19 Mei 2013

DUNIA SEMU #4


CHAPTER 4 - BUKIT CAHAYA
           
            “Hoaamm.. Apa kamu yakin kita akan aman tidur di tengah hutan begini tanpa tenda?”
            Sudah sekitar dua belas jam semenjak aku pertama kali bertemu dengan seorang pria bernama Dionze. Perjalananku menuju kediaman Raja Algeas mungkin baru sepertiganya. Untuk sementara, malam ini kami berkemah dulu untuk mengisi stamina yang telah kelelahan. Banyak hal yang telah dibicarakan selama perjalanan tadi, namun masih terasa samar bagiku untuk memahami segala keanehan dunia ini.

            “Tenang saja tuan, aku akan mengawasimu. Tapi sejauh ini tidak ada hal yang cukup mengancam keselamatan kita.”
            “Ooi, Dionze.. Bisa kamu berhenti memanggilku dengan kata ‘tuan’?”
            “Uh? Kalau begitu apa yang harus saya katakan?”
            “Terserah apapun yang bisa mebuatmu nyaman.”, aku menyenderkan kepalaku di atas tumpukan kain sebagai bantal.
            “Bagaimana jika Ksatria Cerberus?”
            Aku melihat sinis kepadanya.
            “Uh.. Anda tidak menyukainya? Umm.. Kalau begitu, Ksatria Pengelana?”
            Tatapan sinisku masih belum berubah.
            “Ha? Baiklah aku akan memanggilmu Yang Mulia Enutra.”
            “Sudah.. Cukup panggil aku Enutra saja. Tanpa gelar apapun. Dan berhentilah memanggilku dengan kata ‘tuan’ dan ‘anda’. Geli aku mendengarnya.”
            “Hee?? Ba.. Baiklah, Enutra.”, terlihat bahwa Dionze masih merasa canggung.
            “Oh ya, kamu tidak usah berjaga semalaman. Biarkan saja kita berjaga bergantian. Staminamu pun harus tetap terjaga.”
            “Okeh.”, jempolnya diangkat mengarah kepadaku.
            “Wak? Ada kemajuan nih Bahasa Inggrisnya?”, kita pun tertawa bersama malam itu.
***

            Hutan Emerald pada malam hari ini sungguh sangat indah. Bintang-bintang berkelip memancarkan cahaya indahnya diantara gelapnya langit malam. Terdengar suara jangkrik, burung malam, dan kelelawar mengusik kesunyian. Hawa dingin menusuk kulit seiring hembusan angin yang bergerak pelan dan tenang.
            Amaryl Leister, seorang gadis Healer[1] pemula berjalan sendiri menyusuri gelapnya hutan di malam hari. Raut mukanya memperlihatkan emosi yang penuh dengan kekesalan. Dia tidak tahan dengan cibiran teman-temannya yang semenjak tadi siang terus-menerus berdengung di kepalanya. Hanya ada satu cara agar dia dapat menenangkan dirinya, berjalan menyusuri Hutan Emerald dan berlatih meningkatkan kemampuannya.
            “Besok akan kubuktikan kepada mereka semua kalau aku bukanlah seorang pecundang!”
            Amaryl adalah seorang siswi jurusan ilmu metafisik dari sekolah menengah atas Bellatorus, Kota Emerald, Kerajaan Eternality. Gadis berkulit putih dengan rambut merah sepundak ini merupakan anak dari pasangan Healer terkenal di seluruh kerajaan yaitu Hamarold Leister dan Grisel Leister. Berbeda dengan kedua orang tuanya yang sudah memiiki nama besar, Amaryl tidak memiliki kemampuan sehebat mereka meski disebut-sebut sebagai satu-satunya pewaris ilmu heal khusus milik keluarga Leister. Itu sebabnya Amaryl sering menjadi bahan olokan oleh teman-temannya.
            Malam ini ia terus berjalan menyusuri Hutan Emerald yang gelap. Ada satu lokasi yang selalu ia datangi sebagai tempat untuk menenangkan diri. Tempat itu merupakan sebuah bukit bagian utara Hutan Emerald. Dari sini ia dapat melihat pemandangan Kota Emerald dengan gemerlap cahaya lampunya yang indah. Tempat yang selalu didatanginya hingga ia menyebutnya sebagai Bukit Cahaya.
            Amaryl duduk bersila menghadap lembah yang merupakan sisi perbatasan Kota Emerald. Ia menutup matanya sembari mengepalkan kedua tangannya. Sesaat setelah itu, aura cahaya berwarna putih bersinar terang menyelimuti tubuhnya. Kini bukit cahaya itu benar-benar bercahaya olehnya.
            Dari balik semak-semak, seorang pria mengendap memerhatikan gadis yang bercahaya itu. Wajahnya penuh kecurigaan seakan belum pernah melihat hal seperti ini. Langkah pria itu semakin dekat. Amaryl tetap diam berkonsentrasi seolah-olah tidak menyadari keberadaan pria itu di dekatnya.
            Amaryl masih duduk berkonsentrasi pada posisinya. Pria mencurigakan itu semakin lama semakin mendekatinya hingga akhirnya menyentuh pundak si gadis. Amaryl tersentak kaget dengan sentuhan itu, reflek ia mengeluarkan tenaga dalamnya dengan memukul perut pria itu kuat-kuat hingga terlempar jauh ke atas dahan pohon.
            “SIAPA KAMUU!!??”, Amaryl berteriak dengan tatapan penuh kemarahan.
***

            “Dionze, kamu belum tidur?”
            “Eh? Iya.. Saya sedang berjaga.”
            “Hmmm.. Malam ini aku ga bisa tidur. Besok pasti bakalan ngantuk banget. Mau gantian jaga?”
            Tanpa banyak berkata, Dionze tiba-tiba bertukar posisi denganku.
            “Dionze, sebetulnya nama hutan ini apa ya? Rasanya aku tidak asing dengan hutan ini.”
            “...”
            “Wak?? Dia udah tidur lagi?? Cepet banget??”, aku menggerutu sendirian di tengah kegelapan malam.
            Dalam kesendirian karena masih terjaga di hutan yang asing, akhirnya aku menikmati suasana malam ini. Bintang-bintang berkelip memancarkan sinar putihnya. Semilir angin tenang mengalir menyentuh kulit. Suara jangkrik yang seiring bergantian mengisi di kesunyian malam. Suasana seperti ini mengingatkanku ketika ikut dalam kegiatan perkemahan saat masih SMA.
            “Langitnya indah sekali. Bintang-bintang yang gemerlapan seperti ini tidak mungkin bisa kulihat di Bandung.”
            Tiba-tiba sesuatu terjadi dari sebelah utara hutan. Muncul cahaya putih yang berpendar sangat terang seperti cahaya lampu laser di suatu acara perayaan, hanya saja cahaya itu diam mengarah ke langit.
            Rasanya aku ingin berjalan ke arah sumber cahaya itu, tapi si Dionze ini masih terlelap. Entah apa yang harus dilakukan. Dalam pikiranku berkecamuk dua pendapat yang berbeda antara pergi menuju sumber cahaya itu atau tetap disini bersama Dionze. Aku mengguncang-guncang badan Dionze, tapi dia masih tertidur dengan nyenyak.
            “Dionze, bangun cepat!!”
            “...”
            Entah seberapa kuat aku mengguncangnya, tapi si jendral itu masih menikmati tidurnya. Rasa penasaranku semakin tak terbendung hingga akhirnya aku menyeret Dionze beserta kantung tidurnya menuju sumber cahaya itu.
            Dengan napas yang terengah-engah, aku dan Dionze akhirnya berhasil mendekati sumber cahaya mencurigakan itu. Ternyata yang kulihat adalah seorang gadis remaja berumur sekitar tujuh belas tahunan. Kulitnya putih merona dengan rambut coklat sepundak, cukup cantik setelah sekian lama tidak melihat wanita sejak berada di dunia ini. Gadis itu duduk bersila dengan dikelilingi oleh sinar putih yang sangat terang. Entah apa sesuatu yang mengelilinginya itu, tapi aku berpikir bahwa gadis itu sedang mengalami suatu hal yang buruk.
            Perlahan aku berjalan mendekatinya dan meninggalkan Dionze yang sedang terlelap di balik semak-semak. Gadis itu masih terdiam seolah tidak terusik dengan keberadaanku. Selangkah demi selangkah jarak kami semakin dekat hingga akhirnya tanganku menyentuh pundaknya.
            Tapi, tiba-tiba gadis itu mengepalkan tangannya dan mengarahkan tangannya ke perutku hingga membuatku terlempar jauh dan tersangkut di dahan pohon.
            “SIAPA KAMUU!!??”, gadis itu berteriak kepadaku dengan tatapan penuh kemarahan.
            “Waa.. Kamu sendiri siapa?? Seenaknya mukul orang. Orang-orang disini memang ga ada yang bisa diajak ramah!!”, aku berteriak dari atas dahan pohon.
            “Ada apa ya ribut-ribut?”, Dionze yang sedari tadi tidur tiba-tiba terbangun.
            “Kamu dari tadi dibangunin baru sekarang bangun! Bantuin saya turun dari sini woy!”, aku masih berteriak dari atas dahan pohon.
            “Kalian ini siapa sebenarnya??”, gadis itu terlihat kebingungan dengan apa yang terjadi.
            “Eh, Enutra kenapa kamu ada diatas situ?”
            “Jangan banyak tanya, yang penting bantuin turunin aku!”
            Setelah beberapa lama berselang, akhirnya aku turun dari dahan pohon dibantu oleh Dionze. Aku menjelaskan kepada semuanya tentang insiden yang telah terjadi barusan.
            “Oh jadi gitu ya? Maaf.. Maaf..”, gadis itu menjulurkan lidahnya sambil melakukan teknik healing unik seperti tenaga dalam.
            “Errr.. Ngomong-ngomong siapa kamu?”, aku bertanya kepada si gadis.
            “Aku Amaryl Leister. Siswi dari sekolah menengah Bellatorus.”
            “Leister? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”, Dionze berusaha mengingat-ingat.
            “Ah bukan siapa-siapa kok.. Oh ya, sepertinya aku pernah melihat kakak. Nama kakak Enutra bukan?”, gadis itu menunjuk ke arahku sambil tersenyum.
            “Eh, iya.. Kamu mengenalku?”
            “Wah masa lupa? Aku kan adik kelasmu sewaktu kakak masih sekolah. Maaf ya tadi aku bertindak yang kurang sopan.”
            “Oh ya? Maaf.. Maaf.. Akhir-akhir ini aku jadi pelupa.. Ngomong-ngomong masalah tadi ga usah dibahas, lagian itu salah aku juga yang sudah mengganggu konsentrasi kamu.”
            “Ah ya! Aku ingat!”, Dionze tiba-tiba menyela, “Kamu anak dari pasangan healer legendaris Hamarold Leister dan Grisel Leister kan? Mereka itu adalah dua dari tiga healer legendaris pejuang Arthemis. Tapi sayangnya mereka gugur ketika melawan Tifon[2] dan menyisakan Clairess sebagai satu-satunya healer legendaris pejuang Arthemis yang masih hidup.”
            Aku kebingungan dengan yang dikatakan oleh Dionze. Tapi ketika ia menjelaskan hal tersebut, Amaryl kelihatan tidak senang dan menundukkan wajahnya. Wajar saja jika seseorang menceritakan hal yang membuat orang lain mengingat akan kenangan buruknya, pasti ia akan merasakan kesedihan.
            “Euu.. Amaryl kamu tidak apa-apa? Maaf jika aku membuatmu mengingat kedua orang tuamu.”, Dionze mencoba untuk menghibur Amaryl.
            “Gak apa-apa kok, kak. Ngomong-ngomong kakak siapa ya? Aku sama sekali belum pernah melihat kakak sebelumnya.”, Amaryl terlihat berusaha untuk menghilangkan rasa sedihnya.
       “Aku Dionze dari Kerajaan Olympus, salam kenal.”       
       “Kenapa malam-malam begini kamu ada di tengah hutan sendirian? Bukankah berbahaya?”, aku bertanya pada Amaryl.
       “Aku sedang berlatih meningkatkan skill healing dengan auraku. Hanya disinilah tempat yang bisa membuatku tenang, di bukit cahaya.”, Amaryl menatap gemerlap cahaya lampu Kota Emerald dari sisi bukit terjal.
       “Sepertinya kamu memang menikmati tempat ini.”, aku pun ikut menatap cahaya lampu kota dari atas bukit ini.
       “Sekarang sudah terlalu larut apa tidak sebaiknya kamu pulang saja?”, Dionze bertanya pada Amaryl.
       “Ah iya, latihanku malam ini sampai disini saja deh. Coba kalau kalian tidak datang, mungkin aku bisa berlatih lebih lama.”
       “Hee? Apa maksudmu?”, aku memicingkan mata.
       “Ahaha.. Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong kalian tinggal dimana? Sepertinya kalian sedang berkemah ya?”
       “Iya, aduh ga usah ngajak kita nginap di rumahmu.”, aku berbicara sambil tertawa cengengesan.
       “Siapaaa juga yang minta kalian nginap?? Bukankah di bawah ada banyak penginapan? Sebaiknya kalian menginap disana saja.”, Amaryl menunjuk ke Kota Emerald.
       “Enutra, makanya jangan kepedean gitu.”, Dionze menyindirku.
       Aku akhirnya hanya tertunduk kecewa sambil berjalan mengikuti Amaryl dan Dionze di depanku.
***

       Pagi ini lagi-lagi aku masih terbangun di dunia yang tidak kukenal. Meski berkali-kali aku terbangun dalam kekecewaan, namun harapanku masih belum pupus untuk bisa terbebas dari dunia ini. Di sebuah dunia paralel yang berjalan sejajar dengan duniaku.
       Aku berjalan menuju teras penginapan yang telah ditunjukan Amaryl semalam. Sekarang posisiku berada di sebuah kota kecil di pinggiran Kerajaan Eternality, Kota Emerald. Bentuk penginapan ini berupa bangunan bergaya eropa abad pertengahan. Bukan hanya itu, bangunan sekitar pun bentuknya tidak jauh berbeda dengan penginapan.
            Jika dipikir-pikir, dunia ini terasa sangat aneh. Aku mempelajari berbagai macam hal dari semuanya, bukankah dunia paralel itu adalah dunia yang berjalan saling sejajar satu sama lainnya? Tetapi yang tampak adalah dunia ini seperti duniaku di abad pertengahan dengan segala peralatannya yang masih tradisional. Belum pernah aku melihat peralatan modern selama berada di sini. Semua ini jadi mengingatkanku dengan sebuah game MMORPG[3] yang biasa aku mainkan ketika masih di duniaku dulu. Apa memang dunia ini dirancang menjadi seperti dunia game?
            Tapi, dibalik semua itu setidaknya dunia ini sangat menghargai alamnya sehingga tidak banyak perusakan yang dialami sejak berabad-abad lamanya. Sementara ini aku lebih baik menikmati kedamaian di pagi hari ini. Suatu pagi di dunia yang sangat asri, dunianya Enutra.
            Suara langkah kaki datang dari belakangku. Seorang jendral bernama Dionze mendekatiku sambil memandangi kota kecil yang asri ini. Tangannya memegang secangkir minuman hangat yang entah apa isinya.
            “Selamat pagi, Enutra. Pagi yang cerah untuk memulai hari.”
            “Eh.. Pagi..”, jarang sekali aku disapa di pagi hari oleh seorang pria. Terasa agak menjijikan.
            “Apa rencana kita hari ini? Mau langsung berangkat melanjutkan perjalanan kita?”
            “Nanti saja, aku ingin menikmati kota ini dulu.”
            “Oh ya. Ngomong-ngomong ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
            “Apa itu?”
            “Maaf jika membuatmu tersinggung. Sebenarnya aku merasa aneh denganmu. Amaryl bilang kamu pernah bersekolah di sini, tapi kamu sama sekali tidak tahu jalan menuju istana Raja Algeas. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”
            Aku terkejut dengan apa yang ia katakan. Sama sekali belum terpikirkan hal semacam itu selama ini. Mana mungkin aku memberi tahu kalau aku adalah Enutra yang datang dari dunia lain. Mungkinkah aku harus berterus terang atau tetap bersandiwara dengan semua orang disini? Sebaiknya harus tetap kusembunyikan jati diriku yang sebenarnya demi kebaikan Enutra.
            “Eeuu.. Maaf, akhir-akhir ini aku jadi sering pelupa, mungkin gara-gara sering minum arak setiap malam.”
            “Oh begitu ya? Sebaiknya kebiasaanmu itu harus segera dihentikan. Tidak baik bagi ksatria sepertimu untuk melakukan hal yang sia-sia seperti itu.”
            Aku mengangguk dan tersenyum. Tentu saja aku belum pernah meminum arak seteguk pun.
            “Dionze, aku ingin mengitari dulu kota ini sekaligus untuk mencari sarapan.”
            Sebenarnya aku berpikir jika melakukan perjalanan mengelilingi kota ini, mungkin ingatan Enutra bisa kudapatkan. Otak yang ada di kepalaku ini tentu saja adalah otak dari Enutra, seharusnya akan ada bayangan yang terbesit setiap kali melihat bangunan-bangunan kota. Hal ini sempat terpikirkan olehku ketika aku merasa mengingat hutan di sisi Kota Emerald. Banyak hal yang membuatku merasa pernah berada disana, mungkin itu memang adalah ingatan dari pemilik asli tubuh ini.
            “Okeh.. Tapi semoga persediaan uangku cukup untuk beberapa hari kedepan.”
            “Tenang saja akan ku traktir kalau kamu memang kekurangan uang.”
            Untunglah Enutra adalah orang yang cukup berjasa di dunia ini. Sebenarnya sudah lama aku menyadari bahwa sebenarnya Enutra memiliki cukup banyak koin emas dari peti kayunya saat di rumah Javier.
            “Mau sarapan dimana nih?”
            “Hmm.. Kayaknya kedai itu cukup menarik makanannya.”, aku menunjuk salah satu kedai makanan dengan berbagai menu terpampang di depannya.
            Kami berdua menghampiri kedai makanan bernama Gurih Mantab.
            “AAAAAAAAAAAAAaaaaa......”
            Tapi, tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita yang cukup keras sebelum sempat memasuki kedai tersebut. Kami berdua saling mengangguk sepakat untuk pergi menuju sumber suara itu dulu. Arah suara itu berasal dari sebuah sekolah menengah atas yang letaknya tidak jauh dari tempatku berada, Sekolah Menengah Atas Bellatorus.
            Aku dan Dionze berlari menuju tempat kejadian. Setelah mendekati lokasi tersebut, ada kerumunan orang penasaran di depan gerbang sekolah. Perasaan cemas muncul dalam diriku, aku khawatir bila terjadi sesuatu dengan Amaryl. Dari belakang, kami berusaha menyelinap masuk untuk memastikan apa yang terjadi.
            Dari balik kerumunan tampak seorang gadis remaja berambut coklat terbaring tak sadarkan diri. Aku memastikan untuk mencari tahu siapa gadis itu. Benar saja dengan apa yang aku cemaskan, ternyata dia Amaryl!? Apa yang telah terjadi dengannya?
***


[1] Sebutan bagi seseorang berkemampuan khusus yang dapat menyembuhkan luka dan penyakit dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
[2] Monster naga raksasa mitologi Yunani yang berkepala seratus dan bersayap.
[3] Massively multiplayer online role-playing game, permainan peran komputer (RPG) yang melibatkan ribuan pemain untuk bermain bersama dalam dunia maya yang terus berkembang pada saat yang sama melalui media internet dan jaringan.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39