CHAPTER 5 - KENANGAN
Saat
itu lima tahun yang lalu ketika dunia ini masih hidup dalam kedamaian. Sebuah
rumah besar bergaya eropa berdiri megah di bukit tengah kota Emerald. Di
dalamnya ada sebuah keluarga terpandang disertai beberapa pelayan yang setia
melayani mereka dengan baik. Rumah itu adalah milik dari keluarga Leister,
keluarga dari pasangan Healer legendaris
Hamarold dan Grisel Leister.
Seorang
pria duduk tenang di sebuah kursi taman menghisap pipa tembakau sambil memandangi
Kota Emerald. Dia adalah Hamarold Leister, kepala keluarga Leister sekaligus
pemimpin dari Arthemis Union. Istrinya, Grisel Leister, mendatanginya sambil
membawakan secangkir minuman coklat hangat.
“Hari
ini cerah dan tidak ada kegiatan di Arthemis Union, seperti biasa kamu hanya
memandangi kota sambil menghisap pipamu itu. Sekali-sekali ajak keluar anakmu,
dia sudah lama tak melewatkan harinya bersamamu.”
Hamarold
melihat istrinya dan tersenyum, “Kamu benar, sudah lama kita pergi bertugas dan
sangat jarang melewatkan hari bersamanya.”
“Sekarang
ia sudah lulus sekolah dasar dan baru saja melaksanakan ujian masuk di sekolah
menengah pertama terbaik di kota ini dua hari yang lalu. Tak terasa waktu
berjalan begitu cepat dan anak kita sudah sebesar ini.”
Dari
jauh tampak seorang gadis kecil berlari ke arah pasangan itu. Dia adalah anak
tunggal mereka, Amaryl Leister, seorang gadis cantik periang dengan wajah penuh
keceriaan.
“Ayah..
Ayaahh..”
“Kenapa
anakku?” Hamarold tersenyum pada anaknya.
“Aku
lulus di SMP Heros.. Hebat kaann??”
SMP
Heros merupakan SMP terbaik di Kota Emerald bahkan di seluruh Kerajaan
Eternality. Kota Emerald bisa dikatakan adalah kota pendidikan di kerajaan ini.
Banyak orang terpandang yang merupakan lulusan dari sekolah-sekolah di Kota
Emerald.
“Wah
hebat, kamu memang anak ayah yang pandai. Sebagai hadiah, ayah akan mengajakmu
jalan-jalan. Bagaimana?”
“Waaahh..
Benarkah?? Mau sekaliii..”
“Besok
kita semua akan berangkat.”
“Siaapp..
Hihihi..”
“Nah
sekarang kamu sarapan dulu ya, sayang. Kamu juga suamiku, mari kita makan
bersama.” Grisel mengajak mereka berdua untuk segera masuk.
Esok
hari itu adalah hari yang selalu dinantikan oleh Amaryl. Saking senangnya ia
berencana memberikan hadiah untuk ayah dan ibunya ketika mereka pergi bersama
besok. Sudah sekian lama ia terpisah dengan kedua orang tuanya semenjak ayah
dan ibunya dinobatkan sebagai pemimpin dan penasihat di Arthemis Union.
Arthemis
Union adalah sebuah perkumpulan orang-orang berkemampuan khusus dari semua
kerajaan yang bertugas menjaga kedamaian dan kestabilan dunia. Ayahnya sebagai
pemimpin Arthemis akhir-akhir ini cukup disibukan akibat dari perselisihan
antara Kerajaan Eternality dan Kerajaan Olympus. Sebagian wilayah Hutan Emerald
merupakan wilayah sengketa dari masing-masing kerajaan. Meskipun tempat itu
tidak terlalu jauh dari rumahnya, namun ia seringkali pergi menuju wilayah
netral untuk melakukan perundingan demi menciptakan kedamaian dari kedua belah
pihak.
Tapi,
kesenangan itu tak akan pernah terjadi. Sore harinya kediaman Leister didatangi
oleh seorang wanita berpakaian jubah putih dengan lambang Arthemis beserta
orang-orang penting Arthemis lainnya di belakangnya. Amaryl tidak sengaja
melihat dan mendengar percakapan mereka. Entah apa yang sedang dibicarakan,
tapi pembicaraan mereka terlihat sangat serius. Sepertinya yang mereka
bicarakan lebih penting dibandingkan pembicaraan mengenai perseteruan antar
kedua kerajaan.
Kedua
orang tuanya memanggil Amaryl. Tapi Amaryl sudah merasa ada yang tidak beres
dengan semuanya, ia yakin bahwa kedua orang tuanya akan pergi lagi dan rencana
mereka besok akan dibatalkan. Sebelum orang tuanya berbicara dengannya, ia
berlari dan berteriak menuju kamarnya sambil menangis.
Ayahnya
pergi mengejar anaknya dan mengetuk pintunya.
“Amaryl,
tolong buka pintunya, sayang.”
“Pokoknya
besok janji ayah harus ditepati!” Amaryl berteriak dari dalam kamarnya.
Hamarold
menundukkan kepalanya tanpa menjawab. Tak lama kemudian Grisel datang dengan
perasaan cemas.
“Suamiku,
apa Amaryl sudah mengetahuinya?”
“Entahlah,
sepertinya begitu. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Tapi, ini
terlalu mendesak.”
“Anakku,
bolehkah ibu masuk?” Grisel mencoa membujuk Amaryl.
“Tidak, sebelum kalian
berjanji besok kita akan pergi bersama!”
Grisel
hanya terdiam, “Apa yang harus kita lakukan?”
“Hmm..
Aku tak bisa menunda ini lebih lama lagi. Aku akan menyuruh para pelayan agar
segera menyiapkan perjalanan Amaryl besok.”
“Jadi
kita tidak akan ikut dengan Arthemis?”
“Kita
ikut, biarkan saja ia bersama para pelayan. Semoga saja masalah kita segera
diselesaikan dan kita bisa bepergian bersama.”
“Aku
tidak yakin dengan itu semua. Tapi, kita melakukan ini juga demi kedamaian
dunia.”
Esok
harinya Amaryl membuka pintu kamar setelah ia terbangun dari tidurnya. Ia
melihat seluruh pelayan sibuk menyiapkan sesuatu untuknya. Amaryl sangat
senang, ia mengira bahwa orang tuanya mengabulkan keinginannya dan segera
berlibur dengannya.
Tapi
Amaryl merasakan ada yang aneh dengan ini semua, ia tidak melihat kedua orang
tuanya diantara kesibukan para pelayan. Di kamar, didapur, di taman, hingga
seluruh ruangan, ia sama sekali tidak menemukan mereka.
“Stella,
dimana ayah ibuku??” Amaryl bertanya kepada salah satu pelayan.
Stella
hanya diam dan terus sibuk dengan pekerjaannya.
“Stella,
cepat jawab! Ayah dan ibu tidak pergi kan? Ini semua untuk persiapan liburan
kami bertiga kan??” Amaryl masih berusaha mencari tahu.
“Kita
akan pergi bersama, Amaryl. Ayah dan ibumu sudah pergi tadi pagi menuju markas
Arthemis.”
“Apa
maksudmu dengan pergi bersama? Kenapa orang tuaku kesana?” Amaryl mulai
mengeluarkan air matanya.
“Nona,
tuan Hamarold meminta nona agar berlibur dengan kami semua sebagai ganti
mereka.”
“TIDAK MAU! AKU HANYA MAU PERGI
DENGAN AYAH DAN IBUKU!!” Amaryl berlari menuju kamarnya sambil menangis.
Berjam-jam
lamanya Amaryl mengurung dirinya di dalam kamar. Semua pelayan sudah membujuk,
namun Amaryl tidak mau keluar dan tetap mengunci pintu kamar. Ia tidak mau
makan dan menerima semua yang diberikan oleh para pelayan di luar kamarnya.
Suatu
hari ia mendengar ada yang telah datang menuju rumahnya. Amaryl segera membuka
kamarnya, ia yakin orang tuannya pasti datang dan menemuinya. Tapi, yang ada
disana hanyalah seorang wanita berjubah putih dengan lambang Arthemis yang
telah datang sebelumnya kemarin. Ia datang sendirian dengan beberapa luka di
tubuhnya dan mengatakan bahwa Amaryl harus ikut dengannya. Amaryl hanya terus
bertanya dimana orang tuanya, tapi si wanita berjubah putih itu tidak menjawab
dan hanya menunduk. Amaryl menolak ajakan si wanita dan pergi kembali menuju
kamarnya.
“Amaryl,
hentikan semua kemanjaanmu itu! Orang tuamu kini sudah tak mungkin untuk
kembali lagi!” Wanita itu berteriak sambil meneteskan air matanya.
“TIDAK
MUNGKIN!! AYAAHH!! IBUU!!”
Seketika
semuanya menjadi gelap. Hatinya berguncang amat keras. Segalanya menjadi tak
menentu. Amaryl pun pingsan dan tak mengingat semua yang telah terjadi.
***
Gadis
manis ini masih belum siuman dari pingsannya. Entah kenapa aku harus
mengurusnya, tapi ketika kejadian tersebut hanya aku yang mau membawanya ke
klinik pengobatan. Banyak sekali kejadian aneh yang menimpaku selama di dunia
paralel ini, tapi sekarang baru pertama kalinya aku membantu orang lain di
sini.
Bila
melihat keadaannya, gadis ini sepertinya memiliki pergaulan yang sangat buruk. Sungguh
sedih melihatnya, tak ada satupun
temannya yang mau menjenguk. Tadi saja yang mau membawa ke klinik ini hanya aku
dan Dionze.
Dokter
mengatakan kalau Amaryl tidak mengalami masalah yang serius, ia hanya mengalami
syok hingga membuatnya pingsan. Untunglah ini bukan akibat dari serangan
orang-orang Remidi. Tapi, apa yang membuat ia syok hingga membuatnya pingsan
seperti ini masih menjadi pertanyaan bagiku.
Saat
ini hanya ada aku dan Amaryl yang ada di ruangan ini. Dionze sedang keluar
sebentar untuk mencarikan kami makan siang. Semoga saja Amaryl segera siuman
setelah Dionze datang membawakan makanan. Meskipun ia seorang jendral
bertampang garang dan berbadan besar, tapi Dionze itu orang yang baik. Aku
percaya, ia pasti bisa menjadi orang yang sangat hebat suatu saat nanti.
Setelah
melihat keadaan Amaryl sekarang, aku sempat berpikir dengan keadaan tubuhku di
duniaku sekarang. Apa yang terjadi, aku tidak tahu. Entah apa yang telah
dilakukan keluargaku saat ini. Mungkin tubuhku sekarang tengah terbaring di
rumah sakit dengan infus dan berbagai alat untuk menunjang kehidupanku. Aku tak
mau bila ibuku sampai sedih karenaku. Aku ingin segera kembali. Aku rindu
dengan semuanya.
***
“Enutra
ternyata punya banyak uang juga. Gak tahu darimana dia dapat uang sebanyak ini,
tapi yang penting aku harus mencari makanan yang enak!! Perutku sudah
memanggil-manggil namaku untuk segera diisi.”
Dionze
berjalan menyusuri jalanan kota Emerald. Satu persatu ia perhatikan semua kedai
makanan yang ada di kota ini. Sebelumnya ia merasa kapok untuk kembali lagi ke
kedai Gurih Mantab, disana mereka menyajikan makanan yang aneh dan sama sekali
tidak menggugah selera, entah kenapa Enutra malah mengajakku untuk makan disana
tadi pagi.
“Eh
ada kedai makanan yang ramai nih. Biasanya kalau kedai itu ramai, pasti makanan
yang disajikannya juga enak.” pikir Dionze.
Dionze
mendekati kedai tersebut. Tempat itu bernama ‘Kedai Nikmat Membahana’,
nama-nama kedai disini memang memiliki nama yang aneh. Seperti yang telah
tampak dari luar, dari dalam kedai tersebut juga ramai oleh pembeli. Tak ada
satu pun meja yang kosong. Bila saja ia datang untuk makan di tempat, mungkin
saja dia akan makan lesehan[1]
di kedai tersebut.
“Setelah
sekian lama mengantri, akhirnya aku berhasil membelinya.” Dionze keluar dari
kedai tersebut dengan perasaan yang sangat senang.
Belum
sampai lima langkah dari kedai tersebut, ia melihat kerumunan orang di
dekatnya. Penasaran dengan apa yang telah terjadi, Dionze menyelip masuk dan
mencari tahu apa yang sedang terjadi. Ternyata dibalik kerumunan tersebut ada
seorang wanita berjubah putih dan tiga orang lelaki berbadan besar saling
berhadapan. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tapi bisa dipastikan bahwa
ketiga lelaki berbadan besar itu adalah sekelopok preman yang biasa berbuat
onar di kota ini. Dionze tidak bisa melihat jelas siapa wanita berjubah putih
tersebut karena ia tepat berada di belakangnya.
“Hey
kamu! Berani-beraninya mengganggu pekerjaan kami!” salah satu dari tiga lelaki
itu berteriak pada wanita itu.
“Tak
akan kubiarkan seorang pun menindas orang-orang yang lemah.” wanita berjubah
itu dengan tenang berbicara pada tiga lelaki berbadan besar di depannya.
Dionze
melihat ada seorang ibu dan anak perempuannya yang menangis sambil berpelukan
di sebelah si wanita berjubah itu. Sepertinya dia memang bermaksud untuk
menolong mereka yang telah ditindas oleh para preman tersebut. Tapi rasanya ia
terlalu berani, para lelaki dihadapannya itu terlalu berbahaya untuk dilawannya
sendirian.
“Sudah
kubilang! Itu bukan urusanmu! Pergi sana atau kau akan aku habisi!”
“Lawan
saja aku. Jika kalian kalah, aku minta agar kalian tidak menginjakan kaki di
tempat ini lagi.”
Ketiga
lelaki itu terlihat sangat marah. Muka mereka berubah menjadi merah padam.
“KURANG
AJAR!!!”
Dionze
hampir saja membuka pedangnya dan bersiap untuk menghadang para preman
tersebut. Tapi diluar dugaan, wanita berjubah itu tiba-tiba saja mengeluarkan
cahaya putih dari tubuhnya dan membuat ketiga preman itu terpental jauh sebelum
Dionze mencoba untuk membantunya. Dengan tatapan yang sangat tenang, si wanita
berjubah itu kembali mendekati ketiga preman yang sedang kesakitan dan
mengeluarkan cahaya putih dari tangannya.
“Bagaimana,
sudah menyerah?”
“Si..
Siapa kamu sebenarnya?”
Dionze
tercengang dengan apa yang ia lihat. Kekuatan sebesar itu pastilah dimiliki
oleh seorang ahli tenaga dalam tingkat tinggi.
“Aku?
Tidak penting siapa aku.”
Tiba-tiba
saja salah seorang dari lelaki itu menyerang punggung wanita berjubah itu
dengan gada[2]nya.
Dengan reflek Dionze mengangkat pedang kesatrianya untuk menangkis serangan
tersebut dan membanting preman itu dengan tameng besinya. Wanita itu seketika
melihat ke arah Dionze yang saat ini berada di belakangnya.
“Kamu
tidak usah susah-susah membantuku, aku sudah menyadarinya.” wanita itu berkata
dengan tenang kepadanya.
Sejenak
Dionze merasa tidak asing dengan wanita berjubah itu. Meskipun merasa kesal
dengan perkataannya, tapi ia masih berada di belakang si wanita berjubah dengan
posisi siap bertarung.
“Aku
kira aku akan mendapatkan kata-kata terima kasih darimu.” Dionze berbisik pada
wanita berjubah itu.
Salah
satu lelaki besar yang terlihat seperti ketua dari ketiga preman itu tiba-tiba
berdiri di hadapan si wanita berjubah.
“Dasar
sialan!” dua preman lainnya mendekati si ketua.
“Kenapa?”
wanita berjubah itu menatap mereka dengan tenang.
“KAMI
MINTA MAAF, KAMI TIDAK AKAN KEMBALI LAGI!” tiba-tiba saja ketiga lelaki
berbadan besar itu lari tunggang langgang meninggalkan wanita berjubah dan
Dionze.
“Cih..
Dasar para berandalan bodoh tak berakal. Kalian tidak apa-apa kan? Lain kali
kalau kalian ada masalah, hubungi saja aku.” wanita berjubah itu membantu
berdiri ibu dan anaknya yang sedari tadi hanya duduk terdiam ketakutan di
pinggir jalan.
“Te..
Terima kasih. Jika bukan karena bantuanmu, mungkin toko kami akan dihancurkan
oleh mereka.” ibu itu berkata sambil mengusapkan air matanya.
“Oh
ya, kamu tadi yang membantuku, sedang apa disini? Kelihatannya kamu dari
kerajaan Olympus ya?” wanita berjubah itu berbicara pada Dionze.
Semua
orang menatap kepada Dionze. Ia sadar, dia sekarang berada di wilayah musuh
kerajaannya. Dionze hanya berdiri terdiam dan menundukkan kepalanya.
“Tenang
semuanya. Aku rasa dia orang yang baik. Soal perseteruan antar kerajaan ini
harus segera diselesaikan. Masih ada masalah yang lebih penting daripada ini.
Biar aku yang mengurus pria ini.” wanita itu berkata pada semua orang dengan
sangat tenang.
Tak
lama kemudian kerumunan orang-orang mulai membubarkan diri.
“Siapa
kamu dan sedang apa kamu berada disini?” wanita berjubah itu bertanya pada
Dionze.
“Aku
Jendral Dionze. Aku sedang dalam rangka misi penting.”
“Hmm.. Entah kenapa aku tidak
merasa yakin dengan misi pentingmu. Apa itu bungkusan yang ada di tangan
kirimu?”
“Eh??
I.. Ini hanya makanan.. Hmmm.. Baiklah, sebenarnya aku sedang menemani temanku
yang akan mendatangi Raja Algeas. Tapi saat ini kami sedang membantu seorang
gadis yang pingsan tadi pagi.”
“Gadis
yang pingsan? Boleh aku ikut denganmu?”
“Loh??
Bo.. Boleh..”
***
Mata
Amaryl mulai terbuka perlahan-lahan. Ia melihat sosok pria yang menatapnya
dengan senyuman yang hangat. Entah mengapa, ia merasa nyaman dengan senyuman
pria itu. Meskipun masih terlihat buram, Amaryl tak ingin jauh dari pria yang
ia tatap dan memegang erat tangannya.
***
“Wah,
Amaryl kamu sudah siuman ya? Syukurlah.. Aku kira aku harus terus menunggumu
hingga beberapa hari.. Haha..”
Amaryl
akhirnya siuman setelah berjam-jam tak sadarkan diri. Saat ini ia memegang erat
tanganku. Entah kenapa dengannya, tapi aku berusaha untuk terus berada di
sampingnya.
“Kakak,
jangan tinggalkan aku ya..” Amaryl berbicara lemah kepadaku.
“Iya
aku akan terus berada disini hingga kamu pulih total. Oh ya, Dionze sebentar
lagi datang kemari membawa makanan. Nanti kamu makan ya, supaya energi terisi
kembali.”
Amaryl
menganggukan kepalanya. Tangannya masih memegang erat tanganku seolah takut jika
aku pergi meninggalkannya.
Tak
lama kemudian Dionze datang dengan bingkisan di tangannnya.
“Waaa..
Amaryl sudah siuman ya? Eh, kalian kenapa malah mesra-mesraan sampe pegangan
tangan gitu?”
“Hey..
Jangan salah paham. Amaryl baru siuman nih, jangan langsung ngomong yang
aneh-aneh.” aku mencoba menjelaskan.
“Yasudahlah.
Nih makan siang kita. Dijamin pasti lebih enak daripada sarapan aneh kita tadi
pagi.”
Aku
memicingkan mataku, “Eu.. Gitu ya?”
“Oh
ya, Amaryl, ada seseorang yang ingin menemuimu. Mungkin dia keluargamu.”
Seorang
wanita berjubah putih memasuki ruangan dan mendekati Amaryl.
“APAA??
TIDAK!! KELUAR KAMU!! KAK ENUTRA, TOLONG USIR WANITA INI!!”
Aku
tersentak kaget, tiba-tiba saja Amaryl berteriak kepadaku dan menyuruh wanita
itu keluar. Ada apa dengannya? Apakah wanita itu yang telah membuat Amaryl
pingsan tadi Pagi?
***
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 6 - KEKUATAN HATI
BalasHapus