Akhirnya hari ini menjadi hari
terakhir bagiku dan Vivian untuk berada di kota Celadoni. Sudah dua minggu
terlewati, padahal rasanya seperti baru kemarin kami tiba di kota pelabuhan
ini. Dan kini saatnya untuk melanjutkan perjalanan menuju markas besar Arthemis
baru sesuai dengan rencana awal di Kota Haiwa, Kerajaan Pacifier. Semoga saja
kami juga dapat bertemu kembali dengan teman-teman yang lain.
Kali ini kami berdua tidak sendiri. Sejumlah ksatria dan para ahli tenaga dalam serta orang-orang berkemampuan khusus dari Kota Celadoni pun turut serta dalam perjalanan saat ini. Mereka semua tergerak setelah mengetahui bahwa Kerajaan Eternality telah diambil alih oleh Bangsa Remidi dan kemudian menyebut diri mereka sebagai Pejuang Vivian. Dengan adanya bantuan sebanyak ini, semoga saja akan menambah amunisi dalam menghadang kekuatan besar Bangsa Remidi nanti.
Jujur saja, kota ini telah memberikanku banyak cerita dan
pengalaman baru. Meski beberapa insiden serta peristiwa mengerikan sempat
terlewati, namun semua itu seolah memberikan pelajaran yang begitu berharga
bagiku. Kusadari bahwa selama ini diriku begitu naif. Aku mulai mengerti bahwa
kehidupan itu bukan hanya sekadar berjuang pada apa yang hanya terlihat.
Dibutuhkan kecermatan dan kehati-hatian yang lebih dalam setiap keputusan.
Namun di sisi lain, setiap keputusan pun harus dibuat dengan cepat dan konsisten
tanpa menghiraukan dampak-dampak yang akan terjadi pada sekitarnya. Ah.. Semua
kata-kata ini jadi terdengar seperti sebuah judul skripsi[1].
Tentu saja kami tak bisa terlalu
berlama-lama hanya untuk sekadar beristirahat dan memulihkan tenaga. Lagipula
kami pun merasa tidak enak terhadap Pak Sam, sang tuan pemilik penginapan
tempat kami tinggal, yang selalu melayani kami dengan ramah meski awalnya kami
datang dengan cuma-cuma. Tapi pada akhirnya kami memberikannya sejumlah uang
yang kudapatkan dari hasil hadiah sayembara saat mengalahkan Scylla. Tak
kusangka bahwa sayembara yang diberikan Lena ternyata bukanlah sekadar omong
kosong belaka.
Bicara tentang Lena, kemarin ia
sempat menemui kami kembali di penginapan. Kusadari ia jadi terlihat lebih
pendiam semenjak terakhir kali bertemu di rumah sakit. Tapi aku masih sempat
betegur sapa dan sedikit berbasa-basi dengannya meski memang terlihat jelas
adanya rasa canggung pada dirinya. Pada saat itu pula ia memberikan kami
masing-masing sebuah hadiah. Aku tak tahu apa yang ia berikan pada Vivian, ia
hanya sempat berbisik pada Vivian seolah ingin merahasiakannya dariku.
Sedangkan untukku, ia memberikan sebuah baju zirah yang bentuknya hampir mirip
dengan yang kupakai pada saat melawan Scylla tempo hari. Perbedaannya hanya ada
pada permukaan materialnya yang terlihat seperti ada beberapa aksen kilapan
campuran pecahan kristal transparan berwarna biru. Ia menjelaskan bahwa baju
zirah tersebut terbuat dari campuran material yang kubawa dari dalam perut
Scylla. Dan tentu saja baju zirah tersebut tidak akan membuatku tenggelam
sepeti yang sebelumnya. Setelah itu, ia kemudian pamit tanpa kusadari bahwa saat
itu merupakan terakhir kalinya kami bertemu hingga sekarang. Lena tidak datang
kembali. meski telah diberi tahu Vivian bahwa di hari ini kami berdua akan
meninggalkan Celadoni. Apa boleh buat, kami pun akhirnya pergi tanpa sempat
bertemu dengannya lagi hingga akhirnya kapal yang kami tumpangi mulai beranjak
dari dermaga dan meninggalkan kota penuh kesan ini.
Sampai jumpa Kota Celadoni! Sampai
bertemu lagi Lena!
***
~Hueeeekkkk...
“Enutra, kamu baik-baik saja?
Wajahmu terlihat semakin pucat.”
Kemudian aku menoleh dengan
tatapan kosong pada Vivian yang baru saja datang menghampiriku.
“Entahlah. Semenjak pertarungan di
laut waktu itu, aku jadi merasa mual untuk berada di atas kapal yang
mengapung.” ucapku lemas yang selang beberapa detik kemudian langsung
menjulurkan kepala ke luar geladak kapal sambil memuntahkan sebagian isi perut.
“Sepertinya kamu tidak sehat.”
Vivian lalu memegangi tanganku, “Ayo ikut aku.”
Sang putri yang luar biasa jelita
ini pun lalu menarikku sambil berlari kecil menuju ruangan kamarnya. Aku tak
bisa berbuat apa-apa kecuali hanya bisa mengikuti kemauannya. Seketika wajahku
memerah ketika beberapa langkah kaki mulai memasuki ruangan tersebut. Tercium
semerbak aroma khasnya memenuhi setiap volume ruangan yang hanya seluas sekitar
tiga kali tiga meter.
“Viv-Vivian, kenapa kau membawaku
kemari?” tanyaku gugup.
“Berbaringlah sejenak di ranjangku
ini.” perintahnya tenang tanpa menghiraukan pertanyaanku.
Jujur aku tak bisa menolak
tawarannya. Setelah melepas sabuk pengikat pedang serta beberapa bagian baju
zirah yang mengganggu, aku pun mulai berbaring mengikuti arahannya. Sepertinya
wajahku semakin memerah karena sejak tadi jantungku terus berdegup kencang
tanpa henti.
Setelah itu ia membuka tas jinjing
yang baru kubelikan untuknya saat berada Celadoni. Kemudian mengeluarkan sebuah
toples kaca berisikan serbuk berwarna hijau tua. Sesaat ia pergi ke luar
kamarnya namun kembali lagi sambil membawakan sebuah cangkir beserta tatakannya
yang telah berisikan air panas. Lalu ia menuangkan beberapa sendok serbuk hijau
pada secangkir air panas tadi dan diaduknya.
“Enutra, coba diminum dulu ramuan
ini.” pintanya sambil memberikan secangkir ramuan tersebut padaku.
“Te-terima kasih.” ucapku sambil
kemudian meniup dan menyeruput sedikit ramuan dari cangkir tersebut.
Sambil sedikit demi sedikit
meminum ramuan tersebut, Vivian yang berposisi bertumpu pada lututnya di
sampingku terus memperhatikan dengan tatapan penuh harap.
“Wah.. Ramuan ini ternyata enak
juga. Aroma mint dan rasa manis yang unik langsung mengalir melewati
kerongkongan. Tubuhku pun jadi terasa lebih nyaman. Ramuan apa ini?”
Vivian lalu sedikit menghela
napasnya dan kemudian tersenyum, “Syukurlah jika kamu merasa baikan, ramuan itu
adalah ramuan yang dulu kupelajari dari ahli herbal istana. Dengan bahan dasar
daun tanaman Zermona yang banyak ditemukan di Kota Celadoni, berguna untuk
meredakan rasa pusing akibat mabuk laut dan pengaruh dari alkohol. Aku tahu,
suatu saat ramuan ini pasti akan berguna.”
“Terima kasih Vivian. Berkatmu
kini aku merasa jadi lebih nyaman. Rasa mualku pun mulai menghilang.”
Vivian hanya membalas dengan
senyuman manis yang tersungging dari bibir tipisnya, sangat cantik. Kontras
bila dibandingkan dengan keadaannya saat ini yang begitu penuh dengan lara dan
kesedihan. Bagaimana tidak, kini ia telah kehilangan satu-satunya orang tua, tempat
tinggalnya, dan bahkan sebagian rakyatnya pun kini sudah mulai ada yang
berkhianat kepadanya.
Dari kabar yang telah kami
dapatkan saat berada di Kota Celadoni, Istana Velika kini sudah berada dalam
kondisi yang sangat mengerikan. Pemerintahan Kerajaan Eternality telah diambil
alih sepenuhnya oleh para Bangsa Remidi. Bahkan dari beberapa sumber yang telah
kami terima, kubahnya pun telah menutupi hampir dua per tiga dari
keseluruhan Kota Velika. Lebih luas dibanding kubah terbesar sebelumnya yang
berada di Kota Soracca.
“Enutra, apa kamu sudah
mendapatkan kabar mengenai keadaan Mikoto dan Dionze saat ini?” tanya Vivian
yang kembali menampakkan wajah murungnya.
Aku menggeleng. “Aku hanya bisa
berharap bahwa mereka tetap dalam keadaan sehat dan selamat.”
Vivian lalu menundukkan kepalanya,
“Kalau saja saat itu aku bisa membantu Mikoto, mungkin kita masih bisa
bersama-sama.”
“Jangan begitu, Vivian.” potongku
sambil menggenggam lengannya. “Tak ada yang perlu disalahkan darimu. Justru
bila harus ada yang disalahkan, harusnya akulah yang benar-benar harus
disalahkan. Karena ego dan sifat sombongku, semua menjadi korban.”
Vivian kembali menatapku dengan
mata sayunya yang penuh dengan air mata. Ia menggeleng kecil seolah enggan
untuk menyetujui perkataanku.
~Tok.. Tok.. Tok...
Tiba-tiba terdengar suara ketukan
pintu dari luar kamar. Tanpa berpikir panjang, Vivian segera beranjak dari
posisinya dan berjalan menuju pintu.
“Tunggu sebentar!” pintaku
mencegah Vivian untuk membuka pintu tersebut. “Entah mengapa firasatku terasa
tidak enak. Izinkan aku yang membukanya.”
Ia menurutiku dan kemudian mulai
menjauh dari pintu. Sementara aku yang sejak tadi berada di ranjangnya segera
melompat mengambil pedang dan berdiri membelakangi pintu kamar.
“Siapa itu!” teriakku memastikan.
“Layanan kamar, tuan. Saya diminta
untuk mengantarkan minuman ke kamar ini.” terdengar
jawaban dari balik pintu.
Meski tak terdengar mencurigakan,
aku harus tetap waspada. Sementara tangan kiriku memegang gagang pintu yang
siap terbuka, kusiagakan posisi kuda-kuda dengan menggenggam erat pedang
Dartmouth Eterna pada tangan kananku. Setelah itu-...
~Seeeettt..
Ujung pedangku mendarat lima mili
dari leher seorang pemuda yang berdiri dari balik pintu. Nampaknya ia adalah
pelayan dari kapal ini, terlihat dari pakaiannya yang berwarna putih-putih
dengan kancing-kancing hitam besar seperti pelayan lainnya. Ia membawa sebuah
nampan logam besar dengan dua gelas keramik berisikan cairan semacam sirup
berwarna merah di dalamnya.
“Tu-Tuan??” tanyanya gemetar
hingga cairan sirup yang dibawanya sedikit tumpah menggenangi sebagian nampan
dan lantai geladak.
“Enutra, jangan buat takut pemuda
itu. Turunkanlah dulu pedangmu.” pinta Vivian dari belakangku.
Aku memperhatikan kembali pemuda
itu dengan seksama. Sepertinya memang tidak ada yang perlu dicurigai darinya.
Meskipun masih ada perasaan tidak enak.
Lalu kusarungkan kembali pedangku
dan mulai bercakap, “Mau apa kau datang kemari?”
“Ma-maaf tuan, aku hanya
mengantarkan minuman selamat datang ini kepada setiap tamu di kapal ini.”
ucapnya masih gugup.
Lalu aku menoleh kebelakang
meminta persetujuan pada Vivian. Ia kemudian mengangguk memberi kode.
“Baiklah, biar aku yang ambil
gelas itu.” ucapku menurunkan pengawasan.
“Kami mohon maaf atas
kelancangannya.” seru Vivian di belakang, “Terima kasih ya untuk minumannya.”
“I-iya sama-sama, tuan putri.”
Aku pun segera mengambil kedua
gelas dari nampan logam yang dipegang olehnya. Namun saat mengambil minuman
tersebut, seketika aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres.
Segera kutarik pedangku dari
sarungnya dan kembali mendaratkan ujung bilah pedang ini tepat di tenggorokan
pemuda tersebut.
“Siapa kamu sebenarnya!!”
“A-aku benar-benar pelayan kapal
ini, tuan.” ucapnya semakin gugup.
“Ada apa lagi Enutra?
Kenapa kamu bersikap seperti itu padanya??” tanya Vivian mencoba untuk melerai kami.
Mataku memicing tajam pada pemuda
itu.
“Kenapa kau berikan kami racun?!”,
hardikku keras.
Lalu ku ambil segera minuman
tersebut dan menumpahkannya pada lantai. Seketika kepulan uap asap timbul dan
cat pada lantai kayu berangsur-angsur memudar.
Suasana mendadak hening. Vivian
dan pemuda tersebut pun hanya terdiam menganga melihat kejadian tersebut.
“E-Enutra.. Bagaimana kau bisa
tahu bahwa minuman tersebut telah diracuni?” tanya Vivian setengah tak percaya.
“Saat itu aku tak sengaja melihat
adanya karat mencurigakan pada nampan logam yang dibawanya dan posisi karat
tersebut sesuai dengan tumpahan ketika tangannya gemetaran.” jelasku tanpa
menurunkan pengawasan.
Sang pelayan lalu menyela,
“Ta-tapi tuan, aku sama sekali tak mencampurkan apapun pada minuman ini.”
terlihat jelas guratan ketakutan dari wajahnya.
Mataku semakin memicing. Aku tak
tahu apakah pemuda ini memang jujur atau hanya sekadar berpura-pura. Namun bila
ia benar hanya berpura-pura, maka boleh kukatakan dia adalah aktor yang sangat
mahir karena semua tingkah laku dan gurat wajahnya benar-benar memperlihatkan
rasa takut. Hanya yang jelas saat ini aku masih belum bisa menurunkan pengawasan
padanya begitu saja.
Di saat keadaan menjadi semakin
tak menentu, tiba-tiba sekelebat bayangan lewat begitu cepat di belakang si
pelayan. Kejadian tersebut sontak membuat pandanganku teralih padanya. Tanpa
pikir panjang kulemahkan pengawasan pada sang pelayan dan lekas beranjak
mengejar bayangan tadi. Logikaku mengatakan bahwa bayangan seseorang itulah
yang mungkin memasukkan racun pada minuman kami.
“Hei kau! Segera tampakkan
dirimu?!” seruku sambil berlari mengejar.
Namun seketika rasa penasaranku
berubah menjadi kecemasan ketika berhasil mendapati sosok bayangan yang tengah
berlari tersebut.
Ternyata bayangan tersebut bukanlah bayangan seseorang! Melainkan
hanya sebuah proyeksi yang timbul dari bayangan jendela dan cahaya mercusuar di
sebuah pulau kecil yang terlewati. Hal tersebut baru kusadari setelah bayangan
serupa lainnya tiba-tiba muncul kembali dari belakangku.
Tak butuh waktu lama, segera
kutolakkan kaki sekuat tenaga agar dapat kembali menuju kamar Vivian secepat
mungkin. Berkali-kali bibirku bergumam sambil memukul-mukulkan kepala menyadari
betapa bodohnya diriku. Bila Vivian sampai mengalami sesuatu yang buruk, maka
itu seratus persen kesalahanku.
“Enutra?” tanya gadis bermata sayu
menghentikan langkahku seketika. Ia berdiri tepat di depan pintu kamarnya.
“Viv-Vivian? Kau tidak apa-apa?
Dimana pelayan tadi??” tanyaku terengah-engah. Meski degup jantungku masih
belum stabil, ada perasaan lega sesaat setelah melihat sang putri baik-baik
saja.
Mata sayunya mengernyit dengan
alis yang sedikit naik, “Enutra, kenapa kamu tiba-tiba pergi begitu? Aku tidak
apa-apa. Si pelayan tadi pun langsung pergi setelah kamu lari barusan. Apa yang
sebenarnya terjadi?”
“Jujur, aku pun tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Namun firasatku benar-benar sangat tidak enak saat ini.”
ucapku sambil mencoba mengatur napas, “Aku rasa ada beberapa orang yang tengah
mengincar kita berdua. Mungkin saja mereka adalah para suruhan Bangsa Remidi.”
“Kalau begitu kita harus
bagaimana, Enutra?” Vivian memeluk lenganku erat.
Terasa dua bantalan hangat empuk
di lengan yang hampir membuatku lemas dan mimisan.
“Tenang saja Vivian. Biar ini
menjadi tanggung jawabku. Akan kupastikan kau selalu aman bersamaku.”
Vivian terlihat lebih tenang.
Bibir tipisnya tersenyum menandakan perasaan aman.
“Kalau begitu, malam ini tidurlah
bersamaku!”
“Eh?” sontak ucapannya membuatku
salah tingkah.
“Eh?” Vivian juga menghentikan
ucapannya. Ia memandangku dengan tatapan sesal dan wajah yang merah padam.
“Bu-bu-bukan begitu maksudku. A-aku hanya menginginkan penjagaan darimu.
To-tolong jangan berpikir yang aneh-aneh.”
Sebenarnya bila harus mendapatkan
penjagaaan. Sekelas putri raja sepertinya bisa saja mendapatkan pengawalan
terbaik oleh orang-orang yang sangat terlatih. Bahkan sebelumnya Vivian sempat
ditawari pengawalan khusus selama perjalanan oleh kepala daerah Kota Celadoni
saat kami akan berangkat melanjutkan perjalanan, namun ia menolak dan lebih
memilihku untuk menjadi ksatria pribadinya. Ia merasa dengan adanya diriku di
sampingnya pun sudah sangat aman. Di sisi lain aku merasa senang, namun di sisi
lain juga kecemasanku menjadi semakin tinggi karena tanggung jawab ini dirasa
begitu besar. Bagaimana tidak, masa depan kerajaan ini berada dalam
penjagaanku. Sendiri.
“I-iya, aku mengerti. Aku berjanji
tidak akan melakukan hal aneh padamu.” jawabku sedikit terbata.
Selama beberapa menit suasana
hening sejenak. Hingga akhirnya Vivian melepas pelukannya dan menarik lengan
bajuku untuk mengajakku ke kamarnya.
Wajahku sepertinya masih memerah.
Baru kali ini aku bermalam dengan seorang gadis di kamarnya. Semoga saja tidak
terjadi hal-hal yang aku ‘inginkan’.
***
“Aaarrghh..” pekik redup seorang
pemuda yang mengerang kesakitan. Tetesan cairan panas terus menerus melepuhkan
kulit kedua pahanya. “Ammhuunn..”
Gelap dan pengap. Keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya. Matanya tertutup kain hitam sedangkan tangan dan
kakinya terikat pada sebuah kursi kayu yang ia duduki. Tak berdaya
memenjarakannya.
Baru saja ia mengalami hal buruk
setelah mengantarkan minuman pada salah satu tamu kapal, dan kini tiba-tiba
tersekap tak berdaya tanpa tahu apa yang terjadi sebelumnya.
“Bodoh sekali aku yang
memanfaatkanmu untuk melakukan tugas ini.” hardik seorang pria bersuara rendah
tak dikenal.
“Siaha hamu?? Tohong hehashan
hahuuu.” mohon si pemuda dengan sumpalan kain tebal di mulutnya, “Amhuni
hahuu.”
“Tak kusangka pemuda itu memiliki
insting yang luar biasa. Bila aku tak berhati-hati, mungkin ia telah
menemukanku.” pria tersebut berbicara sendiri tanpa menghiraukan pemuda yang
tersiksa di hadapannya.
“Hahu hohon hehhashan hahuuu!”
“Diam!!”
~Zlash!
Seketika semua menjadi senyap
sesaat. Muncratan serta genangan merah membekas pada dinding dan lantai
ruangan. Hanya selang beberapa detik yang lalu kepala sang pemuda masih
menempel pada lehernya.
Si pria misterius menyeringai dan
tertawa keras. “Tapi..” matanya membelalak lebar. “Kalaupun pemuda itu
menemukanku, hidupnya tak akan lebih dari sepuluh detik saja.”
Tawanya menggema di seluruh sudut
ruangan hingga lorong kabin kapal.
***
[1] Istilah
yang digunakan di Indonesia untuk mengilustrasikan suatu karya tulis berupa
paparan tulisan hasil penelitian sarjana strata satu yang membahas suatu
fenomena dalam bidang ilmu tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar