16 Februari 2025

DUNIA SEMU #46

CHAPTER 46 - RELIK

Deru jangkar besi menghempas permukaan laut, menciptakan riak besar yang menciprat liar ke udara. Sebuah kapal besar perlahan berlabuh di dermaga kayu yang terlihat tua dan rapuh. Tak ada sambutan meriah. Tak ada suara kerumunan manusia. Hening, seolah tempat ini telah lama ditinggalkan oleh kehidupan. Hingga akhirnya, satu per satu penumpang turun, menapakkan kaki di tanah yang terasa dingin dan asing.

Udara di sekitarnya muram, kelam. Matahari masih jauh dari waktu tenggelam, namun cahayanya terasa redup, terhalang oleh kepulan asap tebal yang melayang di udara. Pandangan menjadi kabur. Di mana dahulu rimbunan pepohonan menghijau, kini hanya tersisa reruntuhan bangunan yang legam, berubah menjadi arang dan bara yang masih membara.

10 Februari 2025

DUNIA SEMU #45

CHAPTER 45 - DERMAGA

Kukira sepanjang perjalanan berada di atas laut akan sangat membosankan, ternyata tidak juga. Padahal ini adalah kali pertamanya aku menaiki kapal laut sebesar ini dalam waktu yang cukup lama. Langkah kaki menyusuri dek kapal yang tersusun dari kayu-kayu mahoni. Mengitari setiap sisi kapal yang disuguhi pemandangan cakrawala yang jelas.

Riuh pekik kawanan camar saling menyambut di bawah naungan awan tipis. Melayang-layang mengikuti arah asap cerobong yang menjulang tinggi. Sementara di permukaan ada sekitar lima-enam ekor lumba melompat beriringan. Mereka berenang mengikuti arus riak terpaan dari kapal. Sesekali juga terdengar kikikan seolah saling bergurau mengejar satu sama lain.

2 Februari 2025

DUNIA SEMU #44

CHAPTER 44 - IKATAN DARAH

Baru saja langit malam tergantikan terang sesaat setelah terbitnya sang surya dari ufuk timur, kini kembali redup diselimuti awan kelabu pekat yang menggelayut perlahan menutupi setiap pancaran hangat mentari. Dari arah timur laut, angin bergemuruh ikut memamerkan aksinya, menghempaskan ombak laut lepas, berkali-kali menghantam haluan kapal. Aura mencekam mulai memenuhi atmosfir. Namun ini bukanlah akibat dari rangkaian perubahan cuaca yang terjadi di luar, melainkan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi beberapa saat setelah dimulainya jamuan sarapan. Pembunuh merajalela dan berkeliaran bebas di dalam kapal besar ini.

Aku, Vivian, dan beberapa Pejuang Vivian kini telah meninggalkan ruang. Awalnya aku meminta Vivian untuk tetap tinggal demi keselamatannya. Namun ia tetap bersikeras menolak dan tak ingin terpisah dariku. Meski membuat hatiku senang, di lain hal keputusannya tersebut membuat beberapa penumpang pria di kelas bangsawan menunjukan tatapan sinis padaku. Tentu saja aku harus menghiraukannya, yang jelas prioritas saat ini adalah keselamatan Vivian.