CHAPTER 29 - PUISI
Masih
jelas teringat bagaimana sulitnya menghadapi Tyron saat itu dan kini aku harus dihadapkan
langsung oleh sang pemimpin tertinggi dari Bangsa Remidi, Sern, yang mengaku
memiliki seratus kali lipat kekuatan Tyron. Entah ini memang sudah tertulis
dalam takdirku, atau memang kesalahan yang membawaku pada keadaan ini. Semua
ini terlalu cepat. Aku sama sekali belum siap bila memang harus menghadapinya
sekarang. Biar bagaimanapun juga aku hanyalah manusia biasa. Manusia biasa yang
lemah tak berdaya.
Tapi..
Tak
ada yang tak mungkin bila kita memang berusaha untuk menghadapinya. Terkadang
sesekali suara samar mendengung di dalam kepala seolah berkata, ‘Semua akan
baik-baik saja’. Aku yakin sekecil apapun peluang yang kita miliki untuk
menghadapi masalah, tetap saja peluang itu ada. Lebih baik daripada berpikir
tak ada peluang sama sekali. Lagipula, dibalik semua kelemahan setiap manusia,
tak ada yang tahu potensi besar apa yang ada di dalamnya.
***
“Jadi,
apa kau benar-benar ingin melawanku?” Ucap Sern yang masih berdiri tepat di hadapanku.
“Aku
benar-benar tak mengerti apa yang ada di pikiranmu. Namun jika memang bertarung
adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Vivian, maka akan kulakukan meski
harus mengorbankan ragaku.”
“Luar
biasa sekali perkataanmu, Enutra.” Sern menepuk tangannya seolah mencemooh
perkataanku. Dahiku mengernyit. “Tapi, jujur kedatanganku kemari bukanlah untuk
bertarung dengan siapapun.”
“Lantas,
apa yang kau lakukan pada Vivian di bawah sana, hah!!” bentakku keras.
“Oh
itu? Aku hanya mencoba untuk mencari tahu data yang kubutuhkan seperti halnya
yang aku lakukan padamu tadi.”
“Tapi
mengapa hanya dia yang diperlakukan sekasar itu? Mengapa hanya kami yang dengan
mudahnya dapat kau percaya?” masih belum menurunkan nada suaraku.
“Karena
dia adalah anak dari Algeas.” Jawabnya pendek sambil mengangkat bahu.
“Memangnya
kenapa jika dia adalah anak dari Raja Algeas? Kau iri dengannya? Bukankah kau
sudah memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mengendalikan seluruh kerajaan
ini?” emosiku semakin naik.
“Sabar.
Biar kujelaskan perlahan. Tapi, sebelumnya akan kuperlihat padamu tentang
kenyataan.” Sern mengangkat tangan kanannya tepat dihadapan wajahku lalu
menjentikkan jarinya. “Sekarang, lihatlah kursi mewah yang ada di dekatmu itu.”
Napasku tercekat. Tak ada kata lain selain
terkejut yang bisa menjelaskan keadaan kami saat ini. Bau busuk langsung
menusuk hidung. Sangat keterlaluan. Kulihat sesosok tubuh tak bernyawa Raja
Algeas yang sudah membusuk duduk pada kursi mewahnya.
“Sebelumnya
aku telah memanipulasi seluruh penglihatan dan penciuman kalian ketika memasuki
ruangan ini.”
“Ini
sudah keterlaluan!” tanpa pikir panjang aku menarik pedang dan langsung
menghunuskannya tepat di dada Sern.
Tapi
seolah ada tameng tak terlihat di tubuhnya, bilah tajam Dartmouth Eterna sama
sekali tak dapat menyentuh tubuh Sern.
“Sabarlah
dulu. Bukan aku yang telah membunuhnya.” Sern lalu mengayunkan tangannya dan
tiba-tiba pedang yang tadi kugenggam dengan kuat langsung terjatuh dengan
sendirinya. “Lagipula bukankah kau membencinya?”
“Ini
bukanlah tentang siapa yang kubenci, tapi jika menyangkut dengan nyawa
seseorang, itu membuatku sangat marah. Lagipula, biar bagaimanapun juga ia
adalah ayah dari Vivian!”
“Ya
sudah.. Ya sudah.. Aku sedang tidak ingin berdebat. Bisa kulanjutkan
penjelasanku?” Sern lalu berbalik. “Sekali lagi kukatakan, bukan aku yang
membunuhnya. Ketika aku sampai di tempat ini, ia sudah dalam keadaan tak
bernyawa. Awalnya ia berada di kursi dekat jendela yang mengarah pada hutan
Velika. Sengaja kupindahkan agar memudahkanku untuk mencari data yang
kuinginkan. Namun hasilnya nihil dan yang kutemukan hanyalah sebuah kartu
bertuliskan ‘ANGELKILL’ ini di dadanya.”
“Angelkill?
Siapa dia?”
“Assassin.”
ucap Dionze tiba-tiba.
“Apa
maksudmu?” tanyaku kebingungan.
“Dia
adalah seorang assassin. Seorang pembunuh bayaran terkenal di Kerajaan Olympus.
Hingga saat ini belum pernah ada yang tahu dimana keberadaan dia sebenarnya.”
Diksy melanjutkan.
“Baik,
cukup sudah dengan penjelasanmu tentang kematian Raja Algeas ini.” Lalu
kuayunkan lengan kiriku mengarah pada Putri Vivian yang kini tengah dirantai
olehnya. “Apa hubungannya dengan keputusanmu untuk menyiksa Vivian di sana??”
bentakku kembali.
“Lihatlah
baik-baik dibalik kartu ini.”
Sern
menyodorkan kartu bertuliskan ‘ANGELKILL’ tersebut padaku. Ada sesuatu dibaliknya.
Sesuatu berupa puisi dengan tulisan sambung yang cukup rapi. Tak ada alasan
lain bagiku untuk membacanya secara lantang.
‘Bila waktu adalah pengukur jiwa,
Dan
keabadian tak pernah ada.
Hanya
kebenaran yang akan tetap nyata.’
Brian
Veroka
Apa
ini? Puisi apa ini? Aku sama sekali tidak mengerti.
“Apa
hubungannya Vivian dengan puisi ini?”
Sern
sama sekali tak menjawab sambil menampakkan senyuman puasnya. Setelah itu aku
pun menoleh pada ketiga partnerku di belakang. Ku perhatikan mereka terlihat
terkejut setelah mendengar pertanyaanku. Apa yang terjadi? Diksy. Mikoto.
Dionze. Ada apa dengan kalian? Tanpa sengaja mataku tertuju pada lukisan besar
potret Raja Algeas di atas ranjangnya. Pada lukisan tersebut, di bawahnya
terpasang suatu plakat logam tipis bertuliskan sebuah nama. Algeas Veroka.
“Jadi
sekarang kau sudah mengerti mengapa aku memperlakukan Vivian berbeda dengan
kalian?” ucap Sern sambil mengangkat dagunya.
“Aku
tak peduli siapa Brian Veroka, yang jelas bukan seperti itu cara memperlakukan
seorang putri!” kuambil kembali pedang yang tadi sempat dijatuhkan Sern dan
langsung kuhunuskan tepat di dadanya.
“Enutra!”
sontak Mikoto berteriak padaku.
Seranganku
tadi sama sekali tak membuatnya bergeming. Tubuhku malah terpental hingga jatuh
di hadapan Mikoto dan lainnya oleh energi tak terlihat yang mengelilingi tubuh
Sern. Aku sedikit mengerang.
“Mikoto,
sepertinya inilah saat yang tepat untuk menjalankan rencana kita.” Ucapku merintih.
Mikoto mengangguk diikuti dengan Dionze dan Diksy.
Tak
lama setelah itu cahaya menyilaukan muncul dan lantai ruangan di sekitarku pun
runtuh seakan telah terjadi gempa yang sangat kuat.
***
Beberapa
saat sebelumnya..
“Rencana?”
“Ya.”
Kemudian aku berjongkok sambil meletakkan telapak tangan di lantai. “Mikoto,
apa kau ingat ruangan apa yang berada tepat di bawah kamar raja ini?”
“Ummh..”
Mikoto menengok ke atas sambil menempelkan jari telunjuknya ke dagu. “Yang aku
ingat, Raja Algeas sangat menyukai kuda dan karenanya ia menyimpan seluruh kuda
peliharaannya tepat di bawah kamarnya.”
“Tepat
sekali!” aku menjentikkan jari. “Jadi begini, aku ingin nanti kalian semua
bekerja sama bila keadaan benar-benar sedang darurat.”
“Bekerja
sama?”
“Ya.
Nanti bila sudah kuberi tanda, aku minta Diksy untuk mengeluarkan skill
penghancurnya seperti saat dulu menghancurkan pintu besi di kastil Tyron.”
“Umm..
Tapi apa yang mesti kuhancurkan nanti?” Diksy sedikit kebingungan.
“Lantai
kamar Raja Algeas.” Jawabku sambil menepuk lantai. “Tapi aku minta agar kau
hanya menghancurkan lantai di sekitar kita berada saja. Dengan begitu kita akan
bisa langsung mengarah pada tempat penyimpanan kuda-kuda milik Raja Algeas.”
“Tapi
bukankah itu sedikit berbahaya?”
“Aku
rasa kita semua akan selamat selama kita terus bersama.” Lalu aku menolehkan
pandanganku pada Dionze. “Untuk itu aku mengharapkanmu untuk membuat kita tetap
aman selama jatuh nanti.”
“Mengharapkanku?
Apa yang bisa aku lakukan nanti?” kini Dionze yang terlihat kebingungan.
“Aku
yakin kau sebagai seorang tanker pasti memiliki sebuah skill yang bisa
melindungi kita dari cedera akibat jatuh.”
“Ya,
memang ada sih. Tapi aku tidak bisa terlalu menjamin sebab jumlah kita terlalu
banyak untuk bisa kulindungi dengan skill tersebut.”
“Tidak
apa-apa, dengan adanya skill tersebut pun kurasa sudah lebih dari cukup sebab
nanti disana pasti akan ada tumpukkan jerami yang akan menahan kita dari cidera
yang serius.”
“Wah, benar juga.” Dionze semakin mengerti dengan penjelasanku.
“Wah, benar juga.” Dionze semakin mengerti dengan penjelasanku.
“Lalu
apa yang bisa kulakukan nanti, Enutra?” Mikoto lalu bertanya padaku.
“Ah
iya, aku hampir lupa.” Kutolehkan pandanganku pada Mikoto. “Sebelum semua itu,
aku minta kau untuk membuat cahaya seterang mungkin dari skill milikmu untuk
mengecoh lawan bilamana nanti mereka mendesak kita.”
“Wah!
Hebat juga idemu! Tumben kamu bisa sejenius ini?” Diksy menepuk pundakku namun
aku hanya menatapnya dengan tatapan sinis.
“Ngomong-ngomong,
kok ada saja yang mau punya kamar tepat di atas istal[1]?
Apalagi dia adalah seorang raja.” Dionze sedikit bergumam.
“Kalau
itu sih tidak usah terlalu dipikirkan. Pertanyaan itu sebenarnya sudah ada di
kepalaku semenjak pertama kali aku datang ke istana ini.” Jawabku seadanya.
“Oke semuanya, ayo kita hadapi apapun yang akan terjadi nanti!”
***
Semua
yang telah kurencanakan sejauh ini berjalan cukup sempurna. Mikoto telah
melakukan tugasnya dengan mengeluarkan skill cahayanya untuk membuat Sern
terkecoh. Begitu pula dengan Diksy yang sudah menghancurkan lantai tepat ketika
kami semua berdekatan. Tinggal menunggu Dionze untuk mengeluarkan skill
miliknya untuk meminimalkan cidera akibat jatuh dari ketinggian.
~Bruaakkk..
~Bruaakkk..
Sesuai
dugaan, ternyata kami langsung terjatuh tepat di atas jerami-jerami yang
digunakan sebagai pakan kuda-kuda Raja Algeas. Setelah itu Dionze langsung mengaktifkan
skill miliknya untuk membuat kami terhindar dari timpaan reruntuhan lantai yang
hancur.
Setelah
melihat aksi Dionze yang mengagumkan, kuarahkan jempolku padanya yang baru saja
menyelesaikan skill. Ia hanya melihatku dengan tatapan dingin. Tak lama
kemudian tanpa pikir panjang langsung kutinggalkan tempatku dan berlari
mendekati kuda-kuda yang akan kami tunggangi.
“Gawaaattttt!!!”
Teriakku membuat panik Diksy dan yang lainnya.
“Ada
apa, Enutra?”
“Anu..
Aku gak bisa mengendarai kuda.” Jawabku terkekeh.
“Dasar
bodoh! Kau ikut saja denganku!” Mikoto yang kini tengah menunggangi seekor kuda
jantan hitam besar langsung menarik tanganku.
“Umm..
Terima kasih.” ucapku dengan wajah tersipu.
“Tidak
usah berterima kasih.” Jawab Mikoto sedikit kesal. “Padahal aku ingin sekali
dibonceng oleh Dionze.”
“Baik,
semua sudah berada di atas kuda?” Tanya Diksy yang sudah berada di posisi
paling depan. “Kalau begitu, ayo kita segera berangkat!”
Derap
langkah kuda pun bergema di ruangan luas yang lebih tepatnya adalah sebuah
istal raksasa istana Velika. Kami berempat akhirnya meninggalkan tempat
tersebut. Dengan semua yang telah kurencanakan bersama ini, pertarungan dengan
Sern pun dapat terhindarkan.
Sesaat
setelah meninggalkan istal kuda tersebut, baru kusadari bahwa Vivian masih
terikat di bawah balkon kamar Raja Algeas.
“Semuanya!
Tolong berhenti dulu!” aku berteriak tepat setelah melewati Vivian yang masih
terikat rantai oleh Sern.
Kujatuhkan
tubuhku dari kuda yang dikendarai oleh Mikoto dan segera berlari mendekati
Vivian. Kutarik pedang Dartmouth Eterna dari sarungnya dan langsung kuayunkan
pada rantai yang membelenggunya. Rantai tersebut pun akhirnya terputus hingga
membuat tubuhnya yang lemah terjatuh.
“Vivian,
mari ikut dengan kami. Situasi di sini sudah sangat berbahaya bagi kita.”
Ucapku sambil membopong tubuhnya. Sang putri pun mengangguk sambil tersenyum
padaku. Terlihat sekilas air mata menetes dari matanya yang indah. Kuusap air
mata yang membasahi pipinya dan kemudian memeluknya dengan erat. “Mulai saat
ini, aku tak akan pernah membiarkanmu terluka lagi.”
“Hey
mesum! Ayo cepat kita berangkat sebelum Sern mengejar!” teriak Mikoto yang
masih menunggangi kuda di depanku.
“Mikoto,
aku mohon bawa Vivian di belakangmu.” Ucapku sambil mengangkat Vivian ke atas
punggung kuda yang Mikoto kendarai. Setelah itu aku menengok pada Dionze yang
berada tidak jauh dariku. “Dionze, tolong bonceng aku dengan kudamu.”
Dionze
mengangguk. Tak perlu menunggu lama, aku langsung berlari mendekati Dionze dan
melompat menuju punggung kuda yang dikendarai olehnya. Kami berlima pun
meninggalkan Istana Velika dengan segera.
Sesaat
aku menengok ke belakang dan melihat balkon tempat Sern berada. Sungguh
mengejutkan, dia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menyenderkan
tubuhnya pada pagar balkon dengan kedua sikunya sambil tersenyum menatap kami.
Apa sebenarnya dengan yang ia pikirkan?
“Ada
apa Enutra? Kau terlihat kebingungan.” Tanya Dionze padaku sambil mengendalikan
laju kuda yang dibawanya.
“Bukan
apa-apa, yang penting kita harus terus pergi meninggalkan Istana Velika dengan
segera.” Jawabku seolah tak ada hal yang mengganjal pikiran.
***
Matahari
bersinar agak padam, sepertinya sudah semakin senja. Entah sudah berapa jauh
kami meninggalkan Istana Velika. Rasanya sudah pergi sejauh puluhan kilometer
dan kini kami harus mengistirahatkan kuda-kuda kami di tengah hamparan padang
rumput luas. Angin sepoy pun mengalir dengan lembutnya membelai kulit kering
yang sempat dibasahi oleh keringat.
Suara
air yang mengalir tenang menghias kesunyian pada senja hari ini. Mata air kecil
di sampingku membelah hamparan rumput nan luas, membuatku sedikit mengantuk dan
sesekali berhasil membuka mulutku untuk menguap.
“Tuan
Enutra, apakah anda kelelahan?” tanya Vivian yang saat ini sedang kulap dengan
kain basah untuk membersihkan luka di tubuhnya.
“Ah tidak, Viv, maksudku tuan putri.” Jawabku agak sedikit gugup karena baru kali ini lah aku bisa sedekat ini dengannya. “Aku hanya terbawa oleh suasana yang indah di padang rumput ini.”
“Ah tidak, Viv, maksudku tuan putri.” Jawabku agak sedikit gugup karena baru kali ini lah aku bisa sedekat ini dengannya. “Aku hanya terbawa oleh suasana yang indah di padang rumput ini.”
“Terima
kasih ya.” Ucap Vivian tiba-tiba setelah aku menyelesaikan perkataanku sambil
menampakkan senyumannya yang indah.
“Terima
kasih untuk apa? Aku justru merasa bersalah karena telah membuatmu jauh dari
istanamu, rakyatmu, dan bahkan ayahmu sendiri.”
Entah
mengapa, aku merasa suasana yang kami alami langsung berubah. Senyuman Vivian
yang sebelumnya nampak sangat indah mendadak hilang dan tergantikan oleh
ekspresi wajah yang penuh dengan rasa duka dan kesedihan.
“Ma-maafkan
aku tuan putri.” Aku langsung membungkukkan badan di hadapannya. “Maafkan aku
yang telah membuatmu menjadi sedih seperti ini.”
Hening.
Tak ada satu pun kata yang terucap baik dari bibirku maupun Vivian. Entah apa
yang harus aku lakukan agar dapat mengembalikan perasaannya yang sempat membaik
tadi. Aku masih membungkukkan badan dan berharap agar Vivian dapat memaafkanku.
Belum
selesai aku membungkukkan badan, terasa jari-jari lembut Vivian menyentuh kedua
pundak. Hangat dan nyaman. Setelah itu ia mengangkatku sehingga dapat terlihat jelas
paras wajah cantiknya. Ia tersenyum, meski tatapan matanya bukan menggambarkan
kebahagiaan. Air matanya masih mengalir membasahi pipinya yang putih dan
bersih.
Mata
kami saling bertemu. Masih belum ada satu pun kata yang keluar dari mulut kami.
Dalam pikiranku berkecamuk perasaan yang tak tentu.
Tanpa
kusadari tanganku seolah bergerak dengan sendirinya, membelai wajah Vivian. Ia
tak bergerak dan hanya menutup matanya. Lembut namun basah. Lalu kugerakkan
lenganku hingga menyentuh dagunya yang ranum. Perlahan kudekatkan wajahku dan
wajahnya. Dan kemudian..
“Enutra..”
tiba-tiba Diksy memanggilku.
Sontak
aku langsung terperanjat setelah mendengar panggilan Diksy yang tiba-tiba. Aku
benar-benar tak sadar dengan apa yang telah kulakukan tadi. Vivian memalingkan
wajahnya yang nampak memerah. Tadi aku hampir saja menciumnya? Jantungku
berdebar cukup keras membayangkan hal tersebut.
“Enutra..”
“Yaa!!”
tanpa sengaja aku menjawab Diksy dengan sedikit teriakan.
“Ada
apa denganmu?” tanya Diksy kebingungan.
“Errr...
Tidak ada apa-apa.” Jawabku sedikit gugup.
Sepintas
kulihat Vivian kini sedang tertawa kecil setelah melihat sikapku yang aneh.
Syukurlah, suasana hatinya sudah kembali membaik.
“Hmmm..
Yasudahlah. Ngomong-ngomong ada hal yang ingin kukatakan denganmu.”
“Kalau
begitu, katakanlah.”
“Dik
Mikoto sempat berkata denganku tadi. Kita telah melupakan salah satu hal yang
penting.”
“Apa
itu?”
“Menyelamatkan
teman-temanmu dan Jendral Zach dari penjara bawah tanah di Istana Velika.”
Aku
terhenyak setelah mendengar perkataannya. Celaka! Bagaimana mungkin aku bisa
melupakan mereka. Padahal mereka sudah menyelamatkanku ketika di Kubah Emerald
sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan?
“Kita
harus kembali!” ucapku spontan.
“Tidak,
terlalu berbahaya bagi kita bila kembali dalam keadaan seperti ini.”
“Tapi
bukankah disana ada sahabatmu juga??”
“Memang
benar apa katamu. Tapi tetap saja terlalu gegabah bagi kita untuk kembali hanya
dengan persiapan seadanya seperti ini.”
“Lalu
apa kita hanya membiarkan mereka tersiksa begitu saja di penjara sana?!”
bentakku.
“Dengarkan
dulu penjelasanku!” Diksy membentakku lebih keras hingga membuatku terdiam.
“Sebelumnya kita harus mempersiapkan semuanya terlebih dahulu. Selain itu kita
juga harus membawa Putri Vivian ke tempat yang lebih aman untuk merawat
luka-lukanya.”
“Umh..
Baiklah.” balasku pendek.
“Untuk
sementara ini aku kira ada satu tempat yang harus kita tuju untuk mempersiapkan
semuanya.”
“Dimana
itu?”
“Kota
Haiwa di Kerajaan Pacifier, markas besar Arthemis Union yang baru.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar