23 Januari 2025

DUNIA SEMU #42



CHAPTER 42 - PERJALANAN BARU

Akhirnya hari ini menjadi hari terakhir bagiku dan Vivian untuk berada di kota Celadoni. Sudah dua minggu terlewati, padahal rasanya seperti baru kemarin kami tiba di kota pelabuhan ini. Dan kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan menuju markas besar Arthemis baru sesuai dengan rencana awal di Kota Haiwa, Kerajaan Pacifier. Semoga saja kami juga dapat bertemu kembali dengan teman-teman yang lain.

Kali ini kami berdua tidak sendiri. Sejumlah ksatria dan para ahli tenaga dalam serta orang-orang berkemampuan khusus dari Kota Celadoni pun turut serta dalam perjalanan saat ini. Mereka semua tergerak setelah mengetahui bahwa Kerajaan Eternality telah diambil alih oleh Bangsa Remidi dan kemudian menyebut diri mereka sebagai Pejuang Vivian. Dengan adanya bantuan sebanyak ini, semoga saja akan menambah amunisi dalam menghadang kekuatan besar Bangsa Remidi nanti.

Jujur saja, kota ini telah memberikanku banyak cerita dan pengalaman baru. Meski beberapa insiden serta peristiwa mengerikan sempat terlewati, namun semua itu seolah memberikan pelajaran yang begitu berharga bagiku. Kusadari bahwa selama ini diriku begitu naif. Aku mulai mengerti bahwa kehidupan itu bukan hanya sekadar berjuang pada apa yang hanya terlihat. Dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian yang lebih dalam setiap keputusan. Namun di sisi lain, setiap keputusan pun harus dibuat dengan cepat dan konsisten tanpa menghiraukan dampak-dampak yang akan terjadi pada sekitarnya. Ah.. Semua kata-kata ini jadi terdengar seperti sebuah judul skripsi[1].

Tentu saja kami tak bisa terlalu berlama-lama hanya untuk sekadar beristirahat dan memulihkan tenaga. Lagipula kami pun merasa tidak enak terhadap Pak Sam, sang tuan pemilik penginapan tempat kami tinggal, yang selalu melayani kami dengan ramah meski awalnya kami datang dengan cuma-cuma. Tapi pada akhirnya kami memberikannya sejumlah uang yang kudapatkan dari hasil hadiah sayembara saat mengalahkan Scylla. Tak kusangka bahwa sayembara yang diberikan Lena ternyata bukanlah sekadar omong kosong belaka.


Bicara tentang Lena, kemarin ia sempat menemui kami kembali di penginapan. Kusadari ia jadi terlihat lebih pendiam semenjak terakhir kali bertemu di rumah sakit. Tapi aku masih sempat betegur sapa dan sedikit berbasa-basi dengannya meski memang terlihat jelas adanya rasa canggung pada dirinya. Pada saat itu pula ia memberikan kami masing-masing sebuah hadiah. Aku tak tahu apa yang ia berikan pada Vivian, ia hanya sempat berbisik pada Vivian seolah ingin merahasiakannya dariku. Sedangkan untukku, ia memberikan sebuah baju zirah yang bentuknya hampir mirip dengan yang kupakai pada saat melawan Scylla tempo hari. Perbedaannya hanya ada pada permukaan materialnya yang terlihat seperti ada beberapa aksen kilapan campuran pecahan kristal transparan berwarna biru. Ia menjelaskan bahwa baju zirah tersebut terbuat dari campuran material yang kubawa dari dalam perut Scylla. Dan tentu saja baju zirah tersebut tidak akan membuatku tenggelam sepeti yang sebelumnya. Setelah itu, ia kemudian pamit tanpa kusadari bahwa saat itu merupakan terakhir kalinya kami bertemu hingga sekarang. Lena tidak datang kembali. meski telah diberi tahu Vivian bahwa di hari ini kami berdua akan meninggalkan Celadoni. Apa boleh buat, kami pun akhirnya pergi tanpa sempat bertemu dengannya lagi hingga akhirnya kapal yang kami tumpangi mulai beranjak dari dermaga dan meninggalkan kota penuh kesan ini.

Sampai jumpa Kota Celadoni! Sampai bertemu lagi Lena!

***

         

~Hueeeekkkk...

“Enutra, kamu baik-baik saja? Wajahmu terlihat semakin pucat.”

Kemudian aku menoleh dengan tatapan kosong pada Vivian yang baru saja datang menghampiriku.

“Entahlah. Semenjak pertarungan di laut waktu itu, aku jadi merasa mual untuk berada di atas kapal yang mengapung.” ucapku lemas yang selang beberapa detik kemudian langsung menjulurkan kepala ke luar geladak kapal sambil memuntahkan sebagian isi perut. 

“Sepertinya kamu tidak sehat.” Vivian lalu memegangi tanganku, “Ayo ikut aku.”

Sang putri yang luar biasa jelita ini pun lalu menarikku sambil berlari kecil menuju ruangan kamarnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bisa mengikuti kemauannya. Seketika wajahku memerah ketika beberapa langkah kaki mulai memasuki ruangan tersebut. Tercium semerbak aroma khasnya memenuhi setiap volume ruangan yang hanya seluas sekitar tiga kali tiga meter.

“Viv-Vivian, kenapa kau membawaku kemari?” tanyaku gugup.

“Berbaringlah sejenak di ranjangku ini.” perintahnya tenang tanpa menghiraukan pertanyaanku.

Jujur aku tak bisa menolak tawarannya. Setelah melepas sabuk pengikat pedang serta beberapa bagian baju zirah yang mengganggu, aku pun mulai berbaring mengikuti arahannya. Sepertinya wajahku semakin memerah karena sejak tadi jantungku terus berdegup kencang tanpa henti.

Setelah itu ia membuka tas jinjing yang baru kubelikan untuknya saat berada Celadoni. Kemudian mengeluarkan sebuah toples kaca berisikan serbuk berwarna hijau tua. Sesaat ia pergi ke luar kamarnya namun kembali lagi sambil membawakan sebuah cangkir beserta tatakannya yang telah berisikan air panas. Lalu ia menuangkan beberapa sendok serbuk hijau pada secangkir air panas tadi dan diaduknya.

“Enutra, coba diminum dulu ramuan ini.” pintanya sambil memberikan secangkir ramuan tersebut padaku.

“Te-terima kasih.” ucapku sambil kemudian meniup dan menyeruput sedikit ramuan dari cangkir tersebut.

Sambil sedikit demi sedikit meminum ramuan tersebut, Vivian yang berposisi bertumpu pada lututnya di sampingku terus memperhatikan dengan tatapan penuh harap.

“Wah.. Ramuan ini ternyata enak juga. Aroma mint dan rasa manis yang unik langsung mengalir melewati kerongkongan. Tubuhku pun jadi terasa lebih nyaman. Ramuan apa ini?”

Vivian lalu sedikit menghela napasnya dan kemudian tersenyum, “Syukurlah jika kamu merasa baikan, ramuan itu adalah ramuan yang dulu kupelajari dari ahli herbal istana. Dengan bahan dasar daun tanaman Zermona yang banyak ditemukan di Kota Celadoni, berguna untuk meredakan rasa pusing akibat mabuk laut dan pengaruh dari alkohol. Aku tahu, suatu saat ramuan ini pasti akan berguna.”

“Terima kasih Vivian. Berkatmu kini aku merasa jadi lebih nyaman. Rasa mualku pun mulai menghilang.”

Vivian hanya membalas dengan senyuman manis yang tersungging dari bibir tipisnya, sangat cantik. Kontras bila dibandingkan dengan keadaannya saat ini yang begitu penuh dengan lara dan kesedihan. Bagaimana tidak, kini ia telah kehilangan satu-satunya orang tua, tempat tinggalnya, dan bahkan sebagian rakyatnya pun kini sudah mulai ada yang berkhianat kepadanya.

Dari kabar yang telah kami dapatkan saat berada di Kota Celadoni, Istana Velika kini sudah berada dalam kondisi yang sangat mengerikan. Pemerintahan Kerajaan Eternality telah diambil alih sepenuhnya oleh para Bangsa Remidi. Bahkan dari beberapa sumber yang telah kami terima, kubahnya pun telah menutupi hampir dua per tiga dari keseluruhan Kota Velika. Lebih luas dibanding kubah terbesar sebelumnya yang berada di Kota Soracca.

“Enutra, apa kamu sudah mendapatkan kabar mengenai keadaan Mikoto dan Dionze saat ini?” tanya Vivian yang kembali menampakkan wajah murungnya.

Aku menggeleng. “Aku hanya bisa berharap bahwa mereka tetap dalam keadaan sehat dan selamat.”

Vivian lalu menundukkan kepalanya, “Kalau saja saat itu aku bisa membantu Mikoto, mungkin kita masih bisa bersama-sama.”

“Jangan begitu, Vivian.” potongku sambil menggenggam lengannya. “Tak ada yang perlu disalahkan darimu. Justru bila harus ada yang disalahkan, harusnya akulah yang benar-benar harus disalahkan. Karena ego dan sifat sombongku, semua menjadi korban.”

Vivian kembali menatapku dengan mata sayunya yang penuh dengan air mata. Ia menggeleng kecil seolah enggan untuk menyetujui perkataanku.

~Tok.. Tok.. Tok...

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Tanpa berpikir panjang, Vivian segera beranjak dari posisinya dan berjalan menuju pintu.

“Tunggu sebentar!” pintaku mencegah Vivian untuk membuka pintu tersebut. “Entah mengapa firasatku terasa tidak enak. Izinkan aku yang membukanya.”

Ia menurutiku dan kemudian mulai menjauh dari pintu. Sementara aku yang sejak tadi berada di ranjangnya segera melompat mengambil pedang dan berdiri membelakangi pintu kamar.

“Siapa itu!” teriakku memastikan.

“Layanan kamar, tuan. Saya diminta untuk mengantarkan minuman ke kamar ini.” terdengar jawaban dari balik pintu.

Meski tak terdengar mencurigakan, aku harus tetap waspada. Sementara tangan kiriku memegang gagang pintu yang siap terbuka, kusiagakan posisi kuda-kuda dengan menggenggam erat pedang Dartmouth Eterna pada tangan kananku. Setelah itu-...

~Seeeettt..

Ujung pedangku mendarat lima mili dari leher seorang pemuda yang berdiri dari balik pintu. Nampaknya ia adalah pelayan dari kapal ini, terlihat dari pakaiannya yang berwarna putih-putih dengan kancing-kancing hitam besar seperti pelayan lainnya. Ia membawa sebuah nampan logam besar dengan dua gelas keramik berisikan cairan semacam sirup berwarna merah di dalamnya.

“Tu-Tuan??” tanyanya gemetar hingga cairan sirup yang dibawanya sedikit tumpah menggenangi sebagian nampan dan lantai geladak.

“Enutra, jangan buat takut pemuda itu. Turunkanlah dulu pedangmu.” pinta Vivian dari belakangku.

Aku memperhatikan kembali pemuda itu dengan seksama. Sepertinya memang tidak ada yang perlu dicurigai darinya. Meskipun masih ada perasaan tidak enak.

Lalu kusarungkan kembali pedangku dan mulai bercakap, “Mau apa kau datang kemari?”

“Ma-maaf tuan, aku hanya mengantarkan minuman selamat datang ini kepada setiap tamu di kapal ini.” ucapnya masih gugup.

Lalu aku menoleh kebelakang meminta persetujuan pada Vivian. Ia kemudian mengangguk memberi kode.

“Baiklah, biar aku yang ambil gelas itu.” ucapku menurunkan pengawasan.

“Kami mohon maaf atas kelancangannya.” seru Vivian di belakang, “Terima kasih ya untuk minumannya.”

“I-iya sama-sama, tuan putri.”

Aku pun segera mengambil kedua gelas dari nampan logam yang dipegang olehnya. Namun saat mengambil minuman tersebut, seketika aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres.

Segera kutarik pedangku dari sarungnya dan kembali mendaratkan ujung bilah pedang ini tepat di tenggorokan pemuda tersebut.

“Siapa kamu sebenarnya!!”

“A-aku benar-benar pelayan kapal ini, tuan.” ucapnya semakin gugup.

“Ada apa lagi Enutra? Kenapa kamu bersikap seperti itu padanya??” tanya Vivian mencoba untuk melerai kami.

Mataku memicing tajam pada pemuda itu.

“Kenapa kau berikan kami racun?!”, hardikku keras.

Lalu ku ambil segera minuman tersebut dan menumpahkannya pada lantai. Seketika kepulan uap asap timbul dan cat pada lantai kayu berangsur-angsur memudar.

Suasana mendadak hening. Vivian dan pemuda tersebut pun hanya terdiam menganga melihat kejadian tersebut.

“E-Enutra.. Bagaimana kau bisa tahu bahwa minuman tersebut telah diracuni?” tanya Vivian setengah tak percaya.

“Saat itu aku tak sengaja melihat adanya karat mencurigakan pada nampan logam yang dibawanya dan posisi karat tersebut sesuai dengan tumpahan ketika tangannya gemetaran.” jelasku tanpa menurunkan pengawasan.

Sang pelayan lalu menyela, “Ta-tapi tuan, aku sama sekali tak mencampurkan apapun pada minuman ini.” terlihat jelas guratan ketakutan dari wajahnya.

Mataku semakin memicing. Aku tak tahu apakah pemuda ini memang jujur atau hanya sekadar berpura-pura. Namun bila ia benar hanya berpura-pura, maka boleh kukatakan dia adalah aktor yang sangat mahir karena semua tingkah laku dan gurat wajahnya benar-benar memperlihatkan rasa takut. Hanya yang jelas saat ini aku masih belum bisa menurunkan pengawasan padanya begitu saja.

Di saat keadaan menjadi semakin tak menentu, tiba-tiba sekelebat bayangan lewat begitu cepat di belakang si pelayan. Kejadian tersebut sontak membuat pandanganku teralih padanya. Tanpa pikir panjang kulemahkan pengawasan pada sang pelayan dan lekas beranjak mengejar bayangan tadi. Logikaku mengatakan bahwa bayangan seseorang itulah yang mungkin memasukkan racun pada minuman kami.

“Hei kau! Segera tampakkan dirimu?!” seruku sambil berlari mengejar.

Namun seketika rasa penasaranku berubah menjadi kecemasan ketika berhasil mendapati sosok bayangan yang tengah berlari tersebut.

Ternyata bayangan tersebut bukanlah bayangan seseorang! Melainkan hanya sebuah proyeksi yang timbul dari bayangan jendela dan cahaya mercusuar di sebuah pulau kecil yang terlewati. Hal tersebut baru kusadari setelah bayangan serupa lainnya tiba-tiba muncul kembali dari belakangku.

Tak butuh waktu lama, segera kutolakkan kaki sekuat tenaga agar dapat kembali menuju kamar Vivian secepat mungkin. Berkali-kali bibirku bergumam sambil memukul-mukulkan kepala menyadari betapa bodohnya diriku. Bila Vivian sampai mengalami sesuatu yang buruk, maka itu seratus persen kesalahanku.   

“Enutra?” tanya gadis bermata sayu menghentikan langkahku seketika. Ia berdiri tepat di depan pintu kamarnya.

“Viv-Vivian? Kau tidak apa-apa? Dimana pelayan tadi??” tanyaku terengah-engah. Meski degup jantungku masih belum stabil, ada perasaan lega sesaat setelah melihat sang putri baik-baik saja.

Mata sayunya mengernyit dengan alis yang sedikit naik, “Enutra, kenapa kamu tiba-tiba pergi begitu? Aku tidak apa-apa. Si pelayan tadi pun langsung pergi setelah kamu lari barusan. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Jujur, aku pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun firasatku benar-benar sangat tidak enak saat ini.” ucapku sambil mencoba mengatur napas, “Aku rasa ada beberapa orang yang tengah mengincar kita berdua. Mungkin saja mereka adalah para suruhan Bangsa Remidi.”

“Kalau begitu kita harus bagaimana, Enutra?” Vivian memeluk lenganku erat.

Terasa dua bantalan hangat empuk di lengan yang hampir membuatku lemas dan mimisan.

“Tenang saja Vivian. Biar ini menjadi tanggung jawabku. Akan kupastikan kau selalu aman bersamaku.”

Vivian terlihat lebih tenang. Bibir tipisnya tersenyum menandakan perasaan aman.

“Kalau begitu, malam ini tidurlah bersamaku!”

“Eh?” sontak ucapannya membuatku salah tingkah.

“Eh?” Vivian juga menghentikan ucapannya. Ia memandangku dengan tatapan sesal dan wajah yang merah padam. “Bu-bu-bukan begitu maksudku. A-aku hanya menginginkan penjagaan darimu. To-tolong jangan berpikir yang aneh-aneh.”

Sebenarnya bila harus mendapatkan penjagaaan. Sekelas putri raja sepertinya bisa saja mendapatkan pengawalan terbaik oleh orang-orang yang sangat terlatih. Bahkan sebelumnya Vivian sempat ditawari pengawalan khusus selama perjalanan oleh kepala daerah Kota Celadoni saat kami akan berangkat melanjutkan perjalanan, namun ia menolak dan lebih memilihku untuk menjadi ksatria pribadinya. Ia merasa dengan adanya diriku di sampingnya pun sudah sangat aman. Di sisi lain aku merasa senang, namun di sisi lain juga kecemasanku menjadi semakin tinggi karena tanggung jawab ini dirasa begitu besar. Bagaimana tidak, masa depan kerajaan ini berada dalam penjagaanku. Sendiri.

“I-iya, aku mengerti. Aku berjanji tidak akan melakukan hal aneh padamu.” jawabku sedikit terbata.

Selama beberapa menit suasana hening sejenak. Hingga akhirnya Vivian melepas pelukannya dan menarik lengan bajuku untuk mengajakku ke kamarnya.

Wajahku sepertinya masih memerah. Baru kali ini aku bermalam dengan seorang gadis di kamarnya. Semoga saja tidak terjadi hal-hal yang aku ‘inginkan’.

***

 

“Aaarrghh..” pekik redup seorang pemuda yang mengerang kesakitan. Tetesan cairan panas terus menerus melepuhkan kulit kedua pahanya. “Ammhuunn..”

Gelap dan pengap. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Matanya tertutup kain hitam sedangkan tangan dan kakinya terikat pada sebuah kursi kayu yang ia duduki. Tak berdaya memenjarakannya.

Baru saja ia mengalami hal buruk setelah mengantarkan minuman pada salah satu tamu kapal, dan kini tiba-tiba tersekap tak berdaya tanpa tahu apa yang terjadi sebelumnya.

“Bodoh sekali aku yang memanfaatkanmu untuk melakukan tugas ini.” hardik seorang pria bersuara rendah tak dikenal.

“Siaha hamu?? Tohong hehashan hahuuu.” mohon si pemuda dengan sumpalan kain tebal di mulutnya, “Amhuni hahuu.”

“Tak kusangka pemuda itu memiliki insting yang luar biasa. Bila aku tak berhati-hati, mungkin ia telah menemukanku.” pria tersebut berbicara sendiri tanpa menghiraukan pemuda yang tersiksa di hadapannya.

“Hahu hohon hehhashan hahuuu!”

“Diam!!”

~Zlash!

Seketika semua menjadi senyap sesaat. Muncratan serta genangan merah membekas pada dinding dan lantai ruangan. Hanya selang beberapa detik yang lalu kepala sang pemuda masih menempel pada lehernya.

Si pria misterius menyeringai dan tertawa keras. “Tapi..” matanya membelalak lebar. “Kalaupun pemuda itu menemukanku, hidupnya tak akan lebih dari sepuluh detik saja.”

Tawanya menggema di seluruh sudut ruangan hingga lorong kabin kapal.

***



[1] Istilah yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan suatu karya tulis berupa paparan tulisan hasil penelitian sarjana strata satu yang membahas suatu fenomena dalam bidang ilmu tertentu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar