Langkah
kaki tergesa seorang gadis bertudung lusuh berlari meninggalkan bangunan dua
tingkat yang selama ini ia tempati. Napasnya terengah menahan rasa lelah
disertai keringat yang mengalir deras dan membasahi seluruh permukaan kulitnya.
Debu dan terik matahari sama sekali tak dihiraukan seakan acuh akan kulit putih
halus yang ia miliki. Tak peduli dengan status sosialnya. Tak peduli dengan
segala kehormatan yang ia miliki. Ia terus menerus menggumamkan nama seorang lelaki
dari bibir mungilnya. Semua itu dilakukannya demi satu hal, menyelamatkan
seseorang yang sangat berarti baginya. Enutra.
***
Masih belum ada pergerakkan yang
membahayakan dari gerombolan pria menyeramkan yang mengepung kami berdua. Lena
pun masih meringkuk menangis tanpa sebab di depanku, sementara aku hanya terus
bersikap awas dengan memerhatikan setiap detil gerak gerik mereka.
“Kalian! Sebenarnya apa yang kalian
inginkan dari kami berdua?”
“Oi.. Oi.. Tidak baik korban buruan
bersikap tak sopan terhadap pemburunya.” seringai si pemimpin berkepala
plontos, “Tapi, kalau kau mau tahu, kau bisa tanyakan kepada si umpan yang ada
di hadapanmu itu. Hehehehe..”
Umpan? Lena? Pikiranku mendadak gusar
mendengar ucapannya.
“Lena! Apa maksud ucapan mereka? Aku
mohon, kali ini tolong jawab pertanyaanku.”
Lena
masih belum menjawab namun tangisannya sudah berangsur reda. Sesekali tangannya
mengusap-usap pipi dan matanya yang basah karena air mata. Mau tak mau aku
harus menunggu hingga ia tenang.
“Enutra..
Maafkan aku.” sekali lagi ia mengatakan maaf kepadaku. “Aku telah menjebakmu. Demi
mendapatkan pedang berharga yang ada di tanganmu itu.”
“Menjebakku?”
tanyaku dengan nada bicara yang sedikit keras.
“Sekali
lagi maafkan aku. Aku terpaksa melakukannya.. Hik.. Karena.. Karena..”
ucapannya terpotong-potong oleh senggukannya. “Mereka berjanji akan mengatakan
suatu mengenai keberadaan ayahku.” lanjutnya lagi sambil mengacungkan
telunjuknya pada si pemimpin kelompok berkepala plontos.
“Bukankah
kau sebelumnya mengatakan bahwa ayahmu telah meninggal karena serangan
Scylla?”
“Sejujurnya
hingga sekarang aku tak tahu keberadaan ayahku semenjak ia dinyatakan hilang setahun
yang lalu.” Ucap Lena lagi sambil menahan air mata yang kembali tumpah dari
kedua mata birunya. “Dan mereka kemudian datang memberi harapan dengan
mengatakan bahwa keberadaan ayahku telah ditemukan. Maafkan aku Enutra. Maafkan
aku.”
“Tak
apa-apa, Lena. Aku mengerti akan perasaanmu. Namun, tetap saja kau harus lebih berhati-hati.
Bagaimana bila yang kau lakukan ini justru malah membahayakanmu? Bagaimana bila
mereka menipumu dan justru membuangmu untuk menjadi makanan Scylla setelah
mereka mendapatkan pedangku?”
Lena
kembali menangis terisak. Jujur aku pun jadi merasa tak enak terhadapnya bila
keadaannya jadi seperti ini.
“Sudahkan kalian bermain dramanya?”
tanya si kepala plontos dengan nada bicara mengayun meremehkan.
“Jadi kalian memanfaatkan Lena demi
mendapatkan pedangku? Kurang ajar!” balasku langsung menghardik.
“Ha.. Ha.. Ha.. Begitulah.. Enutra..
Sang ksatria cerberus.”
Mereka mengetahui identitasku?!
Gigiku menggerat. Sudah kuduga pasti mereka memang mengincarku sejak awal.
Jangan-jangan mereka adalah salah satu kelompok dari Bangsa Remidi?!
Mataku kemudian tak sengaja kembali
tertuju pada Lena yang ternyata tengah menatapku dengan mata terbelalak seolah
terkejut dengan kenyataan diriku.
“Ja-jadi kau memang Enutra yang itu?
Pa-pantas saja aku seperti mengenal namamu.” ucapnya setengah tak percaya.
Lalu aku berbicara kembali pada mereka,
“Jadi kalian menginginkan pedangku?” lalu kuacungkan pedangku pada mereka,
“Silahkan saja. Tapi jangan kalian lukai Lena!”
“Aku tak bisa janji kalau itu.”
“Kurang ajar!” gumamku, “Kalau begitu
maaf saja, mungkin kalian harus berusaha lebih keras karena pedang ini tidak
pernah mau lepas dari genggamanku.”
“Oh? Jadi kau ingin menantang kami?!”
si kepala plontos tersenyum menyeringai, “Semuanya bersiap! Serang dan ambil
pedangnya!”
~Howwaaaa!!!! Gemuruh teriakan
gerombolan pengepung memulai serangannya.
Lesatan demi lesatan anak panah terus
menghujam sampan kami. Sebenarnya dengan kekuatan Enutra yang kumiliki ini
sudah mampu untuk menahan dan menepis tembakan anak panah mereka, namun yang
aku khawatirnya saat ini bukan hanya diriku. Lena pun kini sedang dalam bahaya.
Ia masih terlihat syok dan tak mampu untuk berbuat apa-apa.
“Lena, apa kau memang tak bisa
berbuat apa-apa saat ini? Bukankah kau adalah seorang ahli pedang?”
Ia masih dalam keadaan menangis,
“Maafkan aku, Enutra. Aku berbohong lagi hanya untuk sekedar meyakinkanmu.
Sejujurnya aku sangat lemah dalam menggunakan pedang.”
Sudah kuduga, namun yang jelas
posisiku kini benar-benar sungguh sulit. Selain harus melindungiku sendiri dan
Lena dari serangan-serangan mereka, mereka membawaku menuju tengah laut ini
adalah untuk membatasi gerakan sehingga sulit bagiku menyerang balik.
“Cukup panah-panahannya! Sekarang
kelompok katak, serang dia! Rebut pedang itu darinya!”
Seketika tujuh orang di sekelilingku
melompat dari perahunya dan masuk ke dalam air secara berbarengan. Mereka
menenggelamkan diri di kedalaman laut selama beberapa detik dan kemudian..
~Wuuuussshhhhh..
Mereka melompat bersamaan dari bawah
sambil bersiap mengayunkan pedangnya padaku!?
Gawat! Andai saja ini adalah daratan,
mungkin dapat dengan mudah bagiku untuk menghindari gerakan mereka. Aku menoleh
ke sekitarku berusaha untuk mencari ide.
“Aku mohon maaf, Lena.”
Dengan segera aku berinisiatif untuk
menarik lengan Lena dan membawanya untuk melompat menuju laut dan kemudian
membalikkan sampan kami seolah menjadi tameng serangan mereka.
“Oh tidak jangan lakukan itu!” seru Lena memperingatkan
sesaat sebelum kami menceburkan diri ke dalam laut.
Entah
apa maksud dari peringatannya namun sepertinya sudah terlambat bagiku untuk menyadarinya.
Tanpa kuketahui tubuhku seolah tertarik menuju kedalaman laut sesaat setelah
kami berdua tercebur ke dalam air. Lena sempat berusaha untuk menarik tanganku,
namun tidak tergapai. Aku tak bisa berenang menuju permukaan sekalipun sudah
kugerakkan tangan dan kakiku berkali-kali.
Samar-samar
terlihat Lena yang masih berusaha untuk mengejarku dan menjulurkan tangannya. Aku
pun mencoba untuk menggapainya namun percuma karena jarak diantara kami berdua
sudah terlalu jauh. Semakin lama semakin dalam tubuhku tenggalam menuju dasar
laut.
Sepertinya
pakaian zirah yang Lena berikan padaku yang menjadi penyebabnya. Pakaian ini dibuat
menjadi semakin berat setelah tubuhku terjatuh kedalam air. Setelah kusadari
hal tersebut, segera ku coba untuk melepasnya. Namun sia-sia, pakaian zirah ini
seolah terkunci bersama dengan tubuhku.
Aku
sudah tak tahan lagi. Paru-paruku semakin tertekan. Apakah mungkin ini
akhirnya? Tenggelam di dasar laut yang asing.
Penglihatanku semakin samar dan
gelap.
***
“Enutra.. Enutra..”
Gelap.. Sangat gelap..
“Bangunlah..”
Lagi-lagi keadaan seperti ini kembali
terjadi dengan suara wanita yang tak asing mendengung di telingaku.
“Enutraa..”
Melayang sendirian. Tanpa dapat
menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tanpa dapat mengingat apapun
“Bangunlah..”
Apakah aku.. Mati?
“Kau belum boleh mati!”
Belum boleh mati?
“Kau belum boleh mati!!”
Aku ingat.. Kini tubuhku sedang
tenggelam menuju dasar laut. Namun apa yang harus aku lakukan?
“Percayalah pada dirimu sendiri,
Enutra! Kau belum boleh mati! Banyak yang harus kau lakukan!”
Yang harus aku lakukan? Sejenak
terbayang wajah Vivian dalam pikiranku. Aku harus segera bangun.. Aku harus
segera bangun! Aku tidak boleh mininggalkan Vivian! Aku telah berjanji
dengannya! Vivian.. Ya! Vivian!
“Ya!! Bangunlah!!”
Seketika semua keadaan di sekitarku
berubah. Yang asalnya hitam pekat menjadi merah terang transparan. Menampakkan
suatu penglihatan samar di dalam air.
Tubuhku kini bergerak dengan
sendirinya, sama seperti saat kekuatan aneh ini merasuki sebelumnya. Karena
tubuhku kini sudah tak bisa lagi kukuasai, yang bisa kulakukan hanya menonton
terhadap apa yang ada di hadapanku, dengan pandangan buram kemerahan.
Namun, apa yang bisa dilakukan
kekuatan ini sementara pakaian zirah yang kukenakan terus menarik tubuhku
menuju dasar laut? Rasanya percuma meskipun meronta sekuat tenaga melawan
gravitasi yang begitu kuat.
Sesaat dari dasar laut terlihat suatu
sosok raksasa yang bergerak perlahan. Cukup sulit bagiku untuk menerka karena
penglihatan yang buram. Dan ternyata..
Ratusan gelembung kecil keluar dari
mulutku.
Aku melihat sesuatu yang mengerikan.
Sesuatu seperti sepasang mata bulat besar yang memandangiku tiba-tiba!
Mu-mungkinkah itu.. Scylla??
Sekuat tenaga kucoba untuk
mengendalikan tubuh meskipun percuma. Kekuatan ini malah terus menarikku untuk
menyelam mendekati sosok raksasa tersebut. Aku panik dan jantungku berdebar
semakin cepat. Entah apa yang harus aku lakukan saat ini? Saat aku melihatnya
kembali, makhluk tersebut ternyata bergerak dan berenang menuju ke arahku
dengan mulut besarnya yang menganga.
‘Aku pasrah’ pikirku dalam hati
sambil menutup mata erat-erat. Berharap keajaiban datang menyelamatkanku.
Hingga akhirnya muncul sinar terang dari balik pejaman mata dan kemudian tanpa
kusadari paru-paruku kembali mendapatkan oksigen segar dari udara bebas.
Aneh. Rasa penasaran pun meluputi
pikiranku. Perlahan kubukakan mata, masih buram namun dengan pemandangan yang
sudah sangat berbeda. Bukan lagi kegelapan air laut yang menyesakkan, melainkan
langit cerah tanpa awan dengan secercah cahaya matahari dari ufuk timur. Kakiku
pun terasa tak sedang menapaki bumi atau apapun sebagai pijakanku.
Baru kuingat, kekuatan ini sebenarnya
memiliki kemampuan teleportasi. Mungkin tubuhku berpindah keluar dari laut saat
mataku terpejam tadi oleh kekuatan teleportasi. Namun yang jadi pertanyaan,
mengapa pada saat itu aku malah menyelam dahulu dan mendekati makhluk raksasa
tadi?
“Gawaaatt!!!”
“Tidak mungkin!”
“Apa itu??!!”
Belum lama berselang setelah tubuhku
berpindah ke atas langit, sayup-sayup terdengar teriakan-teriakan dari bawah.
Aku berusaha menekukkan leher untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di
sana. Awalnya aku berpikir kalau mereka hanya terheran karena melihat diriku
yang tiba-tiba sudah berada di langit. Namun setelah berhasil melihat apa yang
terjadi di bawah, aku pun hanya bisa menganga disertai oleh keringat dingin
yang timbul perlahan dari pelipis.
“I-itu.. SCYLLA..!!!”
Para gerombolan tersebut berteriak
bersamaan setelah melihat sosok makhluk raksasa yang timbul di permukaan air
beberapa meter dari posisi mereka. Sepertinya ia muncul karena terpancing oleh
sikapku saat berada di dasar laut.
Bila diperhatikan makhluk tersebut secara
umum memiliki tubuh seperti naga pada mitologi-mitologi eropa. Berukuran
raksasa yang sebanding seperti ukuran kapal ferry di Selat Sunda. Hanya yang
membedakan adalah kepalanya yang terlihat menyerupai kepala buaya, berleher
panjang, dan kaki-kakinya berbentuk seperti sirip layaknya sirip paus. Namun
yang lebih menarik perhatian lagi
adalah kulitnya yang dipenuhi sisik berwarna hijau metalik serta ekornya yang
bersirip seperti ikan arwana. Sungguh makhluk yang eksotis sekaligus
mengerikan.
Tanpa
kusadari, tubuhku yang sesaat melayang mulai meluncur jatuh ke bumi. Posisi
tubuhku menukik dengan pedang yang terhunus ke bawah di tangan kanan. Kepalaku
menengadah melihat seluruh situasi di bawah. Masih dipengaruhi oleh kekuatan
aneh ini, hanya bisa sekedar menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Jarakku
dan monster raksasa tersebut semakin mendekat. Kepala Scylla yang semula akan menyerang
para gerombolan penyerangku mendadak mendongak ke arahku dengan mulut yang menganga.
Terlihat jelas susunan gigi tajam yang berjejer dari tiap ujung rahangnya siap
untuk menerkamku.
Kini
jarakku dan monster tersebut semakin dekat. Mungkin sudah tinggal beberapa
puluh meter lagi dari mulut Scylla yang menganga. Entah apa yang diinginkan
oleh kekuatan ini. Aku menelan ludah dalam-dalam dan keringat dingin masih
mengucur deras dari pelipis. Apa mungkin kekuatan ini seolah sengaja menarik
tubuhku untuk dimakan olehnya? Tubuhku sama sekali tak mengisyaratkan gerakan
apapun untuk menghindarinya. Lebih parahnya lagi, posisi pedangku pun
ditaruhnya dengan gagang digenggam oleh kedua tangan di dadaku dan bilahnya
berada di depan kedua kaki yang merapat.
Benar
saja dugaanku, tubuh ini tak menghindar sedikitpun. Dengan energi gravitasi
yang menarikku, tubuh ini melesat cepat menuju mulut Scylla. Memakanku
hidup-hidup hingga akhirnya semua menjadi gelap gulita.
***
“Aku
seharusnya tak membiarkannya jatuh ke dalam air. Ini benar-benar salahku.” dari
balik sampan yang menelungkup, lengan Lena memegang erat bangku sampan. Sambil
menitikkan beberapa tetes air mata ia bergumam menyesali perbuatannya. “Andai
pula aku tak memberinya baju zirah tersebut. Seandainya.. Seandainya aku tahu
lebih dulu bahwa perbuatanku itu salah.”
Lena
masih meratapi perbuatannya terhadap Enutra. Masih terbayang ketika Enutra
tenggelam tak berdaya sementara tangannya tak mampu menggapai untuk
menyelamatkannya. Ia juga mempunya firasat bahwa lokasi laut yang tempatinya
saat ini pun tak kurang berbahayanya dibanding dengan gerombolan lintah darat di
luar. Tepat di dasar laut ini kemungkinan besar merupakan tempat bersemayamnya
monster laut raksasa Scylla. Enutra benar-benar dalam keadaan bahaya.
Tak
lama sampan yang menutupi Lena pun tiba-tiba terangkat oleh seseorang dari
luar.
“Hei
gadis, apa yang kau lakukan di bawah sana?” seringai salah seorang anggota
kelompok Rombusta yang menyeruak dari balik sampan.
Lena
meringis ketakutan karena tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Benar-benar
celaka, kelompok Rombusta pasti akan melakukan hal yang buruk lagi kepadanya.
***
Rombusta
merupakan seorang pemimpin tertinggi dari kelompok penguasa sindikat kejahatan
di Kota Celadony. Sebelas tahun yang lalu, Kelompok Rombusta mengalami masa
kejayaannya dengan menguasai lebih dari tiga perempat pedagang di Kota
Celadoni. Keluarga Ambriel pun masuk di dalamnya. Keluarganya dipaksa untuk
berhutang melalui mereka dengan bunga yang terlampau tinggi. Kelompok tersebut
juga kerap memonopoli setiap usaha bisnis dan kadang menjarah sebagian dari barang
dagangan mereka dalam satu waktu. Semenjak itulah, keadaan ekonomi keluarganya
kian terpuruk dan usaha mereka akhirnya dikendalikan oleh kelompok Rombusta.
Setahun kemudian ibunya pun bercerai dengan ayahnya karena ia sudah tak mampu
lagi hidup dalam keadaan seperti itu.
Hingga
satu tahun yang lalu, Rombusta kembali menuntut ayahnya untuk ditempakan sebuah
pedang berkualitas tinggi agar dapat melawan Bangsa Remidi yang mulai menggerus
kekuasaannya di Kota Celadoni.. Ayahnya tak bisa mengelak permintaan tersebut meski
berkali-kali tempaannya ditolak mentah-mentah oleh Rombusta karena kualitasnya
yang tak sesuai dengan keinginan. Bahkan tempaan ayahnya yang paling terakhir
pun ia tolak mentah-mentah meski Lena sangat yakin bahwa ayahnya mengerjakan
pembuatan pedang tersebut dengan segenap kerja kerasnya. Itulah terakhir kalinya
ia melihat ayahnya menempa pedang sampai akhirnya hilang tanpa keberadaan yang
jelas sejak saat itu.
Namun
perilaku jahat kelompok Rombusta pada Keluarga Ambriel tidak berhenti hanya
sampai disitu. Setelah ayahnya dinyatakan menghilang saat pertempuran antara
para ksatria dan monster Scylla, kelompok Rombusta masih sering mendatangi
tokonya hanya untuk sekedar menjarah beberapa senjata serta melakukan beberapa
pelecehan terhadapnya. Lena benar-benar tak mampu melawan dan hanya bisa pasrah
terhadap keadaannya.
Hingga
suatu hari, sang pemimpin, Rombusta datang kembali sambil memberikan tugas yang
cukup mustahil baginya. Awalnya Lena menolak dan menghindari permintaannya.
Namun dibalik penolakannya, ia sama sekali tak menerima ancaman. Ia malah
diberikan tawaran yang sama sekali tak bisa ia tolak, yaitu informasi mengenai
keberadaan ayahnya. Kelompok Rombusta meminta untuk merebut sebuah pedang yang
dimiliki oleh salah seorang pendatang yang kini tengah menginap di perbatasan
Kota Celadoni. Sebuah pedang yang ternyata dimiliki oleh seorang Ksatria
Cerberus, Enutra.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar