18 Maret 2018

DUNIA SEMU #39


CHAPTER 39 - TENGGELAM DAN TERBANG

            “Hei gadis, apa yang kau lakukan di bawah sana?” seringai salah seorang anggota kelompok Rombusta menyeruak dari balik sampan yang tertelungkup .
Spontan Lena menjerit, meringis ketakutan karena tahu apa yang akan mereka lakukan padanya.
            “Wah, apa yang terjadi dengan pria yang tadi? Kukira dia akan terus bersamamu?” tanyanya lagi sambil melongok memperhatikan pada setiap sudut sampan.
Lena tak menjawabnya. Ia hanya menggeleng terdiam dan kemudian menunduk pasrah.
Sikap Lena tersebut sontak membuat anggota kelompok Rombusta tersebut terlihat marah dengan menaikan nada suaranya, “Hei, ada apa denganmu? Si Enutra itu tenggelam, hah?”
            “Gawaaatt!!!”
            “Tidak mungkin!”
            “Apa itu??!!”

            Belum selesai anggota kelompok Rombusta tersebut bertanya, tiba-tiba terdengar kegaduhan dari luar. Si anggota kelompok Rombusta termangu sesaat dan kemudian melihat situasi di luar. Lena menyadari adanya aura kecemasan dari balik teriakan-teriakan tadi hingga ia pun penasaran dan melolok mengintip dari celah saat sampan masih dalam keadaan terangkat. Sontak ia terkejut.     Kepanikan terlihat jelas dari raut wajah si anggota kelompok Rombusta tadi. Berubah seratus delapan puluh derajat dibandingkan saat ia mencoba mengintimidasi Lena saat di dalam tempurung sampan. Tak salah lagi, pastilah terjadi sesuatu yang sangat mengerikan di luar sana dalam benaknya.
            “I-itu.. SCYLLA..!!!”
            Lagi-lagi teriakan kelompok Rombusta menyeruak. Namun, teriakan tersebut sanggup membuat detak jantung Lena seakan terhenti sesaat. Genggaman tangannya mendadak melemah dan napasnya tersengal. Seruan para kelompok Rombusta di luar sampan membuatnya terpaku. Kemunculan Scylla membuat perasaannya semakin terpuruk. Ia bukan memikirkan keadaanya sendiri, namun ia justru merasa bersalah terhadap Enutra. Dalam benaknya terus terbayang Enutra yang telah menjadi santapan monster raksasa tersebut.
            “Hei tunggu, siapa itu yang melayang di langit?” salah seorang anggota kelompok Rombusta berseru.
            Awalnya Lena hanya diam tak peduli dengan situasi apapun yang ada di sekitarnya. Ia masih tenggelam dalam penyesalan akan kehilangan Enutra. Namun kegaduhan kelompok Rombusta di luar terus-menerus menyerukan hal yang sama dan menggerakkan rasa penasarannya. Hingga akhirnya Ia memutuskan menyelam dan kemudian berenang lebih cepat menuju permukaan untuk mendorong tempurung sampan hingga berbalik kembali seperti semula.
            Permukaan laut riuh pikirnya saat kembali menaiki sampan bobroknya. Belum jelas terlihat apa yang ada di sekitar. Ia menggosok-gosokkan mata lalu memicing seraya menengok keadaan sekitarnya.
            “Astaga!” gumamnya spontan saat pertama kali melihat monster raksasa di hadapannya.
            Baru kali ini ia melihat makhluk sebesar dan seseram itu. Situasi yang awalnya sudah buruk oleh para kelompok Rombusta kini berubah semakin mengerikan, bahkan mendekati chaos. Para bawahan Rombusta berhamburan dengan perahu-perahunya menyebar ke segala penjuru menghindari monster tersebut hingga menyisakan beberapa orang termasuk Rombusta yang tetap diam di atas perahunya.   Sang pemimpin berkepala plontos tersebut hanya mendongak diam memerhatikan Scylla yang mengamuk di hadapannya. Tapi Lena merasakan ada yang aneh. Bukan. Rombusta sepertinya memerhatikan hal lain selain monster raksasa tersebut. Sosok aneh yang melayang di atas Scylla.
            Lena ikut mendongak dan memicingkan matanya. Rasanya ia mengenali sosok tersebut. Ia terus mencoba memperhatikan hingga kemudian..
            Seluruh beban pikirannya seolah terlepas begitu saja. Rasa bersalah yang sejak tadi menyelimuti spontan lenyap saat ia menyadari bahwa sosok yang ia lihat tersebut adalah Enutra! Ia yakin betul bahwa itu adalah Enutra. Enutra selamat!
            Namun..
            Perasaan lega tersebut tak bertahan begitu lama setelah ia menyadari sosok Enutra yang ia lihat tengah menukik tajam terjun menuju mulut Scylla.
            “Tidak!! Enutra!!” Lena menjerit keras.
            Enutra akhirnya terjun bebas menuju kerongkongan sang monster raksasa. Tertelan bersama seluruh perlengkapannya dalam keadaan hidup-hidup.
            Mata Lena terbelalak. Mulutnya menganga dan rahangnya bergetar.
            “Ini bohong kan?”
***

            Pengap, berlendir, dan gelap. Aku masih tak mengerti keinginan dari kekuatan ini. Ia membuatku hanyut dalam kerongkongan monster raksasa Scylla. Padahal seharusnya bisa kulawan saat berada di atas langit tadi. Tapi kini tubuhku terus merangsek jauh menuju perut Scylla. Seolah menjadi santapan siap saji tanpa perlu membuatnya bersusah payah.
            Tubuh ini masih belum bisa kukendalikan. Namun tak ada pula pergerakan berarti dari kekuatan anehku. Membiarkan diriku terus masuk ke dalam sistem pencernaan Scylla. Entah bagian tubuh mana yang kini ku lewati, perjalanan ini terasa panjang tanpa ujung kepastian.
            Bila dipikirkan kembali, mungkin memang ada maksud tertentu mengapa kekuatan anehku merelakan tubuhku untuk ditelan oleh monster raksasa ini. Sebelumnya aku sempat melihat bagian luar tubuh Scylla yang penuh dengan sisik berwarna hijau, mungkin saja kekuatan ini tahu bahwa bagian luar tubuh sangat sulit untuk ditembus dan ia berencana untuk menghancurkan Scylla dari dalam. Cukup cerdas juga, tapi..
            Hingga saat ini tubuhku hanya terus diam tak bergerak seakan pasrah menghadapi keadaan yang tak berdaya. Bila memang yang dipikirkanku itu benar, seharusnya sejak tadi pedangku sudah menyayat kerongkongan dan memotong habis leher makhluk ini dari dalam. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa tubuhku perlahan hancur oleh asam yang terdapat pada lambung.
            Tiba-tiba kurasakan adanya pergerakan dari tangan kiri oleh kekuatanku. Salah satu tangan ini bergerak lurus ke atas kepalaku dengan posisi jari-jari seakan tengah mencengkram sesuatu. Posisi ini tak berubah hingga akhirnya terlihat ujung dari dari kerongkongan panjang Scylla. Bila anatomi sistem pencernaan Scylla sama dengan milik manusia, kemungkinan besar yang akan ku temui nanti adalah lambungnya. Sebuah tempat berbahaya ketika cairan asam akan menghancurkan tubuhku dengan seketika.
            Ujung perjalanan panjang saluran kerongkongan ini pun berakhir. Tubuhku sempat berguling sesaat setelah terjatuh pada ruang yang cukup besar untuk ukuran di dalam perut Scylla. Ruang ini memiliki bentuk lonjong membulat dengan volume area yang hampir sama dengan ukuran bus antar kota lima puluh kursi. Dinding beserta lantainya kenyal dan lengket dengan dasar yang becek, mungkin cairan asam, disertai dengan denyutan-denyutan yang teratur. Terdapat pula sebuah lubang pada ujung bagian lainnya seperti saluran saat tubuhku terjatuh di ruang ini. Dengan pengamatan singkat, kemungkinan besar bahwa ruang yang ku tempati saat ini merupakan lambung Scylla. Tapi tidak seratus persen benar, jangankan makhluk antah berantah seperti ini, ayam dan sapi pun memiliki sistem pencernaan yang jauh berbeda dengan manusia.
            Tubuhku kemudian kembali bergerak dengan merangkak menuju lubang yang berada di ujung ruang. Agak sulit memang bagi tubuhku untuk dapat berjalan menggunakan kedua kaki. Tak jelas apa sebenarnya yang diinginkan oleh kekuatan ini, ia terus menghantarkan tubuhku jauh ke dalam perut Scylla.
            Meski buram, aku dapat melihat semua keadaan yang ada di sekitarku. Sesuai dengan pengamatanku tadi akan ruangan ini, sepertinya bagian tubuh yang sedang ku tempati saat ini adalah lambung. Pakaianku sedikit demi sedikit mulai rusak dan sobek pada beberapa bagian oleh cairan asam yang perlahan permukaannya semakin naik. Kulitku pun mulai terasa panas dan perih. Rasanya ingin keluar dari perut makhluk raksasa ini sesegera mungkin.
            Tanpa kusadari, ternyata sejak tadi tangan kiriku sedang mencengkeram sesuatu. Seperti batu kristal bulat berwarna biru transparan seukuran genggaman tangan. Hal tersebut baru kuketahui ketika kepalaku menunduk dan terhenti tepat sebelum memasuki saluran selanjutnya yang berada di ujung ruang. Setelah itu aku memasukan batu kristal tersebut ke dalam salah satu kantung celana dan kemudian tidak bergerak lagi. Mungkinkah tujuan kekuatan ini telah tercapai?
            Tak lama kemudian tangan kananku akhirnya bergerak hingga sebuah cahaya hijau menyilaukan muncul.
***

            Dari dalam perut Scylla yang senyap, tiba-tiba berubah riuh ramai dengan teriakan-teriakan manusia. Kekuatan ini kembali membuat tubuhku berteleportasi. Sebelum mataku dapat melihat dengan jelas, kusadari bahwa kakiku kini tengah memijak sesuatu. Bukan mengambang di air ataupun melayang di angkasa seperti sebelumnya.
            Tak lama cahaya hijau menyilaukan tadi pun berangsur-angsur hilang dan kemudian menampakkan apa yang ada di sekelilingku. Perlahan semua semakin jelas. Kini aku berdiri pada sebuah sampan kecil yang sepertinya ku kenal. Tak hanya itu, kini di hadapanku juga terdapat sosok gadis ber-armor yang berdiri menunduk membelakangiku.
            Karena kemunculanku yang tiba-tiba, sampan sempat bergoyang kecil kehilangan keseimbangan. Gadis tersebut sontak menegakkan kepalanya dan kemudian perlahan berbalik ke arahku. Wajahnya kemerahan dengan mata yang sangat basah menatapku seolah tak percaya dengan keberadaanku.
            “E-Enutra??” tanyanya lirih.
            Lena ternganga sesaat. Matanya penuh dengan linangan air mata yang kemudian mengalir membasahi kedua pipi kemerahannya. Perlahan ia berjalan menghampiri. Tak perlu waktu lama, tangannya yang mungil dengan cepat bergerak mendekapku erat. Berkali-kali ia mengucapkan kata maaf. Sementara diriku yang masih belum mampu untuk mengendalikan tubuh hanya bisa terdiam menyaksikan sikapnya.
            Meski suasana haru masih menyelimuti, aku tak boleh larut ke dalamnya. Keadaan saat ini masih belum aman. Scylla yang berada tak jauh dari sampan kami masih mengamuk dan itu tentu saja sangat membahayakan.
            Aku terus berusaha untuk menggerakkan jari jemari dan anggota tubuh lainnya. Meski masih sulit untuk dikendalikan, namun perlahan mulai terasa adanya gerakan. Lengan ini bergetar setiap kali akan kugerakkan. Hanya saja ini terlalu lama. Scylla sudah mulai mendekati kami setelah menghantam beberapa manuasia di sekitarnya yang tak sempat menghindar. Bila keadaanku terus seperti ini, tak akan butuh waktu yang lama hingga akhirnya Scylla melahap kami berdua.
            “Bertahanlah, Enutra!”
            Entah darimana terdengar suara seorang wanita yang sangat tak asing di kepalaku.
            “Vivian!” teriakku menggetarkan pita suara yang sejak tadi kaku.
Sontak Lena mengangkat kepalanya, menatap dengan alis yang agak mengerut. “A-ada apa Enutra?” tanyanya terbata.
            “Umh.. Bisakah kau melepaskanku sejenak?” ucapku lemah.
            Wajah Lena memerah. Saat itu juga ia seketika melepaskan dekapannya tanpa berkata-kata. Kini ia menundukkan kepalanya lagi.
            Setelah kusadari bahwa beberapa bagian tubuhku telah dapat dikuasai, kembali kucoba untuk bergerak. Namun ...
            “Uuggh..”
            “Enutra!” Lena menjerit ketakutan.
            Tubuhku menjadi terasa sangat lemah. Sempat kehilangan keseimbangan dan hampir terjatuh. Namun Lena dengan sigap memegangi lenganku untuk menahan tubuhku. Tak biasanya ini terjadi. Mungkin ini adalah efek dari kekuatan sebelumnya yang benar-benar menguras energi tubuhku.
            Kepalaku tertunduk, tanpa kusadari ternyata sejak tadi tanganku masih menggenggam batu kristal yang telah kudapatkan saat berada di dalam perut Scylla. Dalam pikiranku masih tak mengerti, untuk apa kekuatan ini membawaku hingga tenggelam dalam perut monster raksasa tersebut hanya untuk membawa batu ini.
            “Enutra, kau tidak apa-apa?” ucap Lena lagi yang sepertinya sangat mengkhawatirkan keadaanku.
            “Aku tidak apa-apa. Hanya tubuhku terasa lebih lemah saja.” balasku sambil mencoba untuk berdiri kembali.
            “Sebaiknya kau istirahat saja.” ucap Lena lagi.
            “Mana mungkin aku bisa istirahat sementara monster di belakangmu itu tengah bersiap untuk melahap kita berdua..”
            Sementara aku mencoba untuk meyakinkan Lena, dari kejauhan terlihat seorang pria dengan kepala plontos melihatku dengan ekspresi wajah seolah terkejut. Dia adalah pria yang tadi memimpin sebuah kelompok untuk mencoba menyerangku. Saat ini ia berada sekitar dua puluh meter dari sampan kami. Beberapa meter lebih dekat dengan monster Scylla. Mata pria tersebut membelalak dengan mulut yang menganga dan bergetar. Hingga akhirnya ia habis dilahap oleh sang monster raksasa.
            Aku terperanjat, “Gawat! Kita harus benar-benar pergi dari sini!”
            Sontak Lena menoleh ke belakang, “Kau benar! Apa kau masih kuat untuk membantuku mendayung perahu ini?”
            “Entahlah. Namun biar tubuhku masih kuat pun, aku sama sekali tak melihat ada dayung di sampan kita.”
            “Ah benar juga. Maafkan aku. Tadi aku tak sempat mengambil dayung saat membalikkan sampan ini kembali.”
            “Tak perlu meminta maaf, lagi pula ini memang salahku yang telah menelungkupkan sampan ini.”
            Aku terdiam sejenak. Memijat dahi untuk dapat menjernihkan pikiranku.
            “Apa kita memang benar-benar harus melawan Scylla?” ucap Lena setengah putus asa.
            Sesaat diriku menghela napas. Kemudian berjongkok dan mengambil pedang hijau milikku.
            “Bila memang seperti itu, apa boleh buat.”
            “Tapi kau saat ini sedang lemah.”
            “Tak apa, rasanya energi di tubuhku sudah mulai terkumpul.”
            Lena tiba-tiba mengerutkan dahi di antara kedua alisnya. Matanya kembali berkaca dan bibirnya agak bergetar. “Entah mengapa aku merasa sangat ingin menangis.”
            “Hei.. Ada apaa ini? Kenapa kau tiba-tiba menangis?”
            “Aku benar-benar telah berbuat jahat padamu.” akhirnya air mata Lena sudah tak terbendung dan kembali membasahi kedua pipinya yang kemerahan.
            Aku mulai panik, “Sudah.. Sudah.. Aku telah memaafkanmu.”
            Sementara Scylla terus mendekat seakan siap untuk melahap kami berdua.
            Lena menjerit, “Tunggu! Tolong lepaskan dulu baju zirahmu itu! Baju zirah itulah yang telah membuatmu tenggelam tadi!”
            “Jadi memang benar baju zirah ini yang membuatku tenggelam?” sontak tanyaku sambil memegang erat pundak Lena.
            Seketika Lena memundurkan wajahnya beberapa sentimeter ke belakang dan kemudian memalingkan tatapannya dariku. Tampak beberapa garis tetesan air mata yang mengalir di pipinya.
            “I-iya.. Baju zirah itu lah yang telah membuat tenggelam.” ucapnya dibarengi isak tangis.
            “Bisa kau jelaskan mengapa baju zirah ini dapat membuatku tenggelam?”
            “Aku membuatnya dari bahan logam pembuat jangkar kapal yang dapat menyerap banyak air. Karena itulah kau tenggelam akibat dari beban yang bertambah berkali-kali lipat.”
            “Tapi kenapa saat ini aku tidak merasakan berat yang berlabih dari baju ini?”
            “Karena baju itu seketika akan kembali ringan setelah keluar dari air.”
            “Oh jadi begitu ya?” aku mengusap dagu sejenak, “Maaf, sekali lagi aku ingin bertanya padamu, lebih tepatnya seberapa berat baju zirah itu bila masuk ke dalam air?”
            “Cukup berat untuk menenggelamkan sebuah kapal besar” jelasnya dengan suara yang agak parau. “Maafkan aku yang telah mencoba mencelakakanmu. Maaf..”
            Dahiku mengerut berusaha mencerna apa yang telah dijelaskan oleh Lena. Hingga akhirnya..
Senyum tergurat di bibirku, “Tak apa-apa. Justru aku berterima kasih.”
            Lena termangu dengan tatapannya yang sayu, basah, dan sembab.
            Kurenggangkan dan kemudian kulepaskan pegangan di kedua pundaknya, “Karena penjelasanmu, aku memiliki ide agar dapat mengalahkan monster itu.”
            Lena masih termangu menatapku.
            Setelah itu aku berjalan dan mengamati sekeliling sekitar sampan. Aku ingat bahwa pada sampan ini terdapat satu gulung tali tambang yang terlilit di salah satu ujungnya. Semoga saja tidak hilang ketika aku membalikan sampan ini tadi.
            “Ah itu dia!”
            Tak lama berselang akhirnya aku menemukan tali tambang yang salah satu ujungnya terikat pada sampan sementara sebagian besar lainnya menjuntai panjang menuju dasar laut.
            Dengan segera aku melepaskan baju zirah yang melekat pada tubuhku sejak tadi dan kemudian dililitkan tali tambang yang baru saja kutemukan. Sementara pada salah satu ujung tali lainnya kubuatkan simpul laso[1]. Setelah semua siap, aku berdiri dengan sikap kuda-kuda sambil memutar simpul tali laso layaknya seorang koboi.
            Scylla semakin mendekat. Mataku memicing memperkirakan waktu yang tepat. Saat jarakku dan monster raksasa tersebut semakin dekat, tiba-tiba di luar dugaan sesuatu telah terjadi. Mataku terbelalak cukup hebat. Tak mungkin hal tersebut dapat terjadi!
***


[1] Salah satu simpul tali khas para koboi yang biasa digunakan untuk menangkap sapi atau kuda.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39