CHAPTER 37
- TIPUAN
Cuaca pagi
ini masih cerah, sama seperti hari-hari sebelumnya. Udara lembab dan hangat
khas daerah pesisir mengalir bergemuruh bersama dengan angin yang melewati
setiap celah rimbunnya pepohonan. Terik matahari pagi pun masih menyorotkan
sinarnya dari timur, sedikit terhalang dedaunan dan menampakkan bayangan dan
cahaya yang indah.
Tapi..
Apa yang
sebenarnya kulakukan di tempat ini? Terduduk di atas tanah coklat pasir kering,
penuh dengan guguran daun, dengan pakaian seadanya tanpa alas kaki.
“Segera kenakan baju zirahmu
itu!” seru seorang
gadis muda berambut merah dengan nada suara agak tinggi. Ia berdiri angkuh
tepat di sampingku.
Apa ia
sedang berbicara denganku? Aku menengoknya sebentar lalu menundukkan kepala.
Bagiku ucapannya hanya seperti angin lembab yang hanya mengusap kulitku sesaat
dan kemudian menghilang.
Bila
ditanya untuk apa dan kenapa aku berada di tempat ini, sejak beberapa menit
yang lalu Lena akhirnya menghentikan langkahnya setelah sekian jauh menarikku
paksa dari penginapan. Ia berhenti di tengah-tengah perjalanan antara
penginapan Pak Sam dan pantai hanya untuk menyuruhku menggunakan pakaian serta
peralatan ksatria yang telah ia berikan dua hari yang lalu. Ekspresinya jauh
berbeda dibanding saat pertama kali kami bertemu. Ia berdiri angkuh dengan mimik
wajah tak senang lalu melemparkan sekotak peralatan ksatria sesaat setelah ia
menghentikan langkahnya.
“Lena, maafkan aku.” ucapku pelan.
“Apa maksudmu? Kenapa kau
tiba-tiba seperti ini?”
“Maaf sepertinya aku tidak
bisa melakukan hal yang kau pinta. Silahkan ambil kembali peralatan itu.”
“Kenapa? Kenapa kau jadi
pengecut? Kau takut melawan monster itu?”
Aku
menggeleng. “Bukan.
Aku sama sekali tidak peduli dengan monster itu namun-...” ucapanku terhenti seolah
tertahan di antara sela tenggorokan.
“Namun apa??” hardik Lena.
“Saat ini prioritasku
bukanlah untuk mengalahkan monster atau mendapatkan hadiah sayembara.” akhirnya kutolehkan wajah
dan terlihat tatapan mata Lena yang menyiratkan rasa kekecewaannya kepadaku. “Ada seseorang yang harus
kulindungi. Ia jauh lebih membutuhkan kehadiranku dibandingkan sayembara yang
kau tawarkan.”
Lena
membungkukkan badannya lebih dekat padaku, “Tapi kau sama sekali tak terlihat seperti apa yang kau
katakan! Kau lebih terlihat seperti orang lemah yang hanya terus menghindar dan
bersembunyi dari masalah! Hentikanlah omong kosong ini!”
Aku terdiam
tak membalas ucapannya. Kupikir apa yang ia katakan memang benar. Tanpa sengaja
ia telah menyadarkanku akan keadaanku saat ini. Aku benar-benar terlihat sangat
menyedihkan. Bagaimana mungkin aku melindungi Vivian sedangkan keadaanku
sendiri terlihat sangat menyedihkan.
Tiba-tiba
Lena menarik kerah bajuku hingga wajahku hanya berjarak beberapa inchi dari
wajahnya. Tatapan tajamnya menusuk. Tanpa kata, ia mengirimkan isyarat akan
ketidaksenangan dan kekecewaannya padaku. Sementara itu, aku hanya memalingkan
wajah darinya.
Tak lama,
ia lalu melepaskan tarikannya dan berbalik membelakangiku. “Terserah dengan apa yang
kau pikirkan.” nada
bicaranya mulai turun, “Kalau
kau memang bersikukuh dengan pendirianmu, aku akan melakukannya sendiri.” lalu ia berjalan perlahan
meninggalkanku.
Awalnya aku
tak terlalu peduli. Namun, ada apa dengan perasaan ini? Ada sesuatu yang
mengganjal di pikiranku. Seolah diriku ini telah berubah menjadi sesosok
manusia tak berperasaan yang telah mengingkari janji. Terlebih lagi sikap ini
dapat mengantarkan gadis itu pada keadaan yang dapat membahayakan nyawanya.
Kadang, aku membenci ketidakkonsistenanku ini!
“Tunggu!” ucapku spontan.
Langkah
kaki Lena terhenti. “Apa lagi yang ingin kau katakan?” ia masih membelakangiku.
“Baiklah, aku akan mengikuti
keinginanmu itu.”
Entah,
sepertinya sekilas aku melihat guratan senyuman dari sudut bibirnya dan setelah
itu Lena segera berbalik ke arahku, “Kalau
begitu cepat kau pakai peralatanmu!”
“Tapi tunggu. Ada beberapa
syarat yang ingin aku ajukan.”
“Selama persyaratan itu
tidak merugikanku, aku akan mendengarkan.”
Kuperhatikan,
nampaknya suasana hatinya sudah mulai berubah.
“Pertama,
aku ingin mengubah tujuan utama kita. Kau membutuhkan material langka yang kau
ceritakan kan? Maka tujuan utama kita adalah membawa material tersebut tanpa
harus mengalahkan monster Scylla. Aku hanya akan memancing monster tersebut
agar tidak mendekatimu.”
“Hmm.. Jadi kau sudah tahu
nama monster itu? Tapi bukankah kita sudah sepakat untuk mengalahkan monster
itu untuk mempromosikan tokoku? Selain itu hadiahnya! Kau tidak membutuhkan
hadiahnya??”
“Seingatku aku tak pernah
mengatakan kata sepakat akan hal itu. Aku memang tertarik, tapi bukan berarti
aku menyepakatinya. Dan oh ya, peralatan ini akan kukembalikan padamu setelah
misi ini selesai.”
“Cih.. Menyebalkan. Baiklah,
aku setuju. Selanjutnya apa?”
“Yang kedua, aku ingin kau
menjelaskan semuanya pada seseorang setelah semua misi ini selesai.”
“Seseorang?”
“Kau tak perlu tahu siapa
dia. Cukup ikuti saja keinginanku.”
“Hmm.. Aku mengerti.” mata Lena memicing dengan
senyuman menyeringai.
“Me-mengerti apa maksudmu?”
“Kekasihmu kah?”
Wajahku
seketika memerah dan langsung kupalingkan wajahku, “Uhk.. Kau tak perlu tahu.”
“Jadi
begitu ya? Aku mengerti keadaanmu. Baiklah, setuju! Ayo cepat kita bersiap
sebelum hari semakin siang!”
Syukurlah, setidaknya satu dari sekian
masalahku sepertinya terselesaikan, ucapku dalam hati.
***
Cukup lama
tangan kecil Vivian menggenggam tuas logam kuningan di pintu
kamarnya. Ia berdiri tertunduk di hadapan ruang tersebut dengan wajah tertutupi tudung coklat. Terasa
sangat dingin ketika ia menyentuhnya, seolah membeku hingga tak mampu digerakkan.
Seharusnya, cuaca hari ini hangat namun justru ia kedinginan hingga tak mampu
membuatnya bergerak lebih jauh.
Ia sama
sekali tak mengerti. Apa yang sebenarnya ia rasakan saat ini? Perasaannya tak
menentu, ia tak yakin dengan apa yang seharusnya diinginkan. Tanpa disadari,
beberapa tetesan air mata telah mengalir membasahi sekitar lengannya. Mengalir
menuju tuas pintu, menetes, dan menciptakan bercak-bercak gelap kecil di atas
karpet lorong penginapan.
“Apa yang sedang tuan putri lakukan di sini?”
Seolah terbangun dari lamunan,
seketika Vivian terperanjat
saat mendengar sapaan seorang pria dari belakangnya.
“P-Pak Sam?!”
Vivian mengusap-usap pipinya
yang basah dan matanya agak sembab.
“Ada apa tuan putri? Apa ada sesuatu
yang mengganggumu?”
“Bu-bukan apa-apa. Aku hanya sedikit
pusing dan ingin beristirahat.”
“Benarkah?” Pak Sam sedikit
mengerutkan alisnya dan menatap wajah Vivian untuk beberapa saat.
“I-iya benar. Aku baik-baik saja.”
balas Vivian kembali memastikan ucapannya pada Pak Sam.
“Hmm.. Ya sudah, sebaiknya tuan
putri beristirahatlah dulu. Nanti akan kubuatkan puding untuk membuat tuan
putri lebih rileks.”
“Terima kasih Pak Sam atas
tawarannya.” kemudian Vivian membuka pintu kamarnya.
“Ya, sama-sama tuan putri.” timpal
Pak Sam dengan senyuman khas di wajahnya.
Namun sesaat Vivian akan
melangkahkan kaki masuk menuju kamarnya, ia berhenti sejenak dan kemudian
menoleh, “Pak Sam, sebelumnya bolehkah aku mengobrol sejenak dengan anda?”
“Ya? Tentu saja, tuan putri.” jawab
Pak Sam sedikit terheran.
“Apakah anda mengenali seorang
penempa bernama Elena Ambriel?”
***
Tarian ombak-ombak kecil
berdebur bergemuruh menuju pantai pasir di pinggiran Kota Celadoni. Membaur
menghasilkan energi tidal akibat angin laut yang berhembus sejak fajar terbit di
ufuk timur. Terkadang sayup-sayup terdengar suara pekikan burung camar yang
berputar-putar mengelilingi langit biru berawan tipis. Damai. Masih tak pernah
berhenti bagiku mengagumi suasana indahnya laut yang terbentang luas menuju
ujung tak terbatas. Setidaknya aku masih bisa terhibur saat Lena berhasil
menyeret dan membawaku menuju pantai ini.
“Jadi kita benar-benar akan pergi ke tengah laut??” tanyaku ragu pada
Lena yang baru saja selesai bernegosiasi dengan penyewa sampan sekitar.
“Kenapa denganmu? Tentu saja!” balas
Lena spontan sambil menarik paksa pakaianku sehingga membuatku sedikit
terseret.
“Ta.. Ta-tapi tunggu dulu..” aku
menahan tarikannya, “Dengan sampan ini???” ucapku lagi saat melihat sebuah
sampan kayu kecil di hadapan Lena.
Lena tersenyum. “Tentu saja.” lalu
kembali menarik tubuhku dengan paksa dan melemparku pada sampan tersebut. “Cukup
diam dan ikuti saja arahanku.”
Aku melenguh kesakitan sambil
mengelus paha akibat membentur dasar sampan tersebut. Dasar gadis labil
teriakku dalam hati.
Bagiku sampan kayu berkapasitas tiga
penumpang tersebut lebih mirip seperti perahu dayung khas nelayan yang tua dan bobrok,
penuh dengan tambalan di sana sini. Cukup mengerikan bila harus menaikinya
untuk waktu yang lama. Buritannya pun yang berwarna hijau lecet kecokelatan
bertuliskan ‘SESEPUH’ seolah
mengatakan bahwa sampan ini seharusnya sudah terlalu tua untuk dinaiki. Jangankan
menghadapi monster laut, untuk sekedar mendayunginya hingga beberapa meter saja
pun kemungkinan tenggelamnya sudah lebih dari tujuh puluh persen menurutku. Apa
sebenarnya yang dipikirkan olehnya? Aku terdiam menatapnya sambil menaikkan
sebelah alisku. Berharap Lena mau merubah pikirannya, meski sepertinya hal itu
sangat tidak mungkin terjadi.
“Nona..!” nampak seorang pria paruh
baya berkumis dan janggut tebal dengan pakaian kaus lusuh serta celana tanggung
sebetis berteriak dari kejauhan. “Jangan lupa untuk mengembalikan sampan ini
sebelum matahari tenggelam, ya. Sebab bila malam telah tiba, arus ombak akan
menjadi lebih liar dibandingkan siang hari. Sampan itu tidak akan mampu
menahannya. Bisa-bisa tenggelam dibuatnya. Apalagi monster itu-...”
“Tenang saja paman, aku pastikan
sampan ini akan kembali utuh sebelum matahari tenggelam.” potong Lena membalas setengah
berteriak.
“Te-tenggelam?? Eeehhh??” seruku
spontan setelah mendengar percakapan mereka.
Semakin lama perasaanku semakin
tidak enak terhadap sampan ini. Tanpa pikir panjang, kutepuk pundak Lena sambil
melangkahkan kaki keluar dari sampan bobrok ini menuju dermaga.
“Ada apa?”
“Lena, sepertinya memang bukan ide yang baik untuk menggunakan
sampan ini.” ucapku menatap kedua mata coklatnya dalam-dalam.
Seketika terasa tekanan yang sangat
kuat mencengkram di pundak hingga akhirnya membuat tubuhku tersungkur kembali
ke atas sampan.
“Sebaiknya kau duduk manis saja di
sini sambil mendayung, ya.” ucap Lena dengan raut wajah mengintimidasi.
Terlihat beberapa urat yang menegang di pelipisnya disertai senyuman
menyeringai yang mengancam.
“Hiiiiiii..iiikk.” seketika tubuhku
mematung dan mengangguk setelah mendengar perintahnya. Sungguh menyeramkan.
***
Air.. Hanya bentangan air saja yang
kulihat selama kurang lebih dua puluh menit mendayung sampan bobrok ini bersama
Lena. Tanganku sangat pegal, seolah sudah tak memiliki rasa lagi. Belum sempat
bertarung namun tubuh ini telah terlebih dahulu lelah karena terus menerus
mendayung tanpa tujuan yang jelas. Hingga saat ini sama sekali belum terlihat
tanda-tanda kemunculan monster Scylla seperti yang dikatakan Lena. Sempat
terpikirkan olehku bila sayembara itu hanyalah omong kosong belaka.
Sementara aku kelelahan karena
mendayung, Lena terus menerus memperhatikan dasar laut dari samping sampan.
Terkadang pedangnya ia celupkan ke dalam air sambil digoyang-goyangkan hingga
tercipta riak kecik pada permukaannya. Entah apa yang sedang ia lakukan itu
berguna atau tidak, yang jelas tingkahnya tersebut dilakukannya sejak awal
sampan ini berangkat dari dermaga.
“Lena, apa aku sudah boleh
berhenti mendayung sekarang?" lirihku menghentikan dayungan sambil
memijat-mijat tangan yang sudah semakin pegal.
Lena tak menggubris ucapanku. Hanya
menoleh ke kanan dan ke kiri sambil menempelkan sisi telapak jempol tangan
kanannya tepat di atas alis dan dahi dengan matanya yang memicing. Terkadang ia
berdiri berjinjit dan kepalanya ditengadahkan beberapa senti. Dia benar-benar
sibuk dengan dunianya sendiri. Sementara aku hanya terdiam melihatnya
sambil berdesah dengan napas panjang. Aku pasrah.
Seketika ia
berdiri mengacungkan sebuah benda seperti tongkat estafet ke langit dan
bergumam pelan sambil menunduk, “Enutra.
Maafkan aku.”
Dahiku
mengernyit dengan mulut yang sedikit terbuka melihat tingkahnya yang aneh.
Setelah
itu, tongkat yang ia acungkan tiba-tiba menembakkan cahaya putih sebesar bola
kasti ke langit bersamaan dengan suara desingan yang melengking tinggi. Cahaya
tersebut semakin melesat cepat, vertikal, menuju batas troposfer[1]. Hingga
beberapa detik kemudian cahaya kecil tersebut seketika berpendar sangat terang
dan terpecah mencadi kepingan-kepingan kecil berwarna-warni yang tersebar di
langit.
Kembang api? Apa ia
sedang memancing monster tersebut? Pikirku dalam hati.
~Hiaaaaaarrggghhhhh.....
Seketika
terdengar suara gemuruh teriakan yang sangat memekakan telinga setelah cahaya
yang ditembakkan Lena berpendar. Entah suara apa itu sebenarnya. Mungkin saja
suara tersebut adalah jeritan monster Scylla yang sedang berenang menuju kami.
Tapi setelah kuperhatikan, rasanya suara tersebut terdengar seperti jeritan
lebih dari satu makhluk.
“Apa yang
baru saja kau lakukan itu untuk memancing monster tersebut keluar?”
Lena
menggeleng, masih dengan kepala yang tertunduk. Apa sebenarnya maksud dari
sikap anehnya itu?
Suara
gemuruh tersebut semakin lama terasa semakin mendekat. Entah firasatku atau
tidak, seolah mengatakan seperti ada yang aneh dengan keadaan ini. Ditambah
dengan sikap Lena yang tiba-tiba berubah semenjak ia menembakkan sesuatu
seperti kembang api tadi. Yang kulakukan saat ini hanya bersiap dengan
menggenggam pedangku erat-erat dan memasang kuda-kuda yang sebenarnya tidak
kupahami sama sekali. Berharap kekuatan aneh yang biasanya terjadi muncul
kembali di saat yang tepat.
“Sebentar
lagi mereka datang.”
“Eh?
Mereka?” mataku mengernyit mencerna perkataan Lena.
“Terus dayung semakin cepat!!!!”
sayup-sayup terdengar suara teriakan dari ujung utara.
“Apa tadi
aku tidak salah dengar? Monster itu bisa menggunakan bahasa manusia?” tanyaku
berkali-kali pada Lena. “Hei!! Jawablah!”
Lagi-lagi
Lena hanya menunduk seolah tak ingin menatap wajahku. Entah apa yang
dipikirkannya dan kenapa pula dia harus bersikap aneh seperti ini? Ia
benar-benar memiliki kepribadian yang sangat aneh.
Sementara
itu genggaman tanganku semakin kuat mencengkram pedang hijau di tangan kananku.
Mataku terus memicing memerhatikan dan memastikan keadaan sekitar kami berdua.
Jantungku semakin berdegup kencang dan keringat mengalir deras dari pelipis
hingga ujung jari kakiku. Entah apa yang akan kami temui nanti.
Tak lama
nampak satu titik hitam kecil yang bergerak dari arah utara kami berada. Titik
tersebut bergerak cukup cepat. Aku masih belum bisa memastikan apakah titik
tersebut adalah monster yang disebut sebagai Scylla atau bukan. Namun setelah
kuperhatikan kembali, titik tersebut terlihat bertambah banyak dan melebar di
belakangnya seiring dengan jarak kami yang semakin dekat dengan mereka.
“Enutra,
aku sarankan, nanti kau untuk menyerah saja ya.” ucap Lena tiba-tiba.
“Hei apa
maksudmu? Lebih baik kita kabur saja?”
Dengan
segera kudayung kembali sampan ini untuk bergerak kembali ke dermaga, namun..
Tanpa
kusadari titik-titik tersebut telah bergerak semakin dekat mengelilingi kami
berdua. Jarak mereka sudah semakin
dekat. Mungkin sudah sekitar beberapa ratus meter dari tempat kami berada. Dengan
jarak sedekat ini seharusnya bisa kulihat dengan jelas titik-titik apa
sebenarnya yang akan menyerang kami? Tunggu! Itu bukanlah titik-titik biasa!
Mereka adalah sekumpulan manusia dengan peralatan tempur yang lengkap dari atas
perahu-perahu kecil.
Entah siapa
mereka yang telah mengepung kami berdua. Mereka tersenyum menyeringai dengan
tatapan tajam yang mengerikan. Tak ada satupun wanita dalam kelompok tersebut.
Yang ada hanyalah pria-pria sangar berotot yang bila kuhitung mungkin ada
sekitar tiga puluhan orang dan mereka semua berperalatan lengkap seolah siap
untuk membunuh kami.
“Strike!! Akhirnya kita berhasil
mengepung ikan kecil mahal ini.” Salah satu dari mereka yang berada paling
dekat denganku akhirnya berucap.
Ia terlihat
tak terlalu kuat dengan tubuhnya yang tinggi ramping dan kepalanya yang plontos
mengkilap. Hanya dibalut dengan pakaian jubah kulit coklat necis tanpa armor. Namun sepertinya dia adalah
pemimpin kelompok ini karena hanya dia sendiri yang berada paling depan di antara
yang lain dan hanya satu-satunya yang berani berbicara pada kami.
“Hei apa
maksudnya ini?”
“Wow! Ikan
tangkapan kita bisa berbicara!” ucap pria plontos tadi yang kemudian dibarengi
dengan gelak tawa dari para pengikut di belakangnya.
“He-hei
Lena. Kenapa malah jadi begini? Apa selain monster, di tempat ini juga terdapat
bajak laut?” bisikku pada Lena yang sejak tadi hanya terus tertunduk.
Tiba-tiba
saja gadis di hadapanku ini berjongkok dan menangis sesenggukan. Apa maksudnya dengan
semua ini? Dimana monster yang dimaksud? Siapa mereka yang telah mengepung
kami? Kenapa pula dengan gadis ini?
***
[1]
Lapisan atmosfer terendah yang tebalnya kira-kira sampai dengan 10 kilometer di
atas permukaan bumi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar