19 Januari 2016

DUNIA SEMU #37


CHAPTER 37 - TIPUAN

            Cuaca pagi ini masih cerah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Udara lembab dan hangat khas daerah pesisir mengalir bergemuruh bersama dengan angin yang melewati setiap celah rimbunnya pepohonan. Terik matahari pagi pun masih menyorotkan sinarnya dari timur, sedikit terhalang dedaunan dan menampakkan bayangan dan cahaya yang indah.
            Tapi..
            Apa yang sebenarnya kulakukan di tempat ini? Terduduk di atas tanah coklat pasir kering, penuh dengan guguran daun, dengan pakaian seadanya tanpa alas kaki.
            “Segera kenakan baju zirahmu itu!” seru seorang gadis muda berambut merah dengan nada suara agak tinggi. Ia berdiri angkuh tepat di sampingku.
            Apa ia sedang berbicara denganku? Aku menengoknya sebentar lalu menundukkan kepala. Bagiku ucapannya hanya seperti angin lembab yang hanya mengusap kulitku sesaat dan kemudian menghilang.

            Bila ditanya untuk apa dan kenapa aku berada di tempat ini, sejak beberapa menit yang lalu Lena akhirnya menghentikan langkahnya setelah sekian jauh menarikku paksa dari penginapan. Ia berhenti di tengah-tengah perjalanan antara penginapan Pak Sam dan pantai hanya untuk menyuruhku menggunakan pakaian serta peralatan ksatria yang telah ia berikan dua hari yang lalu. Ekspresinya jauh berbeda dibanding saat pertama kali kami bertemu. Ia berdiri angkuh dengan mimik wajah tak senang lalu melemparkan sekotak peralatan ksatria sesaat setelah ia menghentikan langkahnya.
            “Lena, maafkan aku.” ucapku pelan.
            “Apa maksudmu? Kenapa kau tiba-tiba seperti ini?”
            “Maaf sepertinya aku tidak bisa melakukan hal yang kau pinta. Silahkan ambil kembali peralatan itu.”
            “Kenapa? Kenapa kau jadi pengecut? Kau takut melawan monster itu?”
            Aku menggeleng. “Bukan. Aku sama sekali tidak peduli dengan monster itu namun-...” ucapanku terhenti seolah tertahan di antara sela tenggorokan.
            “Namun apa??” hardik Lena.
            “Saat ini prioritasku bukanlah untuk mengalahkan monster atau mendapatkan hadiah sayembara.” akhirnya kutolehkan wajah dan terlihat tatapan mata Lena yang menyiratkan rasa kekecewaannya kepadaku. “Ada seseorang yang harus kulindungi. Ia jauh lebih membutuhkan kehadiranku dibandingkan sayembara yang kau tawarkan.”
            Lena membungkukkan badannya lebih dekat padaku, “Tapi kau sama sekali tak terlihat seperti apa yang kau katakan! Kau lebih terlihat seperti orang lemah yang hanya terus menghindar dan bersembunyi dari masalah! Hentikanlah omong kosong ini!”
            Aku terdiam tak membalas ucapannya. Kupikir apa yang ia katakan memang benar. Tanpa sengaja ia telah menyadarkanku akan keadaanku saat ini. Aku benar-benar terlihat sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin aku melindungi Vivian sedangkan keadaanku sendiri terlihat sangat menyedihkan.
            Tiba-tiba Lena menarik kerah bajuku hingga wajahku hanya berjarak beberapa inchi dari wajahnya. Tatapan tajamnya menusuk. Tanpa kata, ia mengirimkan isyarat akan ketidaksenangan dan kekecewaannya padaku. Sementara itu, aku hanya memalingkan wajah darinya.
            Tak lama, ia lalu melepaskan tarikannya dan berbalik membelakangiku. “Terserah dengan apa yang kau pikirkan.” nada bicaranya mulai turun, “Kalau kau memang bersikukuh dengan pendirianmu, aku akan melakukannya sendiri.” lalu ia berjalan perlahan meninggalkanku.
            Awalnya aku tak terlalu peduli. Namun, ada apa dengan perasaan ini? Ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Seolah diriku ini telah berubah menjadi sesosok manusia tak berperasaan yang telah mengingkari janji. Terlebih lagi sikap ini dapat mengantarkan gadis itu pada keadaan yang dapat membahayakan nyawanya. Kadang, aku membenci ketidakkonsistenanku ini!
            “Tunggu!” ucapku spontan.
            Langkah kaki Lena terhenti. “Apa lagi yang ingin kau katakan?” ia masih membelakangiku.
            “Baiklah, aku akan mengikuti keinginanmu itu.”
            Entah, sepertinya sekilas aku melihat guratan senyuman dari sudut bibirnya dan setelah itu Lena segera berbalik ke arahku, “Kalau begitu cepat kau pakai peralatanmu!”
            “Tapi tunggu. Ada beberapa syarat yang ingin aku ajukan.”
            “Selama persyaratan itu tidak merugikanku, aku akan mendengarkan.”
            Kuperhatikan, nampaknya suasana hatinya sudah mulai berubah.
            “Pertama, aku ingin mengubah tujuan utama kita. Kau membutuhkan material langka yang kau ceritakan kan? Maka tujuan utama kita adalah membawa material tersebut tanpa harus mengalahkan monster Scylla. Aku hanya akan memancing monster tersebut agar tidak mendekatimu.”
            “Hmm.. Jadi kau sudah tahu nama monster itu? Tapi bukankah kita sudah sepakat untuk mengalahkan monster itu untuk mempromosikan tokoku? Selain itu hadiahnya! Kau tidak membutuhkan hadiahnya??”
            “Seingatku aku tak pernah mengatakan kata sepakat akan hal itu. Aku memang tertarik, tapi bukan berarti aku menyepakatinya. Dan oh ya, peralatan ini akan kukembalikan padamu setelah misi ini selesai.”
            “Cih.. Menyebalkan. Baiklah, aku setuju. Selanjutnya apa?”
            “Yang kedua, aku ingin kau menjelaskan semuanya pada seseorang setelah semua misi ini selesai.”
            “Seseorang?”
            “Kau tak perlu tahu siapa dia. Cukup ikuti saja keinginanku.”
            “Hmm.. Aku mengerti.” mata Lena memicing dengan senyuman menyeringai.
            “Me-mengerti apa maksudmu?”
“Kekasihmu kah?”
            Wajahku seketika memerah dan langsung kupalingkan wajahku, “Uhk.. Kau tak perlu tahu.”
            “Jadi begitu ya? Aku mengerti keadaanmu. Baiklah, setuju! Ayo cepat kita bersiap sebelum hari semakin siang!”
            Syukurlah, setidaknya satu dari sekian masalahku sepertinya terselesaikan, ucapku dalam hati.
***

            Cukup lama tangan kecil Vivian menggenggam tuas logam kuningan di pintu kamarnya. Ia berdiri tertunduk di hadapan ruang tersebut dengan wajah tertutupi tudung coklat. Terasa sangat dingin ketika ia menyentuhnya, seolah membeku hingga tak mampu digerakkan. Seharusnya, cuaca hari ini hangat namun justru ia kedinginan hingga tak mampu membuatnya bergerak lebih jauh.
            Ia sama sekali tak mengerti. Apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini? Perasaannya tak menentu, ia tak yakin dengan apa yang seharusnya diinginkan. Tanpa disadari, beberapa tetesan air mata telah mengalir membasahi sekitar lengannya. Mengalir menuju tuas pintu, menetes, dan menciptakan bercak-bercak gelap kecil di atas karpet lorong penginapan.
            “Apa yang sedang tuan putri lakukan di sini?”
            Seolah terbangun dari lamunan, seketika Vivian terperanjat saat mendengar sapaan seorang pria dari belakangnya.
            “P-Pak Sam?!”
            Vivian mengusap-usap pipinya yang basah dan matanya agak sembab.
            “Ada apa tuan putri? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
            “Bu-bukan apa-apa. Aku hanya sedikit pusing dan ingin beristirahat.”
            “Benarkah?” Pak Sam sedikit mengerutkan alisnya dan menatap wajah Vivian untuk beberapa saat.
            “I-iya benar. Aku baik-baik saja.” balas Vivian kembali memastikan ucapannya pada Pak Sam.
            “Hmm.. Ya sudah, sebaiknya tuan putri beristirahatlah dulu. Nanti akan kubuatkan puding untuk membuat tuan putri lebih rileks.”
            “Terima kasih Pak Sam atas tawarannya.” kemudian Vivian membuka pintu kamarnya.
            “Ya, sama-sama tuan putri.” timpal Pak Sam dengan senyuman khas di wajahnya.
            Namun sesaat Vivian akan melangkahkan kaki masuk menuju kamarnya, ia berhenti sejenak dan kemudian menoleh, “Pak Sam, sebelumnya bolehkah aku mengobrol sejenak dengan anda?”
            “Ya? Tentu saja, tuan putri.” jawab Pak Sam sedikit terheran.
            “Apakah anda mengenali seorang penempa bernama Elena Ambriel?”
***

            Tarian ombak-ombak kecil berdebur bergemuruh menuju pantai pasir di pinggiran Kota Celadoni. Membaur menghasilkan energi tidal akibat angin laut yang berhembus sejak fajar terbit di ufuk timur. Terkadang sayup-sayup terdengar suara pekikan burung camar yang berputar-putar mengelilingi langit biru berawan tipis. Damai. Masih tak pernah berhenti bagiku mengagumi suasana indahnya laut yang terbentang luas menuju ujung tak terbatas. Setidaknya aku masih bisa terhibur saat Lena berhasil menyeret dan membawaku menuju pantai ini.
            “Jadi kita benar-benar akan pergi ke tengah laut??” tanyaku ragu pada Lena yang baru saja selesai bernegosiasi dengan penyewa sampan sekitar.
            “Kenapa denganmu? Tentu saja!” balas Lena spontan sambil menarik paksa pakaianku sehingga membuatku sedikit terseret.
            “Ta.. Ta-tapi tunggu dulu..” aku menahan tarikannya, “Dengan sampan ini???” ucapku lagi saat melihat sebuah sampan kayu kecil di hadapan Lena.
            Lena tersenyum. “Tentu saja.” lalu kembali menarik tubuhku dengan paksa dan melemparku pada sampan tersebut. “Cukup diam dan ikuti saja arahanku.”
            Aku melenguh kesakitan sambil mengelus paha akibat membentur dasar sampan tersebut. Dasar gadis labil teriakku dalam hati.
            Bagiku sampan kayu berkapasitas tiga penumpang tersebut lebih mirip seperti perahu dayung khas nelayan yang tua dan bobrok, penuh dengan tambalan di sana sini. Cukup mengerikan bila harus menaikinya untuk waktu yang lama. Buritannya pun yang berwarna hijau lecet kecokelatan bertuliskan ‘SESEPUH’ seolah mengatakan bahwa sampan ini seharusnya sudah terlalu tua untuk dinaiki. Jangankan menghadapi monster laut, untuk sekedar mendayunginya hingga beberapa meter saja pun kemungkinan tenggelamnya sudah lebih dari tujuh puluh persen menurutku. Apa sebenarnya yang dipikirkan olehnya? Aku terdiam menatapnya sambil menaikkan sebelah alisku. Berharap Lena mau merubah pikirannya, meski sepertinya hal itu sangat tidak mungkin terjadi.
            “Nona..!” nampak seorang pria paruh baya berkumis dan janggut tebal dengan pakaian kaus lusuh serta celana tanggung sebetis berteriak dari kejauhan. “Jangan lupa untuk mengembalikan sampan ini sebelum matahari tenggelam, ya. Sebab bila malam telah tiba, arus ombak akan menjadi lebih liar dibandingkan siang hari. Sampan itu tidak akan mampu menahannya. Bisa-bisa tenggelam dibuatnya. Apalagi monster itu-...”
            “Tenang saja paman, aku pastikan sampan ini akan kembali utuh sebelum matahari tenggelam.” potong Lena membalas setengah berteriak.
            “Te-tenggelam?? Eeehhh??” seruku spontan setelah mendengar percakapan mereka.
            Semakin lama perasaanku semakin tidak enak terhadap sampan ini. Tanpa pikir panjang, kutepuk pundak Lena sambil melangkahkan kaki keluar dari sampan bobrok ini menuju dermaga.
“Ada apa?”
“Lena, sepertinya memang bukan ide yang baik untuk menggunakan sampan ini.” ucapku menatap kedua mata coklatnya dalam-dalam.
            Seketika terasa tekanan yang sangat kuat mencengkram di pundak hingga akhirnya membuat tubuhku tersungkur kembali ke atas sampan.
            “Sebaiknya kau duduk manis saja di sini sambil mendayung, ya.” ucap Lena dengan raut wajah mengintimidasi. Terlihat beberapa urat yang menegang di pelipisnya disertai senyuman menyeringai yang mengancam.
            “Hiiiiiii..iiikk.” seketika tubuhku mematung dan mengangguk setelah mendengar perintahnya. Sungguh menyeramkan.
***

            Air.. Hanya bentangan air saja yang kulihat selama kurang lebih dua puluh menit mendayung sampan bobrok ini bersama Lena. Tanganku sangat pegal, seolah sudah tak memiliki rasa lagi. Belum sempat bertarung namun tubuh ini telah terlebih dahulu lelah karena terus menerus mendayung tanpa tujuan yang jelas. Hingga saat ini sama sekali belum terlihat tanda-tanda kemunculan monster Scylla seperti yang dikatakan Lena. Sempat terpikirkan olehku bila sayembara itu hanyalah omong kosong belaka.
            Sementara aku kelelahan karena mendayung, Lena terus menerus memperhatikan dasar laut dari samping sampan. Terkadang pedangnya ia celupkan ke dalam air sambil digoyang-goyangkan hingga tercipta riak kecik pada permukaannya. Entah apa yang sedang ia lakukan itu berguna atau tidak, yang jelas tingkahnya tersebut dilakukannya sejak awal sampan ini berangkat dari dermaga.
            “Lena, apa aku sudah boleh berhenti mendayung sekarang?" lirihku menghentikan dayungan sambil memijat-mijat tangan yang sudah semakin pegal.
            Lena tak menggubris ucapanku. Hanya menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menempelkan sisi telapak jempol tangan kanannya tepat di atas alis dan dahi dengan matanya yang memicing. Terkadang ia berdiri berjinjit dan kepalanya ditengadahkan beberapa senti. Dia benar-benar sibuk dengan dunianya sendiri. Sementara aku hanya terdiam melihatnya sambil berdesah dengan napas panjang. Aku pasrah.
            Seketika ia berdiri mengacungkan sebuah benda seperti tongkat estafet ke langit dan bergumam pelan sambil menunduk, “Enutra. Maafkan aku.”
            Dahiku mengernyit dengan mulut yang sedikit terbuka melihat tingkahnya yang aneh.
            Setelah itu, tongkat yang ia acungkan tiba-tiba menembakkan cahaya putih sebesar bola kasti ke langit bersamaan dengan suara desingan yang melengking tinggi. Cahaya tersebut semakin melesat cepat, vertikal, menuju batas troposfer[1]. Hingga beberapa detik kemudian cahaya kecil tersebut seketika berpendar sangat terang dan terpecah mencadi kepingan-kepingan kecil berwarna-warni yang tersebar di langit.
            Kembang api? Apa ia sedang memancing monster tersebut? Pikirku dalam hati.
            ~Hiaaaaaarrggghhhhh.....
            Seketika terdengar suara gemuruh teriakan yang sangat memekakan telinga setelah cahaya yang ditembakkan Lena berpendar. Entah suara apa itu sebenarnya. Mungkin saja suara tersebut adalah jeritan monster Scylla yang sedang berenang menuju kami. Tapi setelah kuperhatikan, rasanya suara tersebut terdengar seperti jeritan lebih dari satu makhluk.
            “Apa yang baru saja kau lakukan itu untuk memancing monster tersebut keluar?”
            Lena menggeleng, masih dengan kepala yang tertunduk. Apa sebenarnya maksud dari sikap anehnya itu?
            Suara gemuruh tersebut semakin lama terasa semakin mendekat. Entah firasatku atau tidak, seolah mengatakan seperti ada yang aneh dengan keadaan ini. Ditambah dengan sikap Lena yang tiba-tiba berubah semenjak ia menembakkan sesuatu seperti kembang api tadi. Yang kulakukan saat ini hanya bersiap dengan menggenggam pedangku erat-erat dan memasang kuda-kuda yang sebenarnya tidak kupahami sama sekali. Berharap kekuatan aneh yang biasanya terjadi muncul kembali di saat yang tepat.
            “Sebentar lagi mereka datang.”
            “Eh? Mereka?” mataku mengernyit mencerna perkataan Lena.
            “Terus dayung semakin cepat!!!!” sayup-sayup terdengar suara teriakan dari ujung utara.
            “Apa tadi aku tidak salah dengar? Monster itu bisa menggunakan bahasa manusia?” tanyaku berkali-kali pada Lena. “Hei!! Jawablah!”
            Lagi-lagi Lena hanya menunduk seolah tak ingin menatap wajahku. Entah apa yang dipikirkannya dan kenapa pula dia harus bersikap aneh seperti ini? Ia benar-benar memiliki kepribadian yang sangat aneh.
            Sementara itu genggaman tanganku semakin kuat mencengkram pedang hijau di tangan kananku. Mataku terus memicing memerhatikan dan memastikan keadaan sekitar kami berdua. Jantungku semakin berdegup kencang dan keringat mengalir deras dari pelipis hingga ujung jari kakiku. Entah apa yang akan kami temui nanti.
            Tak lama nampak satu titik hitam kecil yang bergerak dari arah utara kami berada. Titik tersebut bergerak cukup cepat. Aku masih belum bisa memastikan apakah titik tersebut adalah monster yang disebut sebagai Scylla atau bukan. Namun setelah kuperhatikan kembali, titik tersebut terlihat bertambah banyak dan melebar di belakangnya seiring dengan jarak kami yang semakin dekat dengan mereka.
            “Enutra, aku sarankan, nanti kau untuk menyerah saja ya.” ucap Lena tiba-tiba.
            “Hei apa maksudmu? Lebih baik kita kabur saja?”
            Dengan segera kudayung kembali sampan ini untuk bergerak kembali ke dermaga, namun..
            Tanpa kusadari titik-titik tersebut telah bergerak semakin dekat mengelilingi kami berdua. Jarak  mereka sudah semakin dekat. Mungkin sudah sekitar beberapa ratus meter dari tempat kami berada. Dengan jarak sedekat ini seharusnya bisa kulihat dengan jelas titik-titik apa sebenarnya yang akan menyerang kami? Tunggu! Itu bukanlah titik-titik biasa! Mereka adalah sekumpulan manusia dengan peralatan tempur yang lengkap dari atas perahu-perahu kecil.
            Entah siapa mereka yang telah mengepung kami berdua. Mereka tersenyum menyeringai dengan tatapan tajam yang mengerikan. Tak ada satupun wanita dalam kelompok tersebut. Yang ada hanyalah pria-pria sangar berotot yang bila kuhitung mungkin ada sekitar tiga puluhan orang dan mereka semua berperalatan lengkap seolah siap untuk membunuh kami.
            “Strike!! Akhirnya kita berhasil mengepung ikan kecil mahal ini.” Salah satu dari mereka yang berada paling dekat denganku akhirnya berucap.
            Ia terlihat tak terlalu kuat dengan tubuhnya yang tinggi ramping dan kepalanya yang plontos mengkilap. Hanya dibalut dengan pakaian jubah kulit coklat necis tanpa armor. Namun sepertinya dia adalah pemimpin kelompok ini karena hanya dia sendiri yang berada paling depan di antara yang lain dan hanya satu-satunya yang berani berbicara pada kami.
            “Hei apa maksudnya ini?”
            “Wow! Ikan tangkapan kita bisa berbicara!” ucap pria plontos tadi yang kemudian dibarengi dengan gelak tawa dari para pengikut di belakangnya.
            “He-hei Lena. Kenapa malah jadi begini? Apa selain monster, di tempat ini juga terdapat bajak laut?” bisikku pada Lena yang sejak tadi hanya terus tertunduk.
            Tiba-tiba saja gadis di hadapanku ini berjongkok dan menangis sesenggukan. Apa maksudnya dengan semua ini? Dimana monster yang dimaksud? Siapa mereka yang telah mengepung kami? Kenapa pula dengan gadis ini?
***


[1] Lapisan atmosfer terendah yang tebalnya kira-kira sampai dengan 10 kilometer di atas permukaan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar