15 Maret 2015

DUNIA SEMU #31


CHAPTER 31 - VANATOR

            Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa kita adalah yang terkuat? Ada yang berkata bahwa kita harus mampu mengalahkan segalanya dengan menyingkirkan yang lain. Entahlah, bagiku yang seperti itu justru membuatnya terlihat semakin lemah. Tak peduli sekuat apapun fisik mereka, bila hati telah tertutup hanya untuk mengalahkan dan mengalahkan, yang ada hanya akan membuat jiwa mereka semakin kosong dan lemah.
            Lalu, siapa yang mampu untuk menjadi orang yang terkuat? Tak ada yang tahu pasti. Hanya saja, selama mereka mampu melindungi minimal satu hal yang selalu mereka pegang, maka hal itu akan membuatnya menjadi yang terkuat. Tak terkecuali orang yang dianggap paling lemah sekali pun, karena kekuatan yang sebenarnya akan tumbuh di dalam hati yang terdalam.
***


            Desa yang diserang oleh sekumpulan makhluk raksasa? Apa ini adalah perbuatan dari para bangsa Remidi? Tidak, bangsa Remidi selalu melakukan penyerangan di sekitar kubah kegelapan. Atau mungkinkah mereka sudah mulai bisa menyerang manusia jauh dari luar kubahnya? Bila melihat Sern yang mampu mengendalikan seluruh warga Velika dengan kekuatannya sediri jauh dari kubah kegelapan, tidak menutup kemungkinan para bangsa remidi yang lain pun pasti mampu melakukannya juga. Sungguh, masih banyak hal yang belum kuketahui tentang mereka.
            Derap langkah kaki-kaki kuda berhenti. Kami semua terdiam seolah mematung melihat keadaan mengerikan yang terjadi di hadapan. Bau hangus dan asap sisa pembakaran menyengat menusuk hidung. Hawa panas mengalir menelusuk di setiap pori-pori kulit. Tak dapat disangka, sebuah desa telah hancur luluh lantak tak berbentuk. Sepanjang mata memandang hanya terlihat tumpukkan arang dan kobaran api yang terus menjilat.
            Perlahan gadis pirang yang membawa kami ke tempat ini pun turun dari kuda yang dikendarai Diksy. Kakinya bergetar, tatapan matanya kosong, dan suaranya tertahan seakan sebuah duri menancap tenggorokannya.
            “TIDAKK!!” seketika gadis tersebut menjerit sekeras-kerasnya seraya menangis bersujud.
            Kami hanya bisa terdiam memandangnya. Tak ada yang dapat menyangka bahwa desanya akan hancur seperti ini.
            “Sial! Kita terlambat.” gumamku sambil mengepalkan tangan kanan sekuatnya.
            Diksy lalu mendekati gadis pirang yang menangis tersebut mencoba untuk menghibur. “Nona, bersabarlah.”
            Suasana terasa hening.
            “Tapi, rasanya ada yang aneh.” celetuk Dionze tiba-tiba.
            “Apa maksudmu?”
            “Enutra, coba kamu perhatikan desa ini.” jawab Dionze sambil mengarahkan lengan pada puing-puing bangunan yang hancur di hadapannya. “Desa ini sangat hancur berantakan. Seluruh bangunan pun sudah hampir terlihat rata dengan tanah. Tapi, rasanya ini benar-benar terlalu hancur.”
            “Bodoh! Apa yang kau katakan? Apa kau tidak memahami perasaannya dengan berkata seperti itu?” Balasku menghardik sambil menunjuk pada gadis yang tengah meringkuk bersama Diksy. “Apa kau tidak sadar dengan ledakan besar tadi! Tentu saja desa ini telah hancur oleh ledakan dan jilatan api yang mengamuk, sudah pasti desa ini menjadi benar-benar hancur!”
            “Tapi, aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini ketika berada di medan perang. Separah apapun kehancuran yang disebabkan oleh ledakan ataupun kobaran api, tak akan mungkin bisa membuat kehancuran separah ini. Selain itu tak terlihat sedikitpun jejak kaki monster besar yang gadis itu ceritakan. Desa ini seperti telah lama hancur sebelum ledakan tadi terjadi.” tutur Dionze.
            Benar juga. Bila diperhatikan lebih jelas, desa ini memang hancur terlalu parah bila dibandingkan dengan kehancuran saat ledakan bom di Velika sebelumnya.
            “Selain itu, aku tak melihat satu pun mayat yang tergeletak di antara puing-puing bangunan ini. Aku sudah terbiasa berada di kota atau desa yang hancur di medan perang dan aku yakin kehancuran ini bukan diakibatkan oleh serangan monster. Nona, apa kau yakin bahwa desamu ini hanya diserang oleh para monster raksasa saja?” lanjut Dionze sambil bertanya pada gadis pirang tersebut.
            Gadis tersebut lalu menghentikan tangisannya. Entah benar atau tidak, sekilas ia terlihat menampakkan senyum di wajahnya.
            ~Sleebb..
            Tiba-tiba darah segar menetes menggenang di atas tanah yang ditapaki oleh Diksy. Sebuah belati telah tertancap di perutnya.
            “Diksy!”
            “Aaahh.. Ternyata kalian memang tidak sebodoh yang aku kira.” nada bicara sang gadis pirang tersebut tiba-tiba berubah.
            “Siapa kau sebenarnya?!”
            “Aku? Aku hanya seorang gadis desa yang meminta pertolongan pada siapapun yang melintasi hutan ini.” jawabnya seolah telah meremehkan pertanyaanku.
            “Jangan-jangan, kau adalah salah satu dari para Vanator?” teriak Dionze pada gadis pirang tersebut.
            “Vanator? Apa maksudnya dengan Vanator?” gumamku setelah mendengar ucapan Dionze.
            “Hahaha.. Yaa!! Kami adalah Vanator! Perampok berdarah dingin yang tak akan segan membunuh setiap korbannya.” Teriak gadis pirang itu yang kemudian diikuti munculnya sekelompok orang berpakaian hitam dengan penutup muka seperti ninja di belakangnya.
            “Untuk apa kalian merampok kami? Asal kalian tahu, kami sama sekali tidak memiliki harta berharga apapun!” teriakku padanya.
            “Harta berharga? Kau pikir harta berharga hanya berupa uang dan emas saja?” ucapnya berlagak hebat. “Aku rasa seorang putri raja yang telah kalian tinggalkan tadi jauh lebih berharga dibanding harta yang kalian punya sekarang.”
            “Kurang ajar! Vivian sedang dalam bahaya!” ucapku geram.
            “Aku kira kau telah salah dalam memilih korban.” tiba-tiba terdengar ucapan Diksy. Ia kini telah menggenggam sebilah belati yang sebelumnya tertancap di perutnya. “Aku sudah mengira hal ini pasti akan terjadi sebelum kau datang menemui kami.”
            Aku dan Dionze terkejut melihat apa yang terjadi pada Diksy.
            “Apa maksudmu? Bagaimana mungkin kau bisa bertahan meski telah kutusuk?” ucap gadis tersebut panik.
            “Memangnya aku bisa mati hanya dengan serangan belati seperti ini?” ucapnya sambil melemparkan seekor ikan mas yang penuh darah dari balik pakaiannya. “Dionze, Enutra, cepat pergi selamatkan Putri Vivian dan dik Mikoto!”
            “Tapi jendral..” ucap Dionze terpotong.
            “Sudah, jangan kau khawatirkan aku. Bandit busuk ini bukanlah apa-apa bagiku.”
            “Kurang ajar!” Gadis pirang tersebut kembali berteriak. “Jangan bertindak seenaknya di hadapanku! Kalian semua, hajar ketiga orang itu!”
            Seketika seluruh pria berpakaian ninja hitam tersebut menyerang kami dengan melemparkan puluhan pisau lempar seperti kunai[1]. Gerakan mereka begitu cepat. Hampir sulit bagiku untuk menghindari serangan mereka.
            “Enutra! berhati-hatilah!” Dionze mencoba melindungiku dengan mengangkat tameng di tangan kirinya.
            ~Daaang!!!
            Puluhan pisau lempar tersebut tiba-tiba saja berjatuhan sebelum mengenai kami berdua. Entah apa yang terjadi barusan, namun sebuah bayangan besar berdiri tepat di hadapan kami. Dialah yang telah menangkis seluruh pisau lempar dengan cakar besi di kedua tangannya.
            “Apa lagi yang kalian tunggu?! Cepat pergi dan selamatkan Putri Vivian dan dik Mikoto!” perintah Diksy sambil terus menangkis seluruh serangan yang dilakukan oleh para ninja hitam.
            Aku dan Dionze saling menatap ragu. Rasanya tak tega meninggalkan Diksy di tengah pertarungan sengit seperti ini. Tapi, aku juga tak bisa membiarkan hal buruk terjadi pada Vivian dan Mikoto. Aku harus segera pergi. Aku telah berjanji untuk melindungi Vivian meski dalam keadaan apapun.
            “Baiklah, aku percayakan pertarungan ini padamu.” ucapku pada Diksy. “Tapi berjanjilah. Temui kami kembali dalam keadaan selamat.”
            “Sudah, jangan banyak bicara! Ayo cepat pergi!”
            Akhirnya kami berdua sepakat untuk pergi meninggalkan Diksy yang tengah berjuang sendirian menghadapi para Vanator. Semoga ia dapat menepati janjinya.
***

            “Kak Mikoto, rasanya sepi juga ditinggalkan oleh mereka bertiga. Aku harap mereka baik-baik saja.” ucap Vivian sambil mengelus-elus kuda hitam Mikoto.
            “Eh? Kakak? Aku pikir umur kita sama?”
            “Tidak, sebenarnya umurku dua tahun lebih muda dari kakak.”
           “Err.. Tapi tolong jangan panggil aku kakak deh.” ucap Mikoto canggung. “Apalagi di hadapan si mesum Enutra. Kelihatannya aku jadi seperti sudah tua.”
            Vivian sedikit menutup bibirnya sambil tertawa kecil. “Hihi.. Tidak kok, tidak. Kakak masih kelihatan muda dan cantik.” ucap Vivian memuji. “Kalau begitu, aku harus memanggil kakak apa?”
            “Ahahahaha.. Benarkah? Tuan putri terlalu berlebihan padaku. Hahahahaha..” wajah Mikoto memerah tersipu. “Mikoto. Tuan putri cukup memanggilku Mikoto saja. Tanpa ada label kakak di depannya.”
            “Baiklah Mikoto. Kalau begitu Mikoto juga cukup memanggilku Vivian saja ya.”
            “Hah?? Rasanya tidak sopan bila memanggil tuan putri seperti itu.” ucap Mikoto terkejut.
            “Tidak apa-apa kok.” jawab Vivian sambil menampilkan senyuman manisnya.
            “Ba-Baiklah Viv-Vivian.” ucap Mikoto canggung.
            “Nah, dengan begitu kan kita jadi terlihat bersahabat.” ucap Vivian dengan senyuman hangat di wajahnya.
            Mikoto mengangguk membalas perkataan Vivian sambil menampakkan senyuman yang hangat juga di wajahnya. Gadis ini memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengannya. Benar-benar seorang putri bangsawan.
            ~Ziiingg..
            “Hati-hati Vivian!” teriak Mikoto sambil merangkul pundak Vivian dan membuatnya merunduk. Instingnya mengatakan sesuatu yang buruk akan segera menyerang mereka.
            ~Tap.. Tap.. Tap..
            Benar saja, tiga buah pisau lempar menancap di batang pohon dekat mereka. Jika saja Mikoto dan Vivian tidak merunduk, mungkin pisau tersebut sudah menancap di kepala mereka.
            “Wah.. Wah.. Ternyata kalian mampu menghindarinya.” terdengar suara seorang lelaki dari balik popohonan tempat ketiga pisau lempar tadi berasal.
            “Siapa disana?!” tanya Mikoto keras.
            Sesaat setelah itu, muncul seorang lelaki dengan rambut pirang bergelombang yang kemudian diikuti oleh belasan orang berpakaian hitam berpenutup wajah di belakangnya.
            “Oi.. Oi.. Kami cuma orang lewat yang ingin menyapa dua gadis cantik di tengah hutan yang sepi ini.” jawab lelaki tersebut santai sambil memutar-mutar sebuah pisau lempar di jari telunjuknya.
            “Jangan mendekat!” ucap Mikoto sambil berusaha melindungi Vivian di belakangnya. “Selangkah saja kalian berani mendekati kami, aku tak akan segan untuk menghajar kalian!”
          “Hei.. Tidak sopan bagi seorang gadis cantik sepertimu untuk berkata begitu kepada pria yang baru dikenalnya.” lelaki tersebut lalu menunduk dengan posisi seperti mengenalkan diri. “Perkenalkan namaku Morark, dan aku adalah orang yang akan membawa gadis manis yang ada di belakangmu itu!”
            Hanya berselang beberapa detik setelah ia memperkenalkan dirinya, tiba-tiba lelaki tersebut langsung berlari menyerang Mikoto.
            “Kurang ajar! Tak akan kubiarkan kau mendekati Vivian!”
            Dengan cepat Mikoto merapalkan mantra dan mengarahkan tongkatnya pada lelaki bernama Morark tersebut. Sebuah lingkaran sihir lalu muncul dan menembakkan sinar-sinar penghancur padanya.
            “Hebat! Hebat! Hebat! Kekuatan yang sungguh hebat!” ucap Morark sambil terus berlari menghindari serangan Mikoto. “Sekarang giliranku untuk menyerangmu.”
            “Gawat, ia bisa menghindari seluruh seranganku.” ucap Mikoto terdesak.
            Morark lalu melemparkan sejumlah pisau lempar pada Mikoto dan langsung melompat melewatinya.
            ~Jleb.. Jleb.. Jleb..
            Darah segar menetes dari tubuh Mikoto, tiga buah pisau lempar telah tertancap di pundaknya. Ia tak menyangka Morark dapat menghindari seluruh serangannya dan bahkan mampu membuatnya terluka. Lelaki pirang ini tak bisa ia anggap remeh begitu saja.
            “Aku kira aku bisa mendapatkan perlawanan yang cukup kuat di pertarungan ini.” tak disangka Morark kini telah berada di belakangnya sambil berhasil menyekap Vivian dengan seikat tali tambang. “Tapi wanita tetaplah seorang wanita, kau tak akan bisa mengalahkanku begitu saja.” ucapnya lagi meremehkan.
            Mikoto semakin geram. Urat-uratnya semakin menegang akibat tersulut hinaan Morark.
            “Jangan banyak bicara kau kurang ajar!!!” Ia lalu kembali merapalkan mantra sambil mengangkat tongkatnya.
            Namun..
            Seketika kedua tangannya terikat oleh tali tambang dari kanan dan kiri. Sekelompok orang berpakaian hitam yang datang bersama Morark telah membuatnya terkunci tak bergerak. Mantra sihirnya pun tak dapat ia keluarkan karena pergerakannya telah dibatasi. Ia tak dapat berbuat banyak dan seolah hanya pasrah melihat Vivian yang akan segera dibawa oleh pria kurang ajar berambut pirang tersebut.
            “Wow, hampir saja. Terima kasih teman-teman.” ucap Morark sambil perlahan mundur menyekap Vivian menuju balik pepohonan. “Sebagai balasannya, kalian boleh melakukan apapun pada gadis tersebut. Aku akan pergi duluan membawa sang putri ini pada Tuan Sern.”
            “Viviaann!!” teriak Mikoto yang saat ini tak bisa berbuat apapun.
            Ia benar-benar sangat geram dengan kelakuan Morark tersebut. Terlebih lagi ia pun kini sedang dalam keadaan yang berbahaya. Sekelompok orang berpakaian hitam mulai mendekatinya. Entah dimana Enutra dan yang lainnya disaat ia sedang membutuhkannya pikirnya dalam hati.
            “Aarrggghh!! Apa yang kau lakukan?!”
            “Mikotooo!!”
           Tiba-tiba terdengar jeritan Morark dari balik pepohonan diikuti dengan Vivian yang berteriak memanggil Mikoto. Kejadian barusan membuat semua orang di sekitar Mikoto terdiam dan terkejut saat mendengarnya. Disaat seperti itu, ia sadar bahwa inilah kesempatan untuk melepaskan ikatan yang membelenggunya.
            “Menyingkirlah kalian semua!!!!” teriak Mikoto sambil menarik tambang yang mengikat tangannya. Tarikannya menyeret orang-orang berpakaian hitam di sekitarnya dan membuat mereka terpelanting menghantam satu sama lain. “Vivian, bertahanlah! Aku akan menyusulmu!”
            Tambang yang mengikat tangan Mikoto terputus setelah ia merapalkan sejenis sihir api padanya. Kemudian ia melompat tinggi melewati orang-orang berpakaian hitam tersebut untuk mengejar Morark yang menyekap Vivian di balik pepohonan.
            Perlahan mulai terlihat Morark diantara rimbunnya pepohonan. Ia masih menyekap Vivian dengan ikatan tambangnya. Namun ada sesuatu yang aneh, Mikoto menyadari bahwa Morark nampak kesakitan dengan darah yang terus menetes dari tangan kirinya. Sepertinya jeritan tadi akibat dari gigitan Vivian yang telah melukai tangan Morark hingga seperti itu.
            “Mikoto!” ucap Vivian girang setelah melihat Mikoto yang telah berhasil mendatanginya.
            Mikoto tersenyum setelah mendengar ucapan Vivian dan kemudian berteriak pada Morark sambil menampakkan lingkaran sihir dari ujung tongkatnya, “Akan kubalas perbuatanmu!”
            “Jangan berlagak pahlawan kau, perempuan!”
            Morark geram dan melemparkan sejumlah pisau lemparnya.
            Sementara Mikoto tak banyak mengelak karena sebagian serangan telah tertahan oleh lingkaran sihir tersebut. Ia juga tak bisa sembarangan menyerang karena Morark telah menjadikan Vivian sebagai tamengnya. Otaknya dipaksa berputar untuk mencari siasat dalam mengalahkan lelaki pirang tersebut.
            “Mikoto, awas di belakangmu!” teriak Vivian menyadarkan Mikoto akan bahaya yang mengintai di belakangnya.
            Sejumlah lelaki berbaju hitam yang mengikat Mikoto tadi telah berada di belakangnya dan sedang berusaha untuk menyerangnya dengan pisau lempar yang terikat dengan tambang. Tapi ia sudah memperkirakannya dengan menangkap serangan pisau lempar tersebut dan melempar mereka dengan kekuatan dari tongkatnya.
            “Sungguh mengerikan. Kau ternyata kuat juga.” ucap Morark yang kemudian kembali melancarkan serangan pisau lemparnya.
            “Seranganmu sungguh sudah sangat basi. Kalau hanya begini, aku bisa dengan mudah mengalahkanmu.”
            “Benarkah? Asal kau tahu, kemampuanku bukan hanya disini saja.” ucap Morark sambil menampakkan senyuman sinis.
            Setelah ia melemparkan beberapa pisau lemparnya, tiba-tiba pisau-pisau tersebut berbalik arah menuju Vivian yang berada di depannya. Ternyata Morark mampu mengendalikan arah pergerakan dari seluruh pisaunya.
            “Kurang ajar! Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?!”
            Mikoto tak tinggal diam begitu saja. Ia langsung berusaha untuk mengejar pisau-pisau tersebut dan mencoba untuk mengubah arah lemparannya. Ia tak peduli bila itu adalah gertakan atau bukan. Yang terpenting baginya adalah keselamatan Vivian.
            “Sudah kuduga, kau terlalu lemah.” terdengar gumaman dari Morark.
            Tak disangka ternyata pisau-pisau tersebut kembali merubah arahnya menuju Mikoto.
            “Mikoto!!” Vivian menjerit.
            Mikoto tak dapat menghindarinya hingga akhirnya sejumlah pisau lempar telah tertancap di seluruh tubuhnya. Entah sudah berapa kali pertahanannya tertembus oleh serangan Morark. Sudah terlalu banyak darah yang mengalir hingga membuat tubuhnya lemah. Ia sudah tak mampu lagi berdiri di atas kedua kakinya. Seluruh penglihatannya semakin memudar.
            ~Tesss..
            Tak terasa air mata telah mengalir dari matanya. Ia sangat menyesal karena tak dapat menepati janjinya untuk melindungi Vivian. Ia menyadari bahwa dirinya masih terlalu lemah meski tekadnya sudah cukup kuat.
            “Kalian cepat buang jauh perempuan itu dari hadapanku!” samar-samar terdengar teriakan Morark yang mencoba untuk memerintah pasukannya.
            “Baik Tuan Mor..”
            ~Slaaassshh.. Splat.. Slaasshh..
            “Argghh..”
            “Oh tidak! Kenapa kalian bisa ada di sini? Apa yang dilakukan Marin di sana??”
            “Itu tidak penting! Akan ku hajar kalian para Vanator!”
            “Mikoto! Sadarlah!”
            Entah apa yang terjadi, Mikoto merasa telah mendengar suara dari orang-orang yang ia kenal. Meski samar dan sudah tak mampu lagi untuk melihat semuanya, ia yakin hal yang baik akan terjadi padanya. Dan akhirnya, semuanya pun menjadi gelap.
***


[1] Merupakan senjata lempar tradisional Jepang yang menyerupai pisau berujung tajam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar