12 Maret 2018

DUNIA SEMU #38


CHAPTER 38 - RATAPAN

            Langkah kaki tergesa seorang gadis bertudung lusuh berlari meninggalkan bangunan dua tingkat yang selama ini ia tempati. Napasnya terengah menahan rasa lelah disertai keringat yang mengalir deras dan membasahi seluruh permukaan kulitnya. Debu dan terik matahari sama sekali tak dihiraukan seakan acuh akan kulit putih halus yang ia miliki. Tak peduli dengan status sosialnya. Tak peduli dengan segala kehormatan yang ia miliki. Ia terus menerus menggumamkan nama seorang lelaki dari bibir mungilnya. Semua itu dilakukannya demi satu hal, menyelamatkan seseorang yang sangat berarti baginya. Enutra.
***


            Masih belum ada pergerakkan yang membahayakan dari gerombolan pria menyeramkan yang mengepung kami berdua. Lena pun masih meringkuk menangis tanpa sebab di depanku, sementara aku hanya terus bersikap awas dengan memerhatikan setiap detil gerak gerik mereka.
            “Kalian! Sebenarnya apa yang kalian inginkan dari kami berdua?”
            “Oi.. Oi.. Tidak baik korban buruan bersikap tak sopan terhadap pemburunya.” seringai si pemimpin berkepala plontos, “Tapi, kalau kau mau tahu, kau bisa tanyakan kepada si umpan yang ada
di hadapanmu itu. Hehehehe..”
            Umpan? Lena? Pikiranku mendadak gusar mendengar ucapannya.
            “Lena! Apa maksud ucapan mereka? Aku mohon, kali ini tolong jawab pertanyaanku.”
           
            Lena masih belum menjawab namun tangisannya sudah berangsur reda. Sesekali tangannya mengusap-usap pipi dan matanya yang basah karena air mata. Mau tak mau aku harus menunggu hingga ia tenang.
            “Enutra.. Maafkan aku.” sekali lagi ia mengatakan maaf kepadaku. “Aku telah menjebakmu. Demi mendapatkan pedang berharga yang ada di tanganmu itu.”
            “Menjebakku?” tanyaku dengan nada bicara yang sedikit keras.
            “Sekali lagi maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya.. Hik.. Karena.. Karena..” ucapannya terpotong-potong oleh senggukannya. “Mereka berjanji akan mengatakan suatu mengenai keberadaan ayahku.” lanjutnya lagi sambil mengacungkan telunjuknya pada si pemimpin kelompok berkepala plontos.
            “Bukankah kau sebelumnya mengatakan bahwa ayahmu telah meninggal karena serangan
Scylla?”
            “Sejujurnya hingga sekarang aku tak tahu keberadaan ayahku semenjak ia dinyatakan hilang setahun yang lalu.” Ucap Lena lagi sambil menahan air mata yang kembali tumpah dari kedua mata birunya. “Dan mereka kemudian datang memberi harapan dengan mengatakan bahwa keberadaan ayahku telah ditemukan. Maafkan aku Enutra. Maafkan aku.”
            “Tak apa-apa, Lena. Aku mengerti akan perasaanmu. Namun, tetap saja kau harus lebih berhati-hati. Bagaimana bila yang kau lakukan ini justru malah membahayakanmu? Bagaimana bila mereka menipumu dan justru membuangmu untuk menjadi makanan Scylla setelah mereka mendapatkan pedangku?”
            Lena kembali menangis terisak. Jujur aku pun jadi merasa tak enak terhadapnya bila keadaannya jadi seperti ini.
            “Sudahkan kalian bermain dramanya?” tanya si kepala plontos dengan nada bicara mengayun meremehkan.
            “Jadi kalian memanfaatkan Lena demi mendapatkan pedangku? Kurang ajar!” balasku langsung menghardik.
            “Ha.. Ha.. Ha.. Begitulah.. Enutra.. Sang ksatria cerberus.”
            Mereka mengetahui identitasku?! Gigiku menggerat. Sudah kuduga pasti mereka memang mengincarku sejak awal. Jangan-jangan mereka adalah salah satu kelompok dari Bangsa Remidi?!
            Mataku kemudian tak sengaja kembali tertuju pada Lena yang ternyata tengah menatapku dengan mata terbelalak seolah terkejut dengan kenyataan diriku.
            “Ja-jadi kau memang Enutra yang itu? Pa-pantas saja aku seperti mengenal namamu.” ucapnya setengah tak percaya.
            Lalu aku berbicara kembali pada mereka, “Jadi kalian menginginkan pedangku?” lalu kuacungkan pedangku pada mereka, “Silahkan saja. Tapi jangan kalian lukai Lena!”
            “Aku tak bisa janji kalau itu.”
            “Kurang ajar!” gumamku, “Kalau begitu maaf saja, mungkin kalian harus berusaha lebih keras karena pedang ini tidak pernah mau lepas dari genggamanku.”
            “Oh? Jadi kau ingin menantang kami?!” si kepala plontos tersenyum menyeringai, “Semuanya bersiap! Serang dan ambil pedangnya!”
            ~Howwaaaa!!!! Gemuruh teriakan gerombolan pengepung memulai serangannya.
            Lesatan demi lesatan anak panah terus menghujam sampan kami. Sebenarnya dengan kekuatan Enutra yang kumiliki ini sudah mampu untuk menahan dan menepis tembakan anak panah mereka, namun yang aku khawatirnya saat ini bukan hanya diriku. Lena pun kini sedang dalam bahaya. Ia masih terlihat syok dan tak mampu untuk berbuat apa-apa.
            “Lena, apa kau memang tak bisa berbuat apa-apa saat ini? Bukankah kau adalah seorang ahli pedang?”
            Ia masih dalam keadaan menangis, “Maafkan aku, Enutra. Aku berbohong lagi hanya untuk sekedar meyakinkanmu. Sejujurnya aku sangat lemah dalam menggunakan pedang.”
            Sudah kuduga, namun yang jelas posisiku kini benar-benar sungguh sulit. Selain harus melindungiku sendiri dan Lena dari serangan-serangan mereka, mereka membawaku menuju tengah laut ini adalah untuk membatasi gerakan sehingga sulit bagiku menyerang balik.
            “Cukup panah-panahannya! Sekarang kelompok katak, serang dia! Rebut pedang itu darinya!”
            Seketika tujuh orang di sekelilingku melompat dari perahunya dan masuk ke dalam air secara berbarengan. Mereka menenggelamkan diri di kedalaman laut selama beberapa detik dan kemudian..
            ~Wuuuussshhhhh..
            Mereka melompat bersamaan dari bawah sambil bersiap mengayunkan pedangnya padaku!?
            Gawat! Andai saja ini adalah daratan, mungkin dapat dengan mudah bagiku untuk menghindari gerakan mereka. Aku menoleh ke sekitarku berusaha untuk mencari ide.
            “Aku mohon maaf, Lena.”
            Dengan segera aku berinisiatif untuk menarik lengan Lena dan membawanya untuk melompat menuju laut dan kemudian membalikkan sampan kami seolah menjadi tameng serangan mereka.


            “Oh tidak jangan lakukan itu!” seru Lena memperingatkan sesaat sebelum kami menceburkan diri ke dalam laut.
            Entah apa maksud dari peringatannya namun sepertinya sudah terlambat bagiku untuk menyadarinya. Tanpa kuketahui tubuhku seolah tertarik menuju kedalaman laut sesaat setelah kami berdua tercebur ke dalam air. Lena sempat berusaha untuk menarik tanganku, namun tidak tergapai. Aku tak bisa berenang menuju permukaan sekalipun sudah kugerakkan tangan dan kakiku berkali-kali.
            Samar-samar terlihat Lena yang masih berusaha untuk mengejarku dan menjulurkan tangannya. Aku pun mencoba untuk menggapainya namun percuma karena jarak diantara kami berdua sudah terlalu jauh. Semakin lama semakin dalam tubuhku tenggalam menuju dasar laut.
            Sepertinya pakaian zirah yang Lena berikan padaku yang menjadi penyebabnya. Pakaian ini dibuat menjadi semakin berat setelah tubuhku terjatuh kedalam air. Setelah kusadari hal tersebut, segera ku coba untuk melepasnya. Namun sia-sia, pakaian zirah ini seolah terkunci bersama dengan tubuhku.
            Aku sudah tak tahan lagi. Paru-paruku semakin tertekan. Apakah mungkin ini akhirnya? Tenggelam di dasar laut yang asing.
            Penglihatanku semakin samar dan gelap.
***

            “Enutra.. Enutra..”
            Gelap.. Sangat gelap..
            “Bangunlah..”
            Lagi-lagi keadaan seperti ini kembali terjadi dengan suara wanita yang tak asing mendengung di telingaku.
            “Enutraa..”
            Melayang sendirian. Tanpa dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tanpa dapat mengingat apapun
            “Bangunlah..”
            Apakah aku.. Mati?
            “Kau belum boleh mati!”
            Belum boleh mati?
            “Kau belum boleh mati!!”
            Aku ingat.. Kini tubuhku sedang tenggelam menuju dasar laut. Namun apa yang harus aku lakukan?
            “Percayalah pada dirimu sendiri, Enutra! Kau belum boleh mati! Banyak yang harus kau lakukan!”
            Yang harus aku lakukan? Sejenak terbayang wajah Vivian dalam pikiranku. Aku harus segera bangun.. Aku harus segera bangun! Aku tidak boleh mininggalkan Vivian! Aku telah berjanji dengannya! Vivian.. Ya! Vivian!
            “Ya!! Bangunlah!!”
            Seketika semua keadaan di sekitarku berubah. Yang asalnya hitam pekat menjadi merah terang transparan. Menampakkan suatu penglihatan samar di dalam air.
            Tubuhku kini bergerak dengan sendirinya, sama seperti saat kekuatan aneh ini merasuki sebelumnya. Karena tubuhku kini sudah tak bisa lagi kukuasai, yang bisa kulakukan hanya menonton terhadap apa yang ada di hadapanku, dengan pandangan buram kemerahan.
            Namun, apa yang bisa dilakukan kekuatan ini sementara pakaian zirah yang kukenakan terus menarik tubuhku menuju dasar laut? Rasanya percuma meskipun meronta sekuat tenaga melawan gravitasi yang begitu kuat.
            Sesaat dari dasar laut terlihat suatu sosok raksasa yang bergerak perlahan. Cukup sulit bagiku untuk menerka karena penglihatan yang buram. Dan ternyata..
            Ratusan gelembung kecil keluar dari mulutku.
            Aku melihat sesuatu yang mengerikan. Sesuatu seperti sepasang mata bulat besar yang memandangiku tiba-tiba! Mu-mungkinkah itu.. Scylla??
            Sekuat tenaga kucoba untuk mengendalikan tubuh meskipun percuma. Kekuatan ini malah terus menarikku untuk menyelam mendekati sosok raksasa tersebut. Aku panik dan jantungku berdebar semakin cepat. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini? Saat aku melihatnya kembali, makhluk tersebut ternyata bergerak dan berenang menuju ke arahku dengan mulut besarnya yang menganga.
            ‘Aku pasrah’ pikirku dalam hati sambil menutup mata erat-erat. Berharap keajaiban datang menyelamatkanku. Hingga akhirnya muncul sinar terang dari balik pejaman mata dan kemudian tanpa kusadari paru-paruku kembali mendapatkan oksigen segar dari udara bebas.
Aneh. Rasa penasaran pun meluputi pikiranku. Perlahan kubukakan mata, masih buram namun dengan pemandangan yang sudah sangat berbeda. Bukan lagi kegelapan air laut yang menyesakkan, melainkan langit cerah tanpa awan dengan secercah cahaya matahari dari ufuk timur. Kakiku pun terasa tak sedang menapaki bumi atau apapun sebagai pijakanku.
            Baru kuingat, kekuatan ini sebenarnya memiliki kemampuan teleportasi. Mungkin tubuhku berpindah keluar dari laut saat mataku terpejam tadi oleh kekuatan teleportasi. Namun yang jadi pertanyaan, mengapa pada saat itu aku malah menyelam dahulu dan mendekati makhluk raksasa tadi?
            “Gawaaatt!!!”
            “Tidak mungkin!”
            “Apa itu??!!”
            Belum lama berselang setelah tubuhku berpindah ke atas langit, sayup-sayup terdengar teriakan-teriakan dari bawah. Aku berusaha menekukkan leher untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Awalnya aku berpikir kalau mereka hanya terheran karena melihat diriku yang tiba-tiba sudah berada di langit. Namun setelah berhasil melihat apa yang terjadi di bawah, aku pun hanya bisa menganga disertai oleh keringat dingin yang timbul perlahan dari pelipis.
            “I-itu.. SCYLLA..!!!”
            Para gerombolan tersebut berteriak bersamaan setelah melihat sosok makhluk raksasa yang timbul di permukaan air beberapa meter dari posisi mereka. Sepertinya ia muncul karena terpancing oleh sikapku saat berada di dasar laut.
            Bila diperhatikan makhluk tersebut secara umum memiliki tubuh seperti naga pada mitologi-mitologi eropa. Berukuran raksasa yang sebanding seperti ukuran kapal ferry di Selat Sunda. Hanya yang membedakan adalah kepalanya yang terlihat menyerupai kepala buaya, berleher panjang, dan kaki-kakinya berbentuk seperti sirip layaknya sirip paus. Namun yang lebih menarik perhatian lagi adalah kulitnya yang dipenuhi sisik berwarna hijau metalik serta ekornya yang bersirip seperti ikan arwana. Sungguh makhluk yang eksotis sekaligus mengerikan.
            Tanpa kusadari, tubuhku yang sesaat melayang mulai meluncur jatuh ke bumi. Posisi tubuhku menukik dengan pedang yang terhunus ke bawah di tangan kanan. Kepalaku menengadah melihat seluruh situasi di bawah. Masih dipengaruhi oleh kekuatan aneh ini, hanya bisa sekedar menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
            Jarakku dan monster raksasa tersebut semakin mendekat. Kepala Scylla yang semula akan menyerang para gerombolan penyerangku mendadak mendongak ke arahku dengan mulut yang menganga. Terlihat jelas susunan gigi tajam yang berjejer dari tiap ujung rahangnya siap untuk menerkamku.
            Kini jarakku dan monster tersebut semakin dekat. Mungkin sudah tinggal beberapa puluh meter lagi dari mulut Scylla yang menganga. Entah apa yang diinginkan oleh kekuatan ini. Aku menelan ludah dalam-dalam dan keringat dingin masih mengucur deras dari pelipis. Apa mungkin kekuatan ini seolah sengaja menarik tubuhku untuk dimakan olehnya? Tubuhku sama sekali tak mengisyaratkan gerakan apapun untuk menghindarinya. Lebih parahnya lagi, posisi pedangku pun ditaruhnya dengan gagang digenggam oleh kedua tangan di dadaku dan bilahnya berada di depan kedua kaki yang merapat.
            Benar saja dugaanku, tubuh ini tak menghindar sedikitpun. Dengan energi gravitasi yang menarikku, tubuh ini melesat cepat menuju mulut Scylla. Memakanku hidup-hidup hingga akhirnya semua menjadi gelap gulita.
***
           
            “Aku seharusnya tak membiarkannya jatuh ke dalam air. Ini benar-benar salahku.” dari balik sampan yang menelungkup, lengan Lena memegang erat bangku sampan. Sambil menitikkan beberapa tetes air mata ia bergumam menyesali perbuatannya. “Andai pula aku tak memberinya baju zirah tersebut. Seandainya.. Seandainya aku tahu lebih dulu bahwa perbuatanku itu salah.”
            Lena masih meratapi perbuatannya terhadap Enutra. Masih terbayang ketika Enutra tenggelam tak berdaya sementara tangannya tak mampu menggapai untuk menyelamatkannya. Ia juga mempunya firasat bahwa lokasi laut yang tempatinya saat ini pun tak kurang berbahayanya dibanding dengan gerombolan lintah darat di luar. Tepat di dasar laut ini kemungkinan besar merupakan tempat bersemayamnya monster laut raksasa Scylla. Enutra benar-benar dalam keadaan bahaya.
            Tak lama sampan yang menutupi Lena pun tiba-tiba terangkat oleh seseorang dari luar.
            “Hei gadis, apa yang kau lakukan di bawah sana?” seringai salah seorang anggota kelompok Rombusta yang menyeruak dari balik sampan.
            Lena meringis ketakutan karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar-benar celaka, kelompok Rombusta pasti akan melakukan hal yang buruk lagi kepadanya.
***

            Rombusta merupakan seorang pemimpin tertinggi dari kelompok penguasa sindikat kejahatan di Kota Celadony. Sebelas tahun yang lalu, Kelompok Rombusta mengalami masa kejayaannya dengan menguasai lebih dari tiga perempat pedagang di Kota Celadoni. Keluarga Ambriel pun masuk di dalamnya. Keluarganya dipaksa untuk berhutang melalui mereka dengan bunga yang terlampau tinggi. Kelompok tersebut juga kerap memonopoli setiap usaha bisnis dan kadang menjarah sebagian dari barang dagangan mereka dalam satu waktu. Semenjak itulah, keadaan ekonomi keluarganya kian terpuruk dan usaha mereka akhirnya dikendalikan oleh kelompok Rombusta. Setahun kemudian ibunya pun bercerai dengan ayahnya karena ia sudah tak mampu lagi hidup dalam keadaan seperti itu.
            Hingga satu tahun yang lalu, Rombusta kembali menuntut ayahnya untuk ditempakan sebuah pedang berkualitas tinggi agar dapat melawan Bangsa Remidi yang mulai menggerus kekuasaannya di Kota Celadoni.. Ayahnya tak bisa mengelak permintaan tersebut meski berkali-kali tempaannya ditolak mentah-mentah oleh Rombusta karena kualitasnya yang tak sesuai dengan keinginan. Bahkan tempaan ayahnya yang paling terakhir pun ia tolak mentah-mentah meski Lena sangat yakin bahwa ayahnya mengerjakan pembuatan pedang tersebut dengan segenap kerja kerasnya. Itulah terakhir kalinya ia melihat ayahnya menempa pedang sampai akhirnya hilang tanpa keberadaan yang jelas sejak saat itu.
            Namun perilaku jahat kelompok Rombusta pada Keluarga Ambriel tidak berhenti hanya sampai disitu. Setelah ayahnya dinyatakan menghilang saat pertempuran antara para ksatria dan monster Scylla, kelompok Rombusta masih sering mendatangi tokonya hanya untuk sekedar menjarah beberapa senjata serta melakukan beberapa pelecehan terhadapnya. Lena benar-benar tak mampu melawan dan hanya bisa pasrah terhadap keadaannya.
            Hingga suatu hari, sang pemimpin, Rombusta datang kembali sambil memberikan tugas yang cukup mustahil baginya. Awalnya Lena menolak dan menghindari permintaannya. Namun dibalik penolakannya, ia sama sekali tak menerima ancaman. Ia malah diberikan tawaran yang sama sekali tak bisa ia tolak, yaitu informasi mengenai keberadaan ayahnya. Kelompok Rombusta meminta untuk merebut sebuah pedang yang dimiliki oleh salah seorang pendatang yang kini tengah menginap di perbatasan Kota Celadoni. Sebuah pedang yang ternyata dimiliki oleh seorang Ksatria Cerberus, Enutra.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar