26 Mei 2013

DUNIA SEMU #5


CHAPTER 5 - KENANGAN

            Saat itu lima tahun yang lalu ketika dunia ini masih hidup dalam kedamaian. Sebuah rumah besar bergaya eropa berdiri megah di bukit tengah kota Emerald. Di dalamnya ada sebuah keluarga terpandang disertai beberapa pelayan yang setia melayani mereka dengan baik. Rumah itu adalah milik dari keluarga Leister, keluarga dari pasangan Healer legendaris Hamarold dan Grisel Leister.
            Seorang pria duduk tenang di sebuah kursi taman menghisap pipa tembakau sambil memandangi Kota Emerald. Dia adalah Hamarold Leister, kepala keluarga Leister sekaligus pemimpin dari Arthemis Union. Istrinya, Grisel Leister, mendatanginya sambil membawakan secangkir minuman coklat hangat.

            “Hari ini cerah dan tidak ada kegiatan di Arthemis Union, seperti biasa kamu hanya memandangi kota sambil menghisap pipamu itu. Sekali-sekali ajak keluar anakmu, dia sudah lama tak melewatkan harinya bersamamu.”
            Hamarold melihat istrinya dan tersenyum, “Kamu benar, sudah lama kita pergi bertugas dan sangat jarang melewatkan hari bersamanya.”
            “Sekarang ia sudah lulus sekolah dasar dan baru saja melaksanakan ujian masuk di sekolah menengah pertama terbaik di kota ini dua hari yang lalu. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat dan anak kita sudah sebesar ini.”
            Dari jauh tampak seorang gadis kecil berlari ke arah pasangan itu. Dia adalah anak tunggal mereka, Amaryl Leister, seorang gadis cantik periang dengan wajah penuh keceriaan.
            “Ayah.. Ayaahh..”
            “Kenapa anakku?” Hamarold tersenyum pada anaknya.
            “Aku lulus di SMP Heros.. Hebat kaann??”
            SMP Heros merupakan SMP terbaik di Kota Emerald bahkan di seluruh Kerajaan Eternality. Kota Emerald bisa dikatakan adalah kota pendidikan di kerajaan ini. Banyak orang terpandang yang merupakan lulusan dari sekolah-sekolah di Kota Emerald.
            “Wah hebat, kamu memang anak ayah yang pandai. Sebagai hadiah, ayah akan mengajakmu jalan-jalan. Bagaimana?”
            “Waaahh.. Benarkah?? Mau sekaliii..”
            “Besok kita semua akan berangkat.”
            “Siaapp.. Hihihi..”
            “Nah sekarang kamu sarapan dulu ya, sayang. Kamu juga suamiku, mari kita makan bersama.” Grisel mengajak mereka berdua untuk segera masuk.
            Esok hari itu adalah hari yang selalu dinantikan oleh Amaryl. Saking senangnya ia berencana memberikan hadiah untuk ayah dan ibunya ketika mereka pergi bersama besok. Sudah sekian lama ia terpisah dengan kedua orang tuanya semenjak ayah dan ibunya dinobatkan sebagai pemimpin dan penasihat di Arthemis Union.
            Arthemis Union adalah sebuah perkumpulan orang-orang berkemampuan khusus dari semua kerajaan yang bertugas menjaga kedamaian dan kestabilan dunia. Ayahnya sebagai pemimpin Arthemis akhir-akhir ini cukup disibukan akibat dari perselisihan antara Kerajaan Eternality dan Kerajaan Olympus. Sebagian wilayah Hutan Emerald merupakan wilayah sengketa dari masing-masing kerajaan. Meskipun tempat itu tidak terlalu jauh dari rumahnya, namun ia seringkali pergi menuju wilayah netral untuk melakukan perundingan demi menciptakan kedamaian dari kedua belah pihak.
            Tapi, kesenangan itu tak akan pernah terjadi. Sore harinya kediaman Leister didatangi oleh seorang wanita berpakaian jubah putih dengan lambang Arthemis beserta orang-orang penting Arthemis lainnya di belakangnya. Amaryl tidak sengaja melihat dan mendengar percakapan mereka. Entah apa yang sedang dibicarakan, tapi pembicaraan mereka terlihat sangat serius. Sepertinya yang mereka bicarakan lebih penting dibandingkan pembicaraan mengenai perseteruan antar kedua kerajaan.
            Kedua orang tuanya memanggil Amaryl. Tapi Amaryl sudah merasa ada yang tidak beres dengan semuanya, ia yakin bahwa kedua orang tuanya akan pergi lagi dan rencana mereka besok akan dibatalkan. Sebelum orang tuanya berbicara dengannya, ia berlari dan berteriak menuju kamarnya sambil menangis.
            Ayahnya pergi mengejar anaknya dan mengetuk pintunya.
            “Amaryl, tolong buka pintunya, sayang.”
            “Pokoknya besok janji ayah harus ditepati!” Amaryl berteriak dari dalam kamarnya.
           Hamarold menundukkan kepalanya tanpa menjawab. Tak lama kemudian Grisel datang dengan perasaan cemas.
            “Suamiku, apa Amaryl sudah mengetahuinya?”
            “Entahlah, sepertinya begitu. Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan padanya. Tapi, ini terlalu mendesak.”

            “Anakku, bolehkah ibu masuk?” Grisel mencoa membujuk Amaryl.
            “Tidak, sebelum kalian berjanji besok kita akan pergi bersama!”
            Grisel hanya terdiam, “Apa yang harus kita lakukan?”
            “Hmm.. Aku tak bisa menunda ini lebih lama lagi. Aku akan menyuruh para pelayan agar segera menyiapkan perjalanan Amaryl besok.”
            “Jadi kita tidak akan ikut dengan Arthemis?”
            “Kita ikut, biarkan saja ia bersama para pelayan. Semoga saja masalah kita segera diselesaikan dan kita bisa bepergian bersama.”
            “Aku tidak yakin dengan itu semua. Tapi, kita melakukan ini juga demi kedamaian dunia.”
            Esok harinya Amaryl membuka pintu kamar setelah ia terbangun dari tidurnya. Ia melihat seluruh pelayan sibuk menyiapkan sesuatu untuknya. Amaryl sangat senang, ia mengira bahwa orang tuanya mengabulkan keinginannya dan segera berlibur dengannya.
            Tapi Amaryl merasakan ada yang aneh dengan ini semua, ia tidak melihat kedua orang tuanya diantara kesibukan para pelayan. Di kamar, didapur, di taman, hingga seluruh ruangan, ia sama sekali tidak menemukan mereka.
            “Stella, dimana ayah ibuku??” Amaryl bertanya kepada salah satu pelayan.
            Stella hanya diam dan terus sibuk dengan pekerjaannya.
            “Stella, cepat jawab! Ayah dan ibu tidak pergi kan? Ini semua untuk persiapan liburan kami bertiga kan??” Amaryl masih berusaha mencari tahu.
            “Kita akan pergi bersama, Amaryl. Ayah dan ibumu sudah pergi tadi pagi menuju markas Arthemis.”
            “Apa maksudmu dengan pergi bersama? Kenapa orang tuaku kesana?” Amaryl mulai mengeluarkan air matanya.

            “Nona, tuan Hamarold meminta nona agar berlibur dengan kami semua sebagai ganti mereka.”
            “TIDAK MAU! AKU HANYA MAU PERGI DENGAN AYAH DAN IBUKU!!” Amaryl berlari menuju kamarnya sambil menangis.
            Berjam-jam lamanya Amaryl mengurung dirinya di dalam kamar. Semua pelayan sudah membujuk, namun Amaryl tidak mau keluar dan tetap mengunci pintu kamar. Ia tidak mau makan dan menerima semua yang diberikan oleh para pelayan di luar kamarnya.
            Suatu hari ia mendengar ada yang telah datang menuju rumahnya. Amaryl segera membuka kamarnya, ia yakin orang tuannya pasti datang dan menemuinya. Tapi, yang ada disana hanyalah seorang wanita berjubah putih dengan lambang Arthemis yang telah datang sebelumnya kemarin. Ia datang sendirian dengan beberapa luka di tubuhnya dan mengatakan bahwa Amaryl harus ikut dengannya. Amaryl hanya terus bertanya dimana orang tuanya, tapi si wanita berjubah putih itu tidak menjawab dan hanya menunduk. Amaryl menolak ajakan si wanita dan pergi kembali menuju kamarnya.
            “Amaryl, hentikan semua kemanjaanmu itu! Orang tuamu kini sudah tak mungkin untuk kembali lagi!” Wanita itu berteriak sambil meneteskan air matanya.
            “TIDAK MUNGKIN!! AYAAHH!! IBUU!!”
            Seketika semuanya menjadi gelap. Hatinya berguncang amat keras. Segalanya menjadi tak menentu. Amaryl pun pingsan dan tak mengingat semua yang telah terjadi.
***

            Gadis manis ini masih belum siuman dari pingsannya. Entah kenapa aku harus mengurusnya, tapi ketika kejadian tersebut hanya aku yang mau membawanya ke klinik pengobatan. Banyak sekali kejadian aneh yang menimpaku selama di dunia paralel ini, tapi sekarang baru pertama kalinya aku membantu orang lain di sini.
           Bila melihat keadaannya, gadis ini sepertinya memiliki pergaulan yang sangat buruk. Sungguh  sedih melihatnya, tak ada satupun temannya yang mau menjenguk. Tadi saja yang mau membawa ke klinik ini hanya aku dan Dionze.
            Dokter mengatakan kalau Amaryl tidak mengalami masalah yang serius, ia hanya mengalami syok hingga membuatnya pingsan. Untunglah ini bukan akibat dari serangan orang-orang Remidi. Tapi, apa yang membuat ia syok hingga membuatnya pingsan seperti ini masih menjadi pertanyaan bagiku.
            Saat ini hanya ada aku dan Amaryl yang ada di ruangan ini. Dionze sedang keluar sebentar untuk mencarikan kami makan siang. Semoga saja Amaryl segera siuman setelah Dionze datang membawakan makanan. Meskipun ia seorang jendral bertampang garang dan berbadan besar, tapi Dionze itu orang yang baik. Aku percaya, ia pasti bisa menjadi orang yang sangat hebat suatu saat nanti.
            Setelah melihat keadaan Amaryl sekarang, aku sempat berpikir dengan keadaan tubuhku di duniaku sekarang. Apa yang terjadi, aku tidak tahu. Entah apa yang telah dilakukan keluargaku saat ini. Mungkin tubuhku sekarang tengah terbaring di rumah sakit dengan infus dan berbagai alat untuk menunjang kehidupanku. Aku tak mau bila ibuku sampai sedih karenaku. Aku ingin segera kembali. Aku rindu dengan semuanya.
***

            “Enutra ternyata punya banyak uang juga. Gak tahu darimana dia dapat uang sebanyak ini, tapi yang penting aku harus mencari makanan yang enak!! Perutku sudah memanggil-manggil namaku untuk segera diisi.”
            Dionze berjalan menyusuri jalanan kota Emerald. Satu persatu ia perhatikan semua kedai makanan yang ada di kota ini. Sebelumnya ia merasa kapok untuk kembali lagi ke kedai Gurih Mantab, disana mereka menyajikan makanan yang aneh dan sama sekali tidak menggugah selera, entah kenapa Enutra malah mengajakku untuk makan disana tadi pagi.
            “Eh ada kedai makanan yang ramai nih. Biasanya kalau kedai itu ramai, pasti makanan yang disajikannya juga enak.” pikir Dionze.
            Dionze mendekati kedai tersebut. Tempat itu bernama ‘Kedai Nikmat Membahana’, nama-nama kedai disini memang memiliki nama yang aneh. Seperti yang telah tampak dari luar, dari dalam kedai tersebut juga ramai oleh pembeli. Tak ada satu pun meja yang kosong. Bila saja ia datang untuk makan di tempat, mungkin saja dia akan makan lesehan[1] di kedai tersebut.
            “Setelah sekian lama mengantri, akhirnya aku berhasil membelinya.” Dionze keluar dari kedai tersebut dengan perasaan yang sangat senang.
            Belum sampai lima langkah dari kedai tersebut, ia melihat kerumunan orang di dekatnya. Penasaran dengan apa yang telah terjadi, Dionze menyelip masuk dan mencari tahu apa yang sedang terjadi. Ternyata dibalik kerumunan tersebut ada seorang wanita berjubah putih dan tiga orang lelaki berbadan besar saling berhadapan. Entah apa yang terjadi sebelumnya, tapi bisa dipastikan bahwa ketiga lelaki berbadan besar itu adalah sekelopok preman yang biasa berbuat onar di kota ini. Dionze tidak bisa melihat jelas siapa wanita berjubah putih tersebut karena ia tepat berada di belakangnya.
            “Hey kamu! Berani-beraninya mengganggu pekerjaan kami!” salah satu dari tiga lelaki itu berteriak pada wanita itu.
            “Tak akan kubiarkan seorang pun menindas orang-orang yang lemah.” wanita berjubah itu dengan tenang berbicara pada tiga lelaki berbadan besar di depannya.
            Dionze melihat ada seorang ibu dan anak perempuannya yang menangis sambil berpelukan di sebelah si wanita berjubah itu. Sepertinya dia memang bermaksud untuk menolong mereka yang telah ditindas oleh para preman tersebut. Tapi rasanya ia terlalu berani, para lelaki dihadapannya itu terlalu berbahaya untuk dilawannya sendirian.
            “Sudah kubilang! Itu bukan urusanmu! Pergi sana atau kau akan aku habisi!”
            “Lawan saja aku. Jika kalian kalah, aku minta agar kalian tidak menginjakan kaki di tempat ini lagi.”
            Ketiga lelaki itu terlihat sangat marah. Muka mereka berubah menjadi merah padam.
            “KURANG AJAR!!!”
            Dionze hampir saja membuka pedangnya dan bersiap untuk menghadang para preman tersebut. Tapi diluar dugaan, wanita berjubah itu tiba-tiba saja mengeluarkan cahaya putih dari tubuhnya dan membuat ketiga preman itu terpental jauh sebelum Dionze mencoba untuk membantunya. Dengan tatapan yang sangat tenang, si wanita berjubah itu kembali mendekati ketiga preman yang sedang kesakitan dan mengeluarkan cahaya putih dari tangannya.
            “Bagaimana, sudah menyerah?”
            “Si.. Siapa kamu sebenarnya?”
            Dionze tercengang dengan apa yang ia lihat. Kekuatan sebesar itu pastilah dimiliki oleh seorang ahli tenaga dalam tingkat tinggi.
            “Aku? Tidak penting siapa aku.”
            Tiba-tiba saja salah seorang dari lelaki itu menyerang punggung wanita berjubah itu dengan gada[2]nya. Dengan reflek Dionze mengangkat pedang kesatrianya untuk menangkis serangan tersebut dan membanting preman itu dengan tameng besinya. Wanita itu seketika melihat ke arah Dionze yang saat ini berada di belakangnya.
            “Kamu tidak usah susah-susah membantuku, aku sudah menyadarinya.” wanita itu berkata dengan tenang kepadanya.
            Sejenak Dionze merasa tidak asing dengan wanita berjubah itu. Meskipun merasa kesal dengan perkataannya, tapi ia masih berada di belakang si wanita berjubah dengan posisi siap bertarung.
            “Aku kira aku akan mendapatkan kata-kata terima kasih darimu.” Dionze berbisik pada wanita berjubah itu.
            Salah satu lelaki besar yang terlihat seperti ketua dari ketiga preman itu tiba-tiba berdiri di hadapan si wanita berjubah.
            “Dasar sialan!” dua preman lainnya mendekati si ketua.
            “Kenapa?” wanita berjubah itu menatap mereka dengan tenang.
            “KAMI MINTA MAAF, KAMI TIDAK AKAN KEMBALI LAGI!” tiba-tiba saja ketiga lelaki berbadan besar itu lari tunggang langgang meninggalkan wanita berjubah dan Dionze.
            “Cih.. Dasar para berandalan bodoh tak berakal. Kalian tidak apa-apa kan? Lain kali kalau kalian ada masalah, hubungi saja aku.” wanita berjubah itu membantu berdiri ibu dan anaknya yang sedari tadi hanya duduk terdiam ketakutan di pinggir jalan.
            “Te.. Terima kasih. Jika bukan karena bantuanmu, mungkin toko kami akan dihancurkan oleh mereka.” ibu itu berkata sambil mengusapkan air matanya.
            “Oh ya, kamu tadi yang membantuku, sedang apa disini? Kelihatannya kamu dari kerajaan Olympus ya?” wanita berjubah itu berbicara pada Dionze.
            Semua orang menatap kepada Dionze. Ia sadar, dia sekarang berada di wilayah musuh kerajaannya. Dionze hanya berdiri terdiam dan menundukkan kepalanya.
            “Tenang semuanya. Aku rasa dia orang yang baik. Soal perseteruan antar kerajaan ini harus segera diselesaikan. Masih ada masalah yang lebih penting daripada ini. Biar aku yang mengurus pria ini.” wanita itu berkata pada semua orang dengan sangat tenang.
            Tak lama kemudian kerumunan orang-orang mulai membubarkan diri.
            “Siapa kamu dan sedang apa kamu berada disini?” wanita berjubah itu bertanya pada Dionze.

            “Aku Jendral Dionze. Aku sedang dalam rangka misi penting.”
            “Hmm.. Entah kenapa aku tidak merasa yakin dengan misi pentingmu. Apa itu bungkusan yang ada di tangan kirimu?”
            “Eh?? I.. Ini hanya makanan.. Hmmm.. Baiklah, sebenarnya aku sedang menemani temanku yang akan mendatangi Raja Algeas. Tapi saat ini kami sedang membantu seorang gadis yang pingsan tadi pagi.”
            “Gadis yang pingsan? Boleh aku ikut denganmu?”
            “Loh?? Bo.. Boleh..”
***

           Mata Amaryl mulai terbuka perlahan-lahan. Ia melihat sosok pria yang menatapnya dengan senyuman yang hangat. Entah mengapa, ia merasa nyaman dengan senyuman pria itu. Meskipun masih terlihat buram, Amaryl tak ingin jauh dari pria yang ia tatap dan memegang erat tangannya.
***
            “Wah, Amaryl kamu sudah siuman ya? Syukurlah.. Aku kira aku harus terus menunggumu hingga beberapa hari.. Haha..”
            Amaryl akhirnya siuman setelah berjam-jam tak sadarkan diri. Saat ini ia memegang erat tanganku. Entah kenapa dengannya, tapi aku berusaha untuk terus berada di sampingnya.
            “Kakak, jangan tinggalkan aku ya..” Amaryl berbicara lemah kepadaku.
            “Iya aku akan terus berada disini hingga kamu pulih total. Oh ya, Dionze sebentar lagi datang kemari membawa makanan. Nanti kamu makan ya, supaya energi terisi kembali.”
            Amaryl menganggukan kepalanya. Tangannya masih memegang erat tanganku seolah takut jika aku pergi meninggalkannya.
            Tak lama kemudian Dionze datang dengan bingkisan di tangannnya.
            “Waaa.. Amaryl sudah siuman ya? Eh, kalian kenapa malah mesra-mesraan sampe pegangan tangan gitu?”
            “Hey.. Jangan salah paham. Amaryl baru siuman nih, jangan langsung ngomong yang aneh-aneh.” aku mencoba menjelaskan.
            “Yasudahlah. Nih makan siang kita. Dijamin pasti lebih enak daripada sarapan aneh kita tadi pagi.”
            Aku memicingkan mataku, “Eu.. Gitu ya?”
            “Oh ya, Amaryl, ada seseorang yang ingin menemuimu. Mungkin dia keluargamu.”
            Seorang wanita berjubah putih memasuki ruangan dan mendekati Amaryl.
            “APAA?? TIDAK!! KELUAR KAMU!! KAK ENUTRA, TOLONG USIR WANITA INI!!”
            Aku tersentak kaget, tiba-tiba saja Amaryl berteriak kepadaku dan menyuruh wanita itu keluar. Ada apa dengannya? Apakah wanita itu yang telah membuat Amaryl pingsan tadi Pagi?
***




[1] Duduk dengan beralaskan tikar.
[2] Sejenis senjata pemukul besar.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39