CHAPTER 31 - VANATOR
Bagaimana
caranya untuk membuktikan bahwa kita adalah yang terkuat? Ada yang berkata bahwa
kita harus mampu mengalahkan segalanya dengan menyingkirkan yang lain. Entahlah,
bagiku yang seperti itu justru membuatnya terlihat semakin lemah. Tak peduli
sekuat apapun fisik mereka, bila hati telah tertutup hanya untuk mengalahkan
dan mengalahkan, yang ada hanya akan membuat jiwa mereka semakin kosong dan lemah.
Lalu,
siapa yang mampu untuk menjadi orang yang terkuat? Tak ada yang tahu pasti.
Hanya saja, selama mereka mampu melindungi minimal satu hal yang selalu mereka
pegang, maka hal itu akan membuatnya menjadi yang terkuat. Tak terkecuali orang
yang dianggap paling lemah sekali pun, karena kekuatan yang sebenarnya akan
tumbuh di dalam hati yang terdalam.
***
Desa
yang diserang oleh sekumpulan makhluk raksasa? Apa ini adalah perbuatan dari para
bangsa Remidi? Tidak, bangsa Remidi selalu melakukan penyerangan di sekitar
kubah kegelapan. Atau mungkinkah mereka sudah mulai bisa menyerang manusia jauh
dari luar kubahnya? Bila melihat Sern yang mampu mengendalikan seluruh warga
Velika dengan kekuatannya sediri jauh dari kubah kegelapan, tidak menutup
kemungkinan para bangsa remidi yang lain pun pasti mampu melakukannya juga. Sungguh,
masih banyak hal yang belum kuketahui tentang mereka.
Derap
langkah kaki-kaki kuda berhenti. Kami semua terdiam seolah mematung melihat
keadaan mengerikan yang terjadi di hadapan. Bau hangus dan asap sisa pembakaran
menyengat menusuk hidung. Hawa panas mengalir menelusuk di setiap pori-pori
kulit. Tak dapat disangka, sebuah desa telah hancur luluh lantak tak berbentuk.
Sepanjang mata memandang hanya terlihat tumpukkan arang dan kobaran api yang
terus menjilat.
Perlahan
gadis pirang yang membawa kami ke tempat ini pun turun dari kuda yang
dikendarai Diksy. Kakinya bergetar, tatapan matanya kosong, dan suaranya
tertahan seakan sebuah duri menancap tenggorokannya.
“TIDAKK!!”
seketika gadis tersebut menjerit sekeras-kerasnya seraya menangis bersujud.
Kami
hanya bisa terdiam memandangnya. Tak ada yang dapat menyangka bahwa desanya
akan hancur seperti ini.
“Sial!
Kita terlambat.” gumamku sambil mengepalkan tangan kanan sekuatnya.
Diksy
lalu mendekati gadis pirang yang menangis tersebut mencoba untuk menghibur.
“Nona, bersabarlah.”
Suasana
terasa hening.
“Tapi,
rasanya ada yang aneh.” celetuk Dionze tiba-tiba.
“Apa
maksudmu?”
“Enutra,
coba kamu perhatikan desa ini.” jawab Dionze sambil mengarahkan lengan pada
puing-puing bangunan yang hancur di hadapannya. “Desa ini sangat hancur
berantakan. Seluruh bangunan pun sudah hampir terlihat rata dengan tanah. Tapi,
rasanya ini benar-benar terlalu hancur.”
“Bodoh!
Apa yang kau katakan? Apa kau tidak memahami perasaannya dengan berkata seperti
itu?” Balasku menghardik sambil menunjuk pada gadis yang tengah meringkuk
bersama Diksy. “Apa kau tidak sadar dengan ledakan besar tadi! Tentu saja desa
ini telah hancur oleh ledakan dan jilatan api yang mengamuk, sudah pasti desa
ini menjadi benar-benar hancur!”
“Tapi,
aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini ketika berada di medan perang.
Separah apapun kehancuran yang disebabkan oleh ledakan ataupun kobaran api, tak
akan mungkin bisa membuat kehancuran separah ini. Selain itu tak terlihat
sedikitpun jejak kaki monster besar yang gadis itu ceritakan. Desa ini seperti
telah lama hancur sebelum ledakan tadi terjadi.” tutur Dionze.
Benar
juga. Bila diperhatikan lebih jelas, desa ini memang hancur terlalu parah bila
dibandingkan dengan kehancuran saat ledakan bom di Velika sebelumnya.
“Selain
itu, aku tak melihat satu pun mayat yang tergeletak di antara puing-puing
bangunan ini. Aku sudah terbiasa berada di kota atau desa yang hancur di medan
perang dan aku yakin kehancuran ini bukan diakibatkan oleh serangan monster.
Nona, apa kau yakin bahwa desamu ini hanya diserang oleh para monster raksasa
saja?” lanjut Dionze sambil bertanya pada gadis pirang tersebut.
Gadis
tersebut lalu menghentikan tangisannya. Entah benar atau tidak, sekilas ia
terlihat menampakkan senyum di wajahnya.
~Sleebb..
Tiba-tiba darah segar menetes
menggenang di atas tanah yang ditapaki oleh Diksy. Sebuah belati telah tertancap
di perutnya.
“Diksy!”
“Aaahh..
Ternyata kalian memang tidak sebodoh yang aku kira.” nada bicara sang gadis
pirang tersebut tiba-tiba berubah.
“Siapa
kau sebenarnya?!”
“Aku?
Aku hanya seorang gadis desa yang meminta pertolongan pada siapapun yang
melintasi hutan ini.” jawabnya seolah telah meremehkan pertanyaanku.
“Jangan-jangan,
kau adalah salah satu dari para Vanator?” teriak Dionze pada gadis pirang
tersebut.
“Vanator?
Apa maksudnya dengan Vanator?” gumamku setelah mendengar ucapan Dionze.
“Hahaha..
Yaa!! Kami adalah Vanator! Perampok berdarah dingin yang tak akan segan
membunuh setiap korbannya.” Teriak gadis pirang itu yang kemudian diikuti
munculnya sekelompok orang berpakaian hitam dengan penutup muka seperti ninja
di belakangnya.
“Untuk
apa kalian merampok kami? Asal kalian tahu, kami sama sekali tidak memiliki harta
berharga apapun!” teriakku padanya.
“Harta
berharga? Kau pikir harta berharga hanya berupa uang dan emas saja?” ucapnya
berlagak hebat. “Aku rasa seorang putri raja yang telah kalian tinggalkan tadi
jauh lebih berharga dibanding harta yang kalian punya sekarang.”
“Kurang
ajar! Vivian sedang dalam bahaya!” ucapku geram.
“Aku
kira kau telah salah dalam memilih korban.” tiba-tiba terdengar ucapan Diksy.
Ia kini telah menggenggam sebilah belati yang sebelumnya tertancap di perutnya.
“Aku sudah mengira hal ini pasti akan terjadi sebelum kau datang menemui kami.”
Aku
dan Dionze terkejut melihat apa yang terjadi pada Diksy.
“Apa
maksudmu? Bagaimana mungkin kau bisa bertahan meski telah kutusuk?” ucap gadis
tersebut panik.
“Memangnya
aku bisa mati hanya dengan serangan belati seperti ini?” ucapnya sambil
melemparkan seekor ikan mas yang penuh darah dari balik pakaiannya. “Dionze,
Enutra, cepat pergi selamatkan Putri Vivian dan dik Mikoto!”
“Tapi
jendral..” ucap Dionze terpotong.
“Sudah,
jangan kau khawatirkan aku. Bandit busuk ini bukanlah apa-apa bagiku.”
“Kurang
ajar!” Gadis pirang tersebut kembali berteriak. “Jangan bertindak seenaknya di
hadapanku! Kalian semua, hajar ketiga orang itu!”
Seketika
seluruh pria berpakaian ninja hitam tersebut menyerang kami dengan melemparkan
puluhan pisau lempar seperti kunai[1].
Gerakan mereka begitu cepat. Hampir sulit bagiku untuk menghindari serangan
mereka.
“Enutra!
berhati-hatilah!” Dionze mencoba melindungiku dengan mengangkat tameng di
tangan kirinya.
~Daaang!!!
Puluhan
pisau lempar tersebut tiba-tiba saja berjatuhan sebelum mengenai kami berdua.
Entah apa yang terjadi barusan, namun sebuah bayangan besar berdiri tepat di
hadapan kami. Dialah yang telah menangkis seluruh pisau lempar dengan cakar
besi di kedua tangannya.
“Apa
lagi yang kalian tunggu?! Cepat pergi dan selamatkan Putri Vivian dan dik
Mikoto!” perintah Diksy sambil terus menangkis seluruh serangan yang dilakukan
oleh para ninja hitam.
Aku
dan Dionze saling menatap ragu. Rasanya tak tega meninggalkan Diksy di tengah
pertarungan sengit seperti ini. Tapi, aku juga tak bisa membiarkan hal buruk
terjadi pada Vivian dan Mikoto. Aku harus segera pergi. Aku telah berjanji untuk
melindungi Vivian meski dalam keadaan apapun.
“Baiklah,
aku percayakan pertarungan ini padamu.” ucapku pada Diksy. “Tapi berjanjilah.
Temui kami kembali dalam keadaan selamat.”
“Sudah,
jangan banyak bicara! Ayo cepat pergi!”
Akhirnya
kami berdua sepakat untuk pergi meninggalkan Diksy yang tengah berjuang
sendirian menghadapi para Vanator. Semoga ia dapat menepati janjinya.
***
“Kak
Mikoto, rasanya sepi juga ditinggalkan oleh mereka bertiga. Aku harap mereka
baik-baik saja.” ucap Vivian sambil mengelus-elus kuda hitam Mikoto.
“Eh?
Kakak? Aku pikir umur kita sama?”
“Tidak,
sebenarnya umurku dua tahun lebih muda dari kakak.”
“Err..
Tapi tolong jangan panggil aku kakak deh.” ucap Mikoto canggung. “Apalagi di
hadapan si mesum Enutra. Kelihatannya aku jadi seperti sudah tua.”
Vivian
sedikit menutup bibirnya sambil tertawa kecil. “Hihi.. Tidak kok, tidak. Kakak
masih kelihatan muda dan cantik.” ucap Vivian memuji. “Kalau begitu, aku harus
memanggil kakak apa?”
“Ahahahaha..
Benarkah? Tuan putri terlalu berlebihan padaku. Hahahahaha..” wajah Mikoto
memerah tersipu. “Mikoto. Tuan putri cukup memanggilku Mikoto saja. Tanpa ada
label kakak di depannya.”
“Baiklah
Mikoto. Kalau begitu Mikoto juga cukup memanggilku Vivian saja ya.”
“Hah??
Rasanya tidak sopan bila memanggil tuan putri seperti itu.” ucap Mikoto
terkejut.
“Tidak
apa-apa kok.” jawab Vivian sambil menampilkan senyuman manisnya.
“Ba-Baiklah
Viv-Vivian.” ucap Mikoto canggung.
“Nah,
dengan begitu kan kita jadi terlihat bersahabat.” ucap Vivian dengan senyuman
hangat di wajahnya.
Mikoto
mengangguk membalas perkataan Vivian sambil menampakkan senyuman yang hangat
juga di wajahnya. Gadis ini memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengannya.
Benar-benar seorang putri bangsawan.
~Ziiingg..
“Hati-hati
Vivian!” teriak Mikoto sambil merangkul pundak Vivian dan membuatnya merunduk.
Instingnya mengatakan sesuatu yang buruk akan segera menyerang mereka.
~Tap.. Tap.. Tap..
Benar saja, tiga buah pisau
lempar menancap di batang pohon dekat mereka. Jika saja Mikoto dan Vivian tidak
merunduk, mungkin pisau tersebut sudah menancap di kepala mereka.
“Wah..
Wah.. Ternyata kalian mampu menghindarinya.” terdengar suara seorang lelaki
dari balik popohonan tempat ketiga pisau lempar tadi berasal.
“Siapa
disana?!” tanya Mikoto keras.
Sesaat
setelah itu, muncul seorang lelaki dengan rambut pirang bergelombang yang
kemudian diikuti oleh belasan orang berpakaian hitam berpenutup wajah di
belakangnya.
“Oi..
Oi.. Kami cuma orang lewat yang ingin menyapa dua gadis cantik di tengah hutan
yang sepi ini.” jawab lelaki tersebut santai sambil memutar-mutar sebuah pisau
lempar di jari telunjuknya.
“Jangan
mendekat!” ucap Mikoto sambil berusaha melindungi Vivian di belakangnya.
“Selangkah saja kalian berani mendekati kami, aku tak akan segan untuk
menghajar kalian!”
“Hei..
Tidak sopan bagi seorang gadis cantik sepertimu untuk berkata begitu kepada
pria yang baru dikenalnya.” lelaki tersebut lalu menunduk dengan posisi seperti
mengenalkan diri. “Perkenalkan namaku Morark, dan aku adalah orang yang akan
membawa gadis manis yang ada di belakangmu itu!”
Hanya
berselang beberapa detik setelah ia memperkenalkan dirinya, tiba-tiba lelaki
tersebut langsung berlari menyerang Mikoto.
“Kurang
ajar! Tak akan kubiarkan kau mendekati Vivian!”
Dengan
cepat Mikoto merapalkan mantra dan mengarahkan tongkatnya pada lelaki bernama
Morark tersebut. Sebuah lingkaran sihir lalu muncul dan menembakkan sinar-sinar
penghancur padanya.
“Hebat!
Hebat! Hebat! Kekuatan yang sungguh hebat!” ucap Morark sambil terus berlari
menghindari serangan Mikoto. “Sekarang giliranku untuk menyerangmu.”
“Gawat,
ia bisa menghindari seluruh seranganku.” ucap Mikoto terdesak.
Morark
lalu melemparkan sejumlah pisau lempar pada Mikoto dan langsung melompat
melewatinya.
~Jleb.. Jleb.. Jleb..
Darah segar menetes dari tubuh
Mikoto, tiga buah pisau lempar telah tertancap di pundaknya. Ia tak menyangka Morark
dapat menghindari seluruh serangannya dan bahkan mampu membuatnya terluka.
Lelaki pirang ini tak bisa ia anggap remeh begitu saja.
“Aku
kira aku bisa mendapatkan perlawanan yang cukup kuat di pertarungan ini.” tak
disangka Morark kini telah berada di belakangnya sambil berhasil menyekap
Vivian dengan seikat tali tambang. “Tapi wanita tetaplah seorang wanita, kau
tak akan bisa mengalahkanku begitu saja.” ucapnya lagi meremehkan.
Mikoto
semakin geram. Urat-uratnya semakin menegang akibat tersulut hinaan Morark.
“Jangan
banyak bicara kau kurang ajar!!!” Ia lalu kembali merapalkan mantra sambil
mengangkat tongkatnya.
Namun..
Seketika
kedua tangannya terikat oleh tali tambang dari kanan dan kiri. Sekelompok orang
berpakaian hitam yang datang bersama Morark telah membuatnya terkunci tak
bergerak. Mantra sihirnya pun tak dapat ia keluarkan karena pergerakannya telah
dibatasi. Ia tak dapat berbuat banyak dan seolah hanya pasrah melihat Vivian
yang akan segera dibawa oleh pria kurang ajar berambut pirang tersebut.
“Wow,
hampir saja. Terima kasih teman-teman.” ucap Morark sambil perlahan mundur
menyekap Vivian menuju balik pepohonan. “Sebagai balasannya, kalian boleh
melakukan apapun pada gadis tersebut. Aku akan pergi duluan membawa sang putri
ini pada Tuan Sern.”
“Viviaann!!”
teriak Mikoto yang saat ini tak bisa berbuat apapun.
Ia
benar-benar sangat geram dengan kelakuan Morark tersebut. Terlebih lagi ia pun
kini sedang dalam keadaan yang berbahaya. Sekelompok orang berpakaian hitam mulai
mendekatinya. Entah dimana Enutra dan yang lainnya disaat ia sedang
membutuhkannya pikirnya dalam hati.
“Aarrggghh!!
Apa yang kau lakukan?!”
“Mikotooo!!”
Tiba-tiba
terdengar jeritan Morark dari balik pepohonan diikuti dengan Vivian yang berteriak
memanggil Mikoto. Kejadian barusan membuat semua orang di sekitar Mikoto terdiam
dan terkejut saat mendengarnya. Disaat seperti itu, ia sadar bahwa inilah
kesempatan untuk melepaskan ikatan yang membelenggunya.
“Menyingkirlah
kalian semua!!!!” teriak Mikoto sambil menarik tambang yang mengikat tangannya.
Tarikannya menyeret orang-orang berpakaian hitam di sekitarnya dan membuat
mereka terpelanting menghantam satu sama lain. “Vivian, bertahanlah! Aku akan
menyusulmu!”
Tambang
yang mengikat tangan Mikoto terputus setelah ia merapalkan sejenis sihir api
padanya. Kemudian ia melompat tinggi melewati orang-orang berpakaian hitam
tersebut untuk mengejar Morark yang menyekap Vivian di balik pepohonan.
Perlahan
mulai terlihat Morark diantara rimbunnya pepohonan. Ia masih menyekap Vivian dengan
ikatan tambangnya. Namun ada sesuatu yang aneh, Mikoto menyadari bahwa Morark
nampak kesakitan dengan darah yang terus menetes dari tangan kirinya.
Sepertinya jeritan tadi akibat dari gigitan Vivian yang telah melukai tangan
Morark hingga seperti itu.
“Mikoto!”
ucap Vivian girang setelah melihat Mikoto yang telah berhasil mendatanginya.
Mikoto
tersenyum setelah mendengar ucapan Vivian dan kemudian berteriak pada Morark
sambil menampakkan lingkaran sihir dari ujung tongkatnya, “Akan kubalas
perbuatanmu!”
“Jangan
berlagak pahlawan kau, perempuan!”
Morark
geram dan melemparkan sejumlah pisau lemparnya.
Sementara
Mikoto tak banyak mengelak karena sebagian serangan telah tertahan oleh
lingkaran sihir tersebut. Ia juga tak bisa sembarangan menyerang karena Morark
telah menjadikan Vivian sebagai tamengnya. Otaknya dipaksa berputar untuk
mencari siasat dalam mengalahkan lelaki pirang tersebut.
“Mikoto,
awas di belakangmu!” teriak Vivian menyadarkan Mikoto akan bahaya yang
mengintai di belakangnya.
Sejumlah
lelaki berbaju hitam yang mengikat Mikoto tadi telah berada di belakangnya dan
sedang berusaha untuk menyerangnya dengan pisau lempar yang terikat dengan
tambang. Tapi ia sudah memperkirakannya dengan menangkap serangan pisau lempar
tersebut dan melempar mereka dengan kekuatan dari tongkatnya.
“Sungguh
mengerikan. Kau ternyata kuat juga.” ucap Morark yang kemudian kembali
melancarkan serangan pisau lemparnya.
“Seranganmu
sungguh sudah sangat basi. Kalau hanya begini, aku bisa dengan mudah
mengalahkanmu.”
“Benarkah?
Asal kau tahu, kemampuanku bukan hanya disini saja.” ucap Morark sambil
menampakkan senyuman sinis.
Setelah
ia melemparkan beberapa pisau lemparnya, tiba-tiba pisau-pisau tersebut berbalik
arah menuju Vivian yang berada di depannya. Ternyata Morark mampu mengendalikan
arah pergerakan dari seluruh pisaunya.
“Kurang
ajar! Apa sebenarnya yang ada di pikiranmu?!”
Mikoto
tak tinggal diam begitu saja. Ia langsung berusaha untuk mengejar pisau-pisau
tersebut dan mencoba untuk mengubah arah lemparannya. Ia tak peduli bila itu
adalah gertakan atau bukan. Yang terpenting baginya adalah keselamatan Vivian.
“Sudah
kuduga, kau terlalu lemah.” terdengar gumaman dari Morark.
Tak
disangka ternyata pisau-pisau tersebut kembali merubah arahnya menuju Mikoto.
“Mikoto!!”
Vivian menjerit.
Mikoto
tak dapat menghindarinya hingga akhirnya sejumlah pisau lempar telah tertancap di
seluruh tubuhnya. Entah sudah berapa kali pertahanannya tertembus oleh serangan
Morark. Sudah terlalu banyak darah yang mengalir hingga membuat tubuhnya lemah.
Ia sudah tak mampu lagi berdiri di atas kedua kakinya. Seluruh penglihatannya
semakin memudar.
~Tesss..
Tak terasa air mata telah
mengalir dari matanya. Ia sangat menyesal karena tak dapat menepati janjinya
untuk melindungi Vivian. Ia menyadari bahwa dirinya masih terlalu lemah meski
tekadnya sudah cukup kuat.
“Kalian
cepat buang jauh perempuan itu dari hadapanku!” samar-samar terdengar teriakan
Morark yang mencoba untuk memerintah pasukannya.
“Baik
Tuan Mor..”
~Slaaassshh.. Splat.. Slaasshh..
“Argghh..”
“Oh
tidak! Kenapa kalian bisa ada di sini? Apa yang dilakukan Marin di sana??”
“Itu
tidak penting! Akan ku hajar kalian para Vanator!”
“Mikoto!
Sadarlah!”
Entah
apa yang terjadi, Mikoto merasa telah mendengar suara dari orang-orang yang ia
kenal. Meski samar dan sudah tak mampu lagi untuk melihat semuanya, ia yakin
hal yang baik akan terjadi padanya. Dan akhirnya, semuanya pun menjadi gelap.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar