CHAPTER 34 - PANTAI
Sinar
mentari pagi perlahan menembus melewati celah-celah dinding, memberi kehangatan
nyaman selepas dinginnya udara malam. Beberapa kicauan merdu para burung pun mengalun
seolah mengiringi riuh keramaian manusia yang mulai terdengar di luar sana. Aku
membuka mata menatap sekitar dan sejenak terduduk di atas ranjang busa sederhana
berukuran satu kali dua meter.
“Huft..
Aku masih berada di dunia antah berantah ini.” gumamku mengawali hari pada
sebuah kamar penginapan sederhana di pinggiran kota Celadoni. Setiap pagi
selalu berharap untuk terbangun di kamarku sendiri. Di sebuah dunia dimana semua
kenangan bersama keluarga dan teman-temanku berada. Meski kadang ingatan itu
semakin samar seiring dengan berlalunya hari.
Entah
sudah berapa lama akhirnya aku bisa tertidur nyenyak setelah beberapa hari
mengalami berbagai kejadian yang melelahkan tanpa henti, di sebuah penginapan
yang bangunannya tidak jauh berbeda dengan penginapan-penginapan lain yang
pernah kulalui di dunia ini. Seperti bangunan gaya eropa abad pertengahan,
berdinding kayu dengan denah persegi panjang dua lantai yang beberapa
ruangannya terdiri dari lima buah kamar dengan dua kamar VIP[1]
di antaranya, dua buah kamar mandi umum, dan satu ruang aula di bagian depan
bangunan. Letaknya berada di pojokan persimpangan jalan di dekat perbatasan
kota, memperlihatkan bentuk balok bangunan dengan banyaknya jendela di
sisi-sisinya. Meski terlihat besar, namun baik desain luar maupun interior masih
lebih sederhana tanpa menyajikan bentuk arsitektur yang mewah seperti ukiran
atau hiasan-hiasan arsitektur barok[2].
Jika
bukan karena bersama dengan Vivian, entah bagaimana caraku singgah di kota
pelabuhan yang cukup besar ini. Untungnya ia masih dihormati dan semua warga di
kota ini pun mengenalnya dengan sangat baik. Awalnya ia sempat menyamarkan diri
dengan memasangkan tudung dari kain coklat yang kami temukan di dalam tas pada
kuda jantan hitam Mikoto saat akan memasuki kota. Ia sadar, keberadaannya akan
menimbulkan keramaian hebat bila diketahui oleh masyarakat Kota Celadoni. Sangat
berbahaya mengingat masih banyaknya musuh yang mengejar berusaha untuk
mencelakakannya. Namun sayang hingga saat ini tidak ada sepeser pun uang yang kami
miliki, tentu saja dengan keadaan tersebut cukup menyulitkan kami untuk singgah
di penginapan manapun. Satu-satunya cara hanya dengan membuka sementara kedok
penyamaran Vivian.
Semalam
Vivian akhirnya membuka penyamarannya pada salah satu pemilik penginapan yang
ia kenal dengan membuat janji untuk merahasiakan keberadaannya dari siapapun. Cukup
riskan, namun hanya itu satu-satunya cara agar kami dapat berlindung dari
kejaran musuh. Setelah itu ia juga berjanji pada sang pemilik penginapan untuk mengganti
seluruh biaya penginapan tersebut bila masalah di kerajaan telah terselesaikan.
Tentu saja sang pemilik penginapan langsung menerimanya tanpa mempermasalahkan
mengenai penggantian biaya tersebut. Dengan datangnya sang putri pun sudah
merupakan suatu kehormatan baginya. Setelah itu Vivian mendapatkan kamar
terbaik di penginapan tersebut. Sedangkan aku, setidaknya sebuah kamar dengan
tempat tidur apa adanya sudah lebih dari cukup untukku meski sebenarnya sempat
ditawarkan Vivian untuk mendapatkan kamar yang lebih baik. Aku merasa tak enak
pada si pemilik penginapan.
Aku
berjalan menuju jendela kamar berukuran satu setengah kali dua meter dengan dua
daun jendela yang masing-masing dapat dibuka dengan ayunan berlawanan ke
samping, kemudian aku membuka kedua daunnya.
Terhirup udara segar pagi hari disertai silauan sinar matahari yang sudah
semakin meninggi dari ujung ufuk timur bumi. “Kelihatannya sudah semakin siang.”
gumamku lagi sambil memperhatikan langit pagi yang masih bersih dari awan.
Tak
banyak yang bisa ku perhatikan dari jendela kamar penginapan ini. Hanya
terdapat beberapa bangunan lainnya dengan bentuk yang hampir identik; mungkin bangunan
penginapan juga, jalanan berlapis conblock[3]
segi empat abu-abu yang kemudian menyabang saling bersimpangan tepat di samping
pintu masuk penginapan, dan jejeran pohon merbau yang berbaris rapi di
pinggiran jalannya. Memang tempat ini lebih indah daripada tempat tinggalku
dulu di Bandung, tapi masih belum membuatku nyaman. Entah mungkin karena
adaptasiku yang masih kurang nyaman dengan keadaan ini.
Wajahku
seketika memerah saat tak sengaja memerhatikan sepasang burung pipit yang
saling mengejar dan seolah bercumbu satu sama lain di hadapanku. Terbayang
kejadian mengejutkan kemarin yang berhasil membuatku kehilangan akal sehat. Ketika
Vivian tanpa ragu menciumku dengan tiba-tiba.
Jariku
menyentuh kedua bibir kering yang masih belum terbasahi oleh minuman manapun. Terbayang
jelas sentuhan lembut bibir halus Vivian disertai napas hangat yang berhembus pelan
melewati wajahku. Meski hanya terjadi beberapa saat, kejadian itu seolah telah
mempengaruhi seluruh akal sehatku. Ditambah itu adalah ciuman pertamaku yang
menurut sebagian orang adalah sesuatu yang sakral untuk dilalui.
Sempat
terbesitkan hal-hal aneh ketika membayangkannya. Mungkinkah Vivian hanya
mencoba untuk menenangkanku? Mungkinkah di negara ini ‘ciuman’ adalah hal yang
lumrah dilakukan oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun? Mungkin pula ia
memang sudah terbiasa melakukan hal tersebut dengan siapa pun? Atau mungkin, ia
memang benar-benar telah jatuh cinta padaku?
Wajahku
semakin memerah membayangkan hal-hal tersebut. ‘Rasanya tidak mungkin’ pikirku.
Tak berhenti aku tersenyum sambil menutupi wajah dengan telapak tangan kiri
sementara tangan kananku dengan segera menutupi kembali kedua daun jendela
kamar. Tak kusangka tingkahku dapat menjadi seaneh ini membayangkan hal-hal
yang belum tentu benar.
“Sudahlah,
sebaiknya aku segera mandi dan mencarikan sarapan untukku dan Vivian.” gumamku
lagi sambil bergegas menuju pintu keluar kamar.
Penginapan
ini tidak seperti hotel-hotel di duniaku dulu. Tidak terdapat kamar mandi di
dalam kamar sehingga bila para pengunjung ingin mandi atau hal lain yang
berhubungan dengan kamar mandi dan toilet, maka mereka diharuskan keluar menuju
kamar mandi yang mungkin lebih tepat disebut sebagai tempat pemandian umum yang
terletak di lantai satu penginapan. Kecuali dua kamar VIP yang kini salah
satunya ditempati oleh Vivian.
Pintu
kamar pun terbuka dengan sedikit tarikan dari tangan kananku sambil mengeluarkan
suara mencicit akibat gesekan antar engsel yang sedikit berkarat. Namun
seketika bola mataku menangkap objek seseorang yang terlihat sudah tak asing
lagi berdiri di hadapanku. Gerakanku sontak terhenti dengan mulut yang sedikit
ternganga.
“Viv..
Vivian??” ucapku spontan.
Vivian
berdiri tepat di depan pintu kamarku sambil menunduk. Nampak terlihat rona
wajah yang memerah dari telinganya.
“Aku
mohon.” ucapnya pelan sambil masih menundukkan kepala tanpa melihatku. “Tolong
lupakan kejadian memalukan kemarin.” suaranya agak bergetar.
Aku
masih terdiam karena perasaan kaget disertai kebingungan akan sikapnya yang
tiba-tiba berubah. Kupikir setelah kejadian kemarin, kami akan semakin akrab.
Bahkan sebelumnya ia pun memintaku untuk memanggilnya dengan nama depan.
“Pokoknya
tolong lupakan kejadian kemarin.” ucapnya lagi yang kemudian berbalik tanpa
menoleh lalu berlari kecil menuju kamarnya.
‘Ada
apa dengannya?’ pikirku. Lalu jari telunjukku ditempelkan pada bibir. Apa
mungkin ia juga teringat akan ciuman kemarin? Segera kututup pintu kamar. Setelah
apa yang terjadi barusan, aku tak tahu bagaimana sikapku jika berhadapan
dengannya lagi? Wanita memang benar-benar makhluk yang misterius.
***
Cukup
segar rasanya setelah mandi meskipun baru pertama kalinya bagiku mandi bersama
orang lain pada sebuah pemandian umum. Agak memalukan, namun perasaan santai dan
nyaman dari air hangat yang jernih telah menenangkan pikiranku. Setidaknya aku
bisa melupakan sejenak kejadian membingungkan tadi pagi.
Aku
berjalan mengitari sisi Kota Celadoni. Daerah ini jauh lebih sepi dibandingkan dengan
area-area di sekitar penginapan karena jalan ini memang berada di pinggiran
kota yang bersebelahan langsung dengan hutan lebat. Menurut yang kuketahui dari
penduduk sekitar, ujung jalan ini akan berakhir menuju pesisir pantai di ujung
timur Kota Celadoni.
Sebenarnya
jalan yang kulalui ini jauh lebih panjang daripada melewati jalan yang berada
di tengah kota untuk menuju pesisir pantai. Bukan maksudku untuk menghindari
para penduduk, namun rasa lapar sudah mulai menggaruk-garuk isi di dalam
perutku. Tujuanku hanya satu, memburu makanan yang bisa ditemukan di area hutan
ini karena tak ada sepeser pun uang yang kumiliki untuk membeli makanan di
kedai-kedai kota.
Namun
sepanjang perjalanan yang bisa kutemukan hanyalah buah-buahan yang aku sendiri
tak tahu nama ataupun jenisnya. Binatang buruan pun tak bisa kudapatkan meski
sempat kutemui satu dua kelinci dan rusa yang lewat di dalam hutan. ‘Sungguh aku
tak tega untuk memburu mereka’ ucapku dalam hati sambil menunduk ketika
meninggalkan hewan-hewan tersebut.
Hingga
akhirnya tanpa sadar langkahku terhenti di penghujung jalan. Tepatnya di
pesisir pantai dengan deburan ombak yang cukup besar. Jauh lebih indah dan
bersih dari pada pesisir-pesisir pantai yang pernah kulalui di duniaku dulu. Tanpa
ada sampah dan manusia yang berlalu-lalang. Hanya terdapat beberapa
perahu-perahu kayu kecil dengan beberapa nelayan yang baru saja kembali dari
laut lepas. Ingin rasanya kuperlihatkan pemandangan indah ini pada Vivian.
Bicara
tentang Vivian, akhirnya aku meninggalkannya di kamar penginapan meski sebelumnya
sempat kuajak bicara dari balik pintu. Ia hanya menjawab sekenanya. Dari suaranya
yang agak bergetar seolah ada nada sungkan untuk berbicara denganku. Sepertinya
ia masih mengingat kejadian mengejutkan kemarin hingga mungkin hal tersebut
telah membuatnya menyesal. Entahlah. Tapi untungnya karena dia adalah seorang
putri dan pemilik penginapan sangat menghormatinya, ia akan dijamu dengan
sebaik-baiknya oleh sang pemilik penginapan. Itu sudah dipastikan olehku saat
berpapasan dengan beliau.
“Hey!
Kamu!” terdengar teriakan seorang gadis memanggilku dari jarak yang cukup jauh
di ujung barat pantai.
Aku
menoleh dan mencari-cari gadis yang telah memanggilku tadi. Setelah beberapa
saat, akhirnya kutemukan seorang gadis muda yang melambai-lambaikan tangannya
padaku. Tak terlalu jelas seperti apa penampilannya karena jarak yang cukup
jauh.
“Aku?”
jawabku sambil menempelkan telapak tangan kanan pada dadaku.
“Iya,
kamu!” teriaknya lagi setelah menjawab pertanyaanku.
Perlahan
aku menghampirinya. Ada sedikit rasa curiga saat mendengarnya meminta
bantuanku. Rasa trauma akibat tipu daya Vanator telah membuatku lebih waswas
dari sebelumnya. Aku tak mau jika kejadian yang sama terulang kembali di saat
keadaanku yang lemah seperti ini.
“Apa
yang kamu inginkan?” teriakku sambil berjalan untuk memastikan.
“Tolong
kemari saja dulu. Nanti akan kujelaskan.” teriaknya lagi menjawab pertanyaanku.
Saat
berjalan, mataku dengan awas melihat ke kiri dan kanan memastikan bahwa keadaan
aman tanpa adanya sesuatu yang mencurigakan. Pedang Dartmouth Eterna yang sejak
tadi kubawa pun mulai kugenggam erat gagangnya untuk berjaga bila terjadi
serangan mendadak dari para penjahat yang bersembunyi.
Akhirnya
aku berhenti tepat di hadapannya. Ia memasang pose bertolak pinggang dengan
satu tangannya sambil tersenyum. Dengan seksama kuperhatikan gadis tersebut
dari ujung kepala hingga kakinya. Sepertinya tak terlihat hal-hal yang mencurigakan
darinya.
Gadis
tersebut mungkin umurnya tak jauh berbeda dariku. Ketika kuhampiri, wajahnya
berseri-seri dengan senyuman yang manis. ‘Cantik’ terbesit kata tersebut dari
dalam pikiranku. Kulitnya putih berona kemerahan seperti gadis bangsa eropa dengan
beberapa bintik merah di sekitar hidungnya. Rambutnya merah panjang dengan
kepangan besar ke belakang dan diujungnya diberi pita biru seperti bentuk
kupu-kupu. Sekilas dari penampilannya, mungkin ia adalah seorang gadis yang
tomboy. Ia mengenakan jaket oranye mini dengan lengan yang digulung hingga
sikut, tak dikancingi, hanya sedikit melindungi area dadanya yang ditutupi oleh
kaos hitam ketat, dan celana panjang ‘mirip denim[4]’
coklat kucal yang membungkus kaki rampingnya yang kemudian ditutupi oleh sepatu
semi boots coklat bertali.
“Hey..
Ngapain kamu lihat-lihat badanku
seperti itu??” ucapnya sambil menyilangkan kedua tangan menutupi dadanya.
“Jangan-jangan kamu laki-laki cabul ya??”
Dahiku
mengernyit. Menunduk sambil mengusap dan menjabak rambutku. Rasanya sudah
terbiasa bagiku untuk dicap sebagai seorang lelaki mesum.
“Huft..
Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku hanya berusaha waspada karena akhir-akhir
ini sudah terlalu banyak kejadian buruk yang telah menimpaku.” ujarku
menjelaskan.
“Baik.
Tidak apa-apa. Aku hanya bercanda kok.” jawabnya lagi sambil tersenyum.
“Lagipula wajar bagimu untuk bersikap seperti itu pada seseorang yang tidak
dikenal.”
Aku
kembali menatapnya dengan menampakkan ekspresi wajah tak peduli. “Lalu apa
maumu hingga memanggilku dari kejauhan tadi?”
“Oh
ya, maaf. Aku belum mengenalkan diri.” ucapnya sambil mengulurkan telapak
tangannya padaku. “Namaku Elena Ambriel, panggil saja aku Lena. Salam kenal.”
Aku
pun membalas jabatan tangannya. “Aku Enutra, salam kenal juga.”
“Enutra?
Rasanya aku pernah mendengarnya.” jari telunjuk ditempelkan pada dagunya yang imut.
“Tapi ya sudahlah. Itu tidak penting. Yang terpenting adalah sekarang aku
benar-benar membutuhkan bantuanmu.”
Mataku
memicing. “Bantuan macam apa yang kamu inginkan?”
“Aku
ingin kamu membantuku untuk melawan monster di tengah laut sana.” ucapnya
ringan sambil tersenyum menunjuk ke tengah laut.
Aku
terperanjat. “Eh?? Yang benar saja?? Di tengah laut??”
“Kenapa?
Kupikir kamu adalah seorang ksatria, karena daritadi kulihat kau berjalan-jalan
sambil membawa pedang.”
“Iyaa..
Tapi biarpun aku adalah seorang ksatria, kalau melawan monster sendirian ya
tidak mungkin bisa semudah itu.” jelasku, “Apalagi monster tersebut berada di
tengah laut!”
“Jadi
begitu ya?” ucap Lena sambil menunduk terlihat kecewa. “Padahal imbalannya
cukup besar loh.”
“Eh?
Imbalan?” ucapku spontan setelah mendengar perkataanya. “Imbalan apa itu?”
Sekilas
kuperhatikan Lena kembali tersenyum, “Iya, imbalannya berupa seribu keping
emas!” ujarnya setengah berteriak.
“Seribu
keping emas??” kakiku bergerak satu langkah ke belakang karena efek terkejut. Namun
setelah itu aku kembali memasang mimik wajah serius. “Eh, tunggu tapi ini
sangat mencurigakan.”
Gadis
tersebut memiringkan kepalanya. “Mencurigakan apanya?”
“Iya,
soalnya dengan hadiah sebesar itu berarti monster yang kulawan sangatlah kuat.”
“Betul..
Betul.. Terus?”
“Lah
kok terus?” ucapku lagi setengah marah. “Coba liat keadaanku saat ini! Aku sama
sekali tidak memiliki tameng maupun pakaian berat apapun. Bahkan tubuhku pun
tidak lebih berotot dibanding para ksatria kebanyakan.”
“Iya
sih, tapi memangnya kenapa kalau begitu?”
“Terus
kenapa kamu meminta aku untuk melawan monster seperti itu? Terlebih lagi kau
memintanya di tempat sepi seperti ini lagi. Memang apa untungnya untukmu?”
“Woohoo..
Tenang.. Tenang..” ucapnya cengengesan.
“Justru karena keadaanmu itulah aku mengharapkan bantuan darimu.”
Mataku
kembali memicing. “Apa maksudmu?”
“Jujur
sebenarnya aku sudah memerhatikanmu sejak di perbatasan kota. Saat kamu
menanyakan arah jalan yang barusan kau tempuh pada salah seorang penduduk
kota.” ucap gadis berambut merah tersebut bersemangat, “Pada saat itu aku yakin
bahwa kau kelihatannya bukan seorang petualang biasa. Makanya dengan sengaja
aku menyusulmu menuju pantai ini lewat jalur tengah kota. Kau pasti adalah
ksatria yang cukup hebat karena tak mungkin petualang biasa bisa membawa pedang
sebagus itu.” ucapnya lagi sambil menunjuk pada pedang Dartmouth Eterna yang
terikat di pinggangku.
Aku
memandang pedang yang ia tunjuk dan kemudian memandang Lena kembali, “Iya, tapi
perlengkapanku yang lain?” kemudian aku menarik napas sejenak. “Kau hanya
bermain-main denganku saja kan?”
“Nah
itu dia!” ujarnya bersemangat sambil memegang kedua lenganku. Wajahku sedikit
memerah karena sikapnya. “Aku membutuhkan bantuanmu untuk bekerja sama
denganku!”
“Be..
Bekerja sama?” tanyaku dengan nada yang gugup.
“Ada
apa denganmu? Apa kamu sakit? Wajahmu begitu merah.” Lena terlihat kebingungan.
Lalu ia menunduk melihat kedua tangannya yang sedang menggenggam tanganku.
Wajahnya tiba-tiba ikut memerah sambil setengah berteriak. “Waaa.. Maaf..
Maafkan aku.”
Sempat
terdiam setelah melihat sikapnya polos namun penuh semangat.
“Ti-tidak
apa-apa.” ucapku masih tergagap. “Jadi bekerja sama ya? Bekerja sama bagaimana
maksudnya?”
Lena
melebarkan senyumnya hingga nampak jejeran giginya yang putih bersih dan rapi.
“Hehehe.. Ayo ikut saja ke rumahku!”
“Eehh???
Kita kan baru saja bertemu dan kau sudah ingin mengajakku ke rumahmu??”
“Memang
tidak boleh ya?”
“Bukannya
tidak boleh tapi-..”
~Krriiuuuuukkkk...
Terdengar
suara keras dari dalam perutku. Wajahku seketika memerah.
“Tapi
kamu lapar kan?” ujar Lena menyambung perkataanku dengan nada mengejek. “Ayolah
ikut saja denganku. Nanti akan kusiapkan makanan untukmu.”
“Baiklah.”
ucapku pasrah. “Tapi aku tak bisa lama-lama. Temanku sedang menunggu di
penginapan.”
“Siaaappp..
Sebentar saja kok. Nanti akan kujelaskan semuanya di rumah ya.”
Akhirnya
dengan terpaksa aku mengikutinya hingga ke rumahnya. Entah apa yang ia maksud
dengan bekerja sama. Mungkin saja dia juga membutuhkan imbalan dari membunuh
monster yang sebelumnya ia bicarakan. Memang siapa juga yang tidak menginginkan
hadiah sebanyak itu. Entahlah. Semoga saja ini bukanlah jebakan dan tipu daya
seperti yang pernah dilakukan oleh para kelompok Vanator sebelumnya.
***
[2] Pengembangan dari seni arsitektur gotik eropa. Dalam arsitektur Barok, penekanan ditempatkan pada tiang, kubah,
cahaya-dan-bayangan (chiaroscuro), efek pewarnaan 'painterly', dan permainan
antara ruang isi dan kosong. Pada bagian dalam ruangan (interior) Barok, ruang
kosong menandakan adanya tangga monumental, berbeda dari arsitektur terdahulu.
[3] Adalah suatu komposisi
berbentuk segmen-segmen kecil yang terbuat dari beton dengan bentuk segi empat
atau segi banyak yang dipasang sedemikian rupa sehingga saling mengunci.
[4] Denim merupakan material kain kokoh yang terbuat
dari kain katun twill sebagai bahan pembuat jeans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar