7 Juni 2015

DUNIA SEMU #35


CHAPTER 35 - PENEMPA

            Langkah kaki melewati sebuah pintu kaca buram berbingkai kayu jati bersamaan dengan suara ‘Claank’ dari lonceng kecil yang menggantung di atasnya. Mataku mengamati sekitar. Nampak ruangan seluas kira-kira dua puluh meter persegi dengan berbagai peralatan bertarung seperti pedang, pisau, tombak, kapak, gada, tameng, dan baju zirah yang terpampang rapi baik di dalam etalase maupun tergantung pada dinding-dinding ruangan. Selain itu terdapat pula martil-martil berbagai ukuran yang tergantung di rangka langit-langit. Dari awal aku sudah mengira akan seperti ini ketika melihat baliho seukuran dua kali setengah meter terpampang tepat di atas kaca depan rumah Lena bertuliskan ‘Toko Tempaan Ambriel’. Ternyata tempat tinggalnya merupakan toko yang menjual hasil-hasil tempaan untuk para ksatria.

            “Silahkan masuk, tidak usah sungkan-sungkan. Maaf tempatnya agak berantakan. Hehe..” ucap Lena bersemangat sambil mempersilahkanku duduk di sebuah kursi bar yang menghadap pada semacam meja kasir kayu. “Aku tinggal sebentar ya. Silahkan lihat-lihat saja dulu.”
            “Ah ya, terima kasih.”
            Aku pun duduk pada kursi bar tersebut. Sementara Lena masuk ke dalam salah satu ruangan di balik meja ‘kasir’ yang di atas pintunya terdapat tulisan ‘Hanya Pegawai’.
            Aku kembali mengamati sekitar. Tempat ini memang penuh dengan peralatan tempaan untuk para petarung. Dari pojok kiri kanan depan dekat pintu sudah disodorkan dengan puluhan jejer pedang satu tangan dan dua tangan berbagai jenis bentuk dan ukuran yang berdiri pada belasan stan kayu. Di area dinding timur juga tergantung tameng-tameng baja beraneka tipe dari mulai yang terkecil berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar tiga puluh sentimeter hingga yang terbesar, mungkin seukuran televisi LCD enam puluh inchi. Ada juga pisau-pisau tempur seperti milik kopasus[1] dan gada yang berjajar pada rak lemari. Selain itu terdapat bermacam-macam baju zirah terpajang pada manekin-manekin yang berdiri pada sisi barat ruangan.
            “Maaf lama menunggu.” Lena akhirnya kembali sembari membawakan semangkuk penuh sup kental yang aromanya semerbak memenuhi ruangan. “Silahkan nikmati sup ini selagi hangat.”
            “Terima kasih.” balasku sambil memegang sendok sup yang telah disiapkan di samping mangkuk. “Selamat makan.”
            Lena kemudian duduk pada salah satu dari tiga kursi bar di sampingku, “Jadi bagaimana dengan rumahku ini? Atau mungkin lebih tepatnya tokoku ini?” ia kembali membuka obrolan sambil menampakkan senyuman lebarnya.
            Aku menatap wajahnya sembari meniupkan sup panas pada sendok yang telah kupegang dan kemudian menyeruputnya hingga habis. Gurih dan rasanya agak unik dengan beberapa tekstur mirip daging kambing di dalamnya. Setelah itu aku meminum beberapa teguk air putih pada gelas yang juga disiapkan bersamaan dengan mangkuk sup yang dibawa oleh Lena.
            “Aku tak percaya bahwa kau akan membawaku pada tempat seperti ini. Keren. Sudah berapa lama kau membuka usaha toko tempaan?”
            “Sebenarnya toko ini adalah usaha turun temurun yang dibuat oleh keluarga Ambriel. Yang pertama kali membangunnya adalah kakek buyutku.” Lena lalu berdiri sambil mengambil lap abu-abu yang tergantung pada handle bar di samping meja kasir dan kemudian mengelap beberapa baju zirah di dekatnya. “Dan kali ini adalah giliranku untuk mengurus usaha ini sendirian.”
            “Sendirian? Dimana orang tuamu?”
            “Kedua orang tuaku telah lama bercerai semenjak usiaku sekitar sepuluh tahunan. Aku tinggal bersama dengan ayahku sejak saat itu, tapi..” nampak beberapa tetes air mengalir dari kedua matanya. “Setahun yang lalu beliau telah meninggal karena serangan monster laut saat akan mengambil material langka untuk tempaannya.”
            “Aku mohon maaf karena telah membuatmu bersedih.” ucapku sambil meletakkan sendok sup yang akan kumasukkan ke dalam mulut.
            “Tidak apa-apa.” Lena mengusap air matanya. Setelah itu ia menampakkan kembali senyuman lebarnya di hadapanku. “Aku sudah terbiasa dengan keadaanku yang seperti ini.”
            Sesaat aku terdiam. “Sekali lagi aku meminta maaf sebelumnya. Tiba-tiba saja terbesit sebuah pertanyaan setelah mendengar ceritamu tadi.”
            “Katakan saja.” jawab Lena ringan.
            “Apa kau sengaja memintaku membunuh monster laut tersebut hanya untuk membalaskan kematian ayahmu itu?”
            Seketika Lena tertawa setelah mendengar pertanyaanku. “Hahaha.. Maaf.. Maaf aku tertawa begitu keras.” Lena lalu menarik napasnya dalam-dalam lalu menenangkan diri. “Tidak kok. Aku bukan tipe gadis pendendam. Ada hal lain yang kuinginkan dari event tersebut.”
            Aku melanjutkan santapan sup yang mulai mendingin, “Lalu?”
            “Iya, mungkin seharusnya kau bisa mengerti setelah melihat keadaan tokoku ini.”
            Keadaan tokonya? Aku kembali memperhatikan setiap sudut dari tokonya. Rasanya tak ada yang aneh. Seluruh peralatan tempaan yang ia pajang sama sekali tak menampakkan adanya keanehan. Tapi, tunggu..
            “Kenapa tokomu sepi sekali?” tanyaku spontan.
            Lena menepuk pundakku sambil tertawa kecil. “Akhirnya kau sadar juga.” lalu ia kembali duduk di sebelahku, “Iya. Semenjak aku sendirian mengambil alih usaha keluarga ini, semakin lama pelanggan semakin berkurang. Entahlah. Mungkin aku kurang ahli dalam berbisnis sepertinya.” ucapnya lagi sambil menaikkan kedua pundaknya.
            “Umm.. Lalu bagaimana caraku untuk membantumu?” tanyaku lagi setelah selesai menghabiskan seluruh sup di dalam mangkuk.
            “Karena itu, aku ingin mempromosikan toko ini melaluimu.” Jawabnya sambil menempelkan jari telunjukknya pada dadaku.
            “Aku?”
            “Yap. Aku akan menyediakan baju zirah dan peralatan tempur lainnya untukmu secara cuma-cuma dan kamu hanya tinggal ikut mengalahkan monster laut tadi sambil mempromosikan peralatan-peralatan tempur yang telah ku berikan.”
            “Jadi kamu semacam sponsorku begitu?”
            “Eh? Sponsor?”
            “Maaf, lupakan saja.” aku menggaruk kepala, “Setelah itu apa lagi?”
            “Tapi aku juga ingin ikut dalam pertempuran tersebut.” ucap Lena sambil menarik kotak berisi pedang dan tameng dari bawah meja kasirnya.
            “Hah? Untuk apa?”
            Lena lalu meniupi debu dan mengusap peralatan tempur yang ia ambil dari kotak tersebut, “Tentu saja aku ingin meneruskan misi ayahku untuk mengambil material langka yang berada di dekat sarang monster laut tersebut.”
            “Ehh?? Tapi itu kan berbahaya!”
            “Tidak masalah, biar begini-begini, aku juga pernah ikut dalam sekolah petarung di kota ini sebagai ksatria pengguna pedang satu tangan.” ujarnya sambil mengenakan baju zirah dan mengayun-ayunkan pedang yang ia ambil dari kotak tadi.
            Aku menepuk dahi, “Huft.. Yasudah, itu semua terserah padamu. Asal nanti jangan sampai merepotkanku.”
            Lalu Lena mengarahkan ujung mata pedangnya tepat di hadapan wajahku. “Jangan coba-coba meremehkanku ya. Aku pastikan bahwa aku tak akan menjadi beban untukmu.” jawabnya dengan tatapan tajam dan senyuman di bibir tipisnya.
            Keringat dingin seketika keluar dari pori-pori wajahku. Sontak sikapnya yang begitu tiba-tiba membuat tanganku terangkat tanda menyerah. “O-oke.. Oke..” Setelah Lena menyarungkan kembali pedangnya, aku tertunduk sambil menghela napas. “Aku tak akan menyela keinginanmu lagi.”
            “Begitulah seharusnya.” Lena mengangkat dagunya sambil memberikan tatapan yang memicing. “Lalu, peralatan ksatria seperti apa yang ingin kau gunakan?”
            Aku mengernyitkan dahi sambil menyentuhkan jari telunjuk dan jempol pada dagu. “Entahlah, mungkin aku boleh melihat-lihat dulu koleksimu.”
            Lena menjulurkan tangannya memberi isyarat untuk mempersilahkan.
            Aku mulai berjalan mengitari isi toko Lena dan melihat-lihat seluruh peralatan tempur yang ia pajang. Rasanya situasi ini seperti pernah kualami -tentu saja bukan dalam kehidupan nyata- tapi dalam dunia game RPG dimana saat seperti ini adalah saat yang cukup menentukan untuk keberlangsungan event selanjutnya.
            “Kalau boleh tahu, seperti apa gaya bertarungmu? Mungkin aku bisa memberikanmu saran.”
            Langkahku terhenti. ‘Seperti apa gaya bertarungku?’ dalam pikiranku            muncul sebuah tanda tanya yang begitu besar. Selama ini aku bertarung dengan hanya mengandalkan insting tubuh Enutra dan kekuatan yang diberikan oleh Imaji. Dan aku tak mengerti seperti apa gaya bertarungku yang sebenarnya.
            “Umm.. Gaya bertarungku tidak terlalu spesifik dibandingkan para ksatria lainnya. Tapi karena ini adalah pertarungan di tengah laut, mungkin dibutuhkan semacam gaya pertarungan yang lincah dengan tanpa membawa peralatan-peralatan yang terlalu berat.” gumamku sedikit gugup namun terlihat percaya diri.
            Lena mengangkat alisnya sambil memandangiku. “Begitu ya?”
            Aku menelan ludah berkali-kali. Keringat dingin sedikit demi sedikit mencuat ke permukaan kulitku. “I-Iya.”
            “Baiklah kalau begitu, akan aku cari perlengkapan yang sesuai denganmu.”
            Aku menghela napas sejenak. Setidaknya yang telah kukatakan tadi tidak membuatnya curiga. Biar bagaimanapun aku bukan penghuni asli dunia ini.
            “Ini dia! Perlengkapan ksatria yang cocok denganmu!” ucap Lena setelah beberapa saat memilah-milah perlengkapan yang cocok untukku dengan memasukkannya pada peti kayu berukuran setengah meter kali satu meter dengan tinggi sekitar tiga puluh sentimeter.
            Aku membuka peti tersebut perlahan. Terlihat beberapa perlengkapan seperti pelindung dada ringan terbuat dari bahan semacam metal berwarna perak yang menyilang dari pundak kiri hingga ke atas perut bagian kanan, kemudian pelindung pundak yang juga memang sepaket dengan pelindung dada tadi, dan pelat penahan lengan polos tanpa ornamen berwarna perak yang cukup tebal.
            “Ini semua untukku?” ucapku sambil mencoba-coba peralatan-peralatan tersebut.
            “Tentu saja.” Lena membalas dengan senyuman lebar seperti biasanya. “Oh ya, ada lagi. Kalau yang ini spesial khusus dariku.” ucapnya lagi sambil memberikan sebuah jaket semi jubah panjang hitam berkancing yang terbuat dari kulit.
            “Waahh.. Keren. Terima kasih ya.”
            “Maaf ya karena hanya itu saja yang bisa kuberikan, semoga bisa meningkatkan statusmu saat bertarung nanti.”
            “Tidak, ini semua sudah lebih dari cukup.” ucapku sambil melemparkan senyuman padanya.
            “Baiklah. Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Kita akan bertemu dua hari lagi di pantai Celadoni saat matahari terbit ya.”
            “Umm.. Tapi bagaimana dengan imbalan yang sebelumnya kamu katakan?” tanyaku lagi saat akan melangkah keluar dari tokonya.
            “Itu akan kita bicarakan lagi setelah kau menang nanti.”
            “Begitu ya?” kemudian aku berjalan lagi dan berhenti sejenak tepat di balik pintu keluar toko milik Lena. “Ngomong-ngomong, terima kasih juga atas supnya ya. Enak sekali loh!”
            “Waaahhh.. Ternyata kamu suka sup katak yang kubuat ya? Nanti akan ku buatkan lagi untukmu.” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya.
            Dahiku mengernyit sambil menelan ludah. “Sup katak katanya? Mudah-mudahan tadi aku salah dengar.”    aku pun berlalu meninggalkan tokonya dan kembali menuju penginapan.
***

            Dentingan kecil antar logam terdengar saat aku berpose di dalam kamar penginapan mengenakan perlengkapan bertempur yang baru saja kudapatkan dari Lena.
            “Keren.. Aku jadi terlihat seperti seorang ksatria sungguhan.” gumamku berseri di hadapan kaca cermin yang terpasang pada lemari pakaian.
            ~Tok.. Tok.. Tok..
            Terdengar suara ketukan dari balik pintu kamar.
            “Tuan? Apakah anda di dalam?” sahut seorang gadis dari balik pintu.
            “Ya, aku di dalam. Masuk saja. Pintunya tidak dikunci.” balasku mempersilahkan.
            “Kalau begitu, permisi.” gadis tersebut membuka pintunya dan langsung masuk ke dalam kamarku.
            Namun ketika pitu akan terbuka, aku baru menyadari bahwa tak ada gadis lain yang mengenaliku di penginapan ini selain Vivian dan dapat kupastikan kalau suara gadis tadi bukanlah suara dari Vivian.
            “Tunggu siapa kamu?!” aku langsung berbalik dan mengarahkan pedang dartmouth eterna-ku pada arah gadis tersebut masuk.
            Namun yang terjadi justru membuatku terkejut. Pintu kamar terbuka namun tak ada siapa pun yang berdiri di hadapanku.
            “Enutra, aku di bawah sini.” suara gadis tersebut kembai terdengar.
            “Eh? Seekor burung?” ucapku spontan saat melihat seekor burung hantu coklat yang berdiri menatapku.
            “Ini aku! Imaji!!” teriak burung tersebut dengan suara gadis yang sebelumnya kudengar barusan.
            Aku menepuk dahi, “Ya ampun, bikin kaget saja. Kemana saja kau selama ini?”
            “Hei.. Setidaknya berilah sambutan yang baik terhadap kawan lamamu ini dong.”
            “Kawan katamu?” aku memberinya tatapan sinis. “Selain itu apa-apaan dengan penampilanmu itu? Ditambah dengan suara gadis yang belum pernah kudengar.”
            “Hehe.. Aku hanya ingin mencoba bermain-main denganmu. Ternyata kau masih belum belajar untuk selalu fokus terhadap berbagai keadaan ya.” ucap Imaji yang kemudian terbang ke atas pundakku.
            “Terserah apa katamu. Lalu apa maumu untuk menemuiku lagi?”
            “Bukan hal yang terlalu penting. Aku hanya rindu melihatmu lagi.”
            “Hah??” kata-katanya membuatku jengkel.
            “Tapi keren juga penampilanmu dengan perlengkapan perang itu. Darimana kau mendapatkannya?”
            “Bukan urusanmu.” aku mendengus dan kemudian menyingkirkan Imaji yang sedang hinggap di pundak.
            “Wah.. Kamu kok jadi semakin sinis seperti itu?” Imaji kemudian terbang dan hinggap di tempat tidurku.
            “Hei! Itu tempat tidurku! Jangan kau kotori dengan tubuh jorokmu itu!”
            Imaji malah sengaja membaringkan tubuh burung hantunya sambil menghela napas panjang. “Sudahlah.. Sudahlah.. Sebenarnya aku tahu apa yang kamu lakukan selama ini kok.”
            Lalu aku mulai melepaskan perlengkapan tempur yang menempel pada tubuhku. “Pasti ada yang ingin kamu sampaikan kan?”
            “Seperti yang kukatakan tadi, tidak terlalu penting. Tapi..” Imaji memutar tubuhnya burungnya sambil kembali menghela napas dan menggeliat. “Ummmh.. Nyamannya..”
            “Tapi apa?” tanyaku jengkel.
            “Iya.. Tapi ini mungkin bisa menjadi informasi yang cukup berharga untukmu. Besok lusa kau akan mengikuti event membunuh monster di tengah laut itu kan?”
            Aku lalu menoleh padanya, “Maksudmu?”
            “Tidak usah banyak tanya. Selama ini aku kan selalu memonitor setiap kondisimu di dunia ini.” Imaji lalu berdiri di atas tempat tidur sambil menggeliat-geliat. “Tapi aku minta berhati-hatilah terhadap orang yang telah memberimu perlengkapan tempur itu.”
            Aku mendengus. “Apa maksudmu dengan berhati-hati? Lena bukanlah orang yang patut untuk dicurigai!”
            “Ya, itu semua tergantung padamu sih.”
            “Tunggu, apa yang kau maksud bahwa Lena bekerja sama dengan Bangsa Remidi?”
            “Tidak.. Di dalam dataku tak ada yang mengatakan bahwa Elena Ambriel adalah salah satu dari pengikut Bangsa Remidi.”
            “Terus kenapa aku harus berhati-hati terhadapnya? Lagi pula kami hanya berusaha bekerja sama dan itu menguntungkan bagi kedua belah pihak.”
            Imaji kembali menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya. “Kau sama sekali tak banyak belajar dari dunia ini ya? Biar kujelaskan ya, tak ada satu pun orang yang benar-benar tulus di dunia ini. Jangan terlalu naif.”
            Kata-kata Imaji tadi cukup membuatku berpikir panjang. “Aku tak peduli dengan peringatanmu. Yang jelas aku akan mengikuti event tersebut dan memenangkannya.”
            Imaji lalu terbang ke dekat jendala dan membukanya dengan paruh kecilnya. “Ya sudah. Yang penting aku sudah memperingatkanmu. Seperti yang kubilang sebelumnya, itu semua tergantung padamu.” ucapnya sambil mencoba mengepakkan sayapnya untuk terbang. “Oh ya, Vivian sebentar lagi akan menuju kemari. Kalau begitu aku pergi lagi ya.”
            “Hei! Tunggu!” teriakku sambil berlari mencoba untuk menggapai imaji. “Sial! Dia kabur lagi.”
            Tanganku mengepal keras sambil mengerat-eratkan gigi. ‘Makhluk itu lagi-lagi mencoba untuk mempermainkanku!’ ucapku geram di dalam hati. Setelah itu aku berbalik dan bergegas menuju pintu kamar.
            Sebelumnya Imaji mengatakan bahwa Vivian akan segera kemari. Ada perasaan yang tak tentu saat tanganku menyentuh gagang pintu. Aku masih belum melupakan kejadian tadi pagi. Entah Vivian marah atau tidak kepadaku, yang jelas sikapku padanya menjadi kembali bahkan lebih canggung dari sebelumnya.
            Aku membuka pintu kamar. Benar saja dengan apa yang dikatakan oleh Imaji, Vivian sudah berada di hadapan pintu dengan ekspresi wajah yang kaget sambil mencoba untuk mengetuk pintu. Wajahnya semakin memerah saat aku menatap mata sayunya.
            Kepalanya kembali menunduk, “Ummh.. E-Enutra, ma-mari kita makan siang bersama.” ucap Vivian terbata-bata.
            Aku terdiam sesaat. “Ba-baik Tuan Putri.”
            “Vivian!” ucapnya sedikit keras. “Bukankah sudah kukatakan untuk tidak lagi memanggilku dengan kata-kata tuan putri.” ucapnya lagi melemah.
            Aku mengangguk kecil. “Viv-Vivian.. Kalau begitu mari kita makan siang bersama.”
            Lagi-lagi aku dikejutkan dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis dibandingkan tadi pagi. Namun setidaknya dengan begini aku akan kembali mengakrabkan diri dengannya. Tak akan ada lagi perasaan canggung bila akhirnya kami bisa memulainya dengan makan siang bersama seperti ini. Vivian, kau memang gadis yang penuh dengan misteri.
***


[1] Merupakan singkatan dari komando pasukan khusus yang menjadi bagian dari Komando Utama (KOTAMA) tempur milik TNI Angkatan Darat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar