CHAPTER 27 - KRISIS
“Riki,
apa kamu sudah mendapatkan batu kristalnya?”
“Sudah. Aku
sudah menemukannya di dalam tubuh mayat Tyrone. Menjijikan sekali.” Jawab Riki
sambil mengelap sebuah batu kristal merah terang seukuran genggaman tangan milik
leluhurnya dengan sobekan kain. “Bagaimana denganmu? Data tersebut sudah kau
ambil?”
“Belum.
Padahal sudah kulepas mantra ruang pengunci tempat data tersebut tersimpan,
tapi setelah kucari malah kosong.”
“Bukankah
kau sudah yakin bahwa data yang disimpan Master Genba itu ada di sana?”
“Aku sangat
yakin betul bahwa Master Genba menguncinya di ruang ini. Apa mungkin sudah ada
yang mengambilnya lebih dulu sebelum kita?”
“Entahlah.
Lagipula kemana perginya sisa teman-teman kita sebenarnya?”
Zekko
menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri, “Benar juga, kini hanya ada kita
berdua saja di sini. Apa mungkin sebaiknya kita kembali saja ke desa?”
“Tidak,
kau sendiri dulu saja yang kembali.” Riki lalu berjongkok sambil memegang
tangan jasad Genba. “Tolong mintakan bantuan kepada yang lainnya untuk
mengambil jasad teman-teman kita yang gugur. Aku masih ingin bersama Master
Genba di tempat ini.”
Zekko
terdiam sejenak, “Hmm.. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi sendiri.” ia
kemudian berbalik untuk kemudian pergi. “Tetap berhati-hatilah, mungkin saja
masih ada bangsa Remidi yang masih hidup di sekitar sini.”
Riki
mengangguk, “Sudah cepat, sebelum langit semakin gelap.”
“Kalau
begitu, sampai jumpa.” Zekko kemudian berlari dan melompat tinggi ke atas
ranting-ranting pohon seperti seekor kera.
***
“Sepertinya aku sudah ingat siapa orang yang mirip
denganmu itu. Ya, sepertinya memang benar kau mirip dengannya. Salah satu
dalang peristiwa besar yang pernah dialami bangsa Remidi. Uhhuuk.. Dia
adalah... Ar.....”
~Sssllaaaassshhh...
~Sssllaaaassshhh...
“Aaarrgghh!!!”
Tersentak aku terbangun dari tidur sambil berteriak cukup keras. Rasanya mimpi
tadi terlihat begitu nyata. Maksudku.. Mimpi tadi sebenarnya memang nyata.
Salah satu potongan dari ingatanku terbawa ke dalam mimpi. Saat pedangku
membelah tubuh lemah Tyron.
“Enutra,
kau baik-baik saja?” Diksy tersentak bangun dan langsung datang menghampiriku.
Kebingungan,
entah apa yang harus kukatakan, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Tubuhku sedikit bergemetar dan keringat dingin membasahi sebagian
pakaianku.
“Kau
tidak sakit kan?” Diksy lalu duduk di atas tempat tidurku dan memeriksa dahiku
dengan punggung tangannya. “Atau mungkin tadi kau melihat sesuatu yang
mencurigakan?” lanjutnya sambil melihat awas ke sekitar.
Aku
sedikit menunduk, “Maaf kalau aku membangunkanmu. Aku hanya baru terbangun dari
mimpi buruk saja.”
“Oh
begitu?” ucapnya. Dari pandangannya terlihat bahwa Diksy masih sedikit kebingungan.
“Mungkin kau lelah.”
Tak
banyak kata yang terucap, hanya sedikit anggukan yang menjadi isyarat seolah
membenarkan perkataan Diksy.
Diksy
hanya tersenyum melihat sikapku ini, “Yasudah, kalau begitu mari kita tidur
kemba....”
“Apa
kau pernah mendengar seseorang dengan nama awalan Ar?” langsung kupotong
sebelum Diksy menyelesaikan kata-katanya.
“Ar?
Ar siapa ya? Arline? Arie? Arsan? Memang darimana kamu dengar nama itu?”
Aku
mengalihkan pandanganku, “Oh begitu ya? Ya sudah lupakan saja. Aku hanya
sedikit penasaran tadi.” Ku tarik selimut yang sebelumnya menutupi tubuhku
sembari lanjut membaringkan diri. “Lagi pula nama itu hanya kudengar sekilas
dari seseorang dan rasanya itu tidak terlalu penting juga.”
Tangan
Diksy memegang dagunya seolah sedang memikirkan sesuatu, “Dari seseorang?” Setelah
itu ia berdiri dan membalikkan tubuhnya, “Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kau
segera tidur kembali, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi esok hari.”
Entah
apa dia melihatku atau tidak, lagi-lagi aku hanya mengangguk kecil untuk
mengiyakan perkataannya. Setelah itu ia kembali menuju tempat tidurnya dan
langsung berbaring.
“Aku
memang bukanlah orang yang sepenuhnya baik, tapi jika kau memang membutuhkan
bantuan, jangan pernah sungkan untuk memintanya padaku.” terang Diksy kembali
sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidurnya.
Bukannya
aku tak mau meminta bantuan darinya, tapi sepertinya memang ia tak ada hubungan
dengan apa yang pernah dikatakan Tyron sebelum akhirnya mati oleh tebasan
pedangku. Tapi, mungkin sebaiknya kusimpan saja dulu pertanyaan ini. Suatu saat
nanti Imaji pasti akan menemuiku lagi dengan bentuk yang tidak jelas, saat
itulah akan kutanyakan padanya. Ia pasti jauh lebih mengetahui hal tersebut.
Sontak
aku menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. Bukan saatnya memikirkan hal
yang lain. Benar apa yang tadi dikatakan oleh Diksy, aku harus mengistirahatkan
tubuh. Entah apa yang akan terjadi esok, yang jelas kami bertiga akan
menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ya, sesuatu tidak terduga di dunia yang
penuh misteri ini. Dunia paralel yang semu.
***
Zekko
terdiam kaku setelah ia sampai dan melihat apa yang terjadi dengan desanya. Sekujur
tubuhnya seketika lemas, giginya mengerat, tangannya mengepal, dan napasnya
seakan tercekat di dalam tenggorokan. Ia tak percaya dengan apa yang ada di
hadapannya. Desa Kalita telah luluh berantakan. Semuanya hancur bersama dengan
asap dan kobaran api yang menyala-nyala.
“Siapapun tolong.. Aku mohon tolong..”
Sayup-sayup
suara jeritan kesakitan seorang wanita terdengar entah dari mana. Sempat ragu
bagi Zekko untuk langsung berlari mencarinya. Kakinya masih terlalu lemas untuk
bergerak. Namun teriakan wanita tersebut masih terdengar seolah mengiris
hatinya sendiri. Ia akhirnnya melompat dan beranjak dari tempat ia berdiri.
Kakinya
menapak pada lantai kayu yang sedikit hangus. Masih tak percaya. Sepanjang mata
yang ia lihat hanya terdapat puing-puing bangunan dan mayat-mayat hangus yang
bergeletakan mengenaskan. Lututnya lemas hingga membuatnya berlutut tanpa
tenaga. Sambil mencengkram rambutnya yang hitam pekat dan agak ikal pendek, ia
menjerit dalam hati, “Ada apa dengan semua ini?”
“To-toloong..”
Suara lirih wanita tersebut
kembali terdengar. Zekko tak tahu pasti ke mana ia harus pergi, hanya saja
kakinya seolah tergerak dengan sendirinya melangkah lambat mendekati sebuah
rumah kayu setengah hangus yang sangat ia kenali, rumah milik Genba.
“Dimana
aku harus menolongmu?” Zekko agak berteriak berusaha berkomunikasi dengan
wanita tersebut.
“Aku
berada di bawah sini.” balas wanita tersebut lirih.
Zekko
masih tak tahu pasti dimana wanita tersebut berada. Tangannya bergerak
mengangkat puing-puing kayu hitam dengan harapan untuk menemukan korban yang
masih selamat.
“Bertahanlah,
aku sedang berusaha mencarimu.” teriak Zekko sembari masih mengais puing-puing
hitam yang berserakan. “Kumohon berbicaralah agar aku bisa dengan mudah
menemukanmu.”
“Aku
masih berada di bawah sini.” suaranya semakin lemah.
Zekko
berhenti mengais. Napasnya semakin tercekat melihat sesuatu dibalik puing-puing
hitam yang hangus terbakar.
“Nyo-nyonya
Geraldine??” Zekko langsung melibaskan seluruh puing yang menindih tubuh lemah
wanita tersebut yang sudah sebagian hangus terbakar dan kemudian menariknya
hingga ke atas pangkuan. “Bertahanlah nyonya!”
“Apa
kamu Zekko?” lirih wanita tersebut sambil memenyentuh wajah Zekko dengan
tangannya yang lemah. “Syukurlah ternyata kalian selamat. Dimana yang lainnya?”
Air
mata Zekko perlahan turun meski ia telah berusaha menahannya sejak tadi. “Yang..
Yang lainnya masih berada di belakang.” lirihnya berbohong sambil mengusap air
mata. “Siapa yang melakukan ini semua, nyonya? Siapa?”
Bibir
tipis Geraldine tersungging senyum tulus, “Syukurlah kalau begitu. Aku jadi
sedikit tenang jika harus pergi sekarang.”
“Tidak
nyonya! Jangan pergi!” Potong Zekko dengan sedikit menangis. “Aku mohon
katakanlah, siapa yang telah melakukan ini?”
“Entahlah,
semua terjadi begitu cepat.” Geraldine menoleh ke gerbang desa yang kini telah
hancur berantakan. “Yang aku ingat, beberapa saat setelah kalian pergi, tiba-tiba
datang seorang pemuda yang mengamuk sambil berteriak menanyakan ‘dimana data
rahasia itu’.”
“Data
rahasia? Mungkinkah data rahasia milik Tyron?” Zekko bertanya pada dirinya
sendiri.
“Uh-uhuukk..”
Geraldine terbatuk sambil mengeluarkan darah dari mulutnya. “Sepertinya waktuku
sudah tidak lama lagi.”
“Bertahanlah
nyonya! Bertahanlah!” Zekko sedikit mengguncang tubuh lemah Geraldine yang
hampir sebagian tubuhnya hangus terbakar.
“Zekko,
jika Genba ingin menemuiku, katakanlah, aku akan berada di tempat yang lebih
baik seperti yang kita janjikan dulu.” lirih Geraldine semakin melemah.
“Tidak
nyonya.. Jangan tinggalkan kami.” Air mata Zekko tak henti-hentinya mengalir
hingga membasahi pakaian lusuh yang dikenakan Geraldine.
“Selamat
tinggal, semua.” Tutup Geraldine mengakhiri pembicaraan terakhir dalam
hidupnya.
Zekko
tak kuasa lagi menahan tangisannya, “Selamat jalan nyonya. Maafkan aku karena
telah berbohong padamu.” kemudian ia menutup mata Geraldine pelan-pelan.
“Semoga nyonya dan Master Genba dapat bertemu di tempat yang telah kalian
janjikan.”
***
~Dug.. Dug.. Dug..
Diksy menatap awas pada pintu
depan yang baru saja diketuk dengan keras oleh seseorang di luar. “Dionze,
tolong periksa siapa orang di balik pintu itu!” ucapnya pelan.
Dionze
mengangguk sambil menyiapkan pedang dan tameng pemberian Genba yang masih ia
pakai semenjak pertarungan di kubah kegelapan Hutan Emerald. Perlahan.
Langkahnya awas mendekati pintu.
Sementara
itu Diksy pun bersiap dengan memasang kuda-kuda andalannya. Sesaat ia menatapku
sambil menganggukkan kepalanya. Aku membalasnya dengan sedikit anggukan sambil
bersiap dengan menggenggam erat pedang Dartmouth Eterna.
Setelah
satu malam berada di pondok kayu ini, entah mengapa semakin lama semakin timbul
kecurigaan atas permintaan yang dimintakan Jendral Zach. Kecurigaan tersebut
semakin menguat setelah kami menyadari beberapa kejanggalan yang dirasakan semenjak
masuk menju Kota Velika. Seperti yang telah dikatakan Dionze sebelumnya, ada
yang aneh dengan warga kota ini. Mereka seolah tidak peduli dengan keberadaan
gerombolan pasukan yang datang bahkan dengan adanya seorang jendral dan putri
raja di tengah-tengah mereka.
Semalaman
Aku dan Diksy membicarakan hal ini setelah sebelumnya terbangun kembali di
tengah malam karena mimpi buruk yang terus kualami. Tak lama setelah itu pun Dionze
ikut dalam pembicaraan karena sedikit terusik oleh obrolan kami berdua di malam
itu.
Ada
beberapa kesimpulan mencengangkan yang bahkan membuat kami sendiri tak percaya.
Kemungkinan bahwa pihak kerajaan telah jatuh sehingga warga sudah tidak peduli
lagi terhadap mereka. Meski masih belum dipastikan akan kebenarannya, namun kesimpulan
tersebut membuat kami khawatir atas keselamatan para kelompok yang baru pulang
dari medan pertempuran kubah kegelapan. Termasuk Putri Vivian.
~Dug.. Dug.. Dug..
Pintu
masih diketuk oleh seseorang tak dikenal di luar. Detak jantung berdegup
semakin keras seiring dengan ketegangan yang mengalir mengelilingi atmosfir di
dalam pondok kayu kecil ini. Dionze sedikit menyingkap tirai yang menutupi jendela.
Entah apapun itu yang baru dilihatnya, ia langsung menoleh pada kami berdua
sambil menaikkan telapak tangan memberi sebuah isyarat yang berarti ‘tenang
saja’. Setelah itu ia memegang pegangan pintu dan membukanya secara perlahan.
“Masuklah.”
ucap Dionze dengan tenang sambil melongok sedikit ke arah luar pintu.
Tak
ada jawaban dari luar. Tapi bukan itu masalahnya. Sebenarnya siapa yang baru
saja ia ajak masuk? Bukankah terlalu riskan untuk mengajak seseorang masuk
dalam keadaan seperti ini?
Tiba-tiba
ekspresi wajah Dionze berubah drastis. Ia juga secara refleks memundurkan
kakinya satu langkah seolah mencoba menghindari suatu serangan. Jangan-jangan
orang yang berada dihadapannya telah menipu Dionze?
Aku
langsung berlari dengan mengangkat sebilah pedang di tangan kanan. Anehnya,
Dionze malah justru menoleh dan mengarahkan telapak tangannya padaku sambil
berkata ‘Stop!’ dengan keras. Sekilas aku melihat seseorang sedang melompat
menuju dirinya!
“Dionze!
Aku merindukanmu!!”
Kakiku
berhenti melangkah. Aku kenal suara teriakan gadis yang baru saja melompat dan
langsung merangkul lengan kekar Dionze.
“Mikoto!
Apa yang kamu lakukan di sini??” Aku menghardik gadis tersebut yang tak lain
adalah Mikoto Minagi sang ahli sihir tenaga dalam asal Kerajaan Yumekuni.
Mikoto
langsung menoleh dan menatapku sambil mengerutkan dahinya seolah berkata ‘bukan
urusanmu’. Sepertinya kebenciannya padaku masih tersisa semenjak peristiwa
‘tabrakkan kuda’ di perbatasan Kota Emerald lalu.
“Dik
Mikoto, sebenarnya angin apa yang telah membawamu untuk datang ke pondok ini?”
Diksy mencoba bertanya. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia sedang menaruh curiga
atas kedatangan Mikoto ke tempat ini.
Raut
wajah Mikoto berubah menjadi lebih serius. “Paman, sebenarnya situasi di istana
saat ini benar-benar gawat.”
“Pffttt..
Paman.” Aku sedikit tertawa sementara Diksy langsung menengokku dengan tatapan
matanya yang tajam seolah berkata ‘aku tidak terima’.
“Katakan,
apa yang telah terjadi.” Diksy melanjutkan.
“Aku
tidak tahu pasti penyebabnya, yang jelas kami semua tidak disambut baik oleh
para penghuni istana semenjak kedatangan kemarin.” Mikoto semakin memegang erat
lengan Dionze. “Kami langsung dipaksa untuk masuk ke dalam penjara bawah tanah.
Untunglah aku berhasil kabur ketika penjagaan sedang melemah.”
“Apa?!
Tidak mungkin!?” Sontak aku berteriak. “Jangan-jangan itu mereka lakukan karena
sebelumnya kalian telah pergi tanpa izin?”
“Sepertinya
bukan, sebab Jendral Zach dan para pasukannya pun mengalami hal yang sama
dengan kami.”
Sudah
kuduga, ada yang tidak beres dengan Istana Velika. Tidak. Kota Velika ini pun
sepertinya tidak beres.
“Lalu,
bagaimana dengan keadaan Putri Vivian?”
“Aku
belum melihatnya semenjak sampai di Istana. Ia langsung dibawa oleh para
tentara kerajaan.”
Gawat!
Yang aku khawatirkan benar-benar terjadi! Putri Vivian kini sedang dalam
masalah. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Raja Algeas?
“Teman-teman,
kita harus segera menyelamatkan mereka semua segera! Terutama Putri Vivian!”
“Tunggu
dulu.” Mikoto menahanku. “Aku sempat bertemu dengan Jendral Zach ketika
berhasil kabur di penjara bawah tanah.”
“Lalu
apa ia sempat mengatakan sesuatu padamu?”
“Ya,
saat itu ia langsung menyuruhku untuk segera menuju pondok ini dan meminta
kalian semua untuk menuju tempat ini di Istana Velika terlebih dahulu.” Mikoto
menyodorkan sebuah kertas yang berisikan denah suatu lokasi.
“Apa
sebenarnya yang dia inginkan? Sebuah denah?”
“Biar
kulihat.” Diksy langsung mengambil kertas tersebut. “Rasanya aku mengenal apa
yang digambar olehnya di kertas ini.”
“Apa
maksudmu? Memang kau pernah masuk ke dalam Istana Velika?”
“Bukan.
Bukan itu maksudku. Aku sama sekali belum pernah masuk ke dalam Istana Velika,
tapi gambar denah ini mengingatkanku akan sesuatu.”
“Sesuatu?”
Aku
meminta kembali kertas tersebut dari Diksy dan mencoba memerhatikannya lagi
dengan lebih teliti. Tak ada yang aneh, hanya ada denah gambaran tangan di dalamnya.
Tunggu, tapi memang denah ini sama sekali tidak mirip dengan denah Istana
Velika. Gambar apa ini??
Yang
aku lihat, kertas ini hanya menampilkan dua garis vertikal dengan masing-masing
terhubung dua garis horizontal di kanan kirinya pada jarak berbeda. Terlihat
seperti jalan yang saling bercabang. Selain itu, tepat di atas dua garis horizontal
kiri terdapat gambar persegi panjang dengan tanda bintang di dalamnya. Aku sama
sekali tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Jendral Zach.
“Ah
ya!” Diksy tiba-tiba berseru. “Kini aku mengerti dengan apa yang dimaksudkan
oleh Zach dan kemana seharusnya kita pergi
dengan menggunakan denah itu.”
Kami
bertiga saling menatap satu sama lain bertanya-tanya tanpa kata, tak mengerti
dengan apa yang dimaksudkan oleh si jendral besar dari Olympus itu.
Aku
sedikit mengacungkan jari untuk kemudian berkata, “Jadi sebenarnya kemana kita
ak-..”
“Ikuti
saja aku!” potong Diksy sembari menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya.
Dionze,
Mikoto, dan aku saling menatap heran dengan apa yang akan dilakukan oleh Diksy.
Tapi biarlah, dia jauh lebih berpengalaman untuk hal seperti ini. Aku percaya,
krisis ini pasti akan dapat kami atasi.
Vivian,
tunggulah. Kita pasti akan bertemu kembali.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar