31 Mei 2015

DUNIA SEMU #34


CHAPTER 34 - PANTAI

            Sinar mentari pagi perlahan menembus melewati celah-celah dinding, memberi kehangatan nyaman selepas dinginnya udara malam. Beberapa kicauan merdu para burung pun mengalun seolah mengiringi riuh keramaian manusia yang mulai terdengar di luar sana. Aku membuka mata menatap sekitar dan sejenak terduduk di atas ranjang busa sederhana berukuran satu kali dua meter.
            “Huft.. Aku masih berada di dunia antah berantah ini.” gumamku mengawali hari pada sebuah kamar penginapan sederhana di pinggiran kota Celadoni. Setiap pagi selalu berharap untuk terbangun di kamarku sendiri. Di sebuah dunia dimana semua kenangan bersama keluarga dan teman-temanku berada. Meski kadang ingatan itu semakin samar seiring dengan berlalunya hari.

            Entah sudah berapa lama akhirnya aku bisa tertidur nyenyak setelah beberapa hari mengalami berbagai kejadian yang melelahkan tanpa henti, di sebuah penginapan yang bangunannya tidak jauh berbeda dengan penginapan-penginapan lain yang pernah kulalui di dunia ini. Seperti bangunan gaya eropa abad pertengahan, berdinding kayu dengan denah persegi panjang dua lantai yang beberapa ruangannya terdiri dari lima buah kamar dengan dua kamar VIP[1] di antaranya, dua buah kamar mandi umum, dan satu ruang aula di bagian depan bangunan. Letaknya berada di pojokan persimpangan jalan di dekat perbatasan kota, memperlihatkan bentuk balok bangunan dengan banyaknya jendela di sisi-sisinya. Meski terlihat besar, namun baik desain luar maupun interior masih lebih sederhana tanpa menyajikan bentuk arsitektur yang mewah seperti ukiran atau hiasan-hiasan arsitektur barok[2].
            Jika bukan karena bersama dengan Vivian, entah bagaimana caraku singgah di kota pelabuhan yang cukup besar ini. Untungnya ia masih dihormati dan semua warga di kota ini pun mengenalnya dengan sangat baik. Awalnya ia sempat menyamarkan diri dengan memasangkan tudung dari kain coklat yang kami temukan di dalam tas pada kuda jantan hitam Mikoto saat akan memasuki kota. Ia sadar, keberadaannya akan menimbulkan keramaian hebat bila diketahui oleh masyarakat Kota Celadoni. Sangat berbahaya mengingat masih banyaknya musuh yang mengejar berusaha untuk mencelakakannya. Namun sayang hingga saat ini tidak ada sepeser pun uang yang kami miliki, tentu saja dengan keadaan tersebut cukup menyulitkan kami untuk singgah di penginapan manapun. Satu-satunya cara hanya dengan membuka sementara kedok penyamaran Vivian.
            Semalam Vivian akhirnya membuka penyamarannya pada salah satu pemilik penginapan yang ia kenal dengan membuat janji untuk merahasiakan keberadaannya dari siapapun. Cukup riskan, namun hanya itu satu-satunya cara agar kami dapat berlindung dari kejaran musuh. Setelah itu ia juga berjanji pada sang pemilik penginapan untuk mengganti seluruh biaya penginapan tersebut bila masalah di kerajaan telah terselesaikan. Tentu saja sang pemilik penginapan langsung menerimanya tanpa mempermasalahkan mengenai penggantian biaya tersebut. Dengan datangnya sang putri pun sudah merupakan suatu kehormatan baginya. Setelah itu Vivian mendapatkan kamar terbaik di penginapan tersebut. Sedangkan aku, setidaknya sebuah kamar dengan tempat tidur apa adanya sudah lebih dari cukup untukku meski sebenarnya sempat ditawarkan Vivian untuk mendapatkan kamar yang lebih baik. Aku merasa tak enak pada si pemilik penginapan.
            Aku berjalan menuju jendela kamar berukuran satu setengah kali dua meter dengan dua daun jendela yang masing-masing dapat dibuka dengan ayunan berlawanan ke samping, kemudian aku  membuka kedua daunnya. Terhirup udara segar pagi hari disertai silauan sinar matahari yang sudah semakin meninggi dari ujung ufuk timur bumi. “Kelihatannya sudah semakin siang.” gumamku lagi sambil memperhatikan langit pagi yang masih bersih dari awan.
            Tak banyak yang bisa ku perhatikan dari jendela kamar penginapan ini. Hanya terdapat beberapa bangunan lainnya dengan bentuk yang hampir identik; mungkin bangunan penginapan juga, jalanan berlapis conblock[3] segi empat abu-abu yang kemudian menyabang saling bersimpangan tepat di samping pintu masuk penginapan, dan jejeran pohon merbau yang berbaris rapi di pinggiran jalannya. Memang tempat ini lebih indah daripada tempat tinggalku dulu di Bandung, tapi masih belum membuatku nyaman. Entah mungkin karena adaptasiku yang masih kurang nyaman dengan keadaan ini.
            Wajahku seketika memerah saat tak sengaja memerhatikan sepasang burung pipit yang saling mengejar dan seolah bercumbu satu sama lain di hadapanku. Terbayang kejadian mengejutkan kemarin yang berhasil membuatku kehilangan akal sehat. Ketika Vivian tanpa ragu menciumku dengan tiba-tiba.
            Jariku menyentuh kedua bibir kering yang masih belum terbasahi oleh minuman manapun. Terbayang jelas sentuhan lembut bibir halus Vivian disertai napas hangat yang berhembus pelan melewati wajahku. Meski hanya terjadi beberapa saat, kejadian itu seolah telah mempengaruhi seluruh akal sehatku. Ditambah itu adalah ciuman pertamaku yang menurut sebagian orang adalah sesuatu yang sakral untuk dilalui.
            Sempat terbesitkan hal-hal aneh ketika membayangkannya. Mungkinkah Vivian hanya mencoba untuk menenangkanku? Mungkinkah di negara ini ‘ciuman’ adalah hal yang lumrah dilakukan oleh siapa pun dan dalam keadaan apa pun? Mungkin pula ia memang sudah terbiasa melakukan hal tersebut dengan siapa pun? Atau mungkin, ia memang benar-benar telah jatuh cinta padaku?
            Wajahku semakin memerah membayangkan hal-hal tersebut. ‘Rasanya tidak mungkin’ pikirku. Tak berhenti aku tersenyum sambil menutupi wajah dengan telapak tangan kiri sementara tangan kananku dengan segera menutupi kembali kedua daun jendela kamar. Tak kusangka tingkahku dapat menjadi seaneh ini membayangkan hal-hal yang belum tentu benar.
            “Sudahlah, sebaiknya aku segera mandi dan mencarikan sarapan untukku dan Vivian.” gumamku lagi sambil bergegas menuju pintu keluar kamar.
            Penginapan ini tidak seperti hotel-hotel di duniaku dulu. Tidak terdapat kamar mandi di dalam kamar sehingga bila para pengunjung ingin mandi atau hal lain yang berhubungan dengan kamar mandi dan toilet, maka mereka diharuskan keluar menuju kamar mandi yang mungkin lebih tepat disebut sebagai tempat pemandian umum yang terletak di lantai satu penginapan. Kecuali dua kamar VIP yang kini salah satunya ditempati oleh Vivian.
            Pintu kamar pun terbuka dengan sedikit tarikan dari tangan kananku sambil mengeluarkan suara mencicit akibat gesekan antar engsel yang sedikit berkarat. Namun seketika bola mataku menangkap objek seseorang yang terlihat sudah tak asing lagi berdiri di hadapanku. Gerakanku sontak terhenti dengan mulut yang sedikit ternganga.
            “Viv.. Vivian??” ucapku spontan.
            Vivian berdiri tepat di depan pintu kamarku sambil menunduk. Nampak terlihat rona wajah yang memerah dari telinganya.
            “Aku mohon.” ucapnya pelan sambil masih menundukkan kepala tanpa melihatku. “Tolong lupakan kejadian memalukan kemarin.” suaranya agak bergetar.
            Aku masih terdiam karena perasaan kaget disertai kebingungan akan sikapnya yang tiba-tiba berubah. Kupikir setelah kejadian kemarin, kami akan semakin akrab. Bahkan sebelumnya ia pun memintaku untuk memanggilnya dengan nama depan.
            “Pokoknya tolong lupakan kejadian kemarin.” ucapnya lagi yang kemudian berbalik tanpa menoleh lalu berlari kecil menuju kamarnya.
            ‘Ada apa dengannya?’ pikirku. Lalu jari telunjukku ditempelkan pada bibir. Apa mungkin ia juga teringat akan ciuman kemarin? Segera kututup pintu kamar. Setelah apa yang terjadi barusan, aku tak tahu bagaimana sikapku jika berhadapan dengannya lagi? Wanita memang benar-benar makhluk yang misterius.
***

            Cukup segar rasanya setelah mandi meskipun baru pertama kalinya bagiku mandi bersama orang lain pada sebuah pemandian umum. Agak memalukan, namun perasaan santai dan nyaman dari air hangat yang jernih telah menenangkan pikiranku. Setidaknya aku bisa melupakan sejenak kejadian membingungkan tadi pagi.
            Aku berjalan mengitari sisi Kota Celadoni. Daerah ini jauh lebih sepi dibandingkan dengan area-area di sekitar penginapan karena jalan ini memang berada di pinggiran kota yang bersebelahan langsung dengan hutan lebat. Menurut yang kuketahui dari penduduk sekitar, ujung jalan ini akan berakhir menuju pesisir pantai di ujung timur Kota Celadoni.
            Sebenarnya jalan yang kulalui ini jauh lebih panjang daripada melewati jalan yang berada di tengah kota untuk menuju pesisir pantai. Bukan maksudku untuk menghindari para penduduk, namun rasa lapar sudah mulai menggaruk-garuk isi di dalam perutku. Tujuanku hanya satu, memburu makanan yang bisa ditemukan di area hutan ini karena tak ada sepeser pun uang yang kumiliki untuk membeli makanan di kedai-kedai kota.
            Namun sepanjang perjalanan yang bisa kutemukan hanyalah buah-buahan yang aku sendiri tak tahu nama ataupun jenisnya. Binatang buruan pun tak bisa kudapatkan meski sempat kutemui satu dua kelinci dan rusa yang lewat di dalam hutan. ‘Sungguh aku tak tega untuk memburu mereka’ ucapku dalam hati sambil menunduk ketika meninggalkan hewan-hewan tersebut.
            Hingga akhirnya tanpa sadar langkahku terhenti di penghujung jalan. Tepatnya di pesisir pantai dengan deburan ombak yang cukup besar. Jauh lebih indah dan bersih dari pada pesisir-pesisir pantai yang pernah kulalui di duniaku dulu. Tanpa ada sampah dan manusia yang berlalu-lalang. Hanya terdapat beberapa perahu-perahu kayu kecil dengan beberapa nelayan yang baru saja kembali dari laut lepas. Ingin rasanya kuperlihatkan pemandangan indah ini pada Vivian.
            Bicara tentang Vivian, akhirnya aku meninggalkannya di kamar penginapan meski sebelumnya sempat kuajak bicara dari balik pintu. Ia hanya menjawab sekenanya. Dari suaranya yang agak bergetar seolah ada nada sungkan untuk berbicara denganku. Sepertinya ia masih mengingat kejadian mengejutkan kemarin hingga mungkin hal tersebut telah membuatnya menyesal. Entahlah. Tapi untungnya karena dia adalah seorang putri dan pemilik penginapan sangat menghormatinya, ia akan dijamu dengan sebaik-baiknya oleh sang pemilik penginapan. Itu sudah dipastikan olehku saat berpapasan dengan beliau.
            “Hey! Kamu!” terdengar teriakan seorang gadis memanggilku dari jarak yang cukup jauh di ujung barat pantai.
            Aku menoleh dan mencari-cari gadis yang telah memanggilku tadi. Setelah beberapa saat, akhirnya kutemukan seorang gadis muda yang melambai-lambaikan tangannya padaku. Tak terlalu jelas seperti apa penampilannya karena jarak yang cukup jauh.
            “Aku?” jawabku sambil menempelkan telapak tangan kanan pada dadaku.
            “Iya, kamu!” teriaknya lagi setelah menjawab pertanyaanku.
            Perlahan aku menghampirinya. Ada sedikit rasa curiga saat mendengarnya meminta bantuanku. Rasa trauma akibat tipu daya Vanator telah membuatku lebih waswas dari sebelumnya. Aku tak mau jika kejadian yang sama terulang kembali di saat keadaanku yang lemah seperti ini.
            “Apa yang kamu inginkan?” teriakku sambil berjalan untuk memastikan.
            “Tolong kemari saja dulu. Nanti akan kujelaskan.” teriaknya lagi menjawab pertanyaanku.
            Saat berjalan, mataku dengan awas melihat ke kiri dan kanan memastikan bahwa keadaan aman tanpa adanya sesuatu yang mencurigakan. Pedang Dartmouth Eterna yang sejak tadi kubawa pun mulai kugenggam erat gagangnya untuk berjaga bila terjadi serangan mendadak dari para penjahat yang bersembunyi.
            Akhirnya aku berhenti tepat di hadapannya. Ia memasang pose bertolak pinggang dengan satu tangannya sambil tersenyum. Dengan seksama kuperhatikan gadis tersebut dari ujung kepala hingga kakinya. Sepertinya tak terlihat hal-hal yang mencurigakan darinya.
            Gadis tersebut mungkin umurnya tak jauh berbeda dariku. Ketika kuhampiri, wajahnya berseri-seri dengan senyuman yang manis. ‘Cantik’ terbesit kata tersebut dari dalam pikiranku. Kulitnya putih berona kemerahan seperti gadis bangsa eropa dengan beberapa bintik merah di sekitar hidungnya. Rambutnya merah panjang dengan kepangan besar ke belakang dan diujungnya diberi pita biru seperti bentuk kupu-kupu. Sekilas dari penampilannya, mungkin ia adalah seorang gadis yang tomboy. Ia mengenakan jaket oranye mini dengan lengan yang digulung hingga sikut, tak dikancingi, hanya sedikit melindungi area dadanya yang ditutupi oleh kaos hitam ketat, dan celana panjang ‘mirip denim[4]’ coklat kucal yang membungkus kaki rampingnya yang kemudian ditutupi oleh sepatu semi boots coklat bertali.
            “Hey.. Ngapain kamu lihat-lihat badanku seperti itu??” ucapnya sambil menyilangkan kedua tangan menutupi dadanya. “Jangan-jangan kamu laki-laki cabul ya??”
            Dahiku mengernyit. Menunduk sambil mengusap dan menjabak rambutku. Rasanya sudah terbiasa bagiku untuk dicap sebagai seorang lelaki mesum.
            “Huft.. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Aku hanya berusaha waspada karena akhir-akhir ini sudah terlalu banyak kejadian buruk yang telah menimpaku.” ujarku menjelaskan.
            “Baik. Tidak apa-apa. Aku hanya bercanda kok.” jawabnya lagi sambil tersenyum. “Lagipula wajar bagimu untuk bersikap seperti itu pada seseorang yang tidak dikenal.”
            Aku kembali menatapnya dengan menampakkan ekspresi wajah tak peduli. “Lalu apa maumu hingga memanggilku dari kejauhan tadi?”
            “Oh ya, maaf. Aku belum mengenalkan diri.” ucapnya sambil mengulurkan telapak tangannya padaku. “Namaku Elena Ambriel, panggil saja aku Lena. Salam kenal.”
            Aku pun membalas jabatan tangannya. “Aku Enutra, salam kenal juga.”
            “Enutra? Rasanya aku pernah mendengarnya.” jari telunjuk ditempelkan pada dagunya yang imut. “Tapi ya sudahlah. Itu tidak penting. Yang terpenting adalah sekarang aku benar-benar membutuhkan bantuanmu.”
            Mataku memicing. “Bantuan macam apa yang kamu inginkan?”
            “Aku ingin kamu membantuku untuk melawan monster di tengah laut sana.” ucapnya ringan sambil tersenyum menunjuk ke tengah laut.
            Aku terperanjat. “Eh?? Yang benar saja?? Di tengah laut??”
            “Kenapa? Kupikir kamu adalah seorang ksatria, karena daritadi kulihat kau berjalan-jalan sambil membawa pedang.”
            “Iyaa.. Tapi biarpun aku adalah seorang ksatria, kalau melawan monster sendirian ya tidak mungkin bisa semudah itu.” jelasku, “Apalagi monster tersebut berada di tengah laut!”
            “Jadi begitu ya?” ucap Lena sambil menunduk terlihat kecewa. “Padahal imbalannya cukup besar loh.”
            “Eh? Imbalan?” ucapku spontan setelah mendengar perkataanya. “Imbalan apa itu?”
            Sekilas kuperhatikan Lena kembali tersenyum, “Iya, imbalannya berupa seribu keping emas!” ujarnya setengah berteriak.
            “Seribu keping emas??” kakiku bergerak satu langkah ke belakang karena efek terkejut. Namun setelah itu aku kembali memasang mimik wajah serius. “Eh, tunggu tapi ini sangat mencurigakan.”
            Gadis tersebut memiringkan kepalanya. “Mencurigakan apanya?”
            “Iya, soalnya dengan hadiah sebesar itu berarti monster yang kulawan sangatlah kuat.”
            “Betul.. Betul.. Terus?”
            “Lah kok terus?” ucapku lagi setengah marah. “Coba liat keadaanku saat ini! Aku sama sekali tidak memiliki tameng maupun pakaian berat apapun. Bahkan tubuhku pun tidak lebih berotot dibanding para ksatria kebanyakan.”
            “Iya sih, tapi memangnya kenapa kalau begitu?”
            “Terus kenapa kamu meminta aku untuk melawan monster seperti itu? Terlebih lagi kau memintanya di tempat sepi seperti ini lagi. Memang apa untungnya untukmu?”
            “Woohoo.. Tenang.. Tenang..” ucapnya cengengesan. “Justru karena keadaanmu itulah aku mengharapkan bantuan darimu.”
            Mataku kembali memicing. “Apa maksudmu?”
            “Jujur sebenarnya aku sudah memerhatikanmu sejak di perbatasan kota. Saat kamu menanyakan arah jalan yang barusan kau tempuh pada salah seorang penduduk kota.” ucap gadis berambut merah tersebut bersemangat, “Pada saat itu aku yakin bahwa kau kelihatannya bukan seorang petualang biasa. Makanya dengan sengaja aku menyusulmu menuju pantai ini lewat jalur tengah kota. Kau pasti adalah ksatria yang cukup hebat karena tak mungkin petualang biasa bisa membawa pedang sebagus itu.” ucapnya lagi sambil menunjuk pada pedang Dartmouth Eterna yang terikat di pinggangku.
            Aku memandang pedang yang ia tunjuk dan kemudian memandang Lena kembali, “Iya, tapi perlengkapanku yang lain?” kemudian aku menarik napas sejenak. “Kau hanya bermain-main denganku saja kan?”
            “Nah itu dia!” ujarnya bersemangat sambil memegang kedua lenganku. Wajahku sedikit memerah karena sikapnya. “Aku membutuhkan bantuanmu untuk bekerja sama denganku!”
            “Be.. Bekerja sama?” tanyaku dengan nada yang gugup.
            “Ada apa denganmu? Apa kamu sakit? Wajahmu begitu merah.” Lena terlihat kebingungan. Lalu ia menunduk melihat kedua tangannya yang sedang menggenggam tanganku. Wajahnya tiba-tiba ikut memerah sambil setengah berteriak. “Waaa.. Maaf.. Maafkan aku.”
            Sempat terdiam setelah melihat sikapnya polos namun penuh semangat.
            “Ti-tidak apa-apa.” ucapku masih tergagap. “Jadi bekerja sama ya? Bekerja sama bagaimana maksudnya?”
            Lena melebarkan senyumnya hingga nampak jejeran giginya yang putih bersih dan rapi. “Hehehe.. Ayo ikut saja ke rumahku!”
            “Eehh??? Kita kan baru saja bertemu dan kau sudah ingin mengajakku ke rumahmu??”
            “Memang tidak boleh ya?”
            “Bukannya tidak boleh tapi-..”
            ~Krriiuuuuukkkk...
            Terdengar suara keras dari dalam perutku. Wajahku seketika memerah.
            “Tapi kamu lapar kan?” ujar Lena menyambung perkataanku dengan nada mengejek. “Ayolah ikut saja denganku. Nanti akan kusiapkan makanan untukmu.”
            “Baiklah.” ucapku pasrah. “Tapi aku tak bisa lama-lama. Temanku sedang menunggu di penginapan.”
            “Siaaappp.. Sebentar saja kok. Nanti akan kujelaskan semuanya di rumah ya.”
            Akhirnya dengan terpaksa aku mengikutinya hingga ke rumahnya. Entah apa yang ia maksud dengan bekerja sama. Mungkin saja dia juga membutuhkan imbalan dari membunuh monster yang sebelumnya ia bicarakan. Memang siapa juga yang tidak menginginkan hadiah sebanyak itu. Entahlah. Semoga saja ini bukanlah jebakan dan tipu daya seperti yang pernah dilakukan oleh para kelompok Vanator sebelumnya.
***



[1] VIP adalah singkatan dari kata very important person.
[2] Pengembangan dari seni arsitektur gotik eropa. Dalam arsitektur Barok, penekanan ditempatkan pada tiang, kubah, cahaya-dan-bayangan (chiaroscuro), efek pewarnaan 'painterly', dan permainan antara ruang isi dan kosong. Pada bagian dalam ruangan (interior) Barok, ruang kosong menandakan adanya tangga monumental, berbeda dari arsitektur terdahulu.
[3] Adalah suatu komposisi berbentuk segmen-segmen kecil yang terbuat dari beton dengan bentuk segi empat atau segi banyak yang dipasang sedemikian rupa sehingga saling mengunci.
[4] Denim merupakan material kain kokoh yang terbuat dari kain katun twill sebagai bahan pembuat jeans.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar