28 Desember 2014

DUNIA SEMU #29


CHAPTER 29 - PUISI

            Masih jelas teringat bagaimana sulitnya menghadapi Tyron saat itu dan kini aku harus dihadapkan langsung oleh sang pemimpin tertinggi dari Bangsa Remidi, Sern, yang mengaku memiliki seratus kali lipat kekuatan Tyron. Entah ini memang sudah tertulis dalam takdirku, atau memang kesalahan yang membawaku pada keadaan ini. Semua ini terlalu cepat. Aku sama sekali belum siap bila memang harus menghadapinya sekarang. Biar bagaimanapun juga aku hanyalah manusia biasa. Manusia biasa yang lemah tak berdaya.
            Tapi..
            Tak ada yang tak mungkin bila kita memang berusaha untuk menghadapinya. Terkadang sesekali suara samar mendengung di dalam kepala seolah berkata, ‘Semua akan baik-baik saja’. Aku yakin sekecil apapun peluang yang kita miliki untuk menghadapi masalah, tetap saja peluang itu ada. Lebih baik daripada berpikir tak ada peluang sama sekali. Lagipula, dibalik semua kelemahan setiap manusia, tak ada yang tahu potensi besar apa yang ada di dalamnya.
***


            “Jadi, apa kau benar-benar ingin melawanku?” Ucap Sern yang masih berdiri tepat di hadapanku.
            “Aku benar-benar tak mengerti apa yang ada di pikiranmu. Namun jika memang bertarung adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Vivian, maka akan kulakukan meski harus mengorbankan ragaku.”
            “Luar biasa sekali perkataanmu, Enutra.” Sern menepuk tangannya seolah mencemooh perkataanku. Dahiku mengernyit. “Tapi, jujur kedatanganku kemari bukanlah untuk bertarung dengan siapapun.”
            “Lantas, apa yang kau lakukan pada Vivian di bawah sana, hah!!” bentakku keras.
            “Oh itu? Aku hanya mencoba untuk mencari tahu data yang kubutuhkan seperti halnya yang aku lakukan padamu tadi.”
            “Tapi mengapa hanya dia yang diperlakukan sekasar itu? Mengapa hanya kami yang dengan mudahnya dapat kau percaya?” masih belum menurunkan nada suaraku.
            “Karena dia adalah anak dari Algeas.” Jawabnya pendek sambil mengangkat bahu.
            “Memangnya kenapa jika dia adalah anak dari Raja Algeas? Kau iri dengannya? Bukankah kau sudah memiliki kekuatan yang cukup kuat untuk mengendalikan seluruh kerajaan ini?” emosiku semakin naik.
            “Sabar. Biar kujelaskan perlahan. Tapi, sebelumnya akan kuperlihat padamu tentang kenyataan.” Sern mengangkat tangan kanannya tepat dihadapan wajahku lalu menjentikkan jarinya. “Sekarang, lihatlah kursi mewah yang ada di dekatmu itu.”
             Napasku tercekat. Tak ada kata lain selain terkejut yang bisa menjelaskan keadaan kami saat ini. Bau busuk langsung menusuk hidung. Sangat keterlaluan. Kulihat sesosok tubuh tak bernyawa Raja Algeas yang sudah membusuk duduk pada kursi mewahnya.
            “Sebelumnya aku telah memanipulasi seluruh penglihatan dan penciuman kalian ketika memasuki ruangan ini.”
            “Ini sudah keterlaluan!” tanpa pikir panjang aku menarik pedang dan langsung menghunuskannya tepat di dada Sern.
            Tapi seolah ada tameng tak terlihat di tubuhnya, bilah tajam Dartmouth Eterna sama sekali tak dapat menyentuh tubuh Sern.
            “Sabarlah dulu. Bukan aku yang telah membunuhnya.” Sern lalu mengayunkan tangannya dan tiba-tiba pedang yang tadi kugenggam dengan kuat langsung terjatuh dengan sendirinya. “Lagipula bukankah kau membencinya?”
            “Ini bukanlah tentang siapa yang kubenci, tapi jika menyangkut dengan nyawa seseorang, itu membuatku sangat marah. Lagipula, biar bagaimanapun juga ia adalah ayah dari Vivian!”
            “Ya sudah.. Ya sudah.. Aku sedang tidak ingin berdebat. Bisa kulanjutkan penjelasanku?” Sern lalu berbalik. “Sekali lagi kukatakan, bukan aku yang membunuhnya. Ketika aku sampai di tempat ini, ia sudah dalam keadaan tak bernyawa. Awalnya ia berada di kursi dekat jendela yang mengarah pada hutan Velika. Sengaja kupindahkan agar memudahkanku untuk mencari data yang kuinginkan. Namun hasilnya nihil dan yang kutemukan hanyalah sebuah kartu bertuliskan ‘ANGELKILL’ ini di dadanya.”
            “Angelkill? Siapa dia?”
            “Assassin.” ucap Dionze tiba-tiba.
            “Apa maksudmu?” tanyaku kebingungan.
            “Dia adalah seorang assassin. Seorang pembunuh bayaran terkenal di Kerajaan Olympus. Hingga saat ini belum pernah ada yang tahu dimana keberadaan dia sebenarnya.” Diksy melanjutkan.
            “Baik, cukup sudah dengan penjelasanmu tentang kematian Raja Algeas ini.” Lalu kuayunkan lengan kiriku mengarah pada Putri Vivian yang kini tengah dirantai olehnya. “Apa hubungannya dengan keputusanmu untuk menyiksa Vivian di sana??” bentakku kembali.
            “Lihatlah baik-baik dibalik kartu ini.”
            Sern menyodorkan kartu bertuliskan ‘ANGELKILL’ tersebut padaku. Ada sesuatu dibaliknya. Sesuatu berupa puisi dengan tulisan sambung yang cukup rapi. Tak ada alasan lain bagiku untuk membacanya secara lantang.
            ‘Bila waktu adalah pengukur jiwa,
          Dan keabadian tak pernah ada.
          Hanya kebenaran yang akan tetap nyata.’
                                                                   Brian Veroka
            Apa ini? Puisi apa ini? Aku sama sekali tidak mengerti.
            “Apa hubungannya Vivian dengan puisi ini?”
            Sern sama sekali tak menjawab sambil menampakkan senyuman puasnya. Setelah itu aku pun menoleh pada ketiga partnerku di belakang. Ku perhatikan mereka terlihat terkejut setelah mendengar pertanyaanku. Apa yang terjadi? Diksy. Mikoto. Dionze. Ada apa dengan kalian? Tanpa sengaja mataku tertuju pada lukisan besar potret Raja Algeas di atas ranjangnya. Pada lukisan tersebut, di bawahnya terpasang suatu plakat logam tipis bertuliskan sebuah nama. Algeas Veroka.
            “Jadi sekarang kau sudah mengerti mengapa aku memperlakukan Vivian berbeda dengan kalian?” ucap Sern sambil mengangkat dagunya.
            “Aku tak peduli siapa Brian Veroka, yang jelas bukan seperti itu cara memperlakukan seorang putri!” kuambil kembali pedang yang tadi sempat dijatuhkan Sern dan langsung kuhunuskan tepat di dadanya.
            “Enutra!” sontak Mikoto berteriak padaku.
            Seranganku tadi sama sekali tak membuatnya bergeming. Tubuhku malah terpental hingga jatuh di hadapan Mikoto dan lainnya oleh energi tak terlihat yang mengelilingi tubuh Sern. Aku sedikit mengerang.
            “Mikoto, sepertinya inilah saat yang tepat untuk menjalankan rencana kita.” Ucapku merintih. Mikoto mengangguk diikuti dengan Dionze dan Diksy.
            Tak lama setelah itu cahaya menyilaukan muncul dan lantai ruangan di sekitarku pun runtuh seakan telah terjadi gempa yang sangat kuat.
***

Beberapa saat sebelumnya..
            “Rencana?”
            “Ya.” Kemudian aku berjongkok sambil meletakkan telapak tangan di lantai. “Mikoto, apa kau ingat ruangan apa yang berada tepat di bawah kamar raja ini?”
            “Ummh..” Mikoto menengok ke atas sambil menempelkan jari telunjuknya ke dagu. “Yang aku ingat, Raja Algeas sangat menyukai kuda dan karenanya ia menyimpan seluruh kuda peliharaannya tepat di bawah kamarnya.”
            “Tepat sekali!” aku menjentikkan jari. “Jadi begini, aku ingin nanti kalian semua bekerja sama bila keadaan benar-benar sedang darurat.”
            “Bekerja sama?”
            “Ya. Nanti bila sudah kuberi tanda, aku minta Diksy untuk mengeluarkan skill penghancurnya seperti saat dulu menghancurkan pintu besi di kastil Tyron.”
            “Umm.. Tapi apa yang mesti kuhancurkan nanti?” Diksy sedikit kebingungan.
            “Lantai kamar Raja Algeas.” Jawabku sambil menepuk lantai. “Tapi aku minta agar kau hanya menghancurkan lantai di sekitar kita berada saja. Dengan begitu kita akan bisa langsung mengarah pada tempat penyimpanan kuda-kuda milik Raja Algeas.”
            “Tapi bukankah itu sedikit berbahaya?”
            “Aku rasa kita semua akan selamat selama kita terus bersama.” Lalu aku menolehkan pandanganku pada Dionze. “Untuk itu aku mengharapkanmu untuk membuat kita tetap aman selama jatuh nanti.”
            “Mengharapkanku? Apa yang bisa aku lakukan nanti?” kini Dionze yang terlihat kebingungan.
            “Aku yakin kau sebagai seorang tanker pasti memiliki sebuah skill yang bisa melindungi kita dari cedera akibat jatuh.”
            “Ya, memang ada sih. Tapi aku tidak bisa terlalu menjamin sebab jumlah kita terlalu banyak untuk bisa kulindungi dengan skill tersebut.”
            “Tidak apa-apa, dengan adanya skill tersebut pun kurasa sudah lebih dari cukup sebab nanti disana pasti akan ada tumpukkan jerami yang akan menahan kita dari cidera yang serius.”
            “Wah, benar juga.” Dionze semakin mengerti dengan penjelasanku.
            “Lalu apa yang bisa kulakukan nanti, Enutra?” Mikoto lalu bertanya padaku.
            “Ah iya, aku hampir lupa.” Kutolehkan pandanganku pada Mikoto. “Sebelum semua itu, aku minta kau untuk membuat cahaya seterang mungkin dari skill milikmu untuk mengecoh lawan bilamana nanti mereka mendesak kita.”
            “Wah! Hebat juga idemu! Tumben kamu bisa sejenius ini?” Diksy menepuk pundakku namun aku hanya menatapnya dengan tatapan sinis.
            “Ngomong-ngomong, kok ada saja yang mau punya kamar tepat di atas istal[1]? Apalagi dia adalah seorang raja.” Dionze sedikit bergumam.
            “Kalau itu sih tidak usah terlalu dipikirkan. Pertanyaan itu sebenarnya sudah ada di kepalaku semenjak pertama kali aku datang ke istana ini.” Jawabku seadanya. “Oke semuanya, ayo kita hadapi apapun yang akan terjadi nanti!”
***

            Semua yang telah kurencanakan sejauh ini berjalan cukup sempurna. Mikoto telah melakukan tugasnya dengan mengeluarkan skill cahayanya untuk membuat Sern terkecoh. Begitu pula dengan Diksy yang sudah menghancurkan lantai tepat ketika kami semua berdekatan. Tinggal menunggu Dionze untuk mengeluarkan skill miliknya untuk meminimalkan cidera akibat jatuh dari ketinggian.
            ~Bruaakkk..    
            Sesuai dugaan, ternyata kami langsung terjatuh tepat di atas jerami-jerami yang digunakan sebagai pakan kuda-kuda Raja Algeas. Setelah itu Dionze langsung mengaktifkan skill miliknya untuk membuat kami terhindar dari timpaan reruntuhan lantai yang hancur.
            Setelah melihat aksi Dionze yang mengagumkan, kuarahkan jempolku padanya yang baru saja menyelesaikan skill. Ia hanya melihatku dengan tatapan dingin. Tak lama kemudian tanpa pikir panjang langsung kutinggalkan tempatku dan berlari mendekati kuda-kuda yang akan kami tunggangi.
            “Gawaaattttt!!!” Teriakku membuat panik Diksy dan yang lainnya.
            “Ada apa, Enutra?”
            “Anu.. Aku gak bisa mengendarai kuda.” Jawabku terkekeh.
            “Dasar bodoh! Kau ikut saja denganku!” Mikoto yang kini tengah menunggangi seekor kuda jantan hitam besar langsung menarik tanganku.
            “Umm.. Terima kasih.” ucapku dengan wajah tersipu.
            “Tidak usah berterima kasih.” Jawab Mikoto sedikit kesal. “Padahal aku ingin sekali dibonceng oleh Dionze.”
            “Baik, semua sudah berada di atas kuda?” Tanya Diksy yang sudah berada di posisi paling depan. “Kalau begitu, ayo kita segera berangkat!”
            Derap langkah kuda pun bergema di ruangan luas yang lebih tepatnya adalah sebuah istal raksasa istana Velika. Kami berempat akhirnya meninggalkan tempat tersebut. Dengan semua yang telah kurencanakan bersama ini, pertarungan dengan Sern pun dapat terhindarkan.
            Sesaat setelah meninggalkan istal kuda tersebut, baru kusadari bahwa Vivian masih terikat di bawah balkon kamar Raja Algeas.
            “Semuanya! Tolong berhenti dulu!” aku berteriak tepat setelah melewati Vivian yang masih terikat rantai oleh Sern.
            Kujatuhkan tubuhku dari kuda yang dikendarai oleh Mikoto dan segera berlari mendekati Vivian. Kutarik pedang Dartmouth Eterna dari sarungnya dan langsung kuayunkan pada rantai yang membelenggunya. Rantai tersebut pun akhirnya terputus hingga membuat tubuhnya yang lemah terjatuh.
            “Vivian, mari ikut dengan kami. Situasi di sini sudah sangat berbahaya bagi kita.” Ucapku sambil membopong tubuhnya. Sang putri pun mengangguk sambil tersenyum padaku. Terlihat sekilas air mata menetes dari matanya yang indah. Kuusap air mata yang membasahi pipinya dan kemudian memeluknya dengan erat. “Mulai saat ini, aku tak akan pernah membiarkanmu terluka lagi.”
            “Hey mesum! Ayo cepat kita berangkat sebelum Sern mengejar!” teriak Mikoto yang masih menunggangi kuda di depanku.
            “Mikoto, aku mohon bawa Vivian di belakangmu.” Ucapku sambil mengangkat Vivian ke atas punggung kuda yang Mikoto kendarai. Setelah itu aku menengok pada Dionze yang berada tidak jauh dariku. “Dionze, tolong bonceng aku dengan kudamu.”
            Dionze mengangguk. Tak perlu menunggu lama, aku langsung berlari mendekati Dionze dan melompat menuju punggung kuda yang dikendarai olehnya. Kami berlima pun meninggalkan Istana Velika dengan segera.
            Sesaat aku menengok ke belakang dan melihat balkon tempat Sern berada. Sungguh mengejutkan, dia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia hanya menyenderkan tubuhnya pada pagar balkon dengan kedua sikunya sambil tersenyum menatap kami. Apa sebenarnya dengan yang ia pikirkan?
            “Ada apa Enutra? Kau terlihat kebingungan.” Tanya Dionze padaku sambil mengendalikan laju kuda yang dibawanya.
            “Bukan apa-apa, yang penting kita harus terus pergi meninggalkan Istana Velika dengan segera.” Jawabku seolah tak ada hal yang mengganjal pikiran.
***

            Matahari bersinar agak padam, sepertinya sudah semakin senja. Entah sudah berapa jauh kami meninggalkan Istana Velika. Rasanya sudah pergi sejauh puluhan kilometer dan kini kami harus mengistirahatkan kuda-kuda kami di tengah hamparan padang rumput luas. Angin sepoy pun mengalir dengan lembutnya membelai kulit kering yang sempat dibasahi oleh keringat.
            Suara air yang mengalir tenang menghias kesunyian pada senja hari ini. Mata air kecil di sampingku membelah hamparan rumput nan luas, membuatku sedikit mengantuk dan sesekali berhasil membuka mulutku untuk menguap.
            “Tuan Enutra, apakah anda kelelahan?” tanya Vivian yang saat ini sedang kulap dengan kain basah untuk membersihkan luka di tubuhnya.
            “Ah tidak, Viv, maksudku tuan putri.” Jawabku agak sedikit gugup karena baru kali ini lah aku bisa sedekat ini dengannya. “Aku hanya terbawa oleh suasana yang indah di padang rumput ini.”
            “Terima kasih ya.” Ucap Vivian tiba-tiba setelah aku menyelesaikan perkataanku sambil menampakkan senyumannya yang indah.
            “Terima kasih untuk apa? Aku justru merasa bersalah karena telah membuatmu jauh dari istanamu, rakyatmu, dan bahkan ayahmu sendiri.”
            Entah mengapa, aku merasa suasana yang kami alami langsung berubah. Senyuman Vivian yang sebelumnya nampak sangat indah mendadak hilang dan tergantikan oleh ekspresi wajah yang penuh dengan rasa duka dan kesedihan.
            “Ma-maafkan aku tuan putri.” Aku langsung membungkukkan badan di hadapannya. “Maafkan aku yang telah membuatmu menjadi sedih seperti ini.”
            Hening. Tak ada satu pun kata yang terucap baik dari bibirku maupun Vivian. Entah apa yang harus aku lakukan agar dapat mengembalikan perasaannya yang sempat membaik tadi. Aku masih membungkukkan badan dan berharap agar Vivian dapat memaafkanku.
            Belum selesai aku membungkukkan badan, terasa jari-jari lembut Vivian menyentuh kedua pundak. Hangat dan nyaman. Setelah itu ia mengangkatku sehingga dapat terlihat jelas paras wajah cantiknya. Ia tersenyum, meski tatapan matanya bukan menggambarkan kebahagiaan. Air matanya masih mengalir membasahi pipinya yang putih dan bersih.
            Mata kami saling bertemu. Masih belum ada satu pun kata yang keluar dari mulut kami. Dalam pikiranku berkecamuk perasaan yang tak tentu.
            Tanpa kusadari tanganku seolah bergerak dengan sendirinya, membelai wajah Vivian. Ia tak bergerak dan hanya menutup matanya. Lembut namun basah. Lalu kugerakkan lenganku hingga menyentuh dagunya yang ranum. Perlahan kudekatkan wajahku dan wajahnya. Dan kemudian..
            “Enutra..” tiba-tiba Diksy memanggilku.
            Sontak aku langsung terperanjat setelah mendengar panggilan Diksy yang tiba-tiba. Aku benar-benar tak sadar dengan apa yang telah kulakukan tadi. Vivian memalingkan wajahnya yang nampak memerah. Tadi aku hampir saja menciumnya? Jantungku berdebar cukup keras membayangkan hal tersebut.
            “Enutra..”
            “Yaa!!” tanpa sengaja aku menjawab Diksy dengan sedikit teriakan.
            “Ada apa denganmu?” tanya Diksy kebingungan.
            “Errr... Tidak ada apa-apa.” Jawabku sedikit gugup.
            Sepintas kulihat Vivian kini sedang tertawa kecil setelah melihat sikapku yang aneh. Syukurlah, suasana hatinya sudah kembali membaik.
            “Hmmm.. Yasudahlah. Ngomong-ngomong ada hal yang ingin kukatakan denganmu.”
            “Kalau begitu, katakanlah.”
            “Dik Mikoto sempat berkata denganku tadi. Kita telah melupakan salah satu hal yang penting.”
            “Apa itu?”
            “Menyelamatkan teman-temanmu dan Jendral Zach dari penjara bawah tanah di Istana Velika.”
            Aku terhenyak setelah mendengar perkataannya. Celaka! Bagaimana mungkin aku bisa melupakan mereka. Padahal mereka sudah menyelamatkanku ketika di Kubah Emerald sebelumnya. Apa yang harus aku lakukan?
            “Kita harus kembali!” ucapku spontan.
            “Tidak, terlalu berbahaya bagi kita bila kembali dalam keadaan seperti ini.”
            “Tapi bukankah disana ada sahabatmu juga??”
            “Memang benar apa katamu. Tapi tetap saja terlalu gegabah bagi kita untuk kembali hanya dengan persiapan seadanya seperti ini.”
            “Lalu apa kita hanya membiarkan mereka tersiksa begitu saja di penjara sana?!” bentakku.
            “Dengarkan dulu penjelasanku!” Diksy membentakku lebih keras hingga membuatku terdiam. “Sebelumnya kita harus mempersiapkan semuanya terlebih dahulu. Selain itu kita juga harus membawa Putri Vivian ke tempat yang lebih aman untuk merawat luka-lukanya.”
            “Umh.. Baiklah.” balasku pendek.
            “Untuk sementara ini aku kira ada satu tempat yang harus kita tuju untuk mempersiapkan semuanya.”
            “Dimana itu?”
            “Kota Haiwa di Kerajaan Pacifier, markas besar Arthemis Union yang baru.”
***


[1] Kandang kuda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar