CHAPTER 33 - HARAPAN
Terik
matahari memancar menyentuh setiap celah kulit. Keringat panas mengalir dan menguap
dari setiap lubang pori-pori. Hembusan angin mengusap tubuh, membawa debu dan dedaunan
kecil yang terlepas dari dahannya. Hangat dan kering.
Pandangan
mataku menajam. Gigiku mengerat saling mengatup. Kedua tangan mengepal kuat
hingga menampakan urat-urat hijaunya ketika melihat seorang lelaki berambut
pirang bergelombang di hadapanku yang menyekap dan menyiksa Vivian dengan
ikatan tali tambang dari tangan kirinya. Ia benar-benar tak berperikemanusiaan.
“Sial,
ada apa dengan Marin? Kenapa ia tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi?”
gumamnya dengan nada suara tak beraturan.
Entah
siapa lelaki kurang ajar ini. Penampilannya memang berbeda dibandingkan dengan
para vanator lainnya. Ia tak mengenakan penutup wajah dengan mantel kulit biru
tua panjang yang membungkus tubuhnya. Pada lehernya terlilit syal rajutan berwarna
gading tak bercorak dengan kedua ujung yang menjuntai tak beraturan akibat
hembusan angin. Kakinya ramping terbalut dengan celana kulit berwarna hitam dan
sepatu boot semacam penyanyi rock. Menurut perkiraanku, mungkin ia adalah salah
seorang pemimpin dari para Vanator.
“Jangan
banya bicara!” ucapku keras. “Cepat lepaskan tuan putri dari belenggu kotormu
itu!”
Lelaki
pirang tersebut masih tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya terus memegang erat
tambangnya dan masih menjaga jarak dariku. Tatapannya sama-sama tajam
sepertiku. Hanya saja dengan ambisi yang berbeda.
“Memang,
apa yang akan kau lakukan jika aku tak melepaskan gadis ini?!” tanya lelaki
tersebut lantang di hadapanku.
Aku
tak langsung menjawabnya. Aku tahu, ia mencoba untuk menyulut emosiku untuk
melemahkan pertahananku.
Tak
lama kemudian, ia lalu menarik-narik tambang yang melilit tubuh Vivian dan
menyeretnya, mencoba untuk memprovokasiku kembali.
Salah!
Yang ia lakukan sangatlah salah! Melihat apa yang telah ia lakukan pada Vivian
membuat justru amarahku semakin memuncak. Desir aliran darah menegangkan setiap
inci urat-urat nadiku. Hawa panas mulai menyelimuti. Lenganku semakin bergetar,
membuat seluruh tubuh menjadi enggan untuk dikendalikan. Ini bukanlah amarah
biasa, kekuatan aneh ini akan kembali mengambil alih tubuhku.
Seketika
suara keluar dari rongga mulutku, “Apa yang aku lakukan?! Aku.. Aku akan..
Aaarrrgghhh..” napasku semakin berat. Penglihatan pun semakin kabur dengan penampakan
cahaya hijau yang mengelilingiku.
“Mata
hijau bercahaya itu! Gawat! Sepertinya kau adalah orang yang telah membunuh
Tyron.” ucap lelaki pirang tersebut samar-samar. Ia lalu berteriak sambil
menunjuk-nunjuk pada seluruh
anak buahnya. “Apa lagi yang kalian tunggu, ayo serang dia!”
Setelah
itu tak ada lagi yang kuingat. Hanya terdengar suara desingan lemparan pisau
dan kemudian.. Semua menjadi gelap.
***
Gemuruh derap langkah menggetarkan
setiap dahan pepohonan di sekitarnya. Pekik jeritan kuda pun ikut mengisi riuh di
tengah hutan yang biasanya senyap. Bukan hal yang biasa terjadi, seorang pria
berzirah memeluk erat wanita yang tak sadarkan diri dari atas kudanya. Dahinya
terus menerus mengernyit. Keringat dingin pun mengucur deras di tubuhhnya. Tak
berhenti ia menggumamkan kalimat yang sama. Nampak jelas kekhawatiran tergambar
di wajahnya.
“Mikoto..
Aku mohon bertahanlah!”
Dionze
memacu kuda jantan coklatnya dengan kecepatan penuh. Entah kemana ia harus
pergi. Ia harus menemukan pertolongan sesegera mungkin. Di dalam benaknya hanya
terisi dengan kekhawatiran akan keselamatan Mikoto.
Daerah
ini benar-benar sangat asing baginya. Sebagai seorang warga Kerajaan Olympus,
tentu saja ia tidak begitu mengenal seluruh wilayah di Eternality. Sebelumnya
pun ia hanya menerka-nerka arah menuju Kerajaan Pacifier bersama sang Jendral
Besar Diksy.
Ia
mencoba untuk mengerahkan seluruh kemampuan dan pengalamannya sebagai seorang
jenderal. Mencari setiap petunjuk yang bisa ia gunankan. Hingga akhirnya,
kekhawatirannya sedikit sirna. Sesuatu yang baru ia sadari membuat kudanya
terhenti olehnya. Samar terdengar suara khas yang tak begitu asing di telinga.
“Suara
ini. Aku mengenal suara ini!” seru Dionze.
Ia
lalu semakin memacu kudanya lebih cepat. Hembusan angin semakin keras. Udara
lembab telah menyelimuti setiap inchi kulitnya. Panas terik pun sudah tidak ia
hiraukan lagi.
Pohon
demi pohon ia lewati. Hingga nampak setitik cahaya terang yang muncul di balik
rimbunnya pepohonan.
“Sedikit
lagi sampai.” gumamnya yakin.
Tujuannya
hampir tercapai. Cahaya terang matahari perlahan-lahan menyilaukannya. Matanya
semakin menyipit. Tangan kanannya lalu menutupi sebagian dari wajahnya. Angin hangat
nan lembab berhembus bercampur pasir membelai kulitnya yang penuh keringat.
Hingga akhirnya langkah kaki kudanya pun terhenti di antara hamparan pasir
putih dan gemuruh suara ombak yang berdebur. Firasatnya benar. Ia telah sampai pada
sebuah pantai. Sesuai dengan yang ia duga.
Raut
wajahnya sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Dalam hatinya sangat
bersyukur karena telah menemukan pantai ini. Menurut pengalamannya selama
berpetualang sebagai seorang jenderal, ia meyakini bahwa daerah pesisir pantai
seperti ini adalah indikasi adanya suatu pemukiman atau bahkan terdapat sebuah
kota pelabuhan. Yang selanjutnya ia lakukan hanya tinggal memutuskan arah mana yang
akan ia susuri. Barat atau timur?
Dionze
lalu menengadahkan kepalanya ke langit sambil menyipitkan mata menahan silaunya
matahari. Bola matanya terus bergerak mengamati setiap sudut langit.
Mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai petunjuk.
“Ah,
itu dia!” Dionze kembali berseru.
Ia
menemukan gerombolan burung camar yang terbang melayang menuju ke suatu tempat
di sebelah barat pesisir pantai. Menurut pengalamannya, gerombolan burung camar
tersebut pasti terbang menuju ke sebuah tempat dimana terdapat banyak makanan
bagi mereka, tempat pelelangan ikan. Di sanalah pasti terdapat sebuah kota
pelabuhan.
Tanpa
ragu Dionze lalu memacu kudanya kembali dengan kecepatan penuh. Menyusuri sisi
pantai dengan harapan yang terpancar di wajahnya.
Ia
lalu bergumam pada Mikoto yang masih tak sadarkan diri di pelukannya. “Mikoto,
aku mohon tetaplah bertahan. Kita akan segera menemukan pertolongan.”
***
“Tuan
Enutraa..”
Gelap
dan hampa. Melayang dalam kesendirian. Degup jantung berdetak begitu kerasnya. Suasana
yang sudah tak asing bagiku. Entah sudah kesekian kali rasanya aku mengalami
hal seperti ini.
“Tuan
Enutraa..”
Beberapa
kali terdengar samar suara lembut gadis yang memanggil-manggil namaku. Tidak.
Enutra? Sejak kapan aku mulai mengakui Enutra sebagai namaku?
“Aku
mohon hentikan, Tuan Enutraa..”
Lagi-lagi
suara samar gadis tersebut terdengar kembali dari kedua telingaku. Namun aku
tak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja, perlahan setitik cahaya putih tiba-tiba berpendar
terang di hadapanku. Tak lama kemudian beberapa suara lainnya pun mulai terdengar
semakin riuh. Rasanya seperti baru terbangun dari tidur panjang yang
melelahkan. Degupan jantung pun terdengar semakin keras seiring dengan
kesadaran yang semakin terasa. Meski masih terdistorsi oleh cahaya merah aneh
di mata, lama-lama mulai terlihat beberapa hal samar yang nampak di sekitarku.
Perlahan
aku mulai bisa mengendalikan tubuhku. Cahaya merah di mata pun akhirnya memudar.
Tapi semakin jelas mataku melihat apa yang terjadi, semakin terkejut dengan apa
yang kulihat saat ini.
Seorang
lelaki pirang dengan wajah yang penuh memar nampak jelas di hadapanku.
Pakaiannya lusuh dan tercompang-camping dengan banyak sayatan penuh darah membekas
di tubuhnya. Dan kedua tanganku. Tangan kiriku menarik kerah bajunya sementara
tangan kananku menggenggam pedang yang bilahnya menempel tepat pada leher lemah
lelaki tersebut. Apa yang sedang kulakukan?
Sedikit
demi sedikit mulai teringat segala hal yang terjadi sebelum kekuatan aneh ini
menguasai tubuhku. Dengan perasaan yang masih tak menentu, perlahan kulepas
kerah baju lelaki tersebut hingga ia terhempas lemas ke tanah. Kemudian kuperhatikan
kedua telapak tanganku. Semuanya penuh dengan darah. Ini terjadi lagi. Aku
telah menganiaya manusia-manusia bernyawa dengan kedua tanganku ini.
“Tuan
Enutra..”
Kembali
suara lirih nan lembut seorang gadis terdengar dari sampingku.
Aku
perlahan menoleh ke arahnya. Namun, seketika jantungku seolah berhenti berdetak.
Keringat dingin mengucur deras dari seluruh bagian tubuhku. Terlihat seorang
gadis muda yang menatapiku dengan mata sayu yang berkaca. Di wajahnya seolah
menampakkan raut gambaran traumatik atas apa yang baru dilihatnya.
“Tuan
Putri.. Ini semua tidak seperti yang anda lihat.” ucapku sambil menelan ludah.
Vivian
menggeleng kecil. Perlahan ia berdiri dengan kedua kaki kecilnya. Ia diam sesaat
menatapiku, dan seketika memelukku erat dengan air mata yang mengalir deras
melewati pipi putih lembutnya. “Tolong jangan seperti itu lagi, Tuan Enutra.
Aku sangat takut sekali melihat anda seperti tadi.”
Entah
apa yang harus ku katakan. Aku merasa tak berdaya. Diriku sendiri pun tak
percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa membalas pelukannya seolah
tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menenangkannya.
“Aku
benar-benar minta maaf, tuan putri. Aku sangat menyes-..”
Ucapanku
seketika terhenti saat sebuah sentuhan lembut yang tiba-tiba menyentuh dengan hangat
pada kedua bibirku. Jantungku spontan berdetak menjadi sangat cepat dan bahkan
mungkin lebih cepat dari tabuhan genderang perang. Aliran darah berdesir begitu
cepat melewati setiap jengkal rongga pembuluh darah. Pikiranku terbang melayang
tak tentu arah bagai menuju langit biru yang menjulang tanpa awan. Seorang
gadis cantik telah mencuri ciuman pertamaku. Benar. Vivian telah mencium tepat
di bibirku!
Untuk
sesaat, waktu terasa berhenti berputar. Aku benar-benar tak ingin melewatkan
sedetikpun waktu yang sangat berharga ini. Hingga akhirnya, beberapa menit
kemudian Vivian pun melepaskan ciuman di bibirnya. Ia menunduk seolah tak ingin
melihat wajahku. Kuperhatikan telinganya begitu merah. Entah perasaan apa yang
sedang ia alami saat ini, mungkin rasa malu telah menyelimutinya sama seperti
yang kurasakan sekarang.
“Terima
kasih.” terdengar suara lembut darinya.
Sesaat
aku mematung setelah mendengarnya. Kupikir ia akan mengatakan hal lain setelah ia
melakukan tindakan ‘berani’ barusan.
“Tu-Tuan
Putri..” ujarku tergagap berusaha untuk membalas ucapannya.
“Terima
kasih karena lagi-lagi Tuan Enutra telah menyelamatkanku. Tapi tolong jangan
seperti itu lagi, aku takut melihatmu seperti tadi.” ucapnya pelan. Ia masih
belum melepaskan pelukannya dariku.
“Ba-baik
tuan putri. Aku berjanji.”
Vivian
semakin memelukku erat. Aku cukup bingung. Bagaimana sikapku seharusnya untuk saat
ini? Kemudian akhirnya aku hanya bisa mengusap lembut punggungnya yang
tertutupi oleh geraian rambut panjang halusnya.
Setelah
itu Vivian perlahan melepaskan pelukannya, namun masih dengan kepala yang
tertunduk. “Tuan Enutra..” ucapnya pelan, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
Sempat
diriku terdiam sesaat setelah mendengar suara lembutnya. “Ba-baik.. Mari kita
segera tinggalkan tempat ini.”
Setelah
itu aku berbalik mencari kuda hitam milik Mikoto. Setidaknya aku harus segera
pergi dari tempat ini walaupun teknik berkudaku masih jauh dari kata lancar.
Tiba-tiba
tubuhku seolah tertahan. Lengan bajuku terjepit oleh dua jari mungil Vivian
yang menarikku. Aku menatapi sesaat wajahnya yang masih tertunduk. Entah
mengapa aku tersenyum melihatnya dan kemudian menuntunnya menuju kuda jantan
hitam yang akhirnya kutemukan tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Kalian
akan menyesali apa yang telah kalian perbuat pada kami!” tiba-tiba terdengar
suara parau dari belakang. Aku pun menoleh ke arahnya. Terlihat lelaki pirang
yang sudah kukalahkan berbicara sambil meringis kepadaku. “Aku, Morark! Sebagai
pemimpin Vanator akan segera membalasmu!”
Aku
tak begitu menanggapi. Kuanggap itu hanya sebuah gertakan tanpa arti. Akhirnnya
kami pun berlalu meninggalkannya dengan kuda hitam yang telah dinaiki bersama
Vivian di atasnya. Kami harus segera mengejar Dionze dan Mikoto.
***
Hari
sudah semakin senja. Matahari yang perlahan tenggelam telah menembakkan
semburat sinar merahnya di sepanjang jagat langit. Binatang-binatang malam pun
satu per satu mulai menampakkan diri seolah mencoba untuk menunjukkan
keberadaannya.
Mungkin
sudah sekitar tiga jam berlalu sejak kami berdua meninggalkan para vanator yang
tak berdaya. Aku masih belum berhasil menyusul Dionze dan Mikoto. Ada perasaan
khawatir akan keadaan mereka berdua. Selain itu, Diksy pun masih belum kembali
sejak pertarungannya dengan gadis vanator yang telah menjebak kami sebelumnya.
Aku benar-benar telah kehilangan jejak mereka bertiga. Semoga saja apa yang
kukhawatirkan tidak benar-benar terjadi.
“Tuan
Put-“
“Vivian..”
Aku
terdiam sejenak dengan mulut yang masih menganga karena terpotong oleh ucapan
Vivian. “Apa maksudnya, tuan putri?”
“Panggil
saja aku Vivian.”
“Bagaimana
mungkin aku bisa memanggil tuan putri seperti itu.”
“Tidak
apa-apa. Mikoto juga memanggilku Vivian.”
“Wah
dasar Mikoto tidak sopan.” gumamku sedikit kesal.
Terdengar
tawa kecil dari balik punggungku. “Hihi.. Bukan begitu, aku memang memintanya
untuk berhenti memanggilku dengan panggilan tuan putri kok.” ucap Vivian yang
kemudian dilanjutinya kembali dengan tawa kecil. “Lagipula, aku sering
mendengarmu tak sengaja memanggilku Vivian. Bukankah begitu, Tuan Enutra?”
Aku
terdiam dan keringatku mencuat setelah mendengar ucapan Vivian barusan. Memang
benar, sering kali aku tak sengaja
memanggilnya dengan panggilan Vivi.
“Ma-maafkan
aku tuan putri. Bukan maksudku untuk berbuat tidak sopan seperti itu. Aku hanya
tak sengaja menyebutkannya karena tuan putri terlihat mirip dengan seseorang
yang pernah kutemui di masa lalu. Namanya pun mirip dengan tuan putri.”
“Jadi
Tuan Enutra mengingatnya?” ucap Vivian terdengar girang. “Seseorang itu aku.
Sembilan tahun yang lalu kita memang pernah saling bertemu.”
Mataku
mendelik ke atas. Aku mengingat apa? Bertemu dengan Vivian? Sepertinya ia telah
salah paham dengan ceritaku barusan.
“Umh..
Eeehh? Begitu ya? Jadi memang itu tuan putri?” ucapku kembali berakting.
“Vivian!
Tanpa ada kata ‘tuan’ dan ‘putri’.”
“Tapi
tuan putri juga memanggilku dengan panggilan tuan juga. Mana mungkin aku bisa
me-.”
“Baiklah
Enutra.” lagi-lagi Vivian memotong ucapanku. Terbayang wajahnya yang sedang
tersenyum di belakangku.
“Huft..
Viv.. Vivian.. Maafkan aku jika aku tidak sopan.”
Tak
ada jawaban langsung darinya setelah aku menyebutkan namanya. Ia hanya
memelukku erat dari belakang dan menyandarkan tubuhnya yang hangat padaku. Bila
memang ada cermin di depan, mungkin sudah jelas terlihat betapa merahnya
wajahku saat ini. Dada Vivian benar-benar menempel pada punggungku. Hangat dan
lembut.
“Lalu,
apa sebenarnya yang ingin kamu tanyakan padaku?”
Aku
terdiam sesaat, tidak langsung menanggapinya. Mungkin saat ini bukan waktu yang
tepat untuk menanyakan beberapa hal yang sensitif padanya. Sebelumnya aku
mencoba untuk menanyakan hubungan antara dirinya dan seseorang bernama Brian
Veroka. Namun mungkin lain kali aku akan mencoba untuk menanyakannya kembali
disaat waktu yang lebih tepat.
“Tidak
jadi.” jawabku pendek sambil menampakkan senyuman di wajahku.
“Umm..
Jadi begitu? Baiklah kalau memang begitu.” ucapnya dengan nada seolah belum
melepas rasa penasarannya.
“Coba
lihat itu.” sementara aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk
pada suatu tempat. “Sepertinya di depan nanti akan ada sebuah kota yang akan
menanti kita.”
Vivian
lalu memegang pundakku dan kemudian menengok dari samping. “Sepertinya begitu.
Mungkin kota yang akan menanti kita di depan adalah Kota Celadoni.”
“Kota
Celadoni?” tanyaku pendek.
“Ya,
salah satu kota pelabuhan terbesar di kerajaan ini.”
“Umm..
Begitu ya?” ucapku lagi pendek.
Kota
Celadoni. Entah kemana sebenarnya arah yang seharusnya kutuju selama ini. Tapi
mungkin, di kota tersebut akan kutemukan berbagai petunjuk dari segala hal yang
masih meliputi pikiranku. Begitu pula dengan keberadaan Mikoto dan Dionze masih
belum kuketahui. Semoga hal baik akan selalu menuntunku setelah ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar