10 Mei 2015

DUNIA SEMU #33


CHAPTER 33 - HARAPAN

            Terik matahari memancar menyentuh setiap celah kulit. Keringat panas mengalir dan menguap dari setiap lubang pori-pori. Hembusan angin mengusap tubuh, membawa debu dan dedaunan kecil yang terlepas dari dahannya. Hangat dan kering.
            Pandangan mataku menajam. Gigiku mengerat saling mengatup. Kedua tangan mengepal kuat hingga menampakan urat-urat hijaunya ketika melihat seorang lelaki berambut pirang bergelombang di hadapanku yang menyekap dan menyiksa Vivian dengan ikatan tali tambang dari tangan kirinya. Ia benar-benar tak berperikemanusiaan.

            “Sial, ada apa dengan Marin? Kenapa ia tidak bisa menahan mereka lebih lama lagi?” gumamnya dengan nada suara tak beraturan.
            Entah siapa lelaki kurang ajar ini. Penampilannya memang berbeda dibandingkan dengan para vanator lainnya. Ia tak mengenakan penutup wajah dengan mantel kulit biru tua panjang yang membungkus tubuhnya. Pada lehernya terlilit syal rajutan berwarna gading tak bercorak dengan kedua ujung yang menjuntai tak beraturan akibat hembusan angin. Kakinya ramping terbalut dengan celana kulit berwarna hitam dan sepatu boot semacam penyanyi rock. Menurut perkiraanku, mungkin ia adalah salah seorang pemimpin dari para Vanator.
            “Jangan banya bicara!” ucapku keras. “Cepat lepaskan tuan putri dari belenggu kotormu itu!”
            Lelaki pirang tersebut masih tak beranjak dari tempatnya. Ia hanya terus memegang erat tambangnya dan masih menjaga jarak dariku. Tatapannya sama-sama tajam sepertiku. Hanya saja dengan ambisi yang berbeda.
            “Memang, apa yang akan kau lakukan jika aku tak melepaskan gadis ini?!” tanya lelaki tersebut lantang di hadapanku.
            Aku tak langsung menjawabnya. Aku tahu, ia mencoba untuk menyulut emosiku untuk melemahkan pertahananku.
            Tak lama kemudian, ia lalu menarik-narik tambang yang melilit tubuh Vivian dan menyeretnya, mencoba untuk memprovokasiku kembali.
            Salah! Yang ia lakukan sangatlah salah! Melihat apa yang telah ia lakukan pada Vivian membuat justru amarahku semakin memuncak. Desir aliran darah menegangkan setiap inci urat-urat nadiku. Hawa panas mulai menyelimuti. Lenganku semakin bergetar, membuat seluruh tubuh menjadi enggan untuk dikendalikan. Ini bukanlah amarah biasa, kekuatan aneh ini akan kembali mengambil alih tubuhku.
            Seketika suara keluar dari rongga mulutku, “Apa yang aku lakukan?! Aku.. Aku akan.. Aaarrrgghhh..” napasku semakin berat. Penglihatan pun semakin kabur dengan penampakan cahaya hijau yang mengelilingiku.
            “Mata hijau bercahaya itu! Gawat! Sepertinya kau adalah orang yang telah membunuh Tyron.” ucap lelaki pirang tersebut samar-samar. Ia lalu berteriak sambil menunjuk-nunjuk pada seluruh anak buahnya. “Apa lagi yang kalian tunggu, ayo serang dia!”
            Setelah itu tak ada lagi yang kuingat. Hanya terdengar suara desingan lemparan pisau dan kemudian.. Semua menjadi gelap.
***

            Gemuruh derap langkah menggetarkan setiap dahan pepohonan di sekitarnya. Pekik jeritan kuda pun ikut mengisi riuh di tengah hutan yang biasanya senyap. Bukan hal yang biasa terjadi, seorang pria berzirah memeluk erat wanita yang tak sadarkan diri dari atas kudanya. Dahinya terus menerus mengernyit. Keringat dingin pun mengucur deras di tubuhhnya. Tak berhenti ia menggumamkan kalimat yang sama. Nampak jelas kekhawatiran tergambar di wajahnya.
            “Mikoto.. Aku mohon bertahanlah!”
            Dionze memacu kuda jantan coklatnya dengan kecepatan penuh. Entah kemana ia harus pergi. Ia harus menemukan pertolongan sesegera mungkin. Di dalam benaknya hanya terisi dengan kekhawatiran akan keselamatan Mikoto.
            Daerah ini benar-benar sangat asing baginya. Sebagai seorang warga Kerajaan Olympus, tentu saja ia tidak begitu mengenal seluruh wilayah di Eternality. Sebelumnya pun ia hanya menerka-nerka arah menuju Kerajaan Pacifier bersama sang Jendral Besar Diksy.
            Ia mencoba untuk mengerahkan seluruh kemampuan dan pengalamannya sebagai seorang jenderal. Mencari setiap petunjuk yang bisa ia gunankan. Hingga akhirnya, kekhawatirannya sedikit sirna. Sesuatu yang baru ia sadari membuat kudanya terhenti olehnya. Samar terdengar suara khas yang tak begitu asing di telinga.
            “Suara ini. Aku mengenal suara ini!” seru Dionze.
            Ia lalu semakin memacu kudanya lebih cepat. Hembusan angin semakin keras. Udara lembab telah menyelimuti setiap inchi kulitnya. Panas terik pun sudah tidak ia hiraukan lagi.
            Pohon demi pohon ia lewati. Hingga nampak setitik cahaya terang yang muncul di balik rimbunnya pepohonan.
            “Sedikit lagi sampai.” gumamnya yakin.
            Tujuannya hampir tercapai. Cahaya terang matahari perlahan-lahan menyilaukannya. Matanya semakin menyipit. Tangan kanannya lalu menutupi sebagian dari wajahnya. Angin hangat nan lembab berhembus bercampur pasir membelai kulitnya yang penuh keringat. Hingga akhirnya langkah kaki kudanya pun terhenti di antara hamparan pasir putih dan gemuruh suara ombak yang berdebur. Firasatnya benar. Ia telah sampai pada sebuah pantai. Sesuai dengan yang ia duga.
            Raut wajahnya sudah sedikit lebih tenang dari sebelumnya. Dalam hatinya sangat bersyukur karena telah menemukan pantai ini. Menurut pengalamannya selama berpetualang sebagai seorang jenderal, ia meyakini bahwa daerah pesisir pantai seperti ini adalah indikasi adanya suatu pemukiman atau bahkan terdapat sebuah kota pelabuhan. Yang selanjutnya ia lakukan hanya tinggal memutuskan arah mana yang akan ia susuri. Barat atau timur?
            Dionze lalu menengadahkan kepalanya ke langit sambil menyipitkan mata menahan silaunya matahari. Bola matanya terus bergerak mengamati setiap sudut langit. Mencari-cari sesuatu yang dapat dijadikannya sebagai petunjuk.
            “Ah, itu dia!” Dionze kembali berseru.
            Ia menemukan gerombolan burung camar yang terbang melayang menuju ke suatu tempat di sebelah barat pesisir pantai. Menurut pengalamannya, gerombolan burung camar tersebut pasti terbang menuju ke sebuah tempat dimana terdapat banyak makanan bagi mereka, tempat pelelangan ikan. Di sanalah pasti terdapat sebuah kota pelabuhan.
            Tanpa ragu Dionze lalu memacu kudanya kembali dengan kecepatan penuh. Menyusuri sisi pantai dengan harapan yang terpancar di wajahnya.
            Ia lalu bergumam pada Mikoto yang masih tak sadarkan diri di pelukannya. “Mikoto, aku mohon tetaplah bertahan. Kita akan segera menemukan pertolongan.”
***

            “Tuan Enutraa..”
            Gelap dan hampa. Melayang dalam kesendirian. Degup jantung berdetak begitu kerasnya. Suasana yang sudah tak asing bagiku. Entah sudah kesekian kali rasanya aku mengalami hal seperti ini.
            “Tuan Enutraa..”
            Beberapa kali terdengar samar suara lembut gadis yang memanggil-manggil namaku. Tidak. Enutra? Sejak kapan aku mulai mengakui Enutra sebagai namaku?
            “Aku mohon hentikan, Tuan Enutraa..”
            Lagi-lagi suara samar gadis tersebut terdengar kembali dari kedua telingaku. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Hanya saja, perlahan setitik cahaya putih tiba-tiba berpendar terang di hadapanku. Tak lama kemudian beberapa suara lainnya pun mulai terdengar semakin riuh. Rasanya seperti baru terbangun dari tidur panjang yang melelahkan. Degupan jantung pun terdengar semakin keras seiring dengan kesadaran yang semakin terasa. Meski masih terdistorsi oleh cahaya merah aneh di mata, lama-lama mulai terlihat beberapa hal samar yang nampak di sekitarku.
            Perlahan aku mulai bisa mengendalikan tubuhku. Cahaya merah di mata pun akhirnya memudar. Tapi semakin jelas mataku melihat apa yang terjadi, semakin terkejut dengan apa yang kulihat saat ini.
            Seorang lelaki pirang dengan wajah yang penuh memar nampak jelas di hadapanku. Pakaiannya lusuh dan tercompang-camping dengan banyak sayatan penuh darah membekas di tubuhnya. Dan kedua tanganku. Tangan kiriku menarik kerah bajunya sementara tangan kananku menggenggam pedang yang bilahnya menempel tepat pada leher lemah lelaki tersebut. Apa yang sedang kulakukan?
            Sedikit demi sedikit mulai teringat segala hal yang terjadi sebelum kekuatan aneh ini menguasai tubuhku. Dengan perasaan yang masih tak menentu, perlahan kulepas kerah baju lelaki tersebut hingga ia terhempas lemas ke tanah. Kemudian kuperhatikan kedua telapak tanganku. Semuanya penuh dengan darah. Ini terjadi lagi. Aku telah menganiaya manusia-manusia bernyawa dengan kedua tanganku ini.
            “Tuan Enutra..”
            Kembali suara lirih nan lembut seorang gadis terdengar dari sampingku.
            Aku perlahan menoleh ke arahnya. Namun, seketika jantungku seolah berhenti berdetak. Keringat dingin mengucur deras dari seluruh bagian tubuhku. Terlihat seorang gadis muda yang menatapiku dengan mata sayu yang berkaca. Di wajahnya seolah menampakkan raut gambaran traumatik atas apa yang baru dilihatnya.
            “Tuan Putri.. Ini semua tidak seperti yang anda lihat.” ucapku sambil menelan ludah.
            Vivian menggeleng kecil. Perlahan ia berdiri dengan kedua kaki kecilnya. Ia diam sesaat menatapiku, dan seketika memelukku erat dengan air mata yang mengalir deras melewati pipi putih lembutnya. “Tolong jangan seperti itu lagi, Tuan Enutra. Aku sangat takut sekali melihat anda seperti tadi.”
            Entah apa yang harus ku katakan. Aku merasa tak berdaya. Diriku sendiri pun tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Aku hanya bisa membalas pelukannya seolah tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menenangkannya.
            “Aku benar-benar minta maaf, tuan putri. Aku sangat menyes-..”
            Ucapanku seketika terhenti saat sebuah sentuhan lembut yang tiba-tiba menyentuh dengan hangat pada kedua bibirku. Jantungku spontan berdetak menjadi sangat cepat dan bahkan mungkin lebih cepat dari tabuhan genderang perang. Aliran darah berdesir begitu cepat melewati setiap jengkal rongga pembuluh darah. Pikiranku terbang melayang tak tentu arah bagai menuju langit biru yang menjulang tanpa awan. Seorang gadis cantik telah mencuri ciuman pertamaku. Benar. Vivian telah mencium tepat di bibirku!
            Untuk sesaat, waktu terasa berhenti berputar. Aku benar-benar tak ingin melewatkan sedetikpun waktu yang sangat berharga ini. Hingga akhirnya, beberapa menit kemudian Vivian pun melepaskan ciuman di bibirnya. Ia menunduk seolah tak ingin melihat wajahku. Kuperhatikan telinganya begitu merah. Entah perasaan apa yang sedang ia alami saat ini, mungkin rasa malu telah menyelimutinya sama seperti yang kurasakan sekarang.
            “Terima kasih.” terdengar suara lembut darinya.
            Sesaat aku mematung setelah mendengarnya. Kupikir ia akan mengatakan hal lain setelah ia melakukan tindakan ‘berani’ barusan.
            “Tu-Tuan Putri..” ujarku tergagap berusaha untuk membalas ucapannya.
            “Terima kasih karena lagi-lagi Tuan Enutra telah menyelamatkanku. Tapi tolong jangan seperti itu lagi, aku takut melihatmu seperti tadi.” ucapnya pelan. Ia masih belum melepaskan pelukannya dariku.
            “Ba-baik tuan putri. Aku berjanji.”
            Vivian semakin memelukku erat. Aku cukup bingung. Bagaimana sikapku seharusnya untuk saat ini? Kemudian akhirnya aku hanya bisa mengusap lembut punggungnya yang tertutupi oleh geraian rambut panjang halusnya.
            Setelah itu Vivian perlahan melepaskan pelukannya, namun masih dengan kepala yang tertunduk. “Tuan Enutra..” ucapnya pelan, “Mari kita tinggalkan tempat ini.”
            Sempat diriku terdiam sesaat setelah mendengar suara lembutnya. “Ba-baik.. Mari kita segera tinggalkan tempat ini.”
            Setelah itu aku berbalik mencari kuda hitam milik Mikoto. Setidaknya aku harus segera pergi dari tempat ini walaupun teknik berkudaku masih jauh dari kata lancar.
            Tiba-tiba tubuhku seolah tertahan. Lengan bajuku terjepit oleh dua jari mungil Vivian yang menarikku. Aku menatapi sesaat wajahnya yang masih tertunduk. Entah mengapa aku tersenyum melihatnya dan kemudian menuntunnya menuju kuda jantan hitam yang akhirnya kutemukan tak jauh dari tempat kami berdiri.
           “Kalian akan menyesali apa yang telah kalian perbuat pada kami!” tiba-tiba terdengar suara parau dari belakang. Aku pun menoleh ke arahnya. Terlihat lelaki pirang yang sudah kukalahkan berbicara sambil meringis kepadaku. “Aku, Morark! Sebagai pemimpin Vanator akan segera membalasmu!”
            Aku tak begitu menanggapi. Kuanggap itu hanya sebuah gertakan tanpa arti. Akhirnnya kami pun berlalu meninggalkannya dengan kuda hitam yang telah dinaiki bersama Vivian di atasnya. Kami harus segera mengejar Dionze dan Mikoto.
***

            Hari sudah semakin senja. Matahari yang perlahan tenggelam telah menembakkan semburat sinar merahnya di sepanjang jagat langit. Binatang-binatang malam pun satu per satu mulai menampakkan diri seolah mencoba untuk menunjukkan keberadaannya.
            Mungkin sudah sekitar tiga jam berlalu sejak kami berdua meninggalkan para vanator yang tak berdaya. Aku masih belum berhasil menyusul Dionze dan Mikoto. Ada perasaan khawatir akan keadaan mereka berdua. Selain itu, Diksy pun masih belum kembali sejak pertarungannya dengan gadis vanator yang telah menjebak kami sebelumnya. Aku benar-benar telah kehilangan jejak mereka bertiga. Semoga saja apa yang kukhawatirkan tidak benar-benar terjadi.
            “Tuan Put-“
            “Vivian..”
            Aku terdiam sejenak dengan mulut yang masih menganga karena terpotong oleh ucapan Vivian. “Apa maksudnya, tuan putri?”
            “Panggil saja aku Vivian.”
            “Bagaimana mungkin aku bisa memanggil tuan putri seperti itu.”
            “Tidak apa-apa. Mikoto juga memanggilku Vivian.”
            “Wah dasar Mikoto tidak sopan.” gumamku sedikit kesal.
            Terdengar tawa kecil dari balik punggungku. “Hihi.. Bukan begitu, aku memang memintanya untuk berhenti memanggilku dengan panggilan tuan putri kok.” ucap Vivian yang kemudian dilanjutinya kembali dengan tawa kecil. “Lagipula, aku sering mendengarmu tak sengaja memanggilku Vivian. Bukankah begitu, Tuan Enutra?”
            Aku terdiam dan keringatku mencuat setelah mendengar ucapan Vivian barusan. Memang benar,  sering kali aku tak sengaja memanggilnya dengan panggilan Vivi.
            “Ma-maafkan aku tuan putri. Bukan maksudku untuk berbuat tidak sopan seperti itu. Aku hanya tak sengaja menyebutkannya karena tuan putri terlihat mirip dengan seseorang yang pernah kutemui di masa lalu. Namanya pun mirip dengan tuan putri.”
            “Jadi Tuan Enutra mengingatnya?” ucap Vivian terdengar girang. “Seseorang itu aku. Sembilan tahun yang lalu kita memang pernah saling bertemu.”
            Mataku mendelik ke atas. Aku mengingat apa? Bertemu dengan Vivian? Sepertinya ia telah salah paham dengan ceritaku barusan.
            “Umh.. Eeehh? Begitu ya? Jadi memang itu tuan putri?” ucapku kembali berakting.
            “Vivian! Tanpa ada kata ‘tuan’ dan ‘putri’.”
            “Tapi tuan putri juga memanggilku dengan panggilan tuan juga. Mana mungkin aku bisa me-.”
            “Baiklah Enutra.” lagi-lagi Vivian memotong ucapanku. Terbayang wajahnya yang sedang tersenyum di belakangku.
            “Huft.. Viv.. Vivian.. Maafkan aku jika aku tidak sopan.”
            Tak ada jawaban langsung darinya setelah aku menyebutkan namanya. Ia hanya memelukku erat dari belakang dan menyandarkan tubuhnya yang hangat padaku. Bila memang ada cermin di depan, mungkin sudah jelas terlihat betapa merahnya wajahku saat ini. Dada Vivian benar-benar menempel pada punggungku. Hangat dan lembut.
            “Lalu, apa sebenarnya yang ingin kamu tanyakan padaku?”
            Aku terdiam sesaat, tidak langsung menanggapinya. Mungkin saat ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan beberapa hal yang sensitif padanya. Sebelumnya aku mencoba untuk menanyakan hubungan antara dirinya dan seseorang bernama Brian Veroka. Namun mungkin lain kali aku akan mencoba untuk menanyakannya kembali disaat waktu yang lebih tepat.
            “Tidak jadi.” jawabku pendek sambil menampakkan senyuman di wajahku.
            “Umm.. Jadi begitu? Baiklah kalau memang begitu.” ucapnya dengan nada seolah belum melepas rasa penasarannya.
            “Coba lihat itu.” sementara aku mencoba untuk mengalihkan pembicaraan sambil menunjuk pada suatu tempat. “Sepertinya di depan nanti akan ada sebuah kota yang akan menanti kita.”
            Vivian lalu memegang pundakku dan kemudian menengok dari samping. “Sepertinya begitu. Mungkin kota yang akan menanti kita di depan adalah Kota Celadoni.”
            “Kota Celadoni?” tanyaku pendek.
            “Ya, salah satu kota pelabuhan terbesar di kerajaan ini.”
            “Umm.. Begitu ya?” ucapku lagi pendek.
            Kota Celadoni. Entah kemana sebenarnya arah yang seharusnya kutuju selama ini. Tapi mungkin, di kota tersebut akan kutemukan berbagai petunjuk dari segala hal yang masih meliputi pikiranku. Begitu pula dengan keberadaan Mikoto dan Dionze masih belum kuketahui. Semoga hal baik akan selalu menuntunku setelah ini.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar