CHAPTER 35 - PENEMPA
Langkah
kaki melewati sebuah pintu kaca buram berbingkai kayu jati bersamaan dengan
suara ‘Claank’ dari lonceng kecil
yang menggantung di atasnya. Mataku mengamati sekitar. Nampak ruangan seluas kira-kira
dua puluh meter persegi dengan berbagai peralatan bertarung seperti pedang, pisau,
tombak, kapak, gada, tameng, dan baju zirah yang terpampang rapi baik di dalam etalase
maupun tergantung pada dinding-dinding ruangan. Selain itu terdapat pula
martil-martil berbagai ukuran yang tergantung di rangka langit-langit. Dari
awal aku sudah mengira akan seperti ini ketika melihat baliho seukuran dua kali setengah meter
terpampang tepat di atas kaca depan rumah Lena bertuliskan ‘Toko Tempaan Ambriel’.
Ternyata tempat tinggalnya merupakan toko yang menjual hasil-hasil tempaan
untuk para ksatria.
“Silahkan
masuk, tidak usah sungkan-sungkan. Maaf tempatnya agak berantakan. Hehe..” ucap
Lena bersemangat sambil mempersilahkanku duduk di sebuah kursi bar yang
menghadap pada semacam meja kasir kayu. “Aku tinggal sebentar ya. Silahkan lihat-lihat
saja dulu.”
“Ah
ya, terima kasih.”
Aku
pun duduk pada kursi bar tersebut. Sementara Lena masuk ke dalam salah satu
ruangan di balik meja ‘kasir’ yang di atas pintunya terdapat tulisan ‘Hanya
Pegawai’.
Aku
kembali mengamati sekitar. Tempat ini memang penuh dengan peralatan tempaan
untuk para petarung. Dari pojok kiri kanan depan dekat pintu sudah disodorkan
dengan puluhan jejer pedang satu tangan dan dua tangan berbagai jenis bentuk
dan ukuran yang berdiri pada belasan stan kayu. Di area dinding timur juga
tergantung tameng-tameng baja beraneka tipe dari mulai yang terkecil berbentuk
lingkaran dengan diameter sekitar tiga puluh sentimeter hingga yang terbesar, mungkin
seukuran televisi LCD enam puluh inchi. Ada juga pisau-pisau tempur seperti
milik kopasus[1] dan
gada yang berjajar pada rak lemari. Selain itu terdapat bermacam-macam baju
zirah terpajang pada manekin-manekin yang berdiri pada sisi barat ruangan.
“Maaf
lama menunggu.” Lena akhirnya kembali sembari membawakan semangkuk penuh sup
kental yang aromanya semerbak memenuhi ruangan. “Silahkan nikmati sup ini
selagi hangat.”
“Terima
kasih.” balasku sambil memegang sendok sup yang telah disiapkan di samping
mangkuk. “Selamat makan.”
Lena
kemudian duduk pada salah satu dari tiga kursi bar di sampingku, “Jadi
bagaimana dengan rumahku ini? Atau mungkin lebih tepatnya tokoku ini?” ia
kembali membuka obrolan sambil menampakkan senyuman lebarnya.
Aku
menatap wajahnya sembari meniupkan sup panas pada sendok yang telah kupegang
dan kemudian menyeruputnya hingga habis. Gurih dan rasanya agak unik dengan
beberapa tekstur mirip daging kambing di dalamnya. Setelah itu aku meminum
beberapa teguk air putih pada gelas yang juga disiapkan bersamaan dengan mangkuk
sup yang dibawa oleh Lena.
“Aku
tak percaya bahwa kau akan membawaku pada tempat seperti ini. Keren. Sudah
berapa lama kau membuka usaha toko tempaan?”
“Sebenarnya
toko ini adalah usaha turun temurun yang dibuat oleh keluarga Ambriel. Yang
pertama kali membangunnya adalah kakek buyutku.” Lena lalu berdiri sambil
mengambil lap abu-abu yang tergantung pada handle
bar di samping meja kasir dan kemudian mengelap beberapa baju zirah di
dekatnya. “Dan kali ini adalah giliranku untuk mengurus usaha ini sendirian.”
“Sendirian?
Dimana orang tuamu?”
“Kedua
orang tuaku telah lama bercerai semenjak usiaku sekitar sepuluh tahunan. Aku
tinggal bersama dengan ayahku sejak saat itu, tapi..” nampak beberapa tetes air
mengalir dari kedua matanya. “Setahun yang lalu beliau telah meninggal karena
serangan monster laut saat akan mengambil material langka untuk tempaannya.”
“Aku
mohon maaf karena telah membuatmu bersedih.” ucapku sambil meletakkan sendok
sup yang akan kumasukkan ke dalam mulut.
“Tidak
apa-apa.” Lena mengusap air matanya. Setelah itu ia menampakkan kembali
senyuman lebarnya di hadapanku. “Aku sudah terbiasa dengan keadaanku yang
seperti ini.”
Sesaat
aku terdiam. “Sekali lagi aku meminta maaf sebelumnya. Tiba-tiba saja terbesit sebuah
pertanyaan setelah mendengar ceritamu tadi.”
“Katakan
saja.” jawab Lena ringan.
“Apa
kau sengaja memintaku membunuh monster laut tersebut hanya untuk membalaskan
kematian ayahmu itu?”
Seketika
Lena tertawa setelah mendengar pertanyaanku. “Hahaha.. Maaf.. Maaf aku tertawa
begitu keras.” Lena lalu menarik napasnya dalam-dalam lalu menenangkan diri.
“Tidak kok. Aku bukan tipe gadis pendendam. Ada hal lain yang kuinginkan dari event tersebut.”
Aku
melanjutkan santapan sup yang mulai mendingin, “Lalu?”
“Iya,
mungkin seharusnya kau bisa mengerti setelah melihat keadaan tokoku ini.”
Keadaan
tokonya? Aku kembali memperhatikan setiap sudut dari tokonya. Rasanya tak ada
yang aneh. Seluruh peralatan tempaan yang ia pajang sama sekali tak menampakkan
adanya keanehan. Tapi, tunggu..
“Kenapa
tokomu sepi sekali?” tanyaku spontan.
Lena
menepuk pundakku sambil tertawa kecil. “Akhirnya kau sadar juga.” lalu ia kembali
duduk di sebelahku, “Iya. Semenjak aku sendirian mengambil alih usaha keluarga
ini, semakin lama pelanggan semakin berkurang. Entahlah. Mungkin aku kurang
ahli dalam berbisnis sepertinya.” ucapnya lagi sambil menaikkan kedua pundaknya.
“Umm..
Lalu bagaimana caraku untuk membantumu?” tanyaku lagi setelah selesai
menghabiskan seluruh sup di dalam mangkuk.
“Karena
itu, aku ingin mempromosikan toko ini melaluimu.” Jawabnya sambil menempelkan
jari telunjukknya pada dadaku.
“Aku?”
“Yap.
Aku akan menyediakan baju zirah dan peralatan tempur lainnya untukmu secara
cuma-cuma dan kamu hanya tinggal ikut mengalahkan monster laut tadi sambil
mempromosikan peralatan-peralatan tempur yang telah ku berikan.”
“Jadi
kamu semacam sponsorku begitu?”
“Eh?
Sponsor?”
“Maaf,
lupakan saja.” aku menggaruk kepala, “Setelah itu apa lagi?”
“Tapi
aku juga ingin ikut dalam pertempuran tersebut.” ucap Lena sambil menarik kotak
berisi pedang dan tameng dari bawah meja kasirnya.
“Hah?
Untuk apa?”
Lena
lalu meniupi debu dan mengusap peralatan tempur yang ia ambil dari kotak
tersebut, “Tentu saja aku ingin meneruskan misi ayahku untuk mengambil material
langka yang berada di dekat sarang monster laut tersebut.”
“Ehh??
Tapi itu kan berbahaya!”
“Tidak
masalah, biar begini-begini, aku juga pernah ikut dalam sekolah petarung di
kota ini sebagai ksatria pengguna pedang satu tangan.” ujarnya sambil
mengenakan baju zirah dan mengayun-ayunkan pedang yang ia ambil dari kotak
tadi.
Aku
menepuk dahi, “Huft.. Yasudah, itu semua terserah padamu. Asal nanti jangan
sampai merepotkanku.”
Lalu
Lena mengarahkan ujung mata pedangnya tepat di hadapan wajahku. “Jangan
coba-coba meremehkanku ya. Aku pastikan bahwa aku tak akan menjadi beban
untukmu.” jawabnya dengan tatapan tajam dan senyuman di bibir tipisnya.
Keringat
dingin seketika keluar dari pori-pori wajahku. Sontak sikapnya yang begitu
tiba-tiba membuat tanganku terangkat tanda menyerah. “O-oke.. Oke..” Setelah
Lena menyarungkan kembali pedangnya, aku tertunduk sambil menghela napas. “Aku tak
akan menyela keinginanmu lagi.”
“Begitulah
seharusnya.” Lena mengangkat dagunya sambil memberikan tatapan yang memicing.
“Lalu, peralatan ksatria seperti apa yang ingin kau gunakan?”
Aku
mengernyitkan dahi sambil menyentuhkan jari telunjuk dan jempol pada dagu.
“Entahlah, mungkin aku boleh melihat-lihat dulu koleksimu.”
Lena
menjulurkan tangannya memberi isyarat untuk mempersilahkan.
Aku
mulai berjalan mengitari isi toko Lena dan melihat-lihat seluruh peralatan
tempur yang ia pajang. Rasanya situasi ini seperti pernah kualami -tentu saja
bukan dalam kehidupan nyata- tapi dalam dunia game RPG dimana saat seperti ini adalah saat yang cukup menentukan
untuk keberlangsungan event
selanjutnya.
“Kalau
boleh tahu, seperti apa gaya bertarungmu? Mungkin aku bisa memberikanmu saran.”
Langkahku
terhenti. ‘Seperti apa gaya bertarungku?’ dalam pikiranku muncul sebuah tanda tanya yang
begitu besar. Selama ini aku bertarung dengan hanya mengandalkan insting tubuh
Enutra dan kekuatan yang diberikan oleh Imaji. Dan aku tak mengerti seperti apa
gaya bertarungku yang sebenarnya.
“Umm..
Gaya bertarungku tidak terlalu spesifik dibandingkan para ksatria lainnya. Tapi
karena ini adalah pertarungan di tengah laut, mungkin dibutuhkan semacam gaya pertarungan
yang lincah dengan tanpa membawa peralatan-peralatan yang terlalu berat.”
gumamku sedikit gugup namun terlihat percaya diri.
Lena
mengangkat alisnya sambil memandangiku. “Begitu ya?”
Aku
menelan ludah berkali-kali. Keringat dingin sedikit demi sedikit mencuat ke
permukaan kulitku. “I-Iya.”
“Baiklah
kalau begitu, akan aku cari perlengkapan yang sesuai denganmu.”
Aku
menghela napas sejenak. Setidaknya yang telah kukatakan tadi tidak membuatnya
curiga. Biar bagaimanapun aku bukan penghuni asli dunia ini.
“Ini
dia! Perlengkapan ksatria yang cocok denganmu!” ucap Lena setelah beberapa saat
memilah-milah perlengkapan yang cocok untukku dengan memasukkannya pada peti
kayu berukuran setengah meter kali satu meter dengan tinggi sekitar tiga puluh
sentimeter.
Aku
membuka peti tersebut perlahan. Terlihat beberapa perlengkapan seperti
pelindung dada ringan terbuat dari bahan semacam metal berwarna perak yang
menyilang dari pundak kiri hingga ke atas perut bagian kanan, kemudian
pelindung pundak yang juga memang sepaket dengan pelindung dada tadi, dan pelat
penahan lengan polos tanpa ornamen berwarna perak yang cukup tebal.
“Ini
semua untukku?” ucapku sambil mencoba-coba peralatan-peralatan tersebut.
“Tentu
saja.” Lena membalas dengan senyuman lebar seperti biasanya. “Oh ya, ada lagi.
Kalau yang ini spesial khusus dariku.” ucapnya lagi sambil memberikan sebuah
jaket semi jubah panjang hitam berkancing yang terbuat dari kulit.
“Waahh..
Keren. Terima kasih ya.”
“Maaf
ya karena hanya itu saja yang bisa kuberikan, semoga bisa meningkatkan statusmu
saat bertarung nanti.”
“Tidak,
ini semua sudah lebih dari cukup.” ucapku sambil melemparkan senyuman padanya.
“Baiklah.
Mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan. Kita akan bertemu dua hari lagi di
pantai Celadoni saat matahari terbit ya.”
“Umm..
Tapi bagaimana dengan imbalan yang sebelumnya kamu katakan?” tanyaku lagi saat
akan melangkah keluar dari tokonya.
“Itu
akan kita bicarakan lagi setelah kau menang nanti.”
“Begitu
ya?” kemudian aku berjalan lagi dan berhenti sejenak tepat di balik pintu
keluar toko milik Lena. “Ngomong-ngomong, terima kasih juga atas supnya ya.
Enak sekali loh!”
“Waaahhh..
Ternyata kamu suka sup katak yang kubuat ya? Nanti akan ku buatkan lagi
untukmu.” teriaknya sambil melambai-lambaikan tangannya.
Dahiku
mengernyit sambil menelan ludah. “Sup katak katanya? Mudah-mudahan tadi aku
salah dengar.” aku pun berlalu
meninggalkan tokonya dan kembali menuju penginapan.
***
Dentingan kecil antar logam terdengar saat aku berpose di dalam kamar
penginapan mengenakan perlengkapan bertempur yang baru saja kudapatkan dari Lena.
“Keren.. Aku jadi terlihat seperti
seorang ksatria sungguhan.” gumamku berseri di hadapan kaca cermin yang
terpasang pada lemari pakaian.
~Tok..
Tok.. Tok..
Terdengar suara ketukan dari balik pintu kamar.
“Tuan? Apakah anda di dalam?” sahut
seorang gadis dari balik pintu.
“Ya, aku di dalam. Masuk saja.
Pintunya tidak dikunci.” balasku mempersilahkan.
“Kalau begitu, permisi.” gadis
tersebut membuka pintunya dan langsung masuk ke dalam kamarku.
Namun
ketika pitu akan terbuka, aku baru menyadari bahwa tak ada gadis lain yang
mengenaliku di penginapan ini selain Vivian dan dapat kupastikan kalau suara
gadis tadi bukanlah suara dari Vivian.
“Tunggu
siapa kamu?!” aku langsung berbalik dan mengarahkan pedang dartmouth eterna-ku
pada arah gadis tersebut masuk.
Namun
yang terjadi justru membuatku terkejut. Pintu kamar terbuka namun tak ada siapa
pun yang berdiri di hadapanku.
“Enutra,
aku di bawah sini.” suara gadis tersebut kembai terdengar.
“Eh?
Seekor burung?” ucapku spontan saat melihat seekor burung hantu coklat yang
berdiri menatapku.
“Ini
aku! Imaji!!” teriak burung tersebut dengan suara gadis yang sebelumnya
kudengar barusan.
Aku
menepuk dahi, “Ya ampun, bikin kaget saja. Kemana saja kau selama ini?”
“Hei..
Setidaknya berilah sambutan yang baik terhadap kawan lamamu ini dong.”
“Kawan
katamu?” aku memberinya tatapan sinis. “Selain itu apa-apaan dengan
penampilanmu itu? Ditambah dengan suara gadis yang belum pernah kudengar.”
“Hehe..
Aku hanya ingin mencoba bermain-main denganmu. Ternyata kau masih belum belajar
untuk selalu fokus terhadap berbagai keadaan ya.” ucap Imaji yang kemudian terbang
ke atas pundakku.
“Terserah
apa katamu. Lalu apa maumu untuk menemuiku lagi?”
“Bukan
hal yang terlalu penting. Aku hanya rindu melihatmu lagi.”
“Hah??”
kata-katanya membuatku jengkel.
“Tapi
keren juga penampilanmu dengan perlengkapan perang itu. Darimana kau
mendapatkannya?”
“Bukan
urusanmu.” aku mendengus dan kemudian menyingkirkan Imaji yang sedang hinggap
di pundak.
“Wah..
Kamu kok jadi semakin sinis seperti itu?” Imaji kemudian terbang dan hinggap di
tempat tidurku.
“Hei!
Itu tempat tidurku! Jangan kau kotori dengan tubuh jorokmu itu!”
Imaji
malah sengaja membaringkan tubuh burung hantunya sambil menghela napas panjang.
“Sudahlah.. Sudahlah.. Sebenarnya aku tahu apa yang kamu lakukan selama ini
kok.”
Lalu
aku mulai melepaskan perlengkapan tempur yang menempel pada tubuhku. “Pasti ada
yang ingin kamu sampaikan kan?”
“Seperti
yang kukatakan tadi, tidak terlalu penting. Tapi..” Imaji memutar tubuhnya
burungnya sambil kembali menghela napas dan menggeliat. “Ummmh.. Nyamannya..”
“Tapi
apa?” tanyaku jengkel.
“Iya..
Tapi ini mungkin bisa menjadi informasi yang cukup berharga untukmu. Besok lusa
kau akan mengikuti event membunuh
monster di tengah laut itu kan?”
Aku
lalu menoleh padanya, “Maksudmu?”
“Tidak
usah banyak tanya. Selama ini aku kan selalu memonitor setiap kondisimu di
dunia ini.” Imaji lalu berdiri di atas tempat tidur sambil menggeliat-geliat.
“Tapi aku minta berhati-hatilah terhadap orang yang telah memberimu
perlengkapan tempur itu.”
Aku
mendengus. “Apa maksudmu dengan berhati-hati? Lena bukanlah orang yang patut
untuk dicurigai!”
“Ya,
itu semua tergantung padamu sih.”
“Tunggu,
apa yang kau maksud bahwa Lena bekerja sama dengan Bangsa Remidi?”
“Tidak..
Di dalam dataku tak ada yang mengatakan bahwa Elena Ambriel adalah salah satu
dari pengikut Bangsa Remidi.”
“Terus
kenapa aku harus berhati-hati terhadapnya? Lagi pula kami hanya berusaha
bekerja sama dan itu menguntungkan bagi kedua belah pihak.”
Imaji
kembali menghela napas panjang untuk ke sekian kalinya. “Kau sama sekali tak
banyak belajar dari dunia ini ya? Biar kujelaskan ya, tak ada satu pun orang
yang benar-benar tulus di dunia ini. Jangan terlalu naif.”
Kata-kata
Imaji tadi cukup membuatku berpikir panjang. “Aku tak peduli dengan
peringatanmu. Yang jelas aku akan mengikuti event
tersebut dan memenangkannya.”
Imaji
lalu terbang ke dekat jendala dan membukanya dengan paruh kecilnya. “Ya sudah.
Yang penting aku sudah memperingatkanmu. Seperti yang kubilang sebelumnya, itu
semua tergantung padamu.” ucapnya sambil mencoba mengepakkan sayapnya untuk
terbang. “Oh ya, Vivian sebentar lagi akan menuju kemari. Kalau begitu aku
pergi lagi ya.”
“Hei!
Tunggu!” teriakku sambil berlari mencoba untuk menggapai imaji. “Sial! Dia
kabur lagi.”
Tanganku
mengepal keras sambil mengerat-eratkan gigi. ‘Makhluk itu lagi-lagi mencoba
untuk mempermainkanku!’ ucapku geram di dalam hati. Setelah itu aku berbalik
dan bergegas menuju pintu kamar.
Sebelumnya
Imaji mengatakan bahwa Vivian akan segera kemari. Ada perasaan yang tak tentu
saat tanganku menyentuh gagang pintu. Aku masih belum melupakan kejadian tadi
pagi. Entah Vivian marah atau tidak kepadaku, yang jelas sikapku padanya
menjadi kembali bahkan lebih canggung dari sebelumnya.
Aku
membuka pintu kamar. Benar saja dengan apa yang dikatakan oleh Imaji, Vivian
sudah berada di hadapan pintu dengan ekspresi wajah yang kaget sambil mencoba
untuk mengetuk pintu. Wajahnya semakin memerah saat aku menatap mata sayunya.
Kepalanya
kembali menunduk, “Ummh.. E-Enutra, ma-mari kita makan siang bersama.” ucap
Vivian terbata-bata.
Aku
terdiam sesaat. “Ba-baik Tuan Putri.”
“Vivian!”
ucapnya sedikit keras. “Bukankah sudah kukatakan untuk tidak lagi memanggilku
dengan kata-kata tuan putri.” ucapnya lagi melemah.
Aku
mengangguk kecil. “Viv-Vivian.. Kalau begitu mari kita makan siang bersama.”
Lagi-lagi
aku dikejutkan dengan perubahan sikapnya yang begitu drastis dibandingkan tadi
pagi. Namun setidaknya dengan begini aku akan kembali mengakrabkan diri
dengannya. Tak akan ada lagi perasaan canggung bila akhirnya kami bisa
memulainya dengan makan siang bersama seperti ini. Vivian, kau memang gadis
yang penuh dengan misteri.
***
[1] Merupakan singkatan dari komando pasukan khusus
yang menjadi bagian dari Komando Utama (KOTAMA) tempur milik TNI Angkatan Darat
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar