CHAPTER 39
- TENGGELAM DAN TERBANG
“Hei gadis,
apa yang kau lakukan di bawah sana?” seringai salah seorang anggota kelompok
Rombusta menyeruak dari balik sampan yang tertelungkup .
Spontan Lena menjerit, meringis ketakutan karena tahu apa
yang akan mereka lakukan padanya.
“Wah, apa
yang terjadi dengan pria yang tadi? Kukira dia akan terus bersamamu?” tanyanya
lagi sambil melongok memperhatikan pada setiap sudut sampan.
Lena tak menjawabnya. Ia hanya menggeleng terdiam dan
kemudian menunduk pasrah.
Sikap Lena tersebut sontak membuat anggota kelompok Rombusta
tersebut terlihat marah dengan menaikan nada suaranya, “Hei, ada apa denganmu?
Si Enutra itu tenggelam, hah?”
“Gawaaatt!!!”
“Tidak
mungkin!”
“Apa
itu??!!”
Belum
selesai anggota kelompok Rombusta tersebut bertanya, tiba-tiba terdengar
kegaduhan dari luar. Si anggota kelompok Rombusta termangu sesaat dan kemudian
melihat situasi di luar. Lena menyadari adanya aura kecemasan dari balik
teriakan-teriakan tadi hingga ia pun penasaran dan melolok mengintip dari celah
saat sampan masih dalam keadaan terangkat. Sontak ia terkejut. Kepanikan terlihat jelas dari raut wajah si
anggota kelompok Rombusta tadi. Berubah seratus delapan puluh derajat
dibandingkan saat ia mencoba mengintimidasi Lena saat di dalam tempurung
sampan. Tak salah lagi, pastilah terjadi sesuatu yang sangat mengerikan di luar
sana dalam benaknya.
“I-itu.. SCYLLA..!!!”
Lagi-lagi
teriakan kelompok Rombusta menyeruak. Namun, teriakan tersebut sanggup membuat
detak jantung Lena seakan terhenti sesaat. Genggaman tangannya mendadak melemah
dan napasnya tersengal. Seruan para kelompok Rombusta di luar sampan membuatnya
terpaku. Kemunculan Scylla membuat perasaannya semakin terpuruk. Ia bukan
memikirkan keadaanya sendiri, namun ia justru merasa bersalah terhadap Enutra.
Dalam benaknya terus terbayang Enutra yang telah menjadi santapan monster
raksasa tersebut.
“Hei tunggu, siapa itu yang melayang
di langit?” salah seorang anggota kelompok Rombusta berseru.
Awalnya
Lena hanya diam tak peduli dengan situasi apapun yang ada di sekitarnya. Ia
masih tenggelam dalam penyesalan akan kehilangan Enutra. Namun kegaduhan
kelompok Rombusta di luar terus-menerus menyerukan hal yang sama dan
menggerakkan rasa penasarannya. Hingga akhirnya Ia memutuskan menyelam dan
kemudian berenang lebih cepat menuju permukaan untuk mendorong tempurung sampan
hingga berbalik kembali seperti semula.
Permukaan
laut riuh pikirnya saat kembali menaiki sampan bobroknya. Belum jelas terlihat
apa yang ada di sekitar. Ia menggosok-gosokkan mata lalu memicing seraya
menengok keadaan sekitarnya.
“Astaga!”
gumamnya spontan saat pertama kali melihat monster raksasa di hadapannya.
Baru kali
ini ia melihat makhluk sebesar dan seseram itu. Situasi yang awalnya sudah
buruk oleh para kelompok Rombusta kini berubah semakin mengerikan, bahkan
mendekati chaos. Para bawahan
Rombusta berhamburan dengan perahu-perahunya menyebar ke segala penjuru
menghindari monster tersebut hingga menyisakan beberapa orang termasuk Rombusta
yang tetap diam di atas perahunya. Sang
pemimpin berkepala plontos tersebut hanya mendongak diam memerhatikan Scylla
yang mengamuk di hadapannya. Tapi Lena merasakan ada yang aneh. Bukan. Rombusta
sepertinya memerhatikan hal lain selain monster raksasa tersebut. Sosok aneh
yang melayang di atas Scylla.
Lena ikut
mendongak dan memicingkan matanya. Rasanya ia mengenali sosok tersebut. Ia
terus mencoba memperhatikan hingga kemudian..
Seluruh
beban pikirannya seolah terlepas begitu saja. Rasa bersalah yang sejak tadi
menyelimuti spontan lenyap saat ia menyadari bahwa sosok yang ia lihat tersebut
adalah Enutra! Ia yakin betul bahwa itu adalah Enutra. Enutra selamat!
Namun..
Perasaan
lega tersebut tak bertahan begitu lama setelah ia menyadari sosok Enutra yang
ia lihat tengah menukik tajam terjun menuju mulut Scylla.
“Tidak!!
Enutra!!” Lena menjerit keras.
Enutra
akhirnya terjun bebas menuju kerongkongan sang monster raksasa. Tertelan
bersama seluruh perlengkapannya dalam keadaan hidup-hidup.
Mata Lena
terbelalak. Mulutnya menganga dan
rahangnya bergetar.
“Ini bohong
kan?”
***
Pengap,
berlendir, dan gelap. Aku masih tak mengerti keinginan dari kekuatan ini. Ia
membuatku hanyut dalam kerongkongan monster raksasa Scylla. Padahal seharusnya
bisa kulawan saat berada di atas langit tadi. Tapi kini tubuhku terus merangsek
jauh menuju perut Scylla. Seolah menjadi santapan siap saji tanpa perlu
membuatnya bersusah payah.
Tubuh ini
masih belum bisa kukendalikan. Namun tak ada pula pergerakan berarti dari
kekuatan anehku. Membiarkan diriku terus masuk ke dalam sistem pencernaan
Scylla. Entah bagian tubuh mana yang kini ku lewati, perjalanan ini terasa
panjang tanpa ujung kepastian.
Bila
dipikirkan kembali, mungkin memang ada maksud tertentu mengapa kekuatan anehku
merelakan tubuhku untuk ditelan oleh monster raksasa ini. Sebelumnya aku sempat
melihat bagian luar tubuh Scylla yang penuh dengan sisik berwarna hijau,
mungkin saja kekuatan ini tahu bahwa bagian luar tubuh sangat sulit untuk
ditembus dan ia berencana untuk menghancurkan Scylla dari dalam. Cukup cerdas
juga, tapi..
Hingga saat
ini tubuhku hanya terus diam tak bergerak seakan pasrah menghadapi keadaan yang
tak berdaya. Bila memang yang dipikirkanku itu benar, seharusnya sejak tadi
pedangku sudah menyayat kerongkongan dan memotong habis leher makhluk ini dari
dalam. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa tubuhku perlahan hancur oleh asam
yang terdapat pada lambung.
Tiba-tiba
kurasakan adanya pergerakan dari tangan kiri oleh kekuatanku. Salah satu tangan
ini bergerak lurus ke atas kepalaku dengan posisi jari-jari seakan tengah
mencengkram sesuatu. Posisi ini tak berubah hingga akhirnya terlihat ujung dari
dari kerongkongan panjang Scylla. Bila anatomi sistem pencernaan Scylla sama
dengan milik manusia, kemungkinan besar yang akan ku temui nanti adalah
lambungnya. Sebuah tempat berbahaya ketika cairan asam akan menghancurkan
tubuhku dengan seketika.
Ujung
perjalanan panjang saluran kerongkongan ini pun berakhir. Tubuhku sempat
berguling sesaat setelah terjatuh pada ruang yang cukup besar untuk ukuran di
dalam perut Scylla. Ruang ini memiliki bentuk lonjong membulat dengan volume
area yang hampir sama dengan ukuran bus antar kota lima puluh kursi. Dinding
beserta lantainya kenyal dan lengket dengan dasar yang becek, mungkin cairan
asam, disertai dengan denyutan-denyutan yang teratur. Terdapat pula sebuah
lubang pada ujung bagian lainnya seperti saluran saat tubuhku terjatuh di ruang
ini. Dengan pengamatan singkat, kemungkinan besar bahwa ruang yang ku tempati
saat ini merupakan lambung Scylla. Tapi tidak seratus persen benar, jangankan
makhluk antah berantah seperti ini, ayam dan sapi pun memiliki sistem
pencernaan yang jauh berbeda dengan manusia.
Tubuhku
kemudian kembali bergerak dengan merangkak menuju lubang yang berada di ujung
ruang. Agak sulit memang bagi tubuhku untuk dapat berjalan menggunakan kedua
kaki. Tak jelas apa sebenarnya yang diinginkan oleh kekuatan ini, ia terus
menghantarkan tubuhku jauh ke dalam perut Scylla.
Meski
buram, aku dapat melihat semua keadaan yang ada di sekitarku. Sesuai dengan
pengamatanku tadi akan ruangan ini, sepertinya bagian tubuh yang sedang ku
tempati saat ini adalah lambung. Pakaianku sedikit demi sedikit mulai rusak dan
sobek pada beberapa bagian oleh cairan asam yang perlahan permukaannya semakin
naik. Kulitku pun mulai terasa panas dan perih. Rasanya ingin keluar dari perut
makhluk raksasa ini sesegera mungkin.
Tanpa
kusadari, ternyata sejak tadi tangan kiriku sedang mencengkeram sesuatu.
Seperti batu kristal bulat berwarna biru transparan seukuran genggaman tangan.
Hal tersebut baru kuketahui ketika kepalaku menunduk dan terhenti tepat sebelum
memasuki saluran selanjutnya yang berada di ujung ruang. Setelah itu aku
memasukan batu kristal tersebut ke dalam salah satu kantung celana dan kemudian
tidak bergerak lagi. Mungkinkah tujuan kekuatan ini telah tercapai?
Tak lama
kemudian tangan kananku akhirnya bergerak hingga sebuah cahaya hijau
menyilaukan muncul.
***
Dari dalam
perut Scylla yang senyap, tiba-tiba berubah riuh ramai dengan teriakan-teriakan
manusia. Kekuatan ini kembali membuat tubuhku berteleportasi. Sebelum mataku
dapat melihat dengan jelas, kusadari bahwa kakiku kini tengah memijak sesuatu.
Bukan mengambang di air ataupun melayang di angkasa seperti sebelumnya.
Tak lama
cahaya hijau menyilaukan tadi pun berangsur-angsur hilang dan kemudian
menampakkan apa yang ada di sekelilingku. Perlahan semua semakin jelas. Kini
aku berdiri pada sebuah sampan kecil yang sepertinya ku kenal. Tak hanya itu,
kini di hadapanku juga terdapat sosok gadis ber-armor yang berdiri menunduk membelakangiku.
Karena
kemunculanku yang tiba-tiba, sampan sempat bergoyang kecil kehilangan
keseimbangan. Gadis tersebut sontak menegakkan kepalanya dan kemudian perlahan
berbalik ke arahku. Wajahnya kemerahan dengan mata yang sangat basah menatapku
seolah tak percaya dengan keberadaanku.
“E-Enutra??”
tanyanya lirih.
Lena
ternganga sesaat. Matanya penuh dengan linangan air mata yang kemudian mengalir
membasahi kedua pipi kemerahannya. Perlahan ia berjalan menghampiri. Tak perlu
waktu lama, tangannya yang mungil dengan cepat bergerak mendekapku erat.
Berkali-kali ia mengucapkan kata maaf. Sementara diriku yang masih belum mampu
untuk mengendalikan tubuh hanya bisa terdiam menyaksikan sikapnya.
Meski
suasana haru masih menyelimuti, aku tak boleh larut ke dalamnya. Keadaan saat
ini masih belum aman. Scylla yang berada tak jauh dari sampan kami masih
mengamuk dan itu tentu saja sangat membahayakan.
Aku terus
berusaha untuk menggerakkan jari jemari dan anggota tubuh lainnya. Meski masih
sulit untuk dikendalikan, namun perlahan mulai terasa adanya gerakan. Lengan
ini bergetar setiap kali akan kugerakkan. Hanya saja ini terlalu lama. Scylla
sudah mulai mendekati kami setelah menghantam beberapa manuasia di sekitarnya
yang tak sempat menghindar. Bila keadaanku terus seperti ini, tak akan butuh
waktu yang lama hingga akhirnya Scylla melahap kami berdua.
“Bertahanlah, Enutra!”
Entah
darimana terdengar suara seorang wanita yang sangat tak asing di kepalaku.
“Vivian!”
teriakku menggetarkan pita suara yang sejak tadi kaku.
Sontak Lena mengangkat kepalanya,
menatap dengan alis yang agak mengerut. “A-ada apa Enutra?” tanyanya terbata.
“Umh..
Bisakah kau melepaskanku sejenak?” ucapku lemah.
Wajah Lena
memerah. Saat itu juga ia seketika melepaskan dekapannya tanpa berkata-kata.
Kini ia menundukkan kepalanya lagi.
Setelah
kusadari bahwa beberapa bagian tubuhku telah dapat dikuasai, kembali kucoba
untuk bergerak. Namun ...
“Uuggh..”
“Enutra!”
Lena menjerit ketakutan.
Tubuhku
menjadi terasa sangat lemah. Sempat kehilangan keseimbangan dan hampir
terjatuh. Namun Lena dengan sigap memegangi lenganku untuk menahan tubuhku. Tak
biasanya ini terjadi. Mungkin ini adalah efek dari kekuatan sebelumnya yang
benar-benar menguras energi tubuhku.
Kepalaku
tertunduk, tanpa kusadari ternyata sejak tadi tanganku masih menggenggam batu
kristal yang telah kudapatkan saat berada di dalam perut Scylla. Dalam
pikiranku masih tak mengerti, untuk apa kekuatan ini membawaku hingga tenggelam
dalam perut monster raksasa tersebut hanya untuk membawa batu ini.
“Enutra,
kau tidak apa-apa?” ucap Lena lagi yang sepertinya sangat mengkhawatirkan
keadaanku.
“Aku tidak
apa-apa. Hanya tubuhku terasa lebih lemah saja.” balasku sambil mencoba untuk
berdiri kembali.
“Sebaiknya
kau istirahat saja.” ucap Lena lagi.
“Mana
mungkin aku bisa istirahat sementara monster di belakangmu itu tengah bersiap
untuk melahap kita berdua..”
Sementara
aku mencoba untuk meyakinkan Lena, dari kejauhan terlihat seorang pria dengan
kepala plontos melihatku dengan ekspresi wajah seolah terkejut. Dia adalah pria
yang tadi memimpin sebuah kelompok untuk mencoba menyerangku. Saat ini ia
berada sekitar dua puluh meter dari sampan kami. Beberapa meter lebih dekat
dengan monster Scylla. Mata pria tersebut membelalak dengan mulut yang menganga
dan bergetar. Hingga akhirnya ia habis dilahap oleh sang monster raksasa.
Aku
terperanjat, “Gawat! Kita harus benar-benar pergi dari sini!”
Sontak Lena
menoleh ke belakang, “Kau benar! Apa kau masih kuat untuk membantuku mendayung
perahu ini?”
“Entahlah.
Namun biar tubuhku masih kuat pun, aku sama sekali tak melihat ada dayung di
sampan kita.”
“Ah benar
juga. Maafkan aku. Tadi aku tak sempat mengambil dayung saat membalikkan sampan
ini kembali.”
“Tak perlu
meminta maaf, lagi pula ini memang salahku yang telah menelungkupkan sampan
ini.”
Aku terdiam
sejenak. Memijat dahi untuk dapat menjernihkan pikiranku.
“Apa kita
memang benar-benar harus melawan Scylla?” ucap Lena setengah putus asa.
Sesaat
diriku menghela napas. Kemudian berjongkok dan mengambil pedang hijau milikku.
“Bila
memang seperti itu, apa boleh buat.”
“Tapi kau
saat ini sedang lemah.”
“Tak apa,
rasanya energi di tubuhku sudah mulai terkumpul.”
Lena
tiba-tiba mengerutkan dahi di antara kedua alisnya. Matanya kembali berkaca dan
bibirnya agak bergetar. “Entah mengapa aku merasa sangat ingin menangis.”
“Hei.. Ada
apaa ini? Kenapa kau tiba-tiba menangis?”
“Aku
benar-benar telah berbuat jahat padamu.” akhirnya air mata Lena sudah tak
terbendung dan kembali membasahi kedua pipinya yang kemerahan.
Aku mulai
panik, “Sudah.. Sudah.. Aku telah memaafkanmu.”
Sementara
Scylla terus mendekat seakan siap untuk melahap kami berdua.
Lena
menjerit, “Tunggu! Tolong lepaskan dulu baju zirahmu itu! Baju zirah itulah
yang telah membuatmu tenggelam tadi!”
“Jadi
memang benar baju zirah ini yang membuatku tenggelam?” sontak tanyaku sambil
memegang erat pundak Lena.
Seketika
Lena memundurkan wajahnya beberapa sentimeter ke belakang dan kemudian
memalingkan tatapannya dariku. Tampak beberapa garis tetesan air mata yang
mengalir di pipinya.
“I-iya..
Baju zirah itu lah yang telah membuat tenggelam.” ucapnya dibarengi isak
tangis.
“Bisa kau
jelaskan mengapa baju zirah ini dapat membuatku tenggelam?”
“Aku
membuatnya dari bahan logam pembuat jangkar kapal yang dapat menyerap banyak
air. Karena itulah kau tenggelam akibat dari beban yang bertambah berkali-kali
lipat.”
“Tapi kenapa saat ini aku tidak
merasakan berat yang berlabih dari baju ini?”
“Karena baju itu seketika akan
kembali ringan setelah keluar dari air.”
“Oh jadi
begitu ya?” aku mengusap dagu sejenak, “Maaf, sekali lagi aku ingin bertanya
padamu, lebih tepatnya seberapa berat baju zirah itu bila masuk ke dalam air?”
“Cukup
berat untuk menenggelamkan sebuah kapal besar” jelasnya dengan suara yang agak
parau. “Maafkan aku yang telah mencoba mencelakakanmu. Maaf..”
Dahiku
mengerut berusaha mencerna apa yang telah dijelaskan oleh Lena. Hingga
akhirnya..
Senyum tergurat di bibirku, “Tak
apa-apa. Justru aku berterima kasih.”
Lena
termangu dengan tatapannya yang sayu, basah, dan sembab.
Kurenggangkan
dan kemudian kulepaskan pegangan di kedua pundaknya, “Karena penjelasanmu, aku
memiliki ide agar dapat mengalahkan monster itu.”
Lena masih termangu menatapku.
Setelah itu aku berjalan dan mengamati sekeliling sekitar
sampan. Aku ingat bahwa pada sampan ini terdapat satu gulung tali tambang yang
terlilit di salah satu ujungnya. Semoga saja tidak hilang ketika aku membalikan
sampan ini tadi.
“Ah itu
dia!”
Tak lama berselang akhirnya aku
menemukan tali tambang yang salah satu ujungnya terikat pada sampan sementara
sebagian besar lainnya menjuntai panjang menuju dasar laut.
Dengan segera aku melepaskan baju
zirah yang melekat pada tubuhku sejak tadi dan kemudian dililitkan tali tambang
yang baru saja kutemukan. Sementara pada salah satu ujung tali lainnya
kubuatkan simpul laso[1].
Setelah semua siap, aku berdiri dengan sikap kuda-kuda sambil memutar simpul
tali laso layaknya seorang koboi.
Scylla semakin mendekat. Mataku
memicing memperkirakan waktu yang tepat. Saat jarakku dan monster raksasa
tersebut semakin dekat, tiba-tiba di luar dugaan sesuatu telah terjadi. Mataku
terbelalak cukup hebat. Tak mungkin hal tersebut dapat terjadi!
***
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Eaaa.. Blognya sepi, eaaa..
BalasHapus