CHAPTER 30 - PERSIAPAN
Setelah
sekian banyak kejadian kualami di dunia yang penuh dengan misteri ini, beberapa
hal telah membuatku tersadar akan sesuatu. Hidup bukan hanya sekedar berjuang.
Bukan pula hanya sebatas tekad. Dibalik semua, segalanya harus dilakukan dengan
penuh persiapan dan perhitungan.
Tak
jarang seseorang yang berusaha untuk hidup hanya berjuang dengan tekad dan
kegigihan saja, bisa terjatuh dalam keterpurukan. Dan setelah itu malah justru
menyalahkan hal lain yang tak ada hubungan dengannya.
Seperti
pepatah yang pernah kudengar dulu, ‘keberuntungan itu bukanlah suatu kebetulan
belaka, keberuntungan datang ketika peluang dihadapkan oleh persiapan yang
matang’. Yap. Persiapan. Setidaknya kita hanya akan menunggu peluang untuk
mendapatkan kemenangan atau keberuntungan, selama persiapan yang baik telah
kita lakukan sebelumnya.
***
~Bruuaaakkk..
“Adudududuuhh..” ucapku meringis sambil
mengelus pinggul yang agak memar.
“Bodoh!
Sudah kukatakan, bukan begitu caranya mengendarai kuda!!” teriak Mikoto padaku
dari atas kuda jantan coklat yang ia pinjam dari Dionze. “Pegang tali
kekangnya! Bukan lehernya!”
“Habis,
seram sekali ketika sudah berada di atasnya.” Ucapku terkekeh sambil menggaruk
kepala.
“Bukan
saatnya untuk bercanda!” bentak mikoto keras.
Perlahan
aku berdiri sambil menepuk-nepuk celana panjang kulit yang kotor, “Ahhh..
Kenapa sih di dunia ini kita mesti menaiki makhluk yang berpikiran dan
terangguk-angguk di antara kedua kaki kita?”
“Bukankah
tadi kau yang memaksaku untuk mengajarimu menunggangi kuda?!” Ucap Mikoto kesal.
“Bagaimana
dengan kereta kuda?”
“Kau
kira kita adalah rombongan sirkus?” Mikoto lalu turun dari kuda sambil
memijat-mijat keningnya. “Ah sudahlah, aku jadi malas mengajarimu.”
“Tu-tunggu dulu.. Maafkan aku..” bujukku sambil berlari menghampirinya. “Aku mohon ajari aku sekali lagi.”
“Tu-tunggu dulu.. Maafkan aku..” bujukku sambil berlari menghampirinya. “Aku mohon ajari aku sekali lagi.”
“Ada
apa sih denganmu?” dengus Mikoto.
“Tolonglah..
Aku kan memintamu untuk mengajariku supaya kau bisa dibonceng oleh Dionze.”
Ucapku padanya sambil memasang senyuman yang (sepertinya) membuatnya semakin sebal.
Wajah
Mikoto sedikit memerah sambil menatapku dengan tatapan sinis. “Dasar penjilat.”
Setelah itu ia kembali menaiki kudanya sambil berteriak. “Ayo cepat naiki
kembali kuda itu!”
“Si-siap!
Bu Guru..”
***
Jujur,
rasanya menyedihkan sekali ketika mengetahui bahwa hanya aku satu-satunya orang
yang tak dapat mengendarai kuda. Mana mungkin orang sepertiku tahu cara
mengendalikan hewan berkaki empat ini. Sudah sangat jarang sekali seekor kuda digunakan
sebagai kendaraan sehari-hari di duniaku. Tapi, untung saja Mikoto mau
mengajarkan saat aku memintanya, meskipun karena ia memiliki maksud tersembunyi
dibaliknya. Bukan cuma itu, pasti tidak akan keren di hadapan Vivian jika aku
harus selalu dibonceng oleh Dionze.
Mungkin
akan beda ceritanya jika saat itu sang raja merupakan penggemar sepeda motor, Vivian
pasti sudah memelukku dari belakang. Tapi tentu saja hal tersebut tidak akan
pernah terjadi. Ya, setidaknya aku ambil hikmahnya saja. Suatu saat nanti
ketika kembali ke dunia asalku, akan kukejutkan semua teman-teman dengan
keahlian berkudaku ini.
Sesekali
aku melirik ke arah Vivian yang kini sedang duduk di samping sungai jernih yang
mengalir tak jauh dari tempatku berlatih. Guratan kesedihan masih sedikit
terlihat dari balik paras cantiknya. Meski begitu, aku yakin bahwa ia bukanlah
gadis yang rapuh meski berkali-kali keburukan menimpa dirinya. Hal itu
dibuktikannya dengan memperlihatkan keteguhan untuk terus bertahan hidup meski
hampir seluruh harapannya hancur oleh kekejaman bangsa Remidi.
Kini,
badan Vivian yang penuh luka sudah berangsur-angsur membaik berkat teknik heal milik Mikoto dan beberapa ramuan
penyembuh yang dibuat oleh Diksy sebelumnya. Namun tentu saja sehebat apapun
teknik heal ataupun ramuan penyembuh, tak akan bisa menyembuhkan trauma yang
telah menyebabkan luka dan ketakutan di hatinya. Hanya tinggal tugasku. Ya,
hanya tinggal tugasku untuk dapat mengobati luka dan ketakutan di hatinya
hingga membuatnya kembali tersenyum dengan tulus. Tanpa ada lagi ketakutan yang
menghantuinya.
***
“Waaahh..
Kerenn.. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai bisa mengendalikannya!” ucapku
girang sambil mengendarai kuda memutari Mikoto.
“Jangan
terlalu senang dulu, itu baru teknik dasarnya saja. Masih banyak hal yang perlu
kau ketahui dalam mengendarai kuda.”
“Tapi
aku rasa ini sudah cukup. Terima kasih Master Mikoto!”
Mikoto
sedikit tersipu, “Yaa.. Sekali lagi ku katakan, kau masih harus belajar banyak
untuk dapat mengendalikan kuda sebagai kendaraanmu.”
“Tidak
jadi masalah! Selama ada Master Mikoto yang hebat ini, aku pasti bisa
mempelajarinya dengan cepat.” Ucapku sambil menaikkan jempol kanan mengarah
pada Mikoto.
“Kau
terlalu berlebihan.” Mikoto masih tersipu dengan perkataanku. “Oh ya, bila kau
ingin ahli dalam mengendarai kuda, kau juga wajib terbiasa untuk merawatnya.”
“Haahh??
Kenapa harus begitu? Aku tidak terlalu ahli dalam merawat hewan. Setiap kali
merawatnya, mereka selalu tiba-tiba mati beberapa hari kemudian.”
“Kalau
itu sih pasti ada yang salah denganmu.” gumam Mikoto sambil memicingkan matanya
padaku. “Ya sudah, pelajaran hari ini sampai disini saja. Aku mau mengembalikan
kuda ini ke Dionze. Kau boleh mencoba berputar-putar saja dulu dengan kuda itu.
Semoga dengan begitu kau akan semakin lancar mengendarainya.”
“Oke
siap! Kalau begitu, aku ingin menunjukannya pada Putri Vivian.. Hehe..”
“Terserah
kau saja, mesum.” ucap Mikoto sinis sambil pergi menjauhiku.
“Ahahaha..
Oke, master.”
Aku
pun meninggalkannya sambil menuntun kuda yang kutunggangi. Tak kusangka
ternyata Mikoto punya bakat mengajar yang lumayan untuk orang sepertinya. Ku
pikir ia tidak akan mampu mengajariku, tapi di luar dugaan ia dapat
melakukannya dengan sempurna. Tak salah lagi, ia memang benar-benar salah satu
siswa lulusan terbaik dari Kerajaan Yumekuni.
Perlahan
derap kaki kuda melangkah mendekati Vivian yang masih berada di tepian sungai. Ia
menyadari kedatanganku dengan menoleh sambil memberikan senyuman. Aku pun
membalasnya dengan senyuman hangat. Sayang sekali, gadis ini masih belum
menemukan kebahagiaan dari balik senyumnya yang indah. Matanya sedikit berkaca
dan garis alisnya menyudut saling menjauh memperlihatkan raut wajah yang sayu.
Pipi merah merona di antara kulit putih tipisnya pun sedikit basah oleh air
mata yang mungkin sejak tadi terus mengalir. Masih belum tega bagiku untuk
melihatnya seperti itu.
“Tuan
putri, apakah lukamu sudah semakin membaik?” tanyaku mencoba untuk menyapa.
Tak
ada kata yang terucap dari bibir merah tipisnya. Hanya sekedar anggukan kecil
untuk menjawab pertanyaanku sambil menampakkan senyuman semu yang masih belum
luruh dari wajah cantiknya.
“Syukurlah
kalau begitu.” ucapku lagi sambil mencoba untuk turun dari punggung kuda jantan
hitam yang dipilih Mikoto. Aku ingin segera mengobati luka di hatinya tersebut.
Entah bagaimana caranya, kuingin agar senyuman di wajahnya bukan lagi senyuman
semu yang seolah tak berjiwa seperti ini.
Namun..
“Hati-hati!”
Vivian berteriak.
Ketika
kaki kiriku hendak menyentuh tanah, tiba-tiba saja kuda yang kunaiki mengangkat
kedua kaki depannya tanpa sebab hingga membuatku kehilangan keseimbangan.
Sekilas kulihat Vivian melompat mendekatiku sambil mengulurkan tangannya. Apa
yang akan ia lakukan? Ia terus mendekat seolah berusaha untuk menyelamatkanku.
Bahaya! Aku bisa melukainya jika terjatuh dan menimpanya.
“Jangan
mendekat!” teriakku mencoba melindungi.
Namun
terlambat. Meski sudah berusaha untuk jatuh menghindari Vivian, kaki kiriku justru
tergelincir hingga membuat tubuhku terpelanting tepat di hadapannya. Hanya
sepersekian detik, tubuh kami akhirnya saling bertubrukan satu sama lain
terhempas di atas pasir sungai yang basah.
Tidak
sakit. Sama sekali tak ada satu pun dari bagian tubuhku yang sakit. Meski tadi
rasanya badanku telah dipelantingkan oleh kuda tersebut dengan kuat. Apa
mungkin, apa mungkin Vivian telah menahanku agar dapat membuatku terjatuh
dengan aman?
“Tuan
Enutra, apa kau baik baik saja?” samar-samar terdengar suara lembut seorang
gadis berbicara dari samping telingaku.
Gawat!
Ternyata sejak terjatuh tadi, aku telah menindih Vivian tepat di bawah tubuhku!
Apa yang harus aku lakukan? Apa yang harus aku lakukan? Ia pasti akan marah
padaku kan?! Ya, dia pasti akan marah padaku seperti kejadian saat Mikoto
menabrakku dulu.
“Aku
mohon maaf Tuan Putri!” dengan segera kuangkat tubuhku darinya.
“Aaahh..”
Namun tanpa sengaja tanganku terpeleset saat akan mengangkat badan dan justru
malah membuatku kembali terjatuh di atas tubuh Vivian. Wajahku.. Wajahku
menempel tepat di antara payudaranya!
“Oh
ya, aku lupa memberitahumu soal ini, Enu..” tiba-tiba terdengar suara Mikoto
yang sedang berjalan menghampiri. Kata-katanya mendadak terhenti saat akan
menyebut namaku.
Aku
menoleh. Terasa adanya aura jahat yang mengelilingi seolah mencoba untuk
mengambil jiwaku.
“Mi-Mikoto..
I-ini sungguh hanya salah paham.” aku mencoba menjelaskan meski berada dalam
posisi yang kurang tepat.
Wajah
Mikoto yang semakin berwarna merah padam disertai munculnya urat-urat kecil
seolah tak lagi perduli dengan semua penjelasanku. Ia hanya mengepalkan kedua
lengannya bersiap untuk memukulku sambil berteriak sekeras-kerasnya, “Dasar
MESUM KURANG AJAAAARRRR!!!!”
Setelah
itu, aku tak ingat lagi apa yang telah terjadi setelahnya. Yang kurasakan saat
itu hanyalah pukulan keras di wajah hingga membuatku terlempar ke dasar sungai.
Sungguh pengalaman yang menyedihkan.
***
Derap
langkah kuda seolah bersatu diantara riuhnya suara para satwa liar di balik
pepohonan yang rimbun. Sorot cahaya matahari pagi pun bersinar dari balik celah
dedauan. Sedikit silau, namun tak membutakan pandanganku. Hanya sebuah jalan
setapak kecil yang terus menuntun kami menuju tujuan yang masih semu.
“Enutra,
sebenarnya apa yang kau lakukan kemarin?” tanya Dionze di depanku sambil
mengendarai kudanya.
“Sudah,
jangan banyak tanya. Fokus saja ke depan.” jawabku yang kini tengah mendapatkan
banyak perban di kepala akibat kejadian kemarin.
“Aku
tak menyangka, berlatih kuda bisa membuatmu babak belur seperti ini.”
“Bukan
karena berlatih kudanya, tapi dengan siapa aku berlatihnya. Huuhh.. Tahu begini
kemarin aku minta diajarkan olehmu saja.” ucapku menggerutu.
“Haha..
Kalian memang selalu akrab bila bersama.” ucap Dionze lagi sambil tertawa.
“Akrab
darimananyaa???” teriakku membalas ucapan Dionze. “Ah sudahlah, jangan bahas
masalah kemarin lagi. Yang jelas kita harus fokus dengan persiapan kita untuk
menyelamatkan seluruh tahanan Sern di Velika.”
“Benar
sekali. Aku pun belum ingin kembali ke Olympus sebelum menyelesaikan seluruh
masalah ini.”
“Iya
juga, selama ini kau belum pulang ke kerajaanmu semenjak kita pertama kali
bertemu. Apa tidak masalah dengan rajamu bila ia ditinggalkan oleh seluruh
jendralnya?”
“Hmm..
Bukanya tanpa masalah, tapi sebenarnya raja kami tidak terlalu merisaukan
pertahanan kerajaan ketika seluruh jendralnya ditugaskan untuk meninggalkan
Olympus, karena beliau sendiri jauh lebih kuat daripada seluruh jendral di
Kerajaan Olympus. Bahkan seorang Jendral Besar Diksy pun pernah dikalahkan
olehnya. Itu sebabnya ia dijuluki sebagai ‘Anikitos Vasilias’ atau raja yang
tak terkalahkan.”
“Wow..
Benarkah? Apakah penampilannya juga terlihat kuat seperti itu?” tanyaku semakin
antusias.
“Bukankah
dulu kau pernah bertemu dengannya saat ia memberikan gelar ksatria cerberus
padamu?”
“Emmhh..
Anu, aku lupa. Itu kan sudah lama.” jawabku cengengesan. Mana mungkin aku tahu,
itu kan terjadi sebelum aku masuk ke dalam tubuh Enutra, ucapku dalam hati.
“Toolooongg..”
Tiba-tiba terdengar jeritan
seorang wanita dari arah barat daya. Kami berlima berhenti sesaat memastikan
apa yang telah terjadi.
“Siapapun aku mohon tolong kami..”
“Kalian
mendengarnnya juga kan?” ucap Diksy dari depan. “Apakah kita mesti
menolongnya?”
“Kita
harus menolongnya!” sontak dengan tegas aku menjawabnya.
“Tapi
kita sedang terburu-buru bukan?” balas Diksy kembali.
“Apakah
salah untuk berbuat kebaikan meskipun hanya sedikit? Tak ada yang pernah tahu
apa yang akan terjadi bila kita melewatkannya.” jawabku sambil menuruni kuda
yang dikendarai Dionze.
“Tunggu..”
ucap Dionze terpotong seolah menahanku untuk turun.
~Bruaaakkk
“Bukan
begitu cara kau menuruni kuda, kau pasti akan terjatuh.” lanjut Dionze
sementara aku sedang dalam posisi terjatuh di sampingnya.
“Sudah
terlambat penjelasannya. Gara-gara terjatuh, kata-kataku tadi jadi tidak
terlihat keren.” gumamku meringis.
Sementara
aku berusaha untuk berdiri, terdengar suara seseorang yang tengah berlari
tergesa-gesa mendekat ke arah kami. Kurasa itu pasti adalah gadis yang meminta
pertolongan tadi. Pedang Dartmouth Eterna langsung kusiapkan untuk menghadapi
apapun yang akan terjadi.
“Enutra,
berhati-hatilah.” ucap Diksy yang juga turun dari kuda sambil menyiapkan cakar
besi dari kedua tangannya.
“Aku
akan selalu berhati-hati.” ucapku serius sambil terus menggengam erat gagang
pedang di tangan kananku. “Mikoto, aku mohon jaga Putri Vivian bersamamu!”
“Tanpa
diperintah olehmu pun pasti akan kulakukan, mesum!” terdengar teriakan Mikoto
dari belakangku.
Mataku
memicing dan sedikit keringat muncul di wajah. Ternyata Ia masih marah padaku
karena kejadian kemarin.
~Srekk.. Sreek..
“Ada
seseorang dibalik semak!”
“Tolong
kami!” tiba-tiba seorang gadis berambut pirang panjang terurai berlari mendekat
sambil berteriak dari balik semak dan langsung mendekap di dadaku. Entah siapa
dia, kenapa ia langsung menempel padaku seperti ini?
Aku
tak bisa memastikan siapa gadis ini, sepertinya umurnya tak jauh denganku.
Pakaiannya seperti penduduk Velika pada umumnya yaitu semacam one piece dress[1]
merah muda lengan panjang dengan rok hingga selutut, namun lebih lusuh dan
banyak terdapat bercak merah di dekat pinggangnya. Dilihat dari keadaannya, sepertinya
ia memang benar-benar membutuhkan pertolongan.
“Apa
yang terjadi, nona?”
“Aku
mohon, tolonglah kami.” ucapnya sambil menangis sesenggukan. “Desaku telah
diserang oleh sekumpulan makhluk besar yang menyeramkan.”
“Jadi
ada desa di sekitar sini?” Ucapku sedikit terheran. “Nona, bisa kau tunjukkan
kami dimana desamu?”
Ia
masih menangis. Sulit baginya untuk berkata. Tak lama setelah itu ia mulai
mengangkat tangannya dan menunjukkan ke suatu arah namun..
~Dhuaaarrr..
Belum selesai ia menjelaskan,
tiba-tiba sebuah ledakan besar terdengar dari balik rimbunnya pohon. Kepulan
asap kemerahan menjulang tinggi menuju langit, tepat dari arah gadis tersebut
berlari. Tanpa dijawab olehnya pun aku pasti bisa menebak dimana desanya
berada.
Aku
melirik pada Diksy, “Diksy, tolong bawa gadis ini ke atas kudamu.”
“Apa
kau benar-benar yakin akan menolongnya? Kau sendiri bahkan tidak memakai baju
zirah sedikitpun. Terlalu berbahaya untukmu dalam keadaan seperti itu.” Diksy
seakan mencegah keinginanku.
“Tak
usah kau khawatirkan aku.” Ucapku sambil kembali menaiki kuda yang dibawa
Dionze. “Aku bukanlah orang lemah seperti yang kau bayangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar