19 April 2018

DUNIA SEMU #41


CHAPTER 41 - TEBING PERASAAN

            Samar terdengar suara burung pagi memberikan melodi yang tak asing bagi telinga. Aku baru tersadar, diri ini terlelap entah sejak kapan. Tak tahu apa yang sedang dan sebelumnya terjadi. Hanya terbaring pada ranjang busa sambil menatap langit-langit yang tak kukenal.
            Rasanya ada sesuatu yang hangat dan lembut menyentuh pada sela-sela jari tangan kiriku. Terasa pula adanya beban kecil yang menindih dada. Napasku agak sesak namun perasaan ini cukup membuatku nyaman.
            Kemudian perlahan kuarahkan pandangan pada sesuatu yang menindihku tersebut. Nampak sesosok gadis berambut panjang terurai tengah menindihkan kepalanya tepat di atas dadaku. Ia tertidur dengan posisi duduk di samping kananku. Tak terlihat wajahnya seperti apa karena ia menghadap pada arah lain.

            Setelah itu aku memperhatikan kembali keadaan di sekitarku. Bila dilihat dari pengamatan sementara, ruangan ini seperti ruang perawatan rumah sakit. Hanya saja tanpa ada alat infus yang menggantung. Ranjang ini pun bersebelahan dengan jendela yang menghadap ke luar. Namun aku tak dapat melihatnya dengan jelas, hanya nampak langit biru dan beberapa awan kecil yang bergerak terbang perlahan mengikuti angin.
            ~Sreeeekkkkk...
            Seketika pandanganku jatuh pada sebuah pintu geser yang baru saja terbuka di salah satu sudut ruangan. Terlihat seorang gadis kaukasoid[1] berambut merah berkepang berdiri dari balik pintu tersebut. Aku mengenalinya, ia adalah Lena yang sebelumnya telah disekap oleh Rombusta. Kemudian ia berjalan masuk sambil membawa seikat bunga seperti tulip. Dari sikapnya, sepertinya ia berniat untuk menyimpannya pada vas di atas bufet samping ranjang. Sayup terdengar gumaman saat ia mengisi air pada vas tersebut.
            “Cepat sadarlah, Enutra. Kubawakan bunga ini hanya untukmu tulus dari dasar lubuk hatiku yang terdalam.”
            Dalam hatiku terucap beberapa kali rasa syukur. Terakhir kali kuingat, ia berada dalam keadaan yang berbahaya karena sekapan Rombusta di hadapan monster Scylla yang mengamuk. Namun nyatanya kini ia terlihat sangat sehat tanpa kekurangan apapun. Aku benar-benar bersyukur.
            Tergurat senyum dari kedua bibirku.
            “Benarkah apa yang kau katakan itu?” tanyaku tiba-tiba membalas gumaman Lena.
            ~Praaannnkk..
            Lena seketika terperanjat menatapku hingga tanpa sengaja vas yang dibawanya terjatuh pecah membuat seisi ruangan menjadi ramai sesaat. Saat itu pula gadis yang tengah tertidur di sampingku pun terbangun karenanya.
           “Lena, apa yang terjadi?” gadis yang baru terbangun itu lalu bertanya sambil berkali-kali mengusap-usap matanya.
            “Tu-Tuan putri.. Itu E-Enutra..” Lena terbata sambil menunjuk pada diriku.
            Sang gadis yang baru terbangun pun sontak menoleh padaku. Tampak rona ketidakpercayaan dari raut wajahnya. Dengan segera ia menggenggam erat tangan kiriku dengan kedua tangannya, “Enutraaa.. Syukurlah akhirnya kau telah sadar.”
            Aku kembali menampakkan senyum simpul. Terlihat wajah cantik berkulit putih cerah merona dengan mata sayu yang khas. Gadis yang sejak tadi bersamaku ini memang orang yang telah kukenal. Sekali lagi kuucapkan syukur yang tiada henti dari dalam hati. Ternyata Vivian pun tidak mengalami hal buruk seperti yang kubayangkan. Karena terakhir kali kuingat ia jatuh tak sadarkan diri sesaat setelah tubuhku diambil alih oleh kekuatan misteriusku.
            Tiba-tiba Vivian berdiri, “Aku baru ingat, seharusnya aku memanggilkan dokter setelah kau sadar.”
            “Biar aku saja tuan putri.” Lena menimpal.
            “Tidak apa-apa, aku tidak enak padamu. Kau baru saja datang. Lagi pula aku hanya ke luar sebentar. Tolong jaga dia sebentar ya.” Vivian lalu bergegas pergi meninggalkan kami berdua.
            Entah mungkin telah terjadi banyak hal selama aku tak sadarkan diri. Sama sekali tak disangka bahwa mereka akan bisa seakrab ini. Tapi kupikir lebih baik lupakan dulu hal tadi, aku harus tahu apa yang telah terjadi di saat aku tak sadarkan diri.
            Sesaat suasana menjadi sedikit hening dan canggung. Lena duduk di sampingku menggantikan posisi Vivian yang baru saja pergi. Cukup senyap, hanya diiringi suara tetesan-tetesan air keran yang tak begitu tertutup erat dan cuitan beberapa burung yang terdengar dari balik jendela.
            “Lena, sudah berapa lama aku berada di sini?” tanyaku memecah kecanggungan.
            “Ka-kalau dengan hari ini berarti sudah hari ketiga kau berada di sini.” jelas Lena agak terbata.
            “Hah?? Tiga hari??” aku terperanjat, tak kusangka akan selama itu diriku tak sadarkan diri karena pengaruh kekuatan misteriusku. “Bisa kau ceritakan apa yang telah terjadi saat itu? Rasanya ingatanku jadi agak samar.”
            Saat itu juga Lena dengan antusias menceritakan secara rinci tentang segalanya. Sudah tak ada lagi kecanggungan. Ia bercerita dimulai saat diriku yang sempat menolak ajakannya untuk melawan Scylla. Hingga pada satu titik ketika kesadaranku benar-benar telah terambil alih oleh kekuatan misteriusku. Dari pandangannya, ketika aku mulai melepaskan pelukan Vivian, seolah tubuhku seperti sedang kerasukan. Terlihat juga adanya peningkatan kekuatan yang sangat luar biasa. Aku mampu berlari kesana kemari di atas permukaan air tanpa kesulitan sekalipun. Semua serangan Scylla pun mampu ditepis dengan mudah hingga seluruh ksatria yang ada di sekitarku dibuat tercengang oleh aksiku. Setelah aksi akrobatik yang kulakukan saat menangkis semua serangan Scylla, tiba-tiba aku melompat tinggi. Sangat tinggi hingga melebihi tinggi monster tersebut. Setelah itu ia tak begitu tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja saat tubuhku terhenti di suatu ketinggian, tiba-tiba terlihat menukik sangat tajam sambil mengarahkan pedang menuju leher Scylla. Saat itu pula seketika cahaya menyilaukan membutakan pandangan semua orang yang ada di sana selama beberapa detik. Tak ada yang tahu persis apa yang telah terjadi, namun yang nampak setelah itu hanyalah jasad monster Scylla dengan kepala yang telah terpisah dengan tubuhnya. Dan Lena pun baru menyadari bahwa Rombusta yang sebelumnya menyekapnya tiba-tiba tergeletak tak berdaya.
            “Pada saat itulah, kau ditemukan dalam keadaan tak sadarkan diri di salah satu kapal besar ksatria Celadoni.” Lena menyelesaikan ceritanya.
            “Lalu bagaimana keadaan Rombusta sekarang?” tanyaku penasaran.
            “Ia masih hidup. Namun ia telah menjadi tahanan bersama dengan para pengikutnya di penjara Celadoni. Ia didakwa atas segala kejahatan yang telah dilakukannya.” jelas Lena.
            Aku mengangguk mengerti, setidaknya kekuatanku ini tak lagi membunuh manusia semaunya.
            “Emh.. Enutra.” tiba-tiba Lena menyapaku setelah terlihat menoleh sebentar ke belakang.
            Aku menatapnya, tapi ia langsung menundukkan kepalanya.
            “Iya?”
            “Umm.. Terima kasih ya karena telah menyelamatkanku.”
            “Ahahaha, Iya sama-sama.. Jangan terlalu dipikirkan. Lagipula sudah menjadi prinsipku untuk selalu menyelamatkan siapapun yang ada di hadapan-..”
            ~Ccup.
            Tiba-tiba Lena mendaratkan bibirnya tepat pada pipiku. Sangat lembut. Hanya sesaat, namun sempat membuatku terkejut dan membuat jantungku berdegup cepat.
            “Aku menyukaimu.” ucapnya singkat dengan senyum simpul di bibirnya.
            Aku masih belum bisa berkata-kata. Apa aku tidak salah dengar?
            Lalu Lena menutup mulutku dengan jari telunjuk mungilnya, “Kau tak usah menjawabnya. Aku sadar aku bukanlah siapa-siapa untukmu. Selama ini aku hanya bisa memberikan masalah padamu.” ia terdiam sesaat. “Dan selain itu- ..”
            ~hiks
            Isakan kecil menghentikan ucapannya, terlihat beberapaa butir air mata yang mengalir dari kedua mata birunya. Seketika suasana menjadi hening kembali.
            Tak lama pintu geser pun terbuka. Vivian memasuki ruangan tanpa ditemani dokter ataupun perawat.
            “Dokter dan para perawat akan datang menyusul, mereka masih sibuk dengan pasien la-..” ucapannya terhenti setelah melihat mata Lena yang sembab dan basah. “Lena?? Apa yang terjadi padamu?”
            “Aku tidak apa-apa kok.” jawabnnya tersenyum sembil mengusap-usap mata dan pipinya yang basah. Masih terdengar isakan kecil dari ucapannya.
            “Apa Enutra mengatakan sesuatu yang buruk padamu?” tanya Vivian lagi.
            Seketika ku mundurkan kepala dan menggeleng cepat menatap Vivian.
            “Bukan, tuan putri.. Air mata ini hanyalah air mata bahagia karena akhirnya Enutra telah sadar kembali.” jawab Lena mencoba mencairkan suasana.
            Vivian agak merapatkan bibirnya ke dalam sambil mengerutkan alisnya. Untuk saat ini pandanganku sempat tertahan pada wajah Vivian. Imut sekali ia saat terlihat kebingungan.
            “Umm.. Ya sudahlah. Kupikir telah terjadi sesuatu padamu.”
            Lena menggelengkan kepalanya dan tersenyum pada Vivian. Setelah selesai meyakinkan, ia kembali mengajakku bicara, “Oh ya Enutra, terima kasih ya untuk ini.”
            Aku menaikkan salah satu alis dan menatapnya. Lena menunjukkan sesuatu di tangan kanannya. Sebuah batu kristal bulat berwarna biru transparan yang sebelumnya kudapatkan dari dalam perut Scylla, kini telah berada padanya.
            “Aku menemukannya dari salah satu saku pakaianmu. Akhirnya barang yang telah kucari sejak dulu telah berhasil ditemukan.”
            “Jadi apakah itu memang benar material langka yang kau cari-cari itu?”
            “Yap, sesuai dengan deskripsi yang dijelaskan oleh ayahku satu tahun yang lalu.”
            Jadi memang benar ternyata batu kristal itu adalah material yang dicari. Pantas saja saat itu kekuatanku malah menuntunku ke dalam perut Scylla, bukannya langsung membunuhnya dari awal.
            “Syukurlah kalau begitu.”
            “Tapi material ini tak akan sepenuhnya menjadi milikku.” lanjut Lena.
            “Maksudmu?”
            “Material ini akan ku olah menjadi sesuatu dan nantinya akan kuberikan padamu.”
            “Kenapa begitu? Itu kan material yang kau cari sejak dulu.”
            “Karena akulah yang telah menyeretmu dalam situasi berbahaya tersebut hingga membuat keadaanmu menjadi seperti ini.” ucap Lena sambil memperhatikan bola kristal yang dipegangnya, “Lagipula, orang yang pertama menemukannya adalah kamu.”
            Aku menaikkan alis, mengerutkan kening, “Hmm.. Kalau memang itu keputusanmu, akan kuterima dengan senang hati.”
            Lena hanya mengangguk tersenyum.
            Hanya berselang beberapa detik setelah percakapan antara aku dan Lena, pintu geser di sudut kamar kembali terbuka diiringi masuknya beberapa orang berjubah putih yang berjalan mendekatiku. Sepertinya mereka adalah dokter beserta para perawat yang selama ini merawatku.
            “Uumh.. Tuan Putri dan Enutra, aku permisi pulang ya.” tiba-tiba Lena meminta izin sesaat sebelum orang-orang berjubah putih itu memeriksa keadaanku.
            “Kenapa terburu-buru?” tanya Vivian mencoba menahan.
            “Iya, tetaplah dulu di sini bersama kami.” ajakku melanjutkan.
            Lena menggeleng, “Tidak terima kasih, sebenarnya ada urusan yang ingin ku selesaikan terlebih dahulu.”     
            Mata sayu Vivian mengerut terangkat ke tengah keningnya, “Oh begitu ya? Sayang sekali hari ini kita tidak bisa berlama-lama bersama.”
            “Iya, padahal aku masih ingin mengobrol denganmu.”
            “Ahahaha.. Lain kali kita bisa bertemu lagi kan?” canda Lena mulai beranjak dari kursinya, “Sampai jumpa. Semoga cepat sehat kembali, Enutra.”
            Pintu geser di sudut ruangan pun kembali bergeser dan Lena akhirnya meninggalkan ruangan kamar sesaat setelah ia mengucapkan salam. Tapi ada sedikit hal yang membuatku bertanya-tanya dalam hati setelah kepergiannya barusan. Entah hanya perasaanku saja. Namun sesaat sebelum ia menutup pintu, sekilas terlihat air matanya mengalir lagi dan menetes dari kedua pipinya. Seketika ada perasaan bersalah dari diriku. Mungkin saja ada perkataan buruk yang tak sengaja kuucap saat kami saling bercakap. Atau mungkin memang ia tengah memendam kesedihan dalam hatinya. Semoga saja kebaikan selalu menyertainya.
***

            Lena, sang gadis berambut merah berkepang berjalan meninggalkan ruangan yang baru saja didatanginya beberapa saat yang lalu. Meski baginya ini bukanlah yang pertama kali, namun ia selalu merasakan rasa perih yang sama. Tak berdarah, namun terasa teriris begitu dalam. Berkali-kali air matanya turun tanpa ia sadari, dan terkadang tenggorokannya tercekat untuk menahan perihnya.
            Ia mempercepat langkah kaki. Berkali-kali tangannya menyeka kedua mata karena air matanya masih belum berhenti mengalir hingga pandangnya semakin kabur. Ia kemudian mulai berlari, berlari, dan berlari tanpa tujuan yang jelas. Napasnya tersengal namun tak sedikitpun rasa lelah menghinggapinya.
            Dan padaa akhirnya ia pun berhenti. Terdiam pada salah satu sisi tebing curam, yang dibawahnya terdapat bebatuan karang dan deburan ombak besar.
            Sepoy angin menghembuskan rambut merahnya.
            “Ayah.. Semoga kau mendengarkanku.” ucapnya lirih.
            Beberapa butir air mata terjatuh, bersatu bersama buih-buih lautan.
            Sejak peristiwa kejatuhan Rombusta dan Scylla tiga hari yang lalu, tanpa disengaja ia mendapatkan informasi mengenai keberadaan ayahnya. Hal itu terjadi ketika ia menemukan bola kristal dari dalam kantung pakaian Enutra, dan saat itu tiba-tiba salah seorang ksatria yang berada di dekatnya berteriak.
            “Waahh.. Bukankah itu batu kristal yang sama seperti yang dulu dipegang oleh si pak tua saat kami bertarung melawan Scylla dulu.”
            “Benar! Itu batu kristal yang terus dipegang olehnya hingga akhirnya ia mati tertelan oleh Scylla.” ksatria lain menambahkan.
            “Apakah yang kalian katakan itu benar?” tanya Lena memastikan.
            “Iya aku memastikannya sendiri saat itu.”
            Dari percakapan antar ksatria itu lah akhirnya Lena menyimpulkan bahwa ayahnya memang sudah lama meninggal dalam pertempuran setahun yang lalu. Meski kenyataan tersebut sangatlah pahit, namun setidaknya tak ada lagi rasa penasaran dan pengharapan berlebih di hatinya. Ia mengikhlaskan kepergian ayahnya.
            “Ayah, bolehkah aku sedikit bercerita untuk mencurahkan perasaan di dalam hatiku?” Lena kembali berbicara di hadapan lautan luas yang membentang,
            Air mata yang terjatuh mulai berkurang. Nada suaranya yang lirih pun mulai sedikit beraturan.
            “Ada perasaan perih yang mengganjal dari dalam sini” ia mengepalkan kedua tangannya lalu meletakannya pada dada, “Baru kali ini aku merasakannya.”
            Ombak menderu menghempas batu karang seakan menjadi latar suara yang dramatis.
            “Meski sebenarnya, ayah. Aku tahu. Aku tahu rasa perih apa ini sebenarnya.” matanya berkaca, “Aku rasa aku memang jatuh cinta.”
            Ia berhenti berkata sejenak. Tenggorokannya seakan tercekat menahan perih yang menggelayut di dalam dadanya.
            “Hanya saja.. Hanya saja..” kini air matanya kembali jatuh tak terbendung. “Cintaku ini tak akan pernah pantas untuk bisa ia terima.”
            Kini ia berjongkok sambil menundukkan kepalanya.
            “Aku bukanlah orang yang pantas untuknya. Aku hanya akan memberikan penderitaan padanya.” ucapnya lagi sambil terisak. “Lagi pula, ada orang lain yang lebih pantas untuk dirinya. Sementara diriku. Aku hanya akan merusak segalanya.”
            Tiba-tiba ia seperti merasakan seseorang menyentuh pundaknya. “Ayah?” Namun ketika ia mengangkat kepalanya dan menengok pada segala arah, tak ada seorang pun yang ada di dekatnya.
            “Ayah.. Tapi aku akan selalu menjadi seorang tegar. Aku akan selalu menjadi anak gadis ayah yang selalu dibanggakan. Aku tak akan menyerah hanya karena perasaan ini. Akan kuanggap rasa perih ini sebagai ujian untuk membuatku semakin dewasa.”
            Kemudian ia kembali berdiri sambil memejamkan mata dan menunduk dengan mengepalkan kedua lengan di hadapan wajahnya.
            “Ayah.. Aku akan selalu mendoakan ayah agar selalu tenang di alam sana. Jangan khawatirkan aku. Mulai sekarang aku akan menjadi Elena yang semakin dewasa. Menjadi gadis dewasa yang tak akan pernah menyerah pada setiap keadaan.” perlahan senyum kecil tergurat di bibirnya. “Mungkin suatu saat aku akan kembali bercerita padamu sama seperti saat ini. Namun, semoga saja saat itu aku akan lebih sering tersenyum dan menceritakan hal bahagia. Karena, aku akan menunjukkan bahwa betapa aku bangga menjadi anakmu, ayah..”
            Langit temaram dengan semburat jingga menghiasi cakrawala saat matahari mulai beranjak terbenam menuju singgasananya di ujung samudra luas. Elena Ambriel, sang gadis penempa dari keluarga Ambriel perlahan berbalik dan meninggalkan tebing tempat ia mencurahkan segala perasaannya. Ia tinggalkan segala perih yang membebani dadanya pada tebing itu. Bersama dengan angin laut dan buih lautan yang beranjak menghilang.
***


[1] Salah satu ras yang menunjuk pada ciri-ciri penduduk eropa pada umumnya yang rata-rata memiliki ciri fisik khas berupa kulit putih, mata biru, dan hidung yang mancung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar