CHAPTER 28 - MANIPULASI MASAL
Berlari,
menghindar, menyelinap, menunduk, dan berhenti, itulah yang kami lakukan sejak
keluar dari pondok persembunyian. Hingga saat ini masih belum pasti kemana
tempat yang akan kami tuju. Diksy yang sejak tadi berada di depan hanya melakukan
pengarahan dengan beberapa isyarat dan berlari tanpa bicara sepatah kata pun.
“Diksy..
Sebenarnya tujuan kita itu kemana?” aku sedikit berbisik dari belakang
punggungnya. “Entah ini hanya perasaanku saja atau tidak, tapi dari tadi rasanya
kita hanya berputar-putar.”
“Ssssttt..
Jangan banyak berbicara!”
Apa
maksudnya? Aku hanya bisa diam dan mengangguk meski ada perasaan jengkel di
dalam hati karena sikapnya yang tiba-tiba menyebalkan.
Dari
belakang kuperhatikan tengkuk Diksy begitu basah karena keringat. Napasnya pun
terengah dan kakinya agak sedikit bergetar. Mungkin ia sangat kelelahan karena harus
terus berlari dan juga mengatur penyelinapan ini agar tak ada satupun dari kami
tertangkap oleh para tentara Eternality.
“Emm..
Enutra, maafkan aku.”
Tiba-tiba
Diksy meminta maaf. Apa maksudnya? Apa dia memang merasa bersalah karena tadi sempat
membentakku tanpa alasan?
“Maaf
karena apa?”
Aku
sedikit menengok wajah Diksy yang kelihatannya semakin memerah dan penuh dengan
keringat.
Diksy
menggaruk kepala. Bicaranya sedikit tergagap. “A-anu.. Itu.. Umm..”
“Ya?”
“Apa
boleh aku bertukar posisi denganmu?” tanya Diksy pelan.
“Eh?”
Aku heran dengan maksud perkataannya.
“Iya,
aku memintamu untuk pindah ke depanku sambil menunjukkan jalan tujuan kita.” Diksy
menjawab sambil terkekeh.
“Tapi..
Tapi aku kan sama sekali tidak tahu kemana kita harus menuju..”
Diksy
menarik tanganku dan mengarahkan bibirnya tepat di samping telinga kananku
sambil membisikkan sesuatu.
“Heeehhh???”
aku terperanjat setelah mendengar bisikan Diksy. “Kenapa bukan dari tadi saja
kau sebutkan tempat itu??”
“Maaf..
Maaf.. Aku hanya ingin berlagak sedikit keren di hadapan dik Mikoto.” balas
Diksy berbisik sambil menjulurkan lidahnya.
“Sekarang
sama sekali bukan saatnya untuk berlagak keren!!” sontak kulayangkan pukulan keras
dengan gagang pedang pada kepalanya.
“Ada
apa sebenarnya, Enutra?” Dionze penasaran dengan apa yang terjadi diikuti
dengan Mikoto yang melongok di belakangnya.
“Hooo..
Bukan apa-apa, aku hanya ingin bertukar posisi dengan Enutra saja.” Diksy
langsung menjelaskan dengan pindah ke posisiku sambil mengusap kepalanya yang
memar. Setelah itu ia berbisik padaku. “Tolong jangan sampai dik Mikoto tahu
ya.”
“Terserah!
Dasar orang tua genit.” dengan kasar kujawab permintaan anehnya tersebut.
“Kalau memang tidak tahu tempatnya kenapa tidak kau katakan padaku sejak awal?”
“Bukankah
sudah kukatakan tadi kalau aku sama sekali belum pernah masuk ke Istana Velika
ini.”
“Ah
yasudahlah..” kualihkan pandanganku ke depan, “Yang jelas sekarang aku tahu
kemana tempat yang akan kita tuju nanti. Kamar Raja Algeas.”
***
Menurut
salah satu situs web yang pernah kuingat, selain sebagai tempat bermukimnya
raja, istana merupakan suatu simbol eksistensi kejayaan suatu kerajaan. Namun yang
terjadi saat ini eksistensi Istana Velika justru terasa semakin pudar. Ditambah
pula dengan sikap warganya yang semakin acuh di luar sana. Bila memang dugaan
kami benar, maka hal yang paling kukhawatirkan adalah keadaan Vivian yang sampai
saat ini masih belum kuketahui.
Kerajaan
Eternality ini benar-benar telah rapuh dari dalam. Entah sejak kapan terjadinya.
Mungkin dimulai sejak Raja Algeas bekerja sama dengan para bangsa penjajah
Remidi. Mungkin baru saja terjadi ketika aku mengalahkan Tyrone. Atau mungkin
juga kerajaan ini memang sudah rapuh sejak awalnya. Mungkin.
Jujur,
tentu saja masih banyak yang belum aku ketahui mengenai dunia ini. Hingga
sekarang, yang kulakukan hanya menerka-nerka dan mencoba untuk membaur
sebisanya. Syukurlah, belum ada seorangpun yang curiga dengan kepiawaianku
bersandiwara menjadi seorang Enutra yang tiada lain adalah jelmaan diriku di
dunia paralel ini. Kebiasaan menonton film-film aksi dan fantasi yang dulu
sering kulakukan sepertinya memang cukup menolong.
Imaji,
seseorang, atau entah harus kusebut apa karena wujudnya yang sering berubah,
yang pertama kali menjelaskan mengenai dunia ini pun tidak banyak membantu untuk
membuatku mengerti tentang masalah yang dihadapi dunia ini. Beberapa hal yang
dapat kumengerti darinya adalah bahwa dunia ini berada dalam krisis yang sangat
parah. Bangsa asing Remidi dengan peralatan canggihnya mengeruk sumber daya
dunia ini dengan serakah hingga tak pelak sering terjadi pertumpahan darah yang
amat mengerikan. Dan aku harus menghadapinya hingga tuntas tanpa penjelasan dan
persiapan yang jelas. Atau aku tak akan pernah kembali lagi ke duniaku.
***
“Kurasa
ini tempatnya.”
Aku
berhenti tepat di depan dua buah daun pintu merah besar berhiaskan ornamen
ukiran emas. Aneh, meskipun ruangan di hadapanku ini adalah kamar dari seorang
raja, tapi tak ada satupun penjaga yang berjaga di sekitarnya. Apakah mungkin
aku salah? Tidak, aku masih ingat ketika kunjungan pengenalan area istana saat
pertama kali datang sebagai salah satu peserta pelatihan Velika.
“Enutra,
apa yang kamu pikirkan?” Diksy bertanya karena melihatku seperti sedang
memikirkan sesuatu.
“Ummh..
Hanya merasa agak aneh saja. Menurutku terlalu mudah bagi kita untuk bisa
sampai ke tempat ini. Para pasukan penjaga pun terlihat lebih sedikit dibanding
saat terakhir kali aku tinggal di istana ini. Bukan begitu, Mikoto?”
Mikoto
mengangguk mempertegas pernyataanku tadi.
“Apapun
itu, yang jelas kita akan segera masuk ke dalam ruangan ini.” potong Dionze
sambil mengajak Diksy dan Mikoto.
“Tunggu
dulu!” sejenak kuhentikan mereka dengan tangan kiriku. “Entah mengapa, aku
khawatir jika ini semua adalah jebakan dari Jendral Zach.”
“Tapi,
bukankah selama ini ia telah menolong kita?”
“Tidakkah
kalian menyadari keanehan-keanehan yang aku jelaskan tadi?” aku berusaha meyakinkan.
Diksy,
Dionze, dan Mikoto masing-masing saling terdiam memikirkan apa yang baru saja
kukatakan.
“Sebentar!”
sela ku memecah keheningan. “Jika kita memang harus memasuki ruangan ini, aku punya
rencana.”
“Rencana?”
***
Perlahan
kedua daun pintu besar dihadapan kami terbuka dengan sedikit dorongan oleh
Diksy dan Dionze. Sama sekali tidak tekunci. Seakan mempersilahkan siapapun
yang membuka untuk masuk ke dalamnya. Sementara itu, jantungku masih terus berdegup
kencang cemas dengan apa yang akan terjadi di ruangan tersebut.
“Tak
ada siapa pun??” ucap Dionze spontan sesaat setelah membukakan pintu.
Setelah
mendengarnya, dengan segera kumasuki kamar mewah seluas kurang lebih dua ratus
meter persegi tersebut. Dan memang benar, ternyata tak ada seorang pun di sini.
Entah apa sebenarnya yang ingin ditunjukkan Jendral Zach terhadap kami?
Namun
dibalik semua kejadian yang terjadi, kamar ini seolah mampu membuatku terhipnotis
untuk tak henti-hentinya berdecak kagum. Pertama kali bagiku untuk memasuki
kamar semewah ini. Desain kamar bernuansa eropa klasik mewah dominan warna
keemasan, sangat serasi ketika disandingkan dengan berbagai macam furnitur dan
guci antik nan elegan yang menghiasi setiap sudut ruang. Selain itu, terpampang
pula sebuah lukisan besar potret sang raja di atas tempat tidur raksasanya yang
mungkin lebih besar dari ukuran super king
size[1].
Tak salah jika kamar ini memang diperuntukkan untuk sang penguasa kerajaan.
“Apa
maksud dari Zach membawa kita kemari bila tak ada yang harus kita kerjakan di
sini?” gumam Diksy.
Aku
hanya menaikkan kedua pundak tanda tak tahu untuk meresponnya.
Waktu
terus berjalan namun tak ada satupun hasil yang didapat. Sempat terpikirkan
keinginan untuk keluar dari kamar ini dan memilih untuk menyelamatkan Vivian
terlebih dahulu. Rasanya semua yang kami lakukan terasa sia-sia.
“Diksy,
apa kau benar-benar yakin bahwa tempat yang kita tuju ini adalah kamar Raja
Algeas?” tanyaku pada Diksy.
“Tentu
saja. Kode seperti itu biasa kami lakukan antara aku dan Zach ketika di
Haraburn dulu. Mana mungkin aku salah menebaknya.”
“Bila
memang kau merasa yakin seperti itu, aku harap kau tidak membuat kesalahan
lagi”
Namun
tetap saja keadaan yang menggantung seperti ini membuatku ragu-ragu untuk
meyakininya.
Kamar
ini begitu luas, sangat sulit bagi kami untuk menyelidiki semua kemungkinan
yang akan terjadi. Dengan keadaan ini, sementara yang kami lakukan hanya
mencoba untuk berpencar dan mencari tahu apa sebenarnya yang diinginkan oleh
sang jendral.
Saat
ini aku berada pada sebuah balkon yang terhubung langsung dari kamar raja
Algeas. Hanya terdapat sebuah kursi kerajaan mewah dan meja bundar kecil setinggi
pinggul disampingnya. Tak ada hal mencurigakan dari tempat ini. Rasa bosan telah
membuatku lelah akan sesuatu yang tak pasti. Kuletakkan kedua tangan bersandar
pada pagar balkon dan menikmati betapa indahnya Kota Velika yang terlihat jelas
dari tempat ini.
Cukup
lama kuperhatikan seluruh kegiatan para warga Velika. Tidak terlalu ramai namun
tidak juga terlalu sepi. Para ibu berjalan dari satu toko ke toko lainnya.
Pedagang-pedagang terus bekerja mempromosikan dagangannya. Canda tawa anak-anak
yang berlarian mengitari jalanan kota pun menghiasi kedamaian kota. Terkadang
senyum hangat terlukis dari wajah-wajah tak berdosa mereka. Semua terlihat
normal seperti biasanya. Seolah tak sadar apa yang sedang terjadi pada jantung
kerajaan mereka.
Tunggu!
Rasanya
ada yang tidak normal. Setelah kuperhatikan lebih lama, semua kegiatan para
warga Velika terlihat aneh. Mereka bergerak dengan gerakan yang berulang-ulang
setiap berselang sekitar beberapa menit. Awalnya aku tidak yakin dengan keadaan
ini, namun setelah kuhitung kembali ternyata memang benar bahwa mereka seolah
telah diatur untuk mengulang gerakan setiap sepuluh menit sekali.
Jadi
itukah penyebab ketika rombongan kami melewati kota ini namun tak ada satupun
para warga yang menghiraukan? Mereka telah dikontrol oleh sesuatu!
Kebenaran
ini cukup membuatku tergemap. Aku masih tak percaya, kekuatan sebesar apa yang
mampu mengendalikan seluruh warga kota seperti ini? Apakah ada Bangsa Remidi
yang menguasai tempat ini mengingat kekuatan Tyron yang mampu mengendalikan
seluruh pasukan yang berada di dalam kubah kegelapan? Sontak kulangkahkan kakiku
ke belakang. Terdengar beberapa suara pecahan kaca yang terinjak namun aku tak
menghiraukannya.
“Jadi kau sudah menyadarinya?”
Tiba-tiba terdengar suara
seseorang yang berbicara denganku. Raja Algeas kah?
Sontak
aku berbalik ke belakang sambil menarik pedang Darthmouth Eterna dari
sarungnya. Namun gerakanku berhenti setelah melihat seorang lelaki tak dikenal
yang tengah duduk di kursi mewah milik Raja Algeas.
“Kenapa?
Kenapa berhenti?” ucap lelaki yang mengenakan pakaian jubah kulit ber-hoody[2]
serba hitam tersebut santai.
“Siapa
kau??” tanpa sadar aku telah berteriak terlalu keras.
“Sssstt..
Jangan berteriak.” lelaki tersebut lalu menaruh jari telunjuknya tepat di
bibirku. “Bisa berbahaya bila para penjaga kerajaan tahu kalau kalian ada di
sini.”
Aku
menampik jari telunjuknya yang mencoba untuk membuatku diam.
“Siapa
kau?! Mengapa kau ada di tempat ini?” sekali lagi aku berteriak padanya.
“Bukankah
sudah kubilang jangan berteriak?” ia lalu berdiri dari kursinya. Badannya
tinggi namun ramping. “Lagipula, bukankah sebenarnya kalian yang sudah memasuki
kamar ini tanpa izin?”
Aku
geram mendengar kata-katanya yang menyebalkan. Mengingatkanku akan gaya Tyron
saat berada di dalam Kubah Kegelapan.
“Enutra,
apa sebenarnya yang ter-..” tiba-tiba Diksy datang menghampiri diikuti dengan
Dionze dan Mikoto di belakangnya. Sontak mereka diam terpaku setelah melihat seorang
lelaki tak dikenal yang berdiri tepat di hadapanku.
“Siapa
dia, Enutra?” Tanya Dionze waspada sambil memegang gagang pedangnya.
“Tanyakan
saja sendiri padanya. Sudah kutanyakan sejak tadi tapi sama sekali tak dijawab
olehnya.” Dengusku.
“Tak
usah marah begitu.” Lagi-lagi lelaki berjubah tersebut merespon dengan
kata-kata yang menyebalkan. Kemudian tangannya dikepalkan ke dadanya dengan sikap
yang angkuh. “Akulah Jendral Zach!”
“Tidak
Mungkin! Kau bukanlah Jendral Zach!” bantah Diksy keras. “Jelas-jelas wajahmu
berbeda dengannya.”
“Hahaha..
Kalau begitu bisa kau tebak siapa aku?” ucap lelaki tersebut sambil membuka
tudung dari jubahnya.
Diantara
kami berempat, tak ada satu pun yang bicara setelah lelaki tersebut membuka
tudungnya. Wajahnya memang sama sekali tidak mirip dengan Jendral Zach yang
memiliki wajah seperti orang timur tengah. Ia lebih terlihat seperti dari ras
kaukasian[3]
dengan rambut berwarna pirang cerah yang lurus namun pendek. Tubuhnya mungkin
lebih tinggi dari Jendral Zach, namun lebih ramping. Benar-benar tidak mirip
dengan Jendral Zach.
“Siapa
kamu sebenarnya?!” Sekali lagi Diksy berteriak pada lelaki yang mengaku sebagai
Jendral Zach tersebut.
“Bukankah
sudah kuberitahu? Aku adalah Jendral Zach.” Lelaki itu tiba-tiba berhenti
bicara lalu tersenyum menyeringai. “Baiklah, aku menyerah. Aku bukanlah Jendral
Zach.”
Mendadak
suasana menjadi hening. Kami berempat terdiam menanti jawaban selanjutnya dari
lelaki yang mengaku sebagai Jendral Zach tersebut.
“Aku
adalah Sern, pemimpin tertinggi dari Bangsa Remidi.” dengan sikap pongah lelaki
tersebut menyebutkan namanya. “Dan akulah yang telah memanipulasi pikiran Zach
sehingga kalian dapat datang ke tempat ini.”
Sontak
tubuhku terdiam kaku setelah mendengarnya. Pemimpin tertinggi? Apa yang akan
dilakukannya terhadap kami? Berusaha membalaskan kematian Tyron kah?
“La-lalu
apa yang ingin kau lakukan setelah kau bertemu dengan kami?” tanyaku tergagap.
“Yang
ingin kulakukan?? Yang ingin kulakukan hah??” Sern menarik kerah bajuku sambil
mendekatkan wajahnya pada wajahku. “Dimana data yang dimiliki oleh Tyron?!”
“Data?
Data apa maksudmu?” perkataannya sama sekali tidak kumengerti. Kemudian aku
melirik pada Diksy, Dionze, dan Mikoto. Namun mereka pun sepertinya tidak paham
dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Sern.
~Bruaaakkk..
Tiba-tiba
saja Sern menjatuhkan tubuhku setelah ditarik olehnya tadi.
“Ya
sudahlah, nampaknya kalian juga tidak tahu. Aku dapat merasakan bahwa kalian
sama sekali tidak berbohong. Rasanya percuma setelah aku bersusah payah
memanipulasi seluruh warga kota ini dan menunggu kalian untuk datang selama
beberapa hari.”
“Aku
tidak peduli dengan semua omong kosongmu!” bentakku memotong ucapannya. Entah
darimana datangnya keberanian ini hingga membuatku bersikap seperti ini.
“Ohh..
Kau pikir kau sudah merasa hebat hingga berani membentakku seperti itu?”
Aku
menghunuskan pedang Dartmouth Eterna tepat di depan wajahnya. “Siapapun kau,
aku sama sekali tidak takut denganmu.”
“Hmm..
Tunggu.. Aku baru sadar, kau baru saja mengalahkan Tyron. Itu sebabnya kau
menjadi seberani itu.” Sern menggeser pelan mata pedang di depan wajahnya
dengan tangan kanannya. “Tak apa-apa jika kau ingin bertarung denganku sekarang
juga. Asal kau tahu saja, kekuatan Tyron itu tidak lebih dari satu persen
kekuatanku. Lagipula, apa kau tega membiarkan Putri Vivian tersiksa di bawah
sana.”
Tak
pikir panjang, langsung kuarahkan pandanganku tepat menuju bawah balkon.
Tubuhku
rasanya lemas setelah melihat apa yang terjadi. Vivian dalam keadaan yang
sangat mengenaskan di bawah sana dengan tubuh yang penuh luka dan pakaian yang
compang-camping. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai layaknya seorang
tahanan berbahaya.
“Sialan! Apa yang telah kau lakukan padanya!”
Sern
hanya tersenyum.
Panas.
Perasaan ini datang kembali. Perasaan yang membuatku sulit untuk mengendalikan
tubuh. Samar-samar kudengar suara Diksy, Dionze dan Mikoto di belakangku yang
mencoba untuk menyadarkanku.
“Tuan Enutra, aku baik-baik saja.”
Terdengar sayup-sayup suara
seorang wanita yang seolah berbisik padaku. Tunggu, rasanya suara ini sudah
tidak asing lagi di telingaku. Ya! Ini suara Vivian.
Perlahan
panas di tubuhku semakin berkurang dan sedikit demi sedikit aku mulai dapat
mengendalikan semua kekuatanku. Sekilas kulirik Vivian di bawah sana. Tampak
senyuman indah tergurat di wajahnya seolah segala sesuatunya pasti akan
baik-baik saja. Tak terasa air mataku menetes setelahnya. Dalam hatiku
bergumam, “Maafkan aku, Vivian, harus membuatmu menunggu. Aku akan segera
menyelamatkanmu.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar