CHAPTER 40
- HATI YANG TERHUBUNG
Tangan
kananku memegang erat tali tambang yang telah tersimpul laso di salah satu
ujungnya. Kemudian memutarnya seperti seorang koboi yang hendak menangkap
seekor kuda. Dengan posisi salah satu kaki menekuk ke depan menyangga dari
ujung sampan, sementara kaki satunya lurus memanjang ke belakang. Menunggu saat
yang tepat, mata ini sedikit memicing memastikan kelancaran rencana ini.
“Lena, aku mohon tunggu sebentar.”
ucapku tanpa sempat menengok ke arahnya. “Doakan semoga rencana ini berhasil.”
Aku tak sempat memandang Lena secara
langsung, namun aku yakin ia sempat mengangguk dari sudut mataku.
Jarak kami dan Scylla sudah semakin
dekat. Mungkin hanya beberapa meter. Itu pun jika lehernya tidak dibentangkan
menghadap kami.
Namun apa yang ku khawatirkan
akhirnya terjadi. Monster itu tiba-tiba membentangkan leher, menghadapkan
kepalanya pada kami dan kemudian membuka mulutnya yang penuh dengan gigi tajam
berikut lidah bercabang yang terjulur ke luar.
Seketika tubuhku mematung tak
berkutik. Bukan karena rasa takut akan serangan mengerikan Scylla. Tetapi di
luar dugaan, sesuatu telah mengejutkanku sesaat sebelum Scylla mencoba menerkam
kami.
“Enutraa!!! Aku, Rombusta tak akan
membiarkan kau berbuat seenaknya!!”
“Kau pria berkepala plontos tadi??”
teriakku spontan saat melihat si pemimpin kelompok tadi kini berdiri dengan
gagahnya di dalam rahang Scylla yang terbuka.
Untunglah sesaat kemudian aku mulai
tersadarkan kembali. Dengan segera aku melompat sambil menarik lengan Lena yang
berada di belakangku sebelum Scylla melahap habis kami berserta sampan ini.
Terpaksa kami harus kembali menapaki air, mengambang di antara reruntuhan
sampan yang berserakan di permukaan. Sementara itu, serangan Scylla menciptakan
riak gelombang yang besar sehingga kami terbawa arus hingga akhirnya terpisah
satu sama lain.
Aku sempat tenggelam karena kuatnya
arus yang diciptakan oleh serangan Scylla tadi. Dengan panik kugerakkan seluruh
anggota tubuh agar tetap mengambang. Masih ada perasaan takut dalam diriku
karena sebelumnya sempat mengalami tenggelam di lautan dalam ini. Untunglah
keadaanku tidak sama seperti saat itu, akhirnya aku dapat bernapas lega setelah
berhasil menyembul kembali ke permukaan. Namun kini aku tak yakin dengan keberadaan
Lena setelah tadi sempat berpisah dengannya. Segera aku menengok ke segala arah
untuk mencari gadis berambut merah tersebut.
“Enutraa!!” sayup-sayup terdengar
panggilan seorang wanita dari belakang tubuhku.
Aku membalik badan dan setidaknya aku
dapat bernapas lebih lega lagi, “Ah.. Syukurlah kau selamat, Lena.”
Kami berdua berenang saling mendekat.
“Aku pikir kau akan tenggelam lagi.”
“Jangan sampai aku tenggelam lagi.
Jujur karenanya, aku jadi sedikit fobia terhadap laut dalam seperti ini.” ucapku
sedikit bercanda.
“Tapi Enutra, bagaimana kita
selanjutnya? Scylla pasti akan muncul kembali melahap kita bila kita tidak
segera berbuat sesuatu.”
“Tenangkanlah dulu dirimu. Lebih baik
kita segera cari sisa-sisa sampan milik kelompok tadi yang masih terlihat
utuh.”
“Dalam keadaan seperti ini?”
“Jangan khawatir. Sebelum kita
melompat tadi, aku sempat melakukan hal sesuai dengan rencanaku.”
“Jadi tadi kau sempat melakukannya?”
“Ya, aku sempat mengikatkan tali yang
terhubung dengan baju zirahku pada salah satu gigi Scylla.”
“Syukurlah.. Kalau begitu bagaimana
bila kita menyebar untuk mencari sisa sampan milik kelompok Rombusta?”
“Jadi kelompok tadi namanya kelompok
Rombusta ya? Baiklah. Tapi berteriaklah bila sesuatu terjadi padamu.”
Lena mengangguk sesaat dan kemudian
akhirnya kami berenang terpisah.
Meski tadi terlihat tenang di
hadapannya, aku masih merasa keadaan kami saat ini masih belum aman. Dengan
masih hidupnya pria plontos bernama Rombusta tadi, aku memang harus bergegas
untuk mencari cara untuk kembali ke daratan dengan segera.
Ada banyak serpihan sampan di
permukaan laut. Ada juga beberapa serpihan yang terlihat cukup kuat untuk
dinaiki, namun setelah dicoba serpihan sampan tersebut tenggelam karena bobot
tubuhku. Di sisi lain pun aku masih memperhatikan Lena yang tengah berusaha
mencari sampan yang layak untuk kami berdua. Ia masih terlihat gigih dan penuh
semangat meski berkali-kali gagal mendapatkan apa yang diinginkan. Seketika aku
sedikit menggelengkan kepala. Seharusnya aku lebih semangat, bukan hanya diam
memperhatikan gadis itu.
“Ketemu!” seru Lena dari kejauhan.
“Enutra! Akhirnya aku menemukan sampan utuh berserta dayungnya yang dapat
menampung kita berdua.
Aku tersenyum mendengarnya. Dengan
segera aku berenang mendekatinya. Kadang pula menyelam agar bisa bergerak lebih
cepat.
Namun ketika aku menyelam,
samar-samar terlihat sebuah bayangan besar yang meluncur cepat dari dasar laut
menuju permukaan. Semakin lama bayangannya semakin besar dan jelas menampakkan
wujudnya.
“Celaka! Scylla telah berhasil lepas
dari jeratan baju zirahku!”
Aku segera mengamati jalur luncurnya,
kemana ia akan muncul di permukaan. Kudongakkan kepala ke atas dan terlihat
bayangan yang mengambang di permukaannya. Sontak gelembung udara keluar deras
dari mulut dan hidungku.
Aku kembali berenang menuju permukaan
sambil mendekati sampan yang dinaiki oleh Lena.
“Lena! Cepat kau bawa sampan itu
menjauh dari tempatmu berada!” teriakku.
“Apa? Kau minta aku mendekatimu lebih
dekat? Jangan malas! Aku akan menunggumu di sini.” balas Lena yang diakhiri
dengan tawa.
“Bukan begitu! Kali ini keadaannya
berbahaya!” teriakku lagi mencoba membujuknya.
“Berbahaya?”
Lena kemudian menengok ke bawah dari
samping sampannya. Ia terkejut setelah melihat sebuah bayangan hitam raksasa
yang semakin lama semakin membesar meluncur ke arahnya. Terlihat raut
kepanikkan dari wajah Lena, dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk mendayung
menjauh.
Aku pun juga masih mencoba berenang
secepat yang aku bisa. Namun usahaku seolah sia-sia. Tubuhku seketika mematung
dan mataku membelalak sangat hebat saat melihat kenyataan di hadapanku.
“Sudah terlambat.” ucapku dalam hati.
Mulut raksasa yang menganga penuh
gigi tajam menyembul dari dasar laut. Menghisap segala yang ada di permukaan
bak pusaran dahsyat.
Termasuk Lena dan sampannya.
Ia tak sempat menghindar meski telah
berusaha menjauh. Ia terhisap oleh pusaran yang berasal dari mulut Scylla.
Hingga akhirnya tertelan tanpa bekas.
Kini sebagian tubuh Scylla sudah
muncul. Menampakkan punggung serta kepala dengan lehernya yang panjang.
Amarah disertai perasaan putus asa
menyelimuti hatiku. Tak ada yang dapat kulakukan tanpa adanya kekuatan dari
Imaji. Betapa tak bergunanya diriku.
“ENUTRA! Aku tahu kau pasti tengah
putus asa dari bawah sana. Tapi ini benar-benar tidak sesuai rencanaku!!”
tiba-tiba kembali terdengar teriakan Rombusta menyeruak dari dalam mulut
Scylla.
Setelah itu ia melompat keluar dari
mulut Scylla sambil membawa dan membekap Lena menuju salah satu puing sampan.
“Lena!” teriakku spontan.
Setidaknya aku bersyukur ketika
melihatnya masih baik-baik saja meski dalam keadaan tak berdaya di tangan
Rombusta.
“Tenang saja, aku tidak akan
membunuhnya semudah itu. Aku masih membutuhkannya sebagai rencana cadangan.”
“Cepat lepaskan Lena!”
“Maaf tapi tak akan semudah itu.”
“Apa yang kau inginkan sebenarnya?!”
Rombusta lalu menunjuk diriku dengan
telunjuknya.
“Kau menginginkan pedang ini hah?!”
Rombusta hanya menaikkan salah satu
alisnya menatapku sambil tersenyum sinis.
Emosiku tak menentu. Segera kugerakan
tangan dan kakiku untuk berenang menuju kumpulan puing-puing sampan yang masih
tersisa, setelah itu aku memanjat menaikinya. Sambil menjaga keseimbangan,
perlahan-lahan aku berdiri di atasnya. Kulepaskan pedang dari sarungnya dan
kemudian mengacungkannya. Sejujurnya kekuatan misteriusku ini masih belum
muncul semenjak terakhir kali berteleportasi dari dalam perut Scylla. Namun,
aku tak bisa hanya berdiam diri saja. Biar kuserahkan saja pada tekad dan
keberanianku.
“Ambil saja pedang ini!!” teriakku
lantang.
“Ck.. Ck.. Salah..” Rombusta
menggeleng, “Yang aku inginkan adalah kekuatan pedang yang ada di dalam tubuhmu
itu.”
“A-apa maksudmu?”
Pria plontos itu mengerutkan dahinya,
“Aku memang harus benar-benar berterima kasih kepada gadis ini yang telah
berhasil menuntunku kepadamu. Kau memang targetku sejak namamu mulai terkenal
di kalangan para pengikut Bangsa Remidi.”
“Remidi??” ucapku pelan.
“Aku ingin menyerahkanmu pada mereka
sehingga mereka akan memberikanku kekuasaan lebih dan jabatan yang tinggi di
bangsa mereka.” jelas Rombusta lagi sambil tertawa.
“Ternyata memang Bangsa Remidi lah
yang ada di balik semuanya.” ucapku geram.
“Oh ya. Orang-orang Remidi pula lah
yang memberikan peliharaan ini padaku.” jelas Rombusta kembali sambil menunjuk
pada Scylla, “Mereka memang orang-orang yang menarik! Karena mereka, aku jadi
bisa menjarah semua kapal pedagang yang akan mendekati kota ini.”
Dahiku mengernyit menahan emosi oleh
segala ocehan dan omong kosongnya.
“Aku benar-benar tak peduli dengan
apa yang kau katakan!” mataku menatap tajam, lurus pada Rombusta, “Lepaskan
Lena segera!”
Pria plostos itu seketika membuka
lebar matanya dan menyeringai mengerikan. “Tapi serahkan dulu dirimu padaku!”
Sesaat aku berpikir, memang tak ada
pilihan lain selain menyerahkan diri padanya. Lagipula kekuatan ini tengah
menghilang dari tubuhku. Tapi, aku benar-benar tak yakin padanya. Bagaimana
bila omongannya hanyalah bualan belaka? Bagaimana bila ia malah melemparkan
Lena pada Scylla setelah aku menyerahkan diri? Tolong aku Imaji. Tolong aku
Dionze. Tolong aku.. Vivian..
Untuk saat ini tak ada lagi yang bisa
kulakukan. Aku menunduk lemas. Sepertinya memang ini lah jalan terakhir untuk
bisa menyelamatkan Lena.
Aku kembali mendongak dan berteriak
lantang, “Baiklah. Aku menye-..”
~Aarrgghhh...
Belum selesai aku berkata, tiba-tiba
Rombusta mengerang tanpa kuketahui apa yang telah terjadi. Kufokuskan
penglihatanku untuk memperhatikannya. Ternyata baru saja sebuah panah telah
melesat menembus perut Rombusta dari belakangku!
“Enutraaa!!!!”
Tak lama setelah itu, terdengar pula
suara teriakan yang tak asing di telingaku. Spontan kuhadapkan tubuh ke
belakang. Pada saat itu juga, terlihat seorang gadis yang berdiri mengapung di
atas air mendekatiku laksana dewi yang mencoba untuk memberikan pertolongan.
“Viv-Vivian??” tanyaku berbisik pada
diri sendiri.
Ya! Itu memang Vivian! Ia berdiri di
atas sebuah sampan kecil dengan mata sayu sembab. Dibelakangnya terdapat dua
orang pria berbadan kekar yang dengan semangat mendayung.
Meski hati ini bahagia karena akhinya
dapat melihatnya kembali, namun dari hati kecilku tetap mengkhawatirkannya
karena tempat ini sangat berbahaya. Aku harus segera mengingatkannya sebelum
hal yang lebih buruk terjadi. “Vivian! Di sini sangat berbaha-..”
Belum selesai bicara, aku telah
terpana dengan puluhan kapal-kapal besar yang juga bergerak mengapung mendekat,
mengikuti sampan Vivian. Di atas masing-masing kapal tersebut pula terdapat
puluhan ksatria dan para ahli tenaga dalam ber-armor dan bersenjata
lengkap. Sepertinya Vivian telah mengumpulkan mereka semua selama aku pergi
meninggalkannya.
“Enutra, kau baik-baik saja?” Vivian
melompat dan memelukku setelah sampannya berhasil mendekatiku. Sementara itu
aku hanya berdiri diam seolah tak percaya.
“A-aku tidak apa-apa. Tapi.. Vivian,
apa yang telah membawamu kemari?”
“Aku rasa hatiku memang selalu
terhubung denganmu.” seketika wajahku memerah setelah mendengar jawaban Vivian
yang spontan, “Rasa khawatirku memang benar-benar sebuah pertanda.”
“HEY!! ADA APA INI SEBENARNYA?!”
Teriak Rombusta dari belakangku.
Perlahan kucoba untuk melepaskan
pelukan Vivian sambil membisikkan beberapa kata, “Terima kasih atas kekhawatiranmu,
Vivian. Namun maafkan aku, kali ini aku harus menyelesaikan apa yang telah aku
mulai.”
Namun pelukannya justru semakin erat
seakan-akan tak membiarkanku lepas darinya.
“Tidak! Biarkan para ksatria itu saja
yang melanjutkan. Bukankah kau sudah berjanji padaku bahwa kau tidak akan lagi
pergi meninggalkanku?”
Aku memperhatikan para ksatria di
belakang Vivan yang telah sangat siap untuk melawan Scylla. Entah apa yang
telah terjadi sebelumnya, sepertinya mereka rela melakukan ini semua setelah
mengetahui jati diri Vivian yang sebenarnya.
Vivian lalu melepaskan pelukan namun
tangannya kemudian menggenggam erat pergelanganku. Menarikku pada sampan yang
telah membawanya ke tempat ini. Setelah itu ia menghadap para ksatria lalu
berteriak memberi perintah.
“Wahai para ksatria Eternality!
Kerahkan semua kemampuanmu dan kalahkan monster tersebut!”
~HIYAAAAAAAA
“HA.. HA.. HA.. ENUTRA.. JADI KAU
DIAM-DIAM MEMINTA BANTUAN DARI PARA KSATRIA DI KOTA INI? PERCUMA!!! TIDAKKAH
KALIAN INGAT PERISTIWA TAHUN LALU? TAK ADA YANG MAMPU MENGALAHKAN SCYLLA!!”
Puluhan kapal raksasa berisi para
ksatria tersebut akhirnya bergerak cepat mendekati Scylla dan Rombusta. Jujur,
yang kukhawatirkan saat ini adalah Lena yang sedang disekap olehnya. Dalam
keadaan seperti ini bisa saja ia memanfaatkan Lena untuk membuat para kesatria
tersebut mundur.
Tapi keadaanku saat ini bagaikan
dilema. Aku pun tak bisa meninggalkan Vivian begitu saja di tempat ini. Yang
kukhawatikan ia akan melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya bila aku
bertindak sembarangan. Aku berpikir keras. Aku harus segera melakukan sesuatu
sebelum Lena menjadi korban dari Rombusta.
Namun tiba-tiba tubuhku kembali
bergerak di luar kendali. Tanpa kusadari lengan ini telah memeluk erat Vivian.
Kini jantungku benar-benar berdetak begitu kencang. Sesaat kami saling menatap,
namun ia lalu memalingkan wajahnya ke bawah. Sempat terlihat wajahnya yang
putih cerah berubah memerah begitu cepat. Untunglah tak ada perlawanan darinya.
Entah mungkin ia ingin melawan namun tak mampu, atau mungkin hanya diam karena
merasa nyaman. Yang jelas ada rasa cemas dalam hati kalau-kalau ia akan
bersikap dingin lagi kepadaku nantinya.
Sementara itu, entah apa yang
terjadi. Terasa energi yang mengalir begitu besar merasuki tubuhku ketika aku
masih mendekapnya. Awalnya hanya ada rasa panas yang menjalar dari ujung kepala
hingga kaki dan pandangan berubah menjadi semakin kabur. Kemudian tubuh menjadi
semakin ringan hingga akhirnya seluruh kesadaranku dikuasai kembali oleh
kekuatan yang biasa merasukiku.
Setelah beberapa saat memeluk Vivian,
ia seketika melemah dan tak sadarkan diri. Lantas dua pria kekar di belakang
pun sempat menghunuskan pedang ke arahku namun tiba-tiba saja aku melompat dan
berlari cepat di atas air ke arah Scylla dan Rombusta berada tanpa mampu
mengejar.
Saat mode seperti ini, aku tak bisa
melihat jelas atas apapun yang telah terjadi. Aku pun tak tahu apa yang telah
dilakukan oleh kekuatan ini. Hanya sempat terdengar jeritan seorang pria yang
mengerang kesakitan dan auman keras monster raksasa Scylla. Hingga akhirnya aku
merasakan lelah yang teramat hebat dan setelah itu tak ada lagi yang kuingat.
Semua menjadi semakin gelap.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar