19 April 2015

DUNIA SEMU #32


CHAPTER 32 - EGO

            “Dionze, apa kamu tak bisa membuat kuda ini berlari lebih kencang lagi?”
            “Tentu saja aku bisa.”
            “Arrgghh, kenapa tidak kau lakukan sejak tadi?”
            “Apa kau benar-benar yakin? Bila kulakukan sekarang, maka kau harus segera turun dari kuda ini.”
            “Apa maksudmu??”
            “Yap, dengan begitu maka beban akan semakin berkurang sehingga dapat membuatnya berlari lebih kencang.”
            Mataku memicing, “Ha.. Ha.. Ha.. Lucu sekali. Kau bercanda dengan nada bicara serius seperti biasanya.”

            Untuk sementara, yang bisa kulakukan saat ini hanya berusaha menyusul untuk menemui Vivian dan Mikoto dengan kuda yang dikendarai oleh Dionze. Ingin rasanya segera sampai dan melihat mereka berdua dalam keadaan selamat. Semoga saja tidak terjadi sesuatu yang buruk selama kami meninggalkannya.
            Bila dipikirkan kembali, apa yang telah dikatakan oleh wanita vanator tadi telah membuatku sadar, begitu mudahnya aku untuk dibodohi sehingga kami harus terjebak oleh tipuan murahannya. Tak berhenti diriku menyesali keputusan untuk pergi meninggalkan mereka berdua hanya demi mengikuti ego dan bersikap sok pahlawan di hadapan yang lain. Terlebih lagi sekarang Diksy pun tengah berjuang sendirian melawan para Vanator busuk hanya demi melindungi kami dari kejaran mereka. Sementara aku.. Aku hanya duduk diam dibelakang Dionze yang sedang berusaha memacu kuda jantannya, mencoba menemui Mikoto dan Vivian sebelum para vanator mendahuluinya. Aku benar-benar sangat menyesalinya.
            “Enutra. Entah ini hanya perasaanku saja atau bukan, sepertinya kita sedang dikejar oleh sekelompok orang.” lamunanku terpotong oleh ucapan Dionze yang tiba-tiba.
            “Dikejar? Tapi aku tak melihat satu kuda pun di belakang kita.”
            “Entahlah, tapi aku yakin saat ini kita sedang dikejar.”
            “Mana mungkin. Kita saat ini sedang menggunakan kuda. Tidak mungkin orang dapat berlari secepat ku-...”
            ~Ziiiingg
            Tiba-tiba sebilah pisau lempar melesat diantara tubuhku dan Dionze. Aku terdiam sesaat oleh kejutan yang hampir membunuhku tadi. Saat menoleh ke samping kanan dan kiriku, terlihat belasan orang dengan baju hitam berpenutup wajah berlarian dan melompat diantara pepohonan untuk mengejar kami berdua.
            “Kenapa kau tidak melanjutkan bicaramu?”
            Tenggorokanku sedikit tercekat, “Kau benar, kita sedang dikejar sekelompok orang dengan kecepatan yang luar biasa.”
            “Akhirnya kau percaya dengan perkataanku.” Dionze menampakkan senyum puas di wajahnya.
            “Ada apa dengan senyuman itu?” mataku kembali memicing, “Sudah pacu saja kuda ini agar dapat berlari lebih cepat!”
            “Tidak bisa. Ini sudah kecepatan maksimal.”
            “Gawat!! Kalau begini terus kita bisa diserang oleh mereka!” ucapku sambil menolehkan paksa kepala Dionze ke samping.
            “Oh tidak, mereka sudah bersiap untuk menyerang kita!”
            Nampak beberapa pisau lempar di masing-masing tangan mereka bersiap untuk dilemparkan pada kami berdua. Ini sangat buruk. Firasatku mengatakan kami tak akan mampu bertarung dengan mereka jika tetap berada dalam keadaan seperti ini. Mau tidak mau, kuda ini harus segera dihentikan agar dapat melawan mereka dengan bebas meskipun ada waktu yang terpaksa dikorbankan untuk mengalahkan mereka.
            “Dionze, kita harus menghentikan kuda ini.”
            “Sekarang??”
            “Tunggu dulu. Ikuti aba-abaku. Sementara kau fokus mengendalikan kuda ini, aku akan memperhatikan gerakan mereka.”
            “Baiklah.”
            Dalam ketenangan, mataku tertuju pada setiap bilah pisau yang akan mereka lemparkan. Bukan hanya di satu sisi, bagian sisi lainnya pun terdapat ancaman yang sama. Kupaksakan untuk tetap berkonsentrasi dengan sebaik-baiknya agar dapat menentukan timing yang pas.
            Belum.. Belum sekarang. Aku dapat mendengar hembusan napas mereka, melihat tatapan awas mereka, dan merasakan degupan jantung mereka yang menandakan kesiapan untuk segera menyerang. Sedikit saja gerakan asing yang akan mereka lakukan, dapat menjadi tanda untukku memberi aba-aba pada Dionze.
            ~Ziiiinng...
            “SEKARANG!” teriakku memberi tanda.
            Dionze langsung menarik tali kekang dengan sekuat tenaganya. Kuda jantan cokelat yang kami tumpaki pun seketika berhenti sambil memekikkan jeritan khasnya. Di saat yang sama, beberapa diantara belasan pria berpenutup wajah tersebut terjatuh akibat serangan dari teman-temannya sendiri.
            “Kau hebat, Enutra.” puji Dionze sambil menaikkan jempol kirinya.
            “Belum, sekarang belum saatnya untuk saling memuji.” balasku sambil memerhatikan beberapa pria berpenutup wajah yang baru berdatangan dari atas pohon. “Kita masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
***

            “Kuat juga ternyata kau.” ucap sang gadis vanator sambil meludahkan darah yang mengalir ke mulutnya. Di sekitarnya tampak belasan orang berpakaian hitam dan berpenutup wajah tergeletak tak berdaya dengan berbagai macam luka di tubuhnya.
            “Hal seperti ini sama sekali bukanlah sesuatu yang sulit bagi seorang jendral besar sepertiku.”
            “Oouuhh.. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Tuan Sern padaku. Kau memang benar-benar seorang jendral besar dari kerajaan tetangga.”
            “Sern? Jadi kalian adalah ‘anjing’ para Remidi keparat itu?”
            “Kenapa? Bukankah kau juga dulunya adalah ‘anjing’ mereka?”
            Diksy sedikit terkejut mendengarnya, “Darimana kau tau hal tersebut?”
            “Menurutmu?”
            “Tapi.. Terserah apa katamu. Yang jelas aku tak akan lagi kembali pada mereka.” ujar Diksy menghiraukan sambil memasang sikap kuda-kuda andalannya.
            “Meski keluargamu yang menjadi taruhannya?” tanya gadis tersebut kembali dengan menampakkan senyuman licik.
            Tergemap diam saat Diksy mendengarnya. Ia kembali teringat akan keluarganya yang masih belum aman dari ancaman Remidi meski Tyron telah berhasil dikalahkan.
            “Apa maksud dari perkataanmu itu?”
            “Ehm.. Biar kuulangi lagi. Nyawa anak dan istrimu masih berada dalam genggaman Remidi. Masih maukah kau untuk menentang Remidi?”
            Diksy terdiam seolah terikat oleh kawat tak terlihat yang melilit tubuhnya. Dalam hatinya berkecamuk perdebatan hebat. Pikirannya kalut, sangat sulit untuk menentukan mana yang benar dan yang salah.
            “Darimana kau tahu hal tersebut?”
            “Bukankah sudah kukatakan bahwa kami memang ‘anjing’ Remidi seperti yang kau sebutkan tadi. Tentu saja kami tahu segala hal tentang ‘anjing-anjing’ Remidi yang lainnya.” ucap gadis tersebut sambil berjalan pelan mendekati Diksy. “Lagipula kami adalah Vanator yang memiliki jaringan koneksi yang sangat luas. Informasi seperti itu bukanlah hal yang sulit untuk kami dapatkan.”
             Gadis tersebut berjalan semakin dekat di hadapan Diksy hingga akhirnya membelai wajahnya dengan tangan yang halus namun penuh darah.
            “Jika memang benar apa yang kau katakan tadi, entah apa yang seharusnya kulakukan sekarang.”
            “Tentu saja kau harus kembali menjadi salah satu ‘anjing’ Remidi bukan?” ucap gadis tersebut kembali sambil terus membelai wajah Diksy.
            ~Splash..
            Tiba-tiba sepotong tapak tangan terlempar dari lengan sang gadis diiringi dengan jeritan melengking darinya.
            “JANGAN PERNAH KAU SENTUH WAJAHKU DENGAN TANGAN KOTORMU ITU!” Diksy berteriak keras dan kemudian mendorong jauh gadis tersebut.
            “Aarrgghh.. Apa yang kau lakukan?!” rintih sang gadis sambil memegangi pergelangan tangannya yang penuh dengan muncratan darah segar. “Kau akan menyesali perbuatanmu!”
            “Aku tak peduli dengan segala ocehanmu!” Diksy lalu berlari menuju kudanya dan segera menaikinya.
            “Sungguh, kau akan menyesalinya!”
            Seolah tak mendengar perkataan dari gadis tersebut, ia langsung berlalu dengan kudanya. Dalam hatinya bergumam, “Maafkan aku Dionze, Enutra, Mikoto dan Putri Vivian. Terpaksa harus kutinggalkan kalian demi keselamatan keluargaku. Semoga kalian selamat.”
          “Jangan pergi kau kurang ajar! Ingatlah! Aku, Marin sang dewi keburukan akan segera membalas perbuatanmu!”
***

            Kami berdua saling membelakangi satu sama lain berusaha melindungi setiap sisi serang yang akan mereka lancarkan. Entah sudah berapa lama waktu yang telah kami lewatkan dalam pertarungan ini, mereka telah berhasil mengulur waktu untuk mencegah kami menyelamatkan Vivian dan Mikoto. Tubuhku semakin lelah oleh pertempuran yang seakan tak ada habisnya.
            “Dionze, kau tidak lelah?”
            “Pertarungan kecil seperti ini tak akan membuatku lelah.”
            “Boleh juga kata-katamu meskipun hal tersebut tidak tercermin dalam sikapmu saat ini.”
            Apalagi yang harus aku lakukan dalam pertempuran ini? Aku tak bisa membiarkan mereka terus menerus mengulur waktu. Andai saja kekuatan anehku kembali datang seperti ketika di kubah saat itu. Arghh.. Mengapa sampai saat ini aku masih belum bisa mengendalikannya? Padahal keadaannya hampir sama seperti pada saat itu.
            “Enutra, apa kau punya ide brilian lagi? Kita sudah terlalu lama berada di tempat ini.” ucap Dionze sedikit memecah lamunan.
            “Sebenarnya yang jenderal di sini itu siapa? Kenapa harus selalu aku yang memikirkan segalanya? Bukankah kau justru lebih berpengalaman dalam hal seperti ini?”
            “Aku memang lebih berpengalaman dalam setiap pertempuran. Tapi sejak awal bertemu denganmu, kau selalu memiliki ide-ide brilian yang bahkan berada di luar pemikiran seorang jenderal perang sekali pun.”
            Dalam hati tersirat sedikit rasa bangga setelah mendengar perkataannya tadi, “Tapi.. Saat ini aku benar-benar tak bisa berpikir dengan jernih.”
            “Hmm.. Baiklah.” Sesaat Dionze menghela napas sambil menurunkan tameng dan pedangnya. “Kali ini biarkan aku bertindak selayaknya seorang jenderal.”
            “Eh?? Apa yang kamu lakukan?” tanyaku panik setelah melihat sikapnya yang seolah akan menyerah.
            “Cukup tenang dan perhatikan. Biar ku selesaikan dengan rencanaku.”
            Dionze membungkukkan badannya. Sikapnya yang tak biasa membuat para pria berbaju hitam disekeliling kami menjadi semakin waswas. Meski entah apa yang akan ia lakukan nanti, setidaknya aku sedikit merasa tenang. Mungkin ini adalah salah satu dari sekian skill andalannya.
            “Masa bodoh dengan apa akan ia lakukan. Ayo serang mereka!!” teriak salah seorang vanator memulai serangannya kembali.
            Aku kembali panik setelah melihat puluhan pisau telah melesat cepat menuju kami berdua.
            “Dionze, bagaimana ini? Apa yang akan kau laku-..” ucapanku terhenti setelah menyadari Dionze sudah tidak berada di belakangku lagi. “Gawat, dia sepertinya lari meninggalkanku! Kali ini aku benar-benar dalam masalah.”
            Seolah tak sanggup lagi untuk melawan, aku hanya bisa menunduk memejamkan mata dengan kedua tangan yang saling bersilangan menghalangi kepala.
            ~Klank.. Klank..
            Tiba-tiba puluhan pisau yang siap menerjang seketika berjatuhan begitu saja. Kubuka kelopak mata untuk melihatnya. Kepalaku masih tertunduk. Ceceran darah segar nampak terlihat menggenang di sekeliling. Apa yang terjadi?
            Perlahan kutegakkan kepala. Rasanya tak percaya dengan apa yang kulihat kali ini. Belasan vanator berpenutup wajah yang sebelumnya berhasil mengepung kini telah tergeletak tak berdaya. Siapa yang telah melakukannya?
            “Bagaimana dengan rencanaku tadi?”
            “Eh?” terkejut sekaligus bingung setelah mendengar suara familiar yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Dionze? Eh? Rencana? Eh? Apa ini?”
            “Bukankah sudah ku katakan tadi. Yap inilah rencanaku.” ujar Dionze tenang sambil menampakkan senyumannya.
            “RENCANA???” teriakku dengan penuh tanya diantara geletakan tubuh para vanator yang tak berdaya. “Kau tiba-tiba menghilang. Dan kemudian seperti ini. Dan kemudian kau datang lagi. Dan kau sebut ini adalah sebuah rencana? Rencana macam apa itu??”
            “Sudahlah, tak penting untuk dibahas. Yang penting mari kita segera susul Mikoto dan Putri Vivian yang sepertinya telah lelah menunggu kita.”
            “Iya juga.. Tapi tunggu.. Tunggu.. Tunggu.. Kenapa kamu tidak melakukan ini sejak tadi? Kita jadi tidak perlu membuang waktu begitu lama kalau kau melakukannya dari awal.”
            “Nanti akan kujelaskan setelah kita sampai bertemu dengan Mikoto dan Putri Vivian.” Dionze lalu menarik keras tanganku menuju kuda jantan coklatnya. “Kita sudah kehilangan banyak waktu.”
            Aku mengerti bahwa kita memang telah kehilangan banyak waktu di pertarungan ini. Tapi, rasanya benar-benar tidak bisa dimengerti dengan apa yang ia pikirkan. Ia telah bertarung mati-matian dengan tenaga seadanya dan tiba-tiba mengalahkan para vanator hanya dalam hitungan detik. Yang kumaksud, kenapa tidak ia lakukan hal tersebut sejak tadi tanpa harus membuang-buang waktu seperti ini? Kepalaku rasanya sangat pusing sekali. Tapi ya sudahlah, yang terpenting bagiku adalah segera menemui kedua gadis yang kutinggalkan sejak tadi. Vivian dan Mikoto.
***

            Silauan cahaya matahari yang menembus di balik dedaunan dan ranting pepohonan menyorot wajah. Agak terik namun menghangatkan. Suasana nyaman ini masih belum berhasil membuatku berhenti menyesal akan tindakan ceroboh yang sudah kulakukan. Meski memang sudah terlambat untuk disesali, semuanya masih terasa berputar-putar di dalam pikiran.
            Ego. Harus kukendalikan ego yang membahayakan ini. Bila dipikirkan kembali, sebenarnya aku adalah siapa? Ksatria pun bukan. Mengapa harus berlagak sok pahlawan diantara para pahlawan yang sesungguhnya? Aku benar-benar terpedaya oleh sikap burukku ini. Itulah mengapa Imaji tidak datang membantuku dengan kekuatannya meski sangat kubutuhkan. Mungkin ia memang berencana untuk menguji kesiapan mental dibalik kesiapan fisikku.
            “Aarrggghh!! Apa yang kau lakukan?!”
            “Mikotooo!!”
            Tiba-tiba tedengar jeritan seorang pria dikuti dengan teriakan wanita yang memanggil sebuah nama.
            Sontak Dionze menghentikan kudanya seketika. Ia lalu menoleh dan mengangguk padaku memberi tanda. Aku pun mengangguk membalasnya.
            Aku yakin, suara wanita tadi adalah suara dari seseorang yang kukenal. Vivian Veroka, sang putri kerajaan Eternality.
            Dengan bergegas Dionze lalu mengarahkan kudanya menuju asal suara tadi.
            “Enutra, bila kita telah sampai menuju tempat mereka berada, aku mohon agar kau yang bertindak dengan segala situasi yang akan terjadi nantinya.”
            “Apa maksudmu, Dionze?” tanyaku sedikit panik.
            “Ya seperti yang sudah kuperlihatkan padamu tadi, aku telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk mengalahkan para vanator tadi.”
            “Jadi maksudmu kekuatan tadi merupakan skill pamungkas yang telah menyerap seluruh kekuatanmu?” tanyaku lagi.
            “Kurang lebih begitu. Skill tadi telah menyerap seluruh tenagaku. Bukan hanya itu, akibat skill tersebut juga kekuatanku baru akan kembali pulih setelah melewati satu hari penuh.”
            “Hah?? Kenapa tidak kau katakan sejak tadi?”
            “Bila ku katakan, tentu saja kau akan menentangnya. Lagipula sebelumnya aku benar-benar tak bermaksud untuk mengeluarkan skill tersebut karena yakin bahwa Mikoto dan Vivian pun pasti sedang mengalami masalah yang sama dengan kita. Namun kita tidak bisa terlalu lama membuang-buang waktu.”
            Kepalaku rasanya semakin penat. Semuanya terasa semakin rumit. Bagaimana bisa aku mengalahkan para Vanator sendirian padahal tadi pun mereka sudah berhasil mendesakku.
            Perlahan kutarik napas sedalam-dalamnya dan berusaha untuk berpikir jernih sejenak, “Baiklah. Meski aku tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya, namun aku akan berusaha semampuku.”
            Dionze mengangguk.
            Selang beberapa menit, tiba-tiba Dionze berseru, “Enutra! Aku menemukan mereka!”
            Samar-samar nampak seorang gadis yang tengah tergeletak dengan beberapa pria berpakaian hitam dari balik pepohonan.
            “Kau benar.”
            “Mari kita terjang mereka!” seru Dionze.
            Dengan cepat kuda yang dikendarai Dionze melompat melewati semak-semak dan celah popohonan rimbun yang mengelilingi kami.
            ~Slaaassshh.. Splat.. Slaasshh..
            “Argghh..”
            Aku melompat dari kuda dan langsung menerjang para vanator berpakaian hitam dengan pedang Dartmouth Eterna yang telah siap di genggamanku.
            “Oh tidak! Kenapa kalian bisa ada di sini? Apa yang dilakukan Marin di sana??” teriak seorang lelaki berambut pirang bergelombang tak dikenal yang tengah menyekap Vivian di depannya.
            Amarahku semakin memuncak melihat apa yang telah ia lakukan pada Vivian. “Itu tidak penting! Akan ku hajar kalian para Vanator!”
           Sementara itu Dionze baru saja turun dari kudanya dan menghampiri Mikoto yang tengah tergelatak tak berdaya.
            “Mikoto! Sadarlah!”
            Aku sadar, Mikoto pun sepertinya telah berhasil dikalahkan oleh lelaki pirang tersebut.
            “Dionze! Aku mohon padamu, tolong pergi cari pertolongan untuk menyelamatkan Mikoto. Biar aku yang selesaikan masalah ini sendiri.”
            Dionze terpaku menatapku sambil menggendong Mikoto dengan kedua tangannya. Entah apa yang ia pikirkan, namun sepertinya ia bimbang setelah melihatku yang berjuang sendirian melawan para Vanator.
            “Sudah cepat pergi selamatkan Mikoto!” seruku lagi pada Dionze.
            Dionze akhirnya mengangguk dan kemudian membawa Mikoto dengan kudanya tanpa berkata sedikitpun.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar