22 Februari 2015

DUNIA SEMU #30


CHAPTER 30 - PERSIAPAN

            Setelah sekian banyak kejadian kualami di dunia yang penuh dengan misteri ini, beberapa hal telah membuatku tersadar akan sesuatu. Hidup bukan hanya sekedar berjuang. Bukan pula hanya sebatas tekad. Dibalik semua, segalanya harus dilakukan dengan penuh persiapan dan perhitungan.
            Tak jarang seseorang yang berusaha untuk hidup hanya berjuang dengan tekad dan kegigihan saja, bisa terjatuh dalam keterpurukan. Dan setelah itu malah justru menyalahkan hal lain yang tak ada hubungan dengannya.
            Seperti pepatah yang pernah kudengar dulu, ‘keberuntungan itu bukanlah suatu kebetulan belaka, keberuntungan datang ketika peluang dihadapkan oleh persiapan yang matang’. Yap. Persiapan. Setidaknya kita hanya akan menunggu peluang untuk mendapatkan kemenangan atau keberuntungan, selama persiapan yang baik telah kita lakukan sebelumnya.
***


            ~Bruuaaakkk..
            “Adudududuuhh..” ucapku meringis sambil mengelus pinggul yang agak memar.
            “Bodoh! Sudah kukatakan, bukan begitu caranya mengendarai kuda!!” teriak Mikoto padaku dari atas kuda jantan coklat yang ia pinjam dari Dionze. “Pegang tali kekangnya! Bukan lehernya!”
            “Habis, seram sekali ketika sudah berada di atasnya.” Ucapku terkekeh sambil menggaruk kepala.
            “Bukan saatnya untuk bercanda!” bentak mikoto keras.
            Perlahan aku berdiri sambil menepuk-nepuk celana panjang kulit yang kotor, “Ahhh.. Kenapa sih di dunia ini kita mesti menaiki makhluk yang berpikiran dan terangguk-angguk di antara kedua kaki kita?”
            “Bukankah tadi kau yang memaksaku untuk mengajarimu menunggangi kuda?!” Ucap Mikoto kesal.
            “Bagaimana dengan kereta kuda?”
            “Kau kira kita adalah rombongan sirkus?” Mikoto lalu turun dari kuda sambil memijat-mijat keningnya. “Ah sudahlah, aku jadi malas mengajarimu.”
            “Tu-tunggu dulu.. Maafkan aku..” bujukku sambil berlari menghampirinya. “Aku mohon ajari aku sekali lagi.”
            “Ada apa sih denganmu?” dengus Mikoto.
            “Tolonglah.. Aku kan memintamu untuk mengajariku supaya kau bisa dibonceng oleh Dionze.” Ucapku padanya sambil memasang senyuman yang (sepertinya) membuatnya semakin sebal.
            Wajah Mikoto sedikit memerah sambil menatapku dengan tatapan sinis. “Dasar penjilat.” Setelah itu ia kembali menaiki kudanya sambil berteriak. “Ayo cepat naiki kembali kuda itu!”
            “Si-siap! Bu Guru..”
***

            Jujur, rasanya menyedihkan sekali ketika mengetahui bahwa hanya aku satu-satunya orang yang tak dapat mengendarai kuda. Mana mungkin orang sepertiku tahu cara mengendalikan hewan berkaki empat ini. Sudah sangat jarang sekali seekor kuda digunakan sebagai kendaraan sehari-hari di duniaku. Tapi, untung saja Mikoto mau mengajarkan saat aku memintanya, meskipun karena ia memiliki maksud tersembunyi dibaliknya. Bukan cuma itu, pasti tidak akan keren di hadapan Vivian jika aku harus selalu dibonceng oleh Dionze.
            Mungkin akan beda ceritanya jika saat itu sang raja merupakan penggemar sepeda motor, Vivian pasti sudah memelukku dari belakang. Tapi tentu saja hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Ya, setidaknya aku ambil hikmahnya saja. Suatu saat nanti ketika kembali ke dunia asalku, akan kukejutkan semua teman-teman dengan keahlian berkudaku ini.
            Sesekali aku melirik ke arah Vivian yang kini sedang duduk di samping sungai jernih yang mengalir tak jauh dari tempatku berlatih. Guratan kesedihan masih sedikit terlihat dari balik paras cantiknya. Meski begitu, aku yakin bahwa ia bukanlah gadis yang rapuh meski berkali-kali keburukan menimpa dirinya. Hal itu dibuktikannya dengan memperlihatkan keteguhan untuk terus bertahan hidup meski hampir seluruh harapannya hancur oleh kekejaman bangsa Remidi.
            Kini, badan Vivian yang penuh luka sudah berangsur-angsur membaik berkat teknik heal milik Mikoto dan beberapa ramuan penyembuh yang dibuat oleh Diksy sebelumnya. Namun tentu saja sehebat apapun teknik heal ataupun ramuan penyembuh, tak akan bisa menyembuhkan trauma yang telah menyebabkan luka dan ketakutan di hatinya. Hanya tinggal tugasku. Ya, hanya tinggal tugasku untuk dapat mengobati luka dan ketakutan di hatinya hingga membuatnya kembali tersenyum dengan tulus. Tanpa ada lagi ketakutan yang menghantuinya.
***

            “Waaahh.. Kerenn.. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa mengendalikannya!” ucapku girang sambil mengendarai kuda memutari Mikoto.
            “Jangan terlalu senang dulu, itu baru teknik dasarnya saja. Masih banyak hal yang perlu kau ketahui dalam mengendarai kuda.”
            “Tapi aku rasa ini sudah cukup. Terima kasih Master Mikoto!”
            Mikoto sedikit tersipu, “Yaa.. Sekali lagi ku katakan, kau masih harus belajar banyak untuk dapat mengendalikan kuda sebagai kendaraanmu.”
            “Tidak jadi masalah! Selama ada Master Mikoto yang hebat ini, aku pasti bisa mempelajarinya dengan cepat.” Ucapku sambil menaikkan jempol kanan mengarah pada Mikoto.
            “Kau terlalu berlebihan.” Mikoto masih tersipu dengan perkataanku. “Oh ya, bila kau ingin ahli dalam mengendarai kuda, kau juga wajib terbiasa untuk merawatnya.”
            “Haahh?? Kenapa harus begitu? Aku tidak terlalu ahli dalam merawat hewan. Setiap kali merawatnya, mereka selalu tiba-tiba mati beberapa hari kemudian.”
            “Kalau itu sih pasti ada yang salah denganmu.” gumam Mikoto sambil memicingkan matanya padaku. “Ya sudah, pelajaran hari ini sampai disini saja. Aku mau mengembalikan kuda ini ke Dionze. Kau boleh mencoba berputar-putar saja dulu dengan kuda itu. Semoga dengan begitu kau akan semakin lancar mengendarainya.”
            “Oke siap! Kalau begitu, aku ingin menunjukannya pada Putri Vivian.. Hehe..”
            “Terserah kau saja, mesum.” ucap Mikoto sinis sambil pergi menjauhiku.
            “Ahahaha.. Oke, master.”
            Aku pun meninggalkannya sambil menuntun kuda yang kutunggangi. Tak kusangka ternyata Mikoto punya bakat mengajar yang lumayan untuk orang sepertinya. Ku pikir ia tidak akan mampu mengajariku, tapi di luar dugaan ia dapat melakukannya dengan sempurna. Tak salah lagi, ia memang benar-benar salah satu siswa lulusan terbaik dari Kerajaan Yumekuni.
            Perlahan derap kaki kuda melangkah mendekati Vivian yang masih berada di tepian sungai. Ia menyadari kedatanganku dengan menoleh sambil memberikan senyuman. Aku pun membalasnya dengan senyuman hangat. Sayang sekali, gadis ini masih belum menemukan kebahagiaan dari balik senyumnya yang indah. Matanya sedikit berkaca dan garis alisnya menyudut saling menjauh memperlihatkan raut wajah yang sayu. Pipi merah merona di antara kulit putih tipisnya pun sedikit basah oleh air mata yang mungkin sejak tadi terus mengalir. Masih belum tega bagiku untuk melihatnya seperti itu.
            “Tuan putri, apakah lukamu sudah semakin membaik?” tanyaku mencoba untuk menyapa.
            Tak ada kata yang terucap dari bibir merah tipisnya. Hanya sekedar anggukan kecil untuk menjawab pertanyaanku sambil menampakkan senyuman semu yang masih belum luruh dari wajah cantiknya.
            “Syukurlah kalau begitu.” ucapku lagi sambil mencoba untuk turun dari punggung kuda jantan hitam yang dipilih Mikoto. Aku ingin segera mengobati luka di hatinya tersebut. Entah bagaimana caranya, kuingin agar senyuman di wajahnya bukan lagi senyuman semu yang seolah tak berjiwa seperti ini.
            Namun..
            “Hati-hati!” Vivian berteriak.
            Ketika kaki kiriku hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja kuda yang kunaiki mengangkat kedua kaki depannya tanpa sebab hingga membuatku kehilangan keseimbangan. Sekilas kulihat Vivian melompat mendekatiku sambil mengulurkan tangannya. Apa yang akan ia lakukan? Ia terus mendekat seolah berusaha untuk menyelamatkanku. Bahaya! Aku bisa melukainya jika terjatuh dan menimpanya.
            “Jangan mendekat!” teriakku mencoba melindungi.
            Namun terlambat. Meski sudah berusaha untuk jatuh menghindari Vivian, kaki kiriku justru tergelincir hingga membuat tubuhku terpelanting tepat di hadapannya. Hanya sepersekian detik, tubuh kami akhirnya saling bertubrukan satu sama lain terhempas di atas pasir sungai yang basah.
            Tidak sakit. Sama sekali tak ada satu pun dari bagian tubuhku yang sakit. Meski tadi rasanya badanku telah dipelantingkan oleh kuda tersebut dengan kuat. Apa mungkin, apa mungkin Vivian telah menahanku agar dapat membuatku terjatuh dengan aman?
            “Tuan Enutra, apa kau baik baik saja?” samar-samar terdengar suara lembut seorang gadis berbicara dari samping telingaku.
            Gawat! Ternyata sejak terjatuh tadi, aku telah menindih Vivian tepat di bawah tubuhku! Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Ia pasti akan marah padaku kan?! Ya, dia pasti akan marah padaku seperti kejadian saat Mikoto menabrakku dulu.
            “Aku mohon maaf Tuan Putri!” dengan segera kuangkat tubuhku darinya.
            “Aaahh..” Namun tanpa sengaja tanganku terpeleset saat akan mengangkat badan dan justru malah membuatku kembali terjatuh di atas tubuh Vivian. Wajahku.. Wajahku menempel tepat di antara payudaranya!
            “Oh ya, aku lupa memberitahumu soal ini, Enu..” tiba-tiba terdengar suara Mikoto yang sedang berjalan menghampiri. Kata-katanya mendadak terhenti saat akan menyebut namaku.
            Aku menoleh. Terasa adanya aura jahat yang mengelilingi seolah mencoba untuk mengambil jiwaku.
            “Mi-Mikoto.. I-ini sungguh hanya salah paham.” aku mencoba menjelaskan meski berada dalam posisi yang kurang tepat.
            Wajah Mikoto yang semakin berwarna merah padam disertai munculnya urat-urat kecil seolah tak lagi perduli dengan semua penjelasanku. Ia hanya mengepalkan kedua lengannya bersiap untuk memukulku sambil berteriak sekeras-kerasnya, “Dasar MESUM KURANG AJAAAARRRR!!!!”
            Setelah itu, aku tak ingat lagi apa yang telah terjadi setelahnya. Yang kurasakan saat itu hanyalah pukulan keras di wajah hingga membuatku terlempar ke dasar sungai. Sungguh pengalaman yang menyedihkan.
***

            Derap langkah kuda seolah bersatu diantara riuhnya suara para satwa liar di balik pepohonan yang rimbun. Sorot cahaya matahari pagi pun bersinar dari balik celah dedauan. Sedikit silau, namun tak membutakan pandanganku. Hanya sebuah jalan setapak kecil yang terus menuntun kami menuju tujuan yang masih semu.
            “Enutra, sebenarnya apa yang kau lakukan kemarin?” tanya Dionze di depanku sambil mengendarai kudanya.
            “Sudah, jangan banyak tanya. Fokus saja ke depan.” jawabku yang kini tengah mendapatkan banyak perban di kepala akibat kejadian kemarin.
            “Aku tak menyangka, berlatih kuda bisa membuatmu babak belur seperti ini.”
            “Bukan karena berlatih kudanya, tapi dengan siapa aku berlatihnya. Huuhh.. Tahu begini kemarin aku minta diajarkan olehmu saja.” ucapku menggerutu.
            “Haha.. Kalian memang selalu akrab bila bersama.” ucap Dionze lagi sambil tertawa.
            “Akrab darimananyaa???” teriakku membalas ucapan Dionze. “Ah sudahlah, jangan bahas masalah kemarin lagi. Yang jelas kita harus fokus dengan persiapan kita untuk menyelamatkan seluruh tahanan Sern di Velika.”
            “Benar sekali. Aku pun belum ingin kembali ke Olympus sebelum menyelesaikan seluruh masalah ini.”
            “Iya juga, selama ini kau belum pulang ke kerajaanmu semenjak kita pertama kali bertemu. Apa tidak masalah dengan rajamu bila ia ditinggalkan oleh seluruh jendralnya?”
            “Hmm.. Bukanya tanpa masalah, tapi sebenarnya raja kami tidak terlalu merisaukan pertahanan kerajaan ketika seluruh jendralnya ditugaskan untuk meninggalkan Olympus, karena beliau sendiri jauh lebih kuat daripada seluruh jendral di Kerajaan Olympus. Bahkan seorang Jendral Besar Diksy pun pernah dikalahkan olehnya. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ‘Anikitos Vasilias’ atau raja yang tak terkalahkan.”
            “Wow.. Benarkah? Apakah penampilannya juga terlihat kuat seperti itu?” tanyaku semakin antusias.
            “Bukankah dulu kau pernah bertemu dengannya saat ia memberikan gelar ksatria cerberus padamu?”
            “Emmhh.. Anu, aku lupa. Itu kan sudah lama.” jawabku cengengesan. Mana mungkin aku tahu, itu kan terjadi sebelum aku masuk ke dalam tubuh Enutra, ucapku dalam hati.
            “Toolooongg..”
            Tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari arah barat daya. Kami berlima berhenti sesaat memastikan apa yang telah terjadi.
            “Siapapun aku mohon tolong kami..”
            “Kalian mendengarnnya juga kan?” ucap Diksy dari depan. “Apakah kita mesti menolongnya?”
            “Kita harus menolongnya!” sontak dengan tegas aku menjawabnya.
            “Tapi kita sedang terburu-buru bukan?” balas Diksy kembali.
            “Apakah salah untuk berbuat kebaikan meskipun hanya sedikit? Tak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi bila kita melewatkannya.” jawabku sambil menuruni kuda yang dikendarai Dionze.
            “Tunggu..” ucap Dionze terpotong seolah menahanku untuk turun.
            ~Bruaaakkk
            “Bukan begitu cara kau menuruni kuda, kau pasti akan terjatuh.” lanjut Dionze sementara aku sedang dalam posisi terjatuh di sampingnya.
            “Sudah terlambat penjelasannya. Gara-gara terjatuh, kata-kataku tadi jadi tidak terlihat keren.” gumamku meringis.
            Sementara aku berusaha untuk berdiri, terdengar suara seseorang yang tengah berlari tergesa-gesa mendekat ke arah kami. Kurasa itu pasti adalah gadis yang meminta pertolongan tadi. Pedang Dartmouth Eterna langsung kusiapkan untuk menghadapi apapun yang akan terjadi.
            “Enutra, berhati-hatilah.” ucap Diksy yang juga turun dari kuda sambil menyiapkan cakar besi dari kedua tangannya.
            “Aku akan selalu berhati-hati.” ucapku serius sambil terus menggengam erat gagang pedang di tangan kananku. “Mikoto, aku mohon jaga Putri Vivian bersamamu!”
            “Tanpa diperintah olehmu pun pasti akan kulakukan, mesum!” terdengar teriakan Mikoto dari belakangku.
            Mataku memicing dan sedikit keringat muncul di wajah. Ternyata Ia masih marah padaku karena kejadian kemarin.
            ~Srekk.. Sreek..
            “Ada seseorang dibalik semak!”
            “Tolong kami!” tiba-tiba seorang gadis berambut pirang panjang terurai berlari mendekat sambil berteriak dari balik semak dan langsung mendekap di dadaku. Entah siapa dia, kenapa ia langsung menempel padaku seperti ini?
            Aku tak bisa memastikan siapa gadis ini, sepertinya umurnya tak jauh denganku. Pakaiannya seperti penduduk Velika pada umumnya yaitu semacam one piece dress[1] merah muda lengan panjang dengan rok hingga selutut, namun lebih lusuh dan banyak terdapat bercak merah di dekat pinggangnya. Dilihat dari keadaannya, sepertinya ia memang benar-benar membutuhkan pertolongan.
            “Apa yang terjadi, nona?”
            “Aku mohon, tolonglah kami.” ucapnya sambil menangis sesenggukan. “Desaku telah diserang oleh sekumpulan makhluk besar yang menyeramkan.”
            “Jadi ada desa di sekitar sini?” Ucapku sedikit terheran. “Nona, bisa kau tunjukkan kami dimana desamu?”
            Ia masih menangis. Sulit baginya untuk berkata. Tak lama setelah itu ia mulai mengangkat tangannya dan menunjukkan ke suatu arah namun..
            ~Dhuaaarrr..
            Belum selesai ia menjelaskan, tiba-tiba sebuah ledakan besar terdengar dari balik rimbunnya pohon. Kepulan asap kemerahan menjulang tinggi menuju langit, tepat dari arah gadis tersebut berlari. Tanpa dijawab olehnya pun aku pasti bisa menebak dimana desanya berada.
            Aku melirik pada Diksy, “Diksy, tolong bawa gadis ini ke atas kudamu.”
            “Apa kau benar-benar yakin akan menolongnya? Kau sendiri bahkan tidak memakai baju zirah sedikitpun. Terlalu berbahaya untukmu dalam keadaan seperti itu.” Diksy seakan mencegah keinginanku.
            “Tak usah kau khawatirkan aku.” Ucapku sambil kembali menaiki kuda yang dibawa Dionze. “Aku bukanlah orang lemah seperti yang kau bayangkan.”


[1] Merupakan pakaian wanita yang berupa rok terusan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar