15 Desember 2014

DUNIA SEMU #28


CHAPTER 28 - MANIPULASI MASAL

            Berlari, menghindar, menyelinap, menunduk, dan berhenti, itulah yang kami lakukan sejak keluar dari pondok persembunyian. Hingga saat ini masih belum pasti kemana tempat yang akan kami tuju. Diksy yang sejak tadi berada di depan hanya melakukan pengarahan dengan beberapa isyarat dan berlari tanpa bicara sepatah kata pun.
            “Diksy.. Sebenarnya tujuan kita itu kemana?” aku sedikit berbisik dari belakang punggungnya. “Entah ini hanya perasaanku saja atau tidak, tapi dari tadi rasanya kita hanya berputar-putar.”
            “Ssssttt.. Jangan banyak berbicara!”
            Apa maksudnya? Aku hanya bisa diam dan mengangguk meski ada perasaan jengkel di dalam hati karena sikapnya yang tiba-tiba menyebalkan.
            Dari belakang kuperhatikan tengkuk Diksy begitu basah karena keringat. Napasnya pun terengah dan kakinya agak sedikit bergetar. Mungkin ia sangat kelelahan karena harus terus berlari dan juga mengatur penyelinapan ini agar tak ada satupun dari kami tertangkap oleh para tentara Eternality.

            “Emm.. Enutra, maafkan aku.”
            Tiba-tiba Diksy meminta maaf. Apa maksudnya? Apa dia memang merasa bersalah karena tadi sempat membentakku tanpa alasan?
            “Maaf karena apa?”
            Aku sedikit menengok wajah Diksy yang kelihatannya semakin memerah dan penuh dengan keringat.
            Diksy menggaruk kepala. Bicaranya sedikit tergagap. “A-anu.. Itu.. Umm..”
            “Ya?”
            “Apa boleh aku bertukar posisi denganmu?” tanya Diksy pelan.
            “Eh?” Aku heran dengan maksud perkataannya.
            “Iya, aku memintamu untuk pindah ke depanku sambil menunjukkan jalan tujuan kita.” Diksy menjawab sambil terkekeh.
            “Tapi.. Tapi aku kan sama sekali tidak tahu kemana kita harus menuju..”
            Diksy menarik tanganku dan mengarahkan bibirnya tepat di samping telinga kananku sambil membisikkan sesuatu.
            “Heeehhh???” aku terperanjat setelah mendengar bisikan Diksy. “Kenapa bukan dari tadi saja kau sebutkan tempat itu??”
            “Maaf.. Maaf.. Aku hanya ingin berlagak sedikit keren di hadapan dik Mikoto.” balas Diksy berbisik sambil menjulurkan lidahnya.
            “Sekarang sama sekali bukan saatnya untuk berlagak keren!!” sontak kulayangkan pukulan keras dengan gagang pedang pada kepalanya.
            “Ada apa sebenarnya, Enutra?” Dionze penasaran dengan apa yang terjadi diikuti dengan Mikoto yang melongok di belakangnya.
            “Hooo.. Bukan apa-apa, aku hanya ingin bertukar posisi dengan Enutra saja.” Diksy langsung menjelaskan dengan pindah ke posisiku sambil mengusap kepalanya yang memar. Setelah itu ia berbisik padaku. “Tolong jangan sampai dik Mikoto tahu ya.”
            “Terserah! Dasar orang tua genit.” dengan kasar kujawab permintaan anehnya tersebut. “Kalau memang tidak tahu tempatnya kenapa tidak kau katakan padaku sejak awal?”
            “Bukankah sudah kukatakan tadi kalau aku sama sekali belum pernah masuk ke Istana Velika ini.”
            “Ah yasudahlah..” kualihkan pandanganku ke depan, “Yang jelas sekarang aku tahu kemana tempat yang akan kita tuju nanti. Kamar Raja Algeas.”
***

            Menurut salah satu situs web yang pernah kuingat, selain sebagai tempat bermukimnya raja, istana merupakan suatu simbol eksistensi kejayaan suatu kerajaan. Namun yang terjadi saat ini eksistensi Istana Velika justru terasa semakin pudar. Ditambah pula dengan sikap warganya yang semakin acuh di luar sana. Bila memang dugaan kami benar, maka hal yang paling kukhawatirkan adalah keadaan Vivian yang sampai saat ini masih belum kuketahui.
            Kerajaan Eternality ini benar-benar telah rapuh dari dalam. Entah sejak kapan terjadinya. Mungkin dimulai sejak Raja Algeas bekerja sama dengan para bangsa penjajah Remidi. Mungkin baru saja terjadi ketika aku mengalahkan Tyrone. Atau mungkin juga kerajaan ini memang sudah rapuh sejak awalnya. Mungkin.
            Jujur, tentu saja masih banyak yang belum aku ketahui mengenai dunia ini. Hingga sekarang, yang kulakukan hanya menerka-nerka dan mencoba untuk membaur sebisanya. Syukurlah, belum ada seorangpun yang curiga dengan kepiawaianku bersandiwara menjadi seorang Enutra yang tiada lain adalah jelmaan diriku di dunia paralel ini. Kebiasaan menonton film-film aksi dan fantasi yang dulu sering kulakukan sepertinya memang cukup menolong.
            Imaji, seseorang, atau entah harus kusebut apa karena wujudnya yang sering berubah, yang pertama kali menjelaskan mengenai dunia ini pun tidak banyak membantu untuk membuatku mengerti tentang masalah yang dihadapi dunia ini. Beberapa hal yang dapat kumengerti darinya adalah bahwa dunia ini berada dalam krisis yang sangat parah. Bangsa asing Remidi dengan peralatan canggihnya mengeruk sumber daya dunia ini dengan serakah hingga tak pelak sering terjadi pertumpahan darah yang amat mengerikan. Dan aku harus menghadapinya hingga tuntas tanpa penjelasan dan persiapan yang jelas. Atau aku tak akan pernah kembali lagi ke duniaku.
***

            “Kurasa ini tempatnya.”
            Aku berhenti tepat di depan dua buah daun pintu merah besar berhiaskan ornamen ukiran emas. Aneh, meskipun ruangan di hadapanku ini adalah kamar dari seorang raja, tapi tak ada satupun penjaga yang berjaga di sekitarnya. Apakah mungkin aku salah? Tidak, aku masih ingat ketika kunjungan pengenalan area istana saat pertama kali datang sebagai salah satu peserta pelatihan Velika.
            “Enutra, apa yang kamu pikirkan?” Diksy bertanya karena melihatku seperti sedang memikirkan sesuatu.
            “Ummh.. Hanya merasa agak aneh saja. Menurutku terlalu mudah bagi kita untuk bisa sampai ke tempat ini. Para pasukan penjaga pun terlihat lebih sedikit dibanding saat terakhir kali aku tinggal di istana ini. Bukan begitu, Mikoto?”
            Mikoto mengangguk mempertegas pernyataanku tadi.
            “Apapun itu, yang jelas kita akan segera masuk ke dalam ruangan ini.” potong Dionze sambil mengajak Diksy dan Mikoto.
            “Tunggu dulu!” sejenak kuhentikan mereka dengan tangan kiriku. “Entah mengapa, aku khawatir jika ini semua adalah jebakan dari Jendral Zach.”
            “Tapi, bukankah selama ini ia telah menolong kita?”
            “Tidakkah kalian menyadari keanehan-keanehan yang aku jelaskan tadi?” aku berusaha meyakinkan.
            Diksy, Dionze, dan Mikoto masing-masing saling terdiam memikirkan apa yang baru saja kukatakan.
          “Sebentar!” sela ku memecah keheningan. “Jika kita memang harus memasuki ruangan ini, aku punya rencana.”
            “Rencana?”
***

            Perlahan kedua daun pintu besar dihadapan kami terbuka dengan sedikit dorongan oleh Diksy dan Dionze. Sama sekali tidak tekunci. Seakan mempersilahkan siapapun yang membuka untuk masuk ke dalamnya. Sementara itu, jantungku masih terus berdegup kencang cemas dengan apa yang akan terjadi di ruangan tersebut.
            “Tak ada siapa pun??” ucap Dionze spontan sesaat setelah membukakan pintu.
            Setelah mendengarnya, dengan segera kumasuki kamar mewah seluas kurang lebih dua ratus meter persegi tersebut. Dan memang benar, ternyata tak ada seorang pun di sini. Entah apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan Jendral Zach terhadap kami?
            Namun dibalik semua kejadian yang terjadi, kamar ini seolah mampu membuatku terhipnotis untuk tak henti-hentinya berdecak kagum. Pertama kali bagiku untuk memasuki kamar semewah ini. Desain kamar bernuansa eropa klasik mewah dominan warna keemasan, sangat serasi ketika disandingkan dengan berbagai macam furnitur dan guci antik nan elegan yang menghiasi setiap sudut ruang. Selain itu, terpampang pula sebuah lukisan besar potret sang raja di atas tempat tidur raksasanya yang mungkin lebih besar dari ukuran super king size[1]. Tak salah jika kamar ini memang diperuntukkan untuk sang penguasa kerajaan.
            “Apa maksud dari Zach membawa kita kemari bila tak ada yang harus kita kerjakan di sini?” gumam Diksy.
            Aku hanya menaikkan kedua pundak tanda tak tahu untuk meresponnya.
            Waktu terus berjalan namun tak ada satupun hasil yang didapat. Sempat terpikirkan keinginan untuk keluar dari kamar ini dan memilih untuk menyelamatkan Vivian terlebih dahulu. Rasanya semua yang kami lakukan terasa sia-sia.
            “Diksy, apa kau benar-benar yakin bahwa tempat yang kita tuju ini adalah kamar Raja Algeas?” tanyaku pada Diksy.
            “Tentu saja. Kode seperti itu biasa kami lakukan antara aku dan Zach ketika di Haraburn dulu. Mana mungkin aku salah menebaknya.”
            “Bila memang kau merasa yakin seperti itu, aku harap kau tidak membuat kesalahan lagi”
            Namun tetap saja keadaan yang menggantung seperti ini membuatku ragu-ragu untuk meyakininya.
            Kamar ini begitu luas, sangat sulit bagi kami untuk menyelidiki semua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan keadaan ini, sementara yang kami lakukan hanya mencoba untuk berpencar dan mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan oleh sang jendral.
            Saat ini aku berada pada sebuah balkon yang terhubung langsung dari kamar raja Algeas. Hanya terdapat sebuah kursi kerajaan mewah dan meja bundar kecil setinggi pinggul disampingnya. Tak ada hal mencurigakan dari tempat ini. Rasa bosan telah membuatku lelah akan sesuatu yang tak pasti. Kuletakkan kedua tangan bersandar pada pagar balkon dan menikmati betapa indahnya Kota Velika yang terlihat jelas dari tempat ini.
            Cukup lama kuperhatikan seluruh kegiatan para warga Velika. Tidak terlalu ramai namun tidak juga terlalu sepi. Para ibu berjalan dari satu toko ke toko lainnya. Pedagang-pedagang terus bekerja mempromosikan dagangannya. Canda tawa anak-anak yang berlarian mengitari jalanan kota pun menghiasi kedamaian kota. Terkadang senyum hangat terlukis dari wajah-wajah tak berdosa mereka. Semua terlihat normal seperti biasanya. Seolah tak sadar apa yang sedang terjadi pada jantung kerajaan mereka.
            Tunggu!
            Rasanya ada yang tidak normal. Setelah kuperhatikan lebih lama, semua kegiatan para warga Velika terlihat aneh. Mereka bergerak dengan gerakan yang berulang-ulang setiap berselang sekitar beberapa menit. Awalnya aku tidak yakin dengan keadaan ini, namun setelah kuhitung kembali ternyata memang benar bahwa mereka seolah telah diatur untuk mengulang gerakan setiap sepuluh menit sekali.
            Jadi itukah penyebab ketika rombongan kami melewati kota ini namun tak ada satupun para warga yang menghiraukan? Mereka telah dikontrol oleh sesuatu!
            Kebenaran ini cukup membuatku tergemap. Aku masih tak percaya, kekuatan sebesar apa yang mampu mengendalikan seluruh warga kota seperti ini? Apakah ada Bangsa Remidi yang menguasai tempat ini mengingat kekuatan Tyron yang mampu mengendalikan seluruh pasukan yang berada di dalam kubah kegelapan? Sontak kulangkahkan kakiku ke belakang. Terdengar beberapa suara pecahan kaca yang terinjak namun aku tak menghiraukannya.
            “Jadi kau sudah menyadarinya?”
            Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang berbicara denganku. Raja Algeas kah?
            Sontak aku berbalik ke belakang sambil menarik pedang Darthmouth Eterna dari sarungnya. Namun gerakanku berhenti setelah melihat seorang lelaki tak dikenal yang tengah duduk di kursi mewah milik Raja Algeas.
            “Kenapa? Kenapa berhenti?” ucap lelaki yang mengenakan pakaian jubah kulit ber-hoody[2] serba hitam tersebut santai.
            “Siapa kau??” tanpa sadar aku telah berteriak terlalu keras.
            “Sssstt.. Jangan berteriak.” lelaki tersebut lalu menaruh jari telunjuknya tepat di bibirku. “Bisa berbahaya bila para penjaga kerajaan tahu kalau kalian ada di sini.”
            Aku menampik jari telunjuknya yang mencoba untuk membuatku diam.
            “Siapa kau?! Mengapa kau ada di tempat ini?” sekali lagi aku berteriak padanya.
            “Bukankah sudah kubilang jangan berteriak?” ia lalu berdiri dari kursinya. Badannya tinggi namun ramping. “Lagipula, bukankah sebenarnya kalian yang sudah memasuki kamar ini tanpa izin?”
            Aku geram mendengar kata-katanya yang menyebalkan. Mengingatkanku akan gaya Tyron saat berada di dalam Kubah Kegelapan.
            “Enutra, apa sebenarnya yang ter-..” tiba-tiba Diksy datang menghampiri diikuti dengan Dionze dan Mikoto di belakangnya. Sontak mereka diam terpaku setelah melihat seorang lelaki tak dikenal yang berdiri tepat di hadapanku.
            “Siapa dia, Enutra?” Tanya Dionze waspada sambil memegang gagang pedangnya.
           “Tanyakan saja sendiri padanya. Sudah kutanyakan sejak tadi tapi sama sekali tak dijawab olehnya.” Dengusku.
            “Tak usah marah begitu.” Lagi-lagi lelaki berjubah tersebut merespon dengan kata-kata yang menyebalkan. Kemudian tangannya dikepalkan ke dadanya dengan sikap yang angkuh. “Akulah Jendral Zach!”
            “Tidak Mungkin! Kau bukanlah Jendral Zach!” bantah Diksy keras. “Jelas-jelas wajahmu berbeda dengannya.”
            “Hahaha.. Kalau begitu bisa kau tebak siapa aku?” ucap lelaki tersebut sambil membuka tudung dari jubahnya.
            Diantara kami berempat, tak ada satu pun yang bicara setelah lelaki tersebut membuka tudungnya. Wajahnya memang sama sekali tidak mirip dengan Jendral Zach yang memiliki wajah seperti orang timur tengah. Ia lebih terlihat seperti dari ras kaukasian[3] dengan rambut berwarna pirang cerah yang lurus namun pendek. Tubuhnya mungkin lebih tinggi dari Jendral Zach, namun lebih ramping. Benar-benar tidak mirip dengan Jendral Zach.
            “Siapa kamu sebenarnya?!” Sekali lagi Diksy berteriak pada lelaki yang mengaku sebagai Jendral Zach tersebut.
            “Bukankah sudah kuberitahu? Aku adalah Jendral Zach.” Lelaki itu tiba-tiba berhenti bicara lalu tersenyum menyeringai. “Baiklah, aku menyerah. Aku bukanlah Jendral Zach.”
            Mendadak suasana menjadi hening. Kami berempat terdiam menanti jawaban selanjutnya dari lelaki yang mengaku sebagai Jendral Zach tersebut.
            “Aku adalah Sern, pemimpin tertinggi dari Bangsa Remidi.” dengan sikap pongah lelaki tersebut menyebutkan namanya. “Dan akulah yang telah memanipulasi pikiran Zach sehingga kalian dapat datang ke tempat ini.”
            Sontak tubuhku terdiam kaku setelah mendengarnya. Pemimpin tertinggi? Apa yang akan dilakukannya terhadap kami? Berusaha membalaskan kematian Tyron kah?
            “La-lalu apa yang ingin kau lakukan setelah kau bertemu dengan kami?” tanyaku tergagap.
            “Yang ingin kulakukan?? Yang ingin kulakukan hah??” Sern menarik kerah bajuku sambil mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Dimana data yang dimiliki oleh Tyron?!”
            “Data? Data apa maksudmu?” perkataannya sama sekali tidak kumengerti. Kemudian aku melirik pada Diksy, Dionze, dan Mikoto. Namun mereka pun sepertinya tidak paham dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sern.
            ~Bruaaakkk..
            Tiba-tiba saja Sern menjatuhkan tubuhku setelah ditarik olehnya tadi.
            “Ya sudahlah, nampaknya kalian juga tidak tahu. Aku dapat merasakan bahwa kalian sama sekali tidak berbohong. Rasanya percuma setelah aku bersusah payah memanipulasi seluruh warga kota ini dan menunggu kalian untuk datang selama beberapa hari.”
            “Aku tidak peduli dengan semua omong kosongmu!” bentakku memotong ucapannya. Entah darimana datangnya keberanian ini hingga membuatku bersikap seperti ini.
            “Ohh.. Kau pikir kau sudah merasa hebat hingga berani membentakku seperti itu?”
            Aku menghunuskan pedang Dartmouth Eterna tepat di depan wajahnya. “Siapapun kau, aku sama sekali tidak takut denganmu.”
            “Hmm.. Tunggu.. Aku baru sadar, kau baru saja mengalahkan Tyron. Itu sebabnya kau menjadi seberani itu.” Sern menggeser pelan mata pedang di depan wajahnya dengan tangan kanannya. “Tak apa-apa jika kau ingin bertarung denganku sekarang juga. Asal kau tahu saja, kekuatan Tyron itu tidak lebih dari satu persen kekuatanku. Lagipula, apa kau tega membiarkan Putri Vivian tersiksa di bawah sana.”
            Tak pikir panjang, langsung kuarahkan pandanganku tepat menuju bawah balkon.
            Tubuhku rasanya lemas setelah melihat apa yang terjadi. Vivian dalam keadaan yang sangat mengenaskan di bawah sana dengan tubuh yang penuh luka dan pakaian yang compang-camping. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai layaknya seorang tahanan berbahaya.
            “Sialan!            Apa yang telah kau lakukan padanya!”
            Sern hanya tersenyum.
            Panas. Perasaan ini datang kembali. Perasaan yang membuatku sulit untuk mengendalikan tubuh. Samar-samar kudengar suara Diksy, Dionze dan Mikoto di belakangku yang mencoba untuk menyadarkanku.
            “Tuan Enutra, aku baik-baik saja.”
            Terdengar sayup-sayup suara seorang wanita yang seolah berbisik padaku. Tunggu, rasanya suara ini sudah tidak asing lagi di telingaku. Ya! Ini suara Vivian.
            Perlahan panas di tubuhku semakin berkurang dan sedikit demi sedikit aku mulai dapat mengendalikan semua kekuatanku. Sekilas kulirik Vivian di bawah sana. Tampak senyuman indah tergurat di wajahnya seolah segala sesuatunya pasti akan baik-baik saja. Tak terasa air mataku menetes setelahnya. Dalam hatiku bergumam, “Maafkan aku, Vivian, harus membuatmu menunggu. Aku akan segera menyelamatkanmu.”
***



[1] Merupakan standar desain kasur terbesar dengan ukuran 200x200cm.
[2] Merupakan aksesori pada suatu pakaian berupa tudung yang tersambung dari leher pakaian hingga menutupi kepala.
[3] Biasa disebut dengan ras kulit putih yang berasal dari daratan eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar