9 Agustus 2015

DUNIA SEMU #36


CHAPTER 36 - KEBIMBANGAN

            “Silahkan diminum tehnya, Tuan Putri dan Tuan Enutra. Makanan utama akan segera disajikan beberapa saat lagi.” ucap sang pemilik penginapan bernama Sam sambil melayangkan senyuman ramahnya.
            “Terima kasih.”
            Saat ini aku dan Vivian berada pada halaman depan bangunan penginapan, atau bisa dibilang sebagai area cafe di penginapan milik Pak Sam. Ada enam buah meja kayu bundar berwarna putih dengan empat kursi sederhana yang mengitarinya. Posisi meja-meja tersebut terpasang dua baris saling berjajar. Sederhana namun tak menghilangkan kesan artistik akan penataannya yang dihiasi dengan beberapa pita biru kuning dan tanaman-tanaman hias yang menggantung di atasnya. Kesederhanaan yang indah dengan balutan kreatifitas seni dari sang pemilik.

            Jujur, sebenarya aku sangat menikmati segala pelayanan baik ini meskipun ada sedikit perasaan tak enak terhadap Pak Sam yang telah dua hari terakhir melayani kami berdua dengan tulus. Kesampingkan saja dulu tentang keberadaan Vivian sebagai putri Kerajaan Eternality, yang jelas -aku yang hanya sebagai rakyat biasa- merasa tak pantas dengan layanan spesial seperti ini. Rasanya pelayanan-pelayanan seperti ini sudah terlalu berlebihan untukku.
            “A-ada apa, Enutra?” ucap Vivian memecahkan lamunan. “Kenapa kamu hanya diam saja setelah Pak Sam memberikan minuman padamu?”
            Sedikit demi sedikit Vivian akhirnya mulai terbiasa berbicara kembali padaku meski kadang perasaan canggung masih terlihat dari sikapnya.
            “Tidak ada apa-apa. Aku hanya merasa tidak enak saja dengan Pak Sam yang telah sukarela melayaniku tanpa dibayar sepeser pun.”
            Vivian tersenyum sambil menggeleng kecil, “Tidak apa-apa, baginya Enutra juga adalah tamu kehormatan yang pantas mendapatkan pelayanan khusus karena telah mendampingiku dengan baik selama ini.” ia lalu beralih menatap dahan-dahan pohon merbau yang berjejer di pinggiran jalan. “Dan bagi para penduduk di kota ini, melayani tamu-tamu kehormatan dipercaya dapat memberikan keberuntungan bagi mereka.”
            “Wah ternyata Vivian tahu banyak tentang kota ini.”
            Wajahnya sedikit memerah, “Dulu aku sering datang ke kota ini bersama ayah, itu sebabnya banyak penduduk yang mengenaliku meski tanpa mengenakan atribut kerajaan.” jelas Vivian lagi sambil memberikan senyuman indahnya.
            Syukurlah, senyuman indah itu telah kembali datang. Batinku terasa nyaman. Sangat menenangkan sekali. Tak salah jika aku ingin menyebutnya sebagai putri dengan senyuman terindah yang pernah ada.
            Kali ini Vivian kembali mengenakan tudung coklat yang sebelumnya ia pakai ketika memasuki Kota Celadoni. Untuk sementara, belum ada yang berhasil mengetahui jati diri Vivian selain aku dan Pak Sam. Hal itu cukup membuatku tenang akan keselamatannya karena akhir-akhir ini Bangsa Remidi telah semakin sering memberikan teror yang membahayakan.
            Seketika aku kembali teringat akan kejadian tadi pagi bersama Lena. Dengan pengetahuan Vivian yang cukup luas mengenai kota ini, mungkin akan memudahkanku untuk mencari informasi mengenai monster yang harus kukalahkan nanti.
            “Oh ya, apa Vivian tahu mengenai monster laut yang berada di dekat pantai Celadoni?” tanyaku memulai obrolan yang sempat terhenti sejenak.
            “Apa yang Enutra maksud adalah monster Scylla? Darimana Enutra bisa tahu tentang monster tersebut?”
            Scylla? Rasanya pernah mendengarnya dari kisah mitologi Bangsa Yunani Kuno, pikirku dalam hati.
            Aku menggeleng, “Entahlah, aku belum menanyakan nama monster tersebut. Aku hanya baru mendengarnya tadi pagi dari penduduk sekitar.”
            “Iya, sepertinya monster yang Enutra maksud itu memang Scylla. Setahuku kota ini sedikit demi sedikit mulai kehilangan jati dirinya sebagai kota pelabuhan semenjak kemunculannya yang bersamaan dengan datangnya Bangsa Remidi di dunia ini lima tahun lalu.” jelas Vivian setelah meminum beberapa teguk teh dalam cangkir putih berornamen warna emas. “Akibatnya, pelabuhan di kota ini pun menjadi sangat sepi dan hanya dilabuhi oleh para perahu nelayan lokal yang mencari ikan di sekitar tepi pantai. Tentu saja keberadaan monster tersebut sangat memengaruhi kondisi ekonomi dari kota ini.”
            “Tuan Putri dan Tuan Enutra, silahkan nikmati hidangan makan siang istimewa dari penginapan ini.” sela Pak Sam yang menghampiri kami dengan membawakan baki penuh dengan hidangan mewah ala Eropa seperti steak, cream soup, dan beberapa aneka roti yang disajikan dalam piring-piring dan mangkuk-mangkuk cantik.
            “Terima kasih, Pak Sam.” balasku kembali memberikan senyuman pada sang pria paruh baya tersebut. Ia mengangguk tersenyum sebentar lalu meninggalkan kami berdua.
            “Memang ada apa dengan monster yang kamu maksud itu, Enutra?” tanya Vivian melanjutkan percakapan.
            “Yaahh.. Umm.. Anu.” gumamku sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. Ada sedikit rasa ragu saat akan mengutarakan peristiwa tadi pagi bersama Lena.
            Vivian memiringkan kepalanya saat melihat sikapku yang tak biasa.
            “Ada apa dengan sikapmu itu, Enutra?”
            “Ah.. Ti-tidak apa-apa kok. Hanya..” ucapku terbata, “Tadi pagi saat berada di pantai untuk mencari sarapan, aku mendengar bahwa kota ini mengadakan suatu sayembara dengan imbalan yang sangat besar untuk membasmi monter tersebut dari Laut Celadoni.”
            “Lalu?” Vivian mengerutkan dahinya. Nampaknya ia kurang senang akan penjelasanku selanjutnya.
            “Lalu yaa..” aku sedikit menundukkan kepala. “Aku ingin mengikuti sayembara tersebut.”
            “Apaa?” Vivian agak meninggikan suaranya yang sedikit bergetar lemah. “Apa kamu sudah tak lagi mempedulikan nyawamu?” beberapa orang yang juga tengah bersantap di halaman penginapan pun spontan menatap ke arah kami berdua karena sikap Vivian barusan.
            “Te-tenang dulu. Sikapmu cukup menarik perhatian orang-orang di sekitar kita.” ucapku pelan berusaha menenangkan Vivian. “Biar kujelaskan maksud dari tujuanku ini.”
            “Tapi.. Tapi..” seketika air mata perlahan mengalir dari kedua matanya yang indah. “Aku tak sanggup jika harus kehilanganmu lagi.”
            “Viv-Vivian.” sesaat aku terdiam ketika melihatnya yang tiba-tiba menangis di hadapanku.
            Ia lalu menggenggam kedua tanganku. “Aku mohon, jangan tinggalkan aku lagi.” beberapa tetes air mata terjatuh pada lenganku saat ia mencoba memohon padaku.
            Aku menggenggam erat balik tangannya dan menatap lembut pada kedua matanya.
            “Vivian, bukankah dulu aku sudah berjanji untuk selalu melindungimu? Karenanya aku tak akan pernah meninggalkanmu. Dan sekali lagi aku berjanji, setelah mengikuti sayembara tersebut, aku akan kembali lagi padamu dalam keadaan selamat.”
            Genggaman tangan Vivian semakin erat. “Tapi.. Yang aku dengar bahwa monter tersebut benar-benar tak terkalahkan. Tahun lalu pun aku pernah mendengar bahwa monster tersebut telah membunuh puluhan orang ksatria sekaligus ketika dalam misi penyergapan.” matanya yang sayu dan basah oleh air mata menatapku dalam-dalam, “Enutra.. Aku mohon.. Monster itu terlalu berbahaya untukmu!”
            “Tenang saja, aku adalah Ksatria Cerberus, satu-satunya orang yang pernah mengalahkan monster Bangsa Remidi sendirian.” ucapku sambil menepuk dada agak menyombongkan. “Selain itu, aku juga telah mengalahkan Tyron yang notabene adalah salah satu petinggi dari para Bangsa Remidi.”
            “Tapi keadaan kita sekarang berbeda!” potong Vivian. “Kau sama sekali tak memiliki persiapan seperti ksatria-ksatria lainnya. Hanya sebilah pedang saja benar-benar tak akan cukup untuk mengalahkan monster sekuat itu.”
            Tak kusangka perhatiannya begitu besar padaku. Sejenak ku alihkan pandangan matanya. “Ta-tapi.. Karena itulah aku ingin bercerita padamu tentang kejadian yang kualami tadi pagi.”
            Vivian mengusapkan kedua air matanya. “Kejadian tadi pagi?”
            “Yaa.. Umm.. Aku bertemu dengan seseorang. Umm.. Lebih tepatnya seorang penempa.” kemudian aku menatap serius pada kedua mata sayu Vivian. “Dia menawarkan kerja sama untuk mengalahkan monster tersebut dengan memberikanku satu set pakaian zirah lengkap.”
            “Penempa?” perlahan Vivian mulai kembali tenang. “Penempa siapa?”
            “Elena Ambriel, penerus dari keluarga penempa Ambriel. Tokonya tak jauh dari penginapan kita ini.”
            “Elena Ambriel? Seorang gadis?”
            “Ya, apa Vivian tahu tentangnya?”
            Ia agak menundukkan kepalanya, “Tidak juga.”
            Aku menghela napas setelah mendengar jawabannya. Syukurlah akhirnya ia kembali tenang, kataku dalam hati.
            Namun, setelah itu suasana menjadi hening seolah tak ada lagi obrolan yang berarti di antara kami berdua.
            “Ngomong-ngomong, apa Vivian mau melihat baju zirah yang akan kupakai untuk pertarungan melawan monster nanti?” ajakku mencoba untuk memecahkan suasana kaku.
            “Um.” Vivian hanya menjawabnya dengan dibarengi anggukan kecil sambil menunduk. Wajahnya yang cantik tertutupi oleh tudung coklatnya.
            “Ta-tapi, mari kita selesaikan dulu makan siang ini ya. Selamat makan.”
            Vivian kembali mengangguk kecil. Tak ada respon yang begitu berarti. Setelah itu, ia hanya menghabiskan makanannya secara perlahan tanpa bicara sepatah kata pun.
            Suasana hening terus terjadi hingga santapan kami berdua habis. Tidak ada kata-kata yang keluar lagi dari mulut kami berdua setelah kalimat terakhirku yang kemudian dibalasnya dengan anggukan kecil. Setelah itu aku pun berdiri di sampingnya dengan menjulurkan tangan untuk mencoba mengajaknya melihat baju zirah seperti yang aku bicarakan sebelumnya. Namun yang terjadi justru membuatku bingung. Vivian malah mengabaikannya dengan berdiri membelakangi dan kemudian berjalan meninggalkanku.
            “Dasar, Enutra bodoh.”
            Entah aku salah dengar atau tidak, sekilas aku mendengar Vivian membisikkan beberapa kata ketika berpapasan saat meninggalkan mejanya. Tubuhku terdiam seolah terkunci oleh kata-katanya. Apa sebenarnya yang telah terjadi? Vivian membenciku? Kenapa??
***

            ~Bruaaakkk!!
            “Aku mohon, jangan hancurkan tempat kami.”
            “Bukankah sudah kubilang?! Kami hanya menginginkan senjata yang berkualitas! Bukan senjata rongsokan seperti ini!!”
            ~Praankk!!
            “Ma-maaf tuan, tapi hanya senjata itu senjata terkuat yang mampu kubuat.”
            “Jangan banyak alasan!”
            ~Bhuggh..
            “Uhk..”
            “Ayah!”
            “Menyingkir kau, gadis!”
            “Aku mohon, jangan sakiti ayahku!”
            “Hmm.. Gadis muda, kau ternyata berani juga. Apa kau mau ikut denganku?”
            “Jangan! Jangan kau libatkan anakku! Baiklah, aku akan membuatkan senjata yang lebih baik lagi.”
            “Aku sudah tak percaya dengan kata-katamu!”
            “Sungguh! Aku dengar di dasar laut Celadoni terdapat sebuat material langka yang jatuh dari langit.”
            “Bodoh, mana mungkin kau bisa mengambilnya? Berhadapan dengan monster Scylla pun aku yakin kau tak akan sanggup bertahan lebih dari lima menit.”
            “Aku berjanji! Aku pasti akan mengambilnya dengan segenap nyawaku!”
            “Aku tak peduli dengan nyawamu!”
            “Aku mohon dengarkanlah dulu. Menurut kabar yang kudengar, hari ini akan dilakukan penyergapan oleh para puluhan ksatria dari seluruh penjuru negeri yang berniat untuk memusnahkan Scylla. Disaat itulah aku bisa menyusup di antara mereka dan mencari material yang kumaksud.”
            “Hmm.. Aku jadi tertarik dengan tekad dan rencanamu itu. Baiklah, akan kuantar kau menuju dermaga untuk mengambil material tersebut! Kutunggu kau di depan!”
            ~Bruaakk.. ~Clank..
            “Ayah.. Ayah tidak serius kan dengan yang ayah katakan barusan? Tempat itu terlalu berbahaya untuk ayah!”
            “Aku serius anakku, aku akan segera mengambil material tersebut. Kamu tinggallah dulu disini untuk menjaga toko ini. Aku pasti akan kembali.”
            “Tidak ayah! Tidak! Jangan tinggalkan aku!”
            Beberapa tetes air mata berjatuhan membasahi lantai kayu berlapis varnish coklat. Sayup-sayup isak tangis terdengar dari dalam kegelapan. Seorang gadis muda berdiri tertunduk, bersandar pada salah satu sudut dinding sebuah toko tempaan di pinggiran Kota Celadoni. Kedua tangannya terlipat di antara dada dan perutnya. Tubuhnya perlahan turun hingga kakinya berjongkok tak kuat menahan bebannya.
            “Ayah.. Aku tak akan pernah melupakan kejadian saat itu. Tak akan pernah!”
***

            Cahaya mentari pagi menyorot tepat mengenaiku melalui jendela yang belum sempat tertupi tirai. Seketika kedua mataku menyipit. Sebagian wajah kututupi dengan lengan kanan untuk mengurangi kilauan sinarnya yang cukup membutakan.
            “Sudah pagi kah?”
            Pagi ini kuawali dengan gumaman tak berarti setelah terbangun dari tidur malam yang tak terlalu lelap. Tubuh masih terasa sangat berat, terbaring di atas kasur busa sederhana yang dengan lembutnya menyekapku untuk tidak beranjak darinya. Selimut rajutan sederhana yang telah melindungiku dari hawa dingin semalam hanya menutupi setengah dari tubuh bawahku. Agak membuatku menggigil. Keadaan ini semakin mendukung sikapku yang seolah menampakkan kemalasan dan ketidakyakinan atas apa yang telah kurencanakan sebelumnya.
            Dua hari yang lalu aku telah berjanji kepada seorang penempa yang telah memberikanku beberapa perlengkapan ksatria. Pagi ini pun seharusnya kami bertemu di Pantai Celadoni untuk mengikuti sayembara yang ia sampaikan. Tapi, hingga sekarang aku masih berada di kamar berdiam diri. Bukannya aku takut. Namun, sikap Vivian yang tiba-tiba berubah dingin membuatku ragu untuk mengikutinya.
            Semenjak percakapan terakhir saat makan siang dua hari yang lalu, Vivian benar-benar telah mengabaikan keberadaanku. Awalnya kupikir sikap dinginnya tersebut hanya berlangsung sementara seperti sebelumnya. Tapi ternyata, sudah dua hari ini dia masih menjauhiku. Jujur, hal seperti ini jauh lebih menyiksa daripada ia terang-terangan membentakku.
            Aku yakin ia tidak benar-benar marah terhadapku sebab buktinya aku masih bisa tinggal di penginapan ini dengan cuma-cuma. Namun sikapnya itu justru malah membuat pertanyaan-pertanyaan besar yang semakin membebani pikiranku. Aku tak bisa tertidur lelap karenanya. Rasanya semakin malas saja bagiku untuk beranjak dari ranjang ini.
            “EE.. NUUU.. TRAAA...”
            Aku terperanjat. Tiba-tiba terdengar teriakan seorang gadis dari luar penginapan yang memanggil namaku dengan keras.
            “Siapa itu? Jangan-jangan..” aku melongok ke luar jendela seperti lainnya yang juga penasaran mencari tahu siapa orang yang telah membuat keributan di pagi hari ini.
            “Wah itu dia! Aku akan kesana!”
            Aku terpaku setelah melihatnya. “Le-Lena?? Gawat!! Bagaimana mungkin dia tahu tempat tinggalku?”
            ~Buk.. Buk.. Buk..
            “Enutra!! Ayo buka pintunyaa!!”
            “Lena?? Apa yang kamu lakukan di sini??” teriakku dari balik pintu.
            “Apa yang aku lakukan di sini? Justru seharusnnya itu yang aku tanyakan padamu. Apa yang kau lakukan di sini? Seharusnya kau sudah di pantai sejak matahari terbit tadi!” balasnya ambil berteriak keras padaku. “Sudah cepat buka pintunya! Atau aku akan membuat keributan yang lebih hebat.”
            “Ja-jangan! Aku akan segera membuka pintunnya.”
            Segera kubuka lebar pintunya hingga nampak sesosok gadis berambut merah berdiri angkuh dengan salah satu tangannya yang bertolak pinggang di baliknya.
            “Hah?! Apa-apaan dengan pakaianmu itu? Matahari sudah terbit sepuluh derajat dari cakrawala dan kamu masih mengenakan baju tidur??” omelnya lagi sambil masuk ke dalam kamarku dan melihat-lihat ke sekeliling.
            Aku terdiam sejenak setelah mendengar omelannya yang cukup panjang.
            “Le-Lena, maafkan aku. Sepertinya aku..”
            “Nah itu dia!!” sela Lena sambil menarik tanganku. Ia sama sekali tidak mendengarkan.
            “Lena! Tunggu!”
            “Sudah, tidak ada waktu lagi! Ayo kita segera berangkat!”
            Lena lalu menarikku keluar sambil berlari membawa peralatan ksatria yang telah ia berikan sebelumnya. Kami berdua akhirnya meninggalkan kamar dengan pintu terbuka lebar, melewati lorong-lorong penginapan menuju ke luar. Tenaganya cukup kuat hingga membuatku tak sanggup untuk melawan tarikannya.
            Sesaat, tak sengaja kami berpapasan dengan Vivian yang baru saja keluar dari kamarnya. Kami saling bertatapan cukup lama seolah waktu berputar lebih lambat. Ekspresi wajahnya nampak tak asing bagiku. Tergambar kesedihan yang sama seperti saat pertama kali melihatnya terikat di Istana Velika. Maafkan aku, Vivian.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar