjahat untuk beraksi berikutnya. Karena aku berpikir bahwa penjahat tersebut
kemungkinan adalah orang yang menyamar dari dalam kru atau juga berada di salah
satu dari para pejuang. Bahkan mungkin juga ada lebih dari satu penjahat.
“Kenapa kamu melamun saja?
Hidangannya sedang dihantarkan loh.” canda Vivian di tengah perasaan risau yang
kualami.
“Ah iya. Maafkan aku. Aku hanya
sedang memikirkan tentang kejadian semalam.”
Vivian lalu tersenyum, “Jujur saja
aku sangat senang atas segala perhatianmu itu.”
Riuh para penumpang kapal mulai
berdatangan, seakan menjadi latar dalam percakapan kami. Sesekali pula detingan
piring saling bersentuhan mengalun mendampingi musik instrumental yang
terkadang melantunkan nada-nada sendu. Sementara itu aku hanya menatap mata
Vivian. Terpaku pada iris coklatnya yang indah.
“Tapi, untuk saat ini mari kita
lupakan sejenak segala permasalahan yang kita hadapi. Cukup nikmati hidangan
yang akan datang sesaat lagi.”
Aku hanya membalasnya dengan
senyuman dan anggukan kecil. Entah berapa kali harus kulihat ia menggunakan
topeng-topeng untuk menutupi segala kecemasan dan ketakutannya. Sungguh wanita
yang sangat tegar.
Tak lama para pramusaji datang
dengan troli yang diatasnya tersaji hidangan-hidangan yang masih tertutup
tudung logam. Mereka datang menghampiri kami berdua terlebih dahulu, kemudian
membukanya hingga nampak uap asap yang menyembul menutupi hidangan. Setelah uap
tersbut memudar, barulah terlihat sajian-sajian mewah yang terdiri dari makanan
laut, daging-daging panggang, serta beberapa sup yang belum kuketahui isinya.
Dari pandangan awamku, tentu saja hidangan-hidangan ini bukanlah hidangan yang
murah.
“Mari kita makan, Enutra.” ajak
Vivian sembari menggenggam garpu dan pisau di masing-masing tangannya. “Lihat!
Hidangan-hidangan ini seperti melambai-lambai menanti untuk kita nikmati.”
Aku tertawa mendengar gurauan
Vivian. Baru hari ini aku melihatnya bercanda sebahagia ini.
“Ahahaha.. Bukan hanya melambai,
aku juga mendengar hidangan-hidangan ini memanggil namaku dan namamu.”
Jari-jari mungil Vivian menutupi
bibirnya diikuti dengan suara tawa kecil setelah mendengar balasan gurauanku.
“Ada-ada saja. Seram sekali bila
memang benar-benar hidangan-hidangan ini dapat berbicara.” kemudian ia
mengayunkan tangan di depan bibirnya. “Sudah-sudah. Mari kita
segera makan.”
Aku tersenyum sejenak. Namun entah
mengapa ketika Vivian akan menyuapi salah satu makanan ke dalam mulutnya,
refleks tanganku menggenggam lengannya menghentikan suapan.
“Eh, ada apa, Enutra?”
Vivian menatapku sayu. Alisnya mengerut turun.
Untuk saat
itu aku masih belum menyadari atas apa yang telah kulakukan. Seolah
waktu berhenti, masing-masing dari kami sama-sama terdiam saling menatap.
“Ma-maafkan aku, Vivian.” perlahan
kulepas genggamanku. “Entah ini hanya instingku, namun aku hanya takut jika
kejadian semalam terjadi kembali.”
Vivian kemudian menyimpan kembali
makanan pada garpunya. Ia sedikit terdiam namun jelas ada rasa panik yang
terlihat dari tatapan matanya yang kosong.
Dengan segera kupanggil salah satu
pelayan yang berada di dekatku. Setelah itu aku membisikkan sesuatu padanya dan
setelah itu ia segera pergi menuju dapur. Tak lama pria berbadan tambun
menghampiri. Baju putih dengan kancing-kancing besar di tengahnya beserta topi
tinggi di kepalanya, terlihat seperti koki-koki yang ada di duniaku dulu,
datang menghampiri kami berdua.
“Selamat pagi yang mulia putri.
Saya Gustand, kepala koki di kapal ini. Apa ada yang bisa saya bantu?” ucap
pria tersebut sopan.
Vivian kemudian menoleh ke arahku
dengan alis yang mengerut setelah sang kepala koki menghampiri.
“Maaf, tapi akulah yang meminta
anda untuk menghampiri meja kami.” ucapku membuka perbincangan.
“Oh baiklah tuan muda ksatria. Apa
yang ingin anda tanyakan?”
“Ehm. Untuk alasan keamanan, ada
semacam prosedur standar dari kerajaan yang harus anda lakukan di sini.” ucapku
membual, sementara Vivian masih menatapku mengernyitkan dahinya. “Menurut
aturan, setiap kali keluarga kerajaan akan memakan hidangan baru di suatu
tempat, maka sang pembuat masakan wajib mencicipi sepotong dari masing-masing
makanan dan minuman di hadapan mereka untuk memastikan bahwa hidangan tersebut
benar-benar aman.”
“Sepertinya aku baru mendengar
peraturan seperti itu.” potong sang kepala koki.
Telapak tanganku mendadak berkeringat mendengar balasannya,
“Mungkin anda baru pertama kali memberikan hidangan pada keluarga kerajaan. Tak
ada salahnya bukan bila anda mematuhi aturan tersebut?”
“Hmm.. Aku ragu akan aturan
tersebut.” lagi-lagi bantahan sang kepala koki membuatku sedikit panik. “Tapi
sepertinya hal ini harus dilakukan mengingat kondisi kerajaan yang saat ini
penuh dengan konflik.”
Seolah beban berat terlepas dari
pundakku, aku menghela napas sepanjang-panjangnya. Sementara Vivian masih
melihatku dengan tatapan yang sama.
Sang kepala koki kemudian
mengambil garpu dan pisaunya. Dengan segera ia mencicipi setiap hidangan yang
ada di atas meja kami berdua. Namun ketika ia mencicipi hidangannya yang
terakhir, seketika ia terdiam mengernyitkan alisnya.
“Tuan Gustand, anda tidak apa-apa?” tanya Vivian sedikit cemas.
“Ti-tidak mungkin.” koki berbadan
tambun tersebut bergumam dan menjatuhkan garpu yang ia genggam.
Sontak aku pun berdiri dan
memegang erat pedang yang terpasang di pinggang. “Apa yang terjadi?”
Sementara hampir seluruh penumpang
yang lain pun ikut melihat ke arah kami.
Gustand menarik topi dan
menjatuhkannya sambil berteriak keras.
“TIDAK MUNGKIN!! TAK KUSANGKA
BAHWA MASAKANKU BISA SEENAK INI!!!!”
Seluruh ruangan menjadi hening.
Aku memicingkan mata menatapnya.
“Baiklah Tuan Gustand, anda sudah
boleh kembali ke ruangan anda.” pintaku tenang.
Sang kepala koki kemudian
membungkuk hormat dan kemudian pergi meninggalkan kami.
Aku pun kembali duduk dengan
tatapan mata yang masih memicing pada sang koki.
“Sepertinya hida-..”
Seketika ucapanku terhenti ketika
menoleh pada Vivian. Kali ini ia tertawa sangat lepas. Kedua tangan mungilnya
lagi-lagi menutupi bibir cantik yang tak henti-henti bergelegak.
“Kau benar-benar lucu, Enutra.”
Vivian kemudian menarik napas dalam untuk mengatur bicaranya. “Tak kusangka kau
mampu berimprovisasi di saat-saat seperti ini. Meskipun hasilnya terlihat
sangat konyol.”
Mungkin wajahku saat ini sudah
sangat merah. Seakan enggan untuk menatap wajah puas Vivian, sementara aku
masih menundukkan kepala.
Namun tiba-tiba Vivian menggenggam
lembut tangan kananku.
“Terima kasih, Enutra.”
Akhirnya kunaikkan kepala
memandang wajahnya.
“Terima kasih atas segala usahamu
untukku.”
Terpaksa aku tersenyum kaku
menanggapinya.
“Baru kali ini aku bisa tertawa
lepas semenjak kita meninggalkan istana tempo hari.”
Vivian terdiam sejenak. Kali ini
raut wajahnya seketika berubah, seolah ia akan membicarakan hal yang lebih
serius.
“Entah kenapa aku jadi ingin
menceritakan tentang hidup dan keluargaku.” pandangan matanya semakin dalam,
“Dan ku yakin sejak kita meninggalkan istana, kau pasti memiliki banyak
pertanyaan mengenai kakak laki-lakiku, Brian Veroka.”
Refleks tangan kiriku menggenggam
balik tangannya. Terlihat wajah Vivian menjadi sedikit memerah.
“Bila kau tak sanggup untuk
menceritakannya, tak usah dipaksakan.”
“Tidak apa-apa, lagi pula ini
adalah keinginanku sendiri.” kemudian Vivian tersenyum kembali, “Tapi sebagai
gantinya, nanti kau harus menceritakan tentang kisah hidupmu juga ya.”
Aku hanya bisa tersenyum kaku
mengingat aku bukanlah Enutra yang sesungguhnya.
“Baiklah Vivian, aku akan
mendengar semuanya.”
Setelah itu Vivian lalu
menceritakan semua tentang kisah hidupnya. Apa yang ia ceritakan tak jauh
berbeda dari kisah dongeng seorang putri raja yang selalu diliputi dengan
kebahagiaan. Namun terkadang pula terselip kisah-kisah pilu ketika ibunya
meninggal saat ia masih kecil dan juga bagaimana ia merasa terpenjara oleh
aturan-aturan istana yang kaku. Hingga tiba ketika ia mulai menceritakan
mengenai kakaknya, Brian Veroka. Calon putra mahkota penerus kerajaan
yang justru pergi menghilang setelah terjadi perdebatan hebat dengan sang raja.
“Jadi hingga saat ini tidak ada
yang tahu keberadaan kakakmu?”
Vivian menggangguk, “Yang sempat
kudengar bahwa dia kini menjadi seorang pembunuh bayaran professional dengan
nama alias ‘AngelKill’ di Kerajaan Olympus.”
Sesaat setelah Vivian menyebutkan kata ‘AngelKill’, entah mengapa
muncul perasaan tak enak. Seolah seseorang tengah mengawasiku dengan hawa yang
sangat jahat. Namun kemudian kuabaikan karena beberapa hari ini instingku
seringkali salah dalam mengidentifikasi bahaya.
“Jadi itukah sebab Sern
saat itu sempat menyiksamu?” lanjutku meneruskan obrolan.
“Iya. Saat itu ia memaksaku untuk
memberitahu dimana kakakku berada.” Vivian tertunduk, “Padahal aku
juga ingin mengetahui keberadaan kakakku.”
Kemudian aku menepuk pelan pada
pundak Vivian, “Suatu saat pasti ada waktunya kalian semua akan dipertemukan
kembali.”
“Dan yang paling menyedihkan, ia
dituduh sebagai pembunuh ayahku olehnya.” Vivian mulai menangis sesenggukan,
“Sebenci-bencinya kakak, mana mungkin ia mau membunuh ayahnya sendiri.”
Sekali lagi aku hanya bisa menepuk
pundaknya berusaha untuk menenangkan.
Tak lama Vivian kemudian menyeka
air mata yang membasahi pipi dengan kedua tangannya.
“Tapi aku masih tetap percaya.
Suatu saat aku pasti bisa bertemu dengannya lagi.” tutur Vivian sambil
mengepalkan kedua tangannya.
“Tak henti-hentinya aku kagum
terhadap ketegaranmu, Vivian. Ketegaranmu itulah yang membuat kepercayaan
diriku semakin tumbuh untuk selalu melindungimu dan kerajaanmu.”
Vivian pun akhirnya tersenyum
kembali dan menatap mataku dalam-dalam. Kini sikapku agak salah tingkah, biar
bagaimanapun seorang jomblo[3] sepertiku tidak
akan terbiasa dengan situasi canggung bersama dengan seorang wanita.
“Naah.. Sekarang giliranmu untuk
menceritakan tentang kisah hidupmu.”
Seketika aku terdiam dengan senyum
kaku dan keringat dingin yang mulai membasahi telapak tanganku. Celaka pikirku,
jangan sampai ia tahu kalau aku bukanlah Enutra yang sebenarnya. Biarpun aku
mengarang-ngarang cerita, dia pasti akan tahu kalau aku
berbohong. Aku harus bisa mengalihkan pembicaraan ini.
“Ti-tiada yang menarik dengan
kehidupanku ini. Lagipula aku hanyalah rakyat jelata pada umumnya.” ucapku
terkekeh tak jelas.
“Mana mungkin seluruh kisah
hidupmu tak ada yang menarik.” balas Vivian antusias, “Apalagi kau merupakan
satu dari sekian ksatria yang dipanggil oleh ayahku. Setidaknya ada lebih dari
satu hal menarik yang bisa kau ceritakan padaku.”
Aku agak memaling-malingkan tatapan darinya, “Emmm.. Itu.. Iyaa…”
Namun sebelum melanjutkan obrolan,
tiba-tiba terdengar keributan dari balik ruangan koki hingga menghentikan
pembicaraan kami.
“WAAAA..
GAWAT TEMAN-TEMAN! BARUSAN AKU MENEMUKAN MAYAT GANIT DENGAN KEPALA TERPISAH DI
GUDANG BAWAH.”
“BODOH!
MENGAPA KAU BERTERIAK SEPERTI ITU DI TEMPAT INI? KAU TAHU KAN KALAU DI RUANGAN
SEBELAH ADA TUAN PUTRI!”
“TA-TAPI
INI GANIT TEMAN-TEMAN. GANIT TERBUNUH!”
“YA
SUDAH, MARI KITA LAPORKAN HAL INI DULU PADA KAPTEN KAPAL!”
Perlahan keributan tersebut
mereda, namun sekarang seluruh pengunjung restoran saling bergumam bingung. Terlihat raut kepanikan pada wajah mereka. Ada pula beberapa Pejuang Vivian yang segera berdiri
bersiap dengan peralatan tempurnya saat mendengar keributan tersebut dan saling
menatap memberikan
kode satu sama lain.
“Vivian, sepertinya situasi
jadi semakin tak
terkendali. Penjahat ini mulai bergerak. Setelah
selesai makan nanti, mari kita berkumpul dengan para pejuang dan menemui kapten
kapal untuk membahas masalah ini.”
Vivian sempat terdiam
sesaat dengan tatapan kosong dan kemudian menggeleng, “Tidak Enutra, menurutku kita tidak usah banyak menunggu
lagi. Aku sudah tidak ingin melanjutkan makan. Kita memang
harus segera menyelesaikan masalah ini.”
Aku pun menatap dalam pada Vivian
dan kemudian mengangguk. Setelahnya, aku memberikan isyarat pada para Pejuang
Vivian untuk berkumpul dan membuat rencana.
***
[1] sebuah karakter robot kucing berwarna biru,
berasal dari abad ke-22, pergi ke abad ke-20 untuk menolong Nobita dalam serial
animasi Jepang Doraemon.
[2] Knock Out, istilah yang biasa terdapat dalam olah
raga tinju ketika salah satu peserta tumbang dan tak mampu melanjutkan
pertandingan.
[3] Jomblo adalah istilah keadaan seseorang ketika
sedang tidak memiliki pasangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar