19 Oktober 2014

DUNIA SEMU #27


CHAPTER 27 - KRISIS

            “Riki, apa kamu sudah mendapatkan batu kristalnya?”
“Sudah. Aku sudah menemukannya di dalam tubuh mayat Tyrone. Menjijikan sekali.” Jawab Riki sambil mengelap sebuah batu kristal merah terang seukuran genggaman tangan milik leluhurnya dengan sobekan kain. “Bagaimana denganmu? Data tersebut sudah kau ambil?”
            “Belum. Padahal sudah kulepas mantra ruang pengunci tempat data tersebut tersimpan, tapi setelah kucari malah kosong.”
            “Bukankah kau sudah yakin bahwa data yang disimpan Master Genba itu ada di sana?”
“Aku sangat yakin betul bahwa Master Genba menguncinya di ruang ini. Apa mungkin sudah ada yang mengambilnya lebih dulu sebelum kita?”

“Entahlah. Lagipula kemana perginya sisa teman-teman kita sebenarnya?”
            Zekko menolehkan kepalanya ke kanan dan kekiri, “Benar juga, kini hanya ada kita berdua saja di sini. Apa mungkin sebaiknya kita kembali saja ke desa?”
            “Tidak, kau sendiri dulu saja yang kembali.” Riki lalu berjongkok sambil memegang tangan jasad Genba. “Tolong mintakan bantuan kepada yang lainnya untuk mengambil jasad teman-teman kita yang gugur. Aku masih ingin bersama Master Genba di tempat ini.”
            Zekko terdiam sejenak, “Hmm.. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi sendiri.” ia kemudian berbalik untuk kemudian pergi. “Tetap berhati-hatilah, mungkin saja masih ada bangsa Remidi yang masih hidup di sekitar sini.”
            Riki mengangguk, “Sudah cepat, sebelum langit semakin gelap.”
            “Kalau begitu, sampai jumpa.” Zekko kemudian berlari dan melompat tinggi ke atas ranting-ranting pohon seperti seekor kera.
***

“Sepertinya aku sudah ingat siapa orang yang mirip denganmu itu. Ya, sepertinya memang benar kau mirip dengannya. Salah satu dalang peristiwa besar yang pernah dialami bangsa Remidi. Uhhuuk.. Dia adalah... Ar.....”
            ~Sssllaaaassshhh...
“Aaarrgghh!!!” Tersentak aku terbangun dari tidur sambil berteriak cukup keras. Rasanya mimpi tadi terlihat begitu nyata. Maksudku.. Mimpi tadi sebenarnya memang nyata. Salah satu potongan dari ingatanku terbawa ke dalam mimpi. Saat pedangku membelah tubuh lemah Tyron.
            “Enutra, kau baik-baik saja?” Diksy tersentak bangun dan langsung datang menghampiriku.
            Kebingungan, entah apa yang harus kukatakan, aku sendiri pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tubuhku sedikit bergemetar dan keringat dingin membasahi sebagian pakaianku.
            “Kau tidak sakit kan?” Diksy lalu duduk di atas tempat tidurku dan memeriksa dahiku dengan punggung tangannya. “Atau mungkin tadi kau melihat sesuatu yang mencurigakan?” lanjutnya sambil melihat awas ke sekitar.
          Aku sedikit menunduk, “Maaf kalau aku membangunkanmu. Aku hanya baru terbangun dari mimpi buruk saja.”
            “Oh begitu?” ucapnya. Dari pandangannya terlihat bahwa Diksy masih sedikit kebingungan. “Mungkin kau lelah.”
            Tak banyak kata yang terucap, hanya sedikit anggukan yang menjadi isyarat seolah membenarkan perkataan Diksy.
            Diksy hanya tersenyum melihat sikapku ini, “Yasudah, kalau begitu mari kita tidur kemba....”
            “Apa kau pernah mendengar seseorang dengan nama awalan Ar?” langsung kupotong sebelum Diksy menyelesaikan kata-katanya.
            “Ar? Ar siapa ya? Arline? Arie? Arsan? Memang darimana kamu dengar nama itu?”
            Aku mengalihkan pandanganku, “Oh begitu ya? Ya sudah lupakan saja. Aku hanya sedikit penasaran tadi.” Ku tarik selimut yang sebelumnya menutupi tubuhku sembari lanjut membaringkan diri. “Lagi pula nama itu hanya kudengar sekilas dari seseorang dan rasanya itu tidak terlalu penting juga.”
            Tangan Diksy memegang dagunya seolah sedang memikirkan sesuatu, “Dari seseorang?” Setelah itu ia berdiri dan membalikkan tubuhnya, “Baiklah kalau begitu. Sebaiknya kau segera tidur kembali, kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi esok hari.”
            Entah apa dia melihatku atau tidak, lagi-lagi aku hanya mengangguk kecil untuk mengiyakan perkataannya. Setelah itu ia kembali menuju tempat tidurnya dan langsung berbaring.
            “Aku memang bukanlah orang yang sepenuhnya baik, tapi jika kau memang membutuhkan bantuan, jangan pernah sungkan untuk memintanya padaku.” terang Diksy kembali sebelum akhirnya ia terlelap dalam tidurnya.
            Bukannya aku tak mau meminta bantuan darinya, tapi sepertinya memang ia tak ada hubungan dengan apa yang pernah dikatakan Tyron sebelum akhirnya mati oleh tebasan pedangku. Tapi, mungkin sebaiknya kusimpan saja dulu pertanyaan ini. Suatu saat nanti Imaji pasti akan menemuiku lagi dengan bentuk yang tidak jelas, saat itulah akan kutanyakan padanya. Ia pasti jauh lebih mengetahui hal tersebut.
            Sontak aku menggelengkan kepala sambil memejamkan mata. Bukan saatnya memikirkan hal yang lain. Benar apa yang tadi dikatakan oleh Diksy, aku harus mengistirahatkan tubuh. Entah apa yang akan terjadi esok, yang jelas kami bertiga akan menghadapi sesuatu yang tidak terduga. Ya, sesuatu tidak terduga di dunia yang penuh misteri ini. Dunia paralel yang semu.
***

            Zekko terdiam kaku setelah ia sampai dan melihat apa yang terjadi dengan desanya. Sekujur tubuhnya seketika lemas, giginya mengerat, tangannya mengepal, dan napasnya seakan tercekat di dalam tenggorokan. Ia tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya. Desa Kalita telah luluh berantakan. Semuanya hancur bersama dengan asap dan kobaran api yang menyala-nyala.
            “Siapapun tolong.. Aku mohon tolong..”
            Sayup-sayup suara jeritan kesakitan seorang wanita terdengar entah dari mana. Sempat ragu bagi Zekko untuk langsung berlari mencarinya. Kakinya masih terlalu lemas untuk bergerak. Namun teriakan wanita tersebut masih terdengar seolah mengiris hatinya sendiri. Ia akhirnnya melompat dan beranjak dari tempat ia berdiri.
            Kakinya menapak pada lantai kayu yang sedikit hangus. Masih tak percaya. Sepanjang mata yang ia lihat hanya terdapat puing-puing bangunan dan mayat-mayat hangus yang bergeletakan mengenaskan. Lututnya lemas hingga membuatnya berlutut tanpa tenaga. Sambil mencengkram rambutnya yang hitam pekat dan agak ikal pendek, ia menjerit dalam hati, “Ada apa dengan semua ini?”
            “To-toloong..”
            Suara lirih wanita tersebut kembali terdengar. Zekko tak tahu pasti ke mana ia harus pergi, hanya saja kakinya seolah tergerak dengan sendirinya melangkah lambat mendekati sebuah rumah kayu setengah hangus yang sangat ia kenali, rumah milik Genba.
            “Dimana aku harus menolongmu?” Zekko agak berteriak berusaha berkomunikasi dengan wanita tersebut.
            “Aku berada di bawah sini.” balas wanita tersebut lirih.
            Zekko masih tak tahu pasti dimana wanita tersebut berada. Tangannya bergerak mengangkat puing-puing kayu hitam dengan harapan untuk menemukan korban yang masih selamat.
            “Bertahanlah, aku sedang berusaha mencarimu.” teriak Zekko sembari masih mengais puing-puing hitam yang berserakan. “Kumohon berbicaralah agar aku bisa dengan mudah menemukanmu.”
            “Aku masih berada di bawah sini.” suaranya semakin lemah.
            Zekko berhenti mengais. Napasnya semakin tercekat melihat sesuatu dibalik puing-puing hitam yang hangus terbakar.
            “Nyo-nyonya Geraldine??” Zekko langsung melibaskan seluruh puing yang menindih tubuh lemah wanita tersebut yang sudah sebagian hangus terbakar dan kemudian menariknya hingga ke atas pangkuan. “Bertahanlah nyonya!”
            “Apa kamu Zekko?” lirih wanita tersebut sambil memenyentuh wajah Zekko dengan tangannya yang lemah. “Syukurlah ternyata kalian selamat. Dimana yang lainnya?”
            Air mata Zekko perlahan turun meski ia telah berusaha menahannya sejak tadi. “Yang.. Yang lainnya masih berada di belakang.” lirihnya berbohong sambil mengusap air mata. “Siapa yang melakukan ini semua, nyonya? Siapa?”
            Bibir tipis Geraldine tersungging senyum tulus, “Syukurlah kalau begitu. Aku jadi sedikit tenang jika harus pergi sekarang.”
            “Tidak nyonya! Jangan pergi!” Potong Zekko dengan sedikit menangis. “Aku mohon katakanlah, siapa yang telah melakukan ini?”
            “Entahlah, semua terjadi begitu cepat.” Geraldine menoleh ke gerbang desa yang kini telah hancur berantakan. “Yang aku ingat, beberapa saat setelah kalian pergi, tiba-tiba datang seorang pemuda yang mengamuk sambil berteriak menanyakan ‘dimana data rahasia itu’.”
            “Data rahasia? Mungkinkah data rahasia milik Tyron?” Zekko bertanya pada dirinya sendiri.
            “Uh-uhuukk..” Geraldine terbatuk sambil mengeluarkan darah dari mulutnya. “Sepertinya waktuku sudah tidak lama lagi.”
            “Bertahanlah nyonya! Bertahanlah!” Zekko sedikit mengguncang tubuh lemah Geraldine yang hampir sebagian tubuhnya hangus terbakar.
            “Zekko, jika Genba ingin menemuiku, katakanlah, aku akan berada di tempat yang lebih baik seperti yang kita janjikan dulu.” lirih Geraldine semakin melemah.
            “Tidak nyonya.. Jangan tinggalkan kami.” Air mata Zekko tak henti-hentinya mengalir hingga membasahi pakaian lusuh yang dikenakan Geraldine.
            “Selamat tinggal, semua.” Tutup Geraldine mengakhiri pembicaraan terakhir dalam hidupnya.
            Zekko tak kuasa lagi menahan tangisannya, “Selamat jalan nyonya. Maafkan aku karena telah berbohong padamu.” kemudian ia menutup mata Geraldine pelan-pelan. “Semoga nyonya dan Master Genba dapat bertemu di tempat yang telah kalian janjikan.”
***

            ~Dug.. Dug.. Dug..
            Diksy menatap awas pada pintu depan yang baru saja diketuk dengan keras oleh seseorang di luar. “Dionze, tolong periksa siapa orang di balik pintu itu!” ucapnya pelan.
            Dionze mengangguk sambil menyiapkan pedang dan tameng pemberian Genba yang masih ia pakai semenjak pertarungan di kubah kegelapan Hutan Emerald. Perlahan. Langkahnya awas mendekati pintu.
            Sementara itu Diksy pun bersiap dengan memasang kuda-kuda andalannya. Sesaat ia menatapku sambil menganggukkan kepalanya. Aku membalasnya dengan sedikit anggukan sambil bersiap dengan menggenggam erat pedang Dartmouth Eterna.
            Setelah satu malam berada di pondok kayu ini, entah mengapa semakin lama semakin timbul kecurigaan atas permintaan yang dimintakan Jendral Zach. Kecurigaan tersebut semakin menguat setelah kami menyadari beberapa kejanggalan yang dirasakan semenjak masuk menju Kota Velika. Seperti yang telah dikatakan Dionze sebelumnya, ada yang aneh dengan warga kota ini. Mereka seolah tidak peduli dengan keberadaan gerombolan pasukan yang datang bahkan dengan adanya seorang jendral dan putri raja di tengah-tengah mereka.
            Semalaman Aku dan Diksy membicarakan hal ini setelah sebelumnya terbangun kembali di tengah malam karena mimpi buruk yang terus kualami. Tak lama setelah itu pun Dionze ikut dalam pembicaraan karena sedikit terusik oleh obrolan kami berdua di malam itu.
            Ada beberapa kesimpulan mencengangkan yang bahkan membuat kami sendiri tak percaya. Kemungkinan bahwa pihak kerajaan telah jatuh sehingga warga sudah tidak peduli lagi terhadap mereka. Meski masih belum dipastikan akan kebenarannya, namun kesimpulan tersebut membuat kami khawatir atas keselamatan para kelompok yang baru pulang dari medan pertempuran kubah kegelapan. Termasuk Putri Vivian.
            ~Dug.. Dug.. Dug..
            Pintu masih diketuk oleh seseorang tak dikenal di luar. Detak jantung berdegup semakin keras seiring dengan ketegangan yang mengalir mengelilingi atmosfir di dalam pondok kayu kecil ini. Dionze sedikit menyingkap tirai yang menutupi jendela. Entah apapun itu yang baru dilihatnya, ia langsung menoleh pada kami berdua sambil menaikkan telapak tangan memberi sebuah isyarat yang berarti ‘tenang saja’. Setelah itu ia memegang pegangan pintu dan membukanya secara perlahan.
            “Masuklah.” ucap Dionze dengan tenang sambil melongok sedikit ke arah luar pintu.
            Tak ada jawaban dari luar. Tapi bukan itu masalahnya. Sebenarnya siapa yang baru saja ia ajak masuk? Bukankah terlalu riskan untuk mengajak seseorang masuk dalam keadaan seperti ini?
            Tiba-tiba ekspresi wajah Dionze berubah drastis. Ia juga secara refleks memundurkan kakinya satu langkah seolah mencoba menghindari suatu serangan. Jangan-jangan orang yang berada dihadapannya telah menipu Dionze?
            Aku langsung berlari dengan mengangkat sebilah pedang di tangan kanan. Anehnya, Dionze malah justru menoleh dan mengarahkan telapak tangannya padaku sambil berkata ‘Stop!’ dengan keras. Sekilas aku melihat seseorang sedang melompat menuju dirinya!
            “Dionze! Aku merindukanmu!!”
            Kakiku berhenti melangkah. Aku kenal suara teriakan gadis yang baru saja melompat dan langsung merangkul lengan kekar Dionze.
            “Mikoto! Apa yang kamu lakukan di sini??” Aku menghardik gadis tersebut yang tak lain adalah Mikoto Minagi sang ahli sihir tenaga dalam asal Kerajaan Yumekuni.
            Mikoto langsung menoleh dan menatapku sambil mengerutkan dahinya seolah berkata ‘bukan urusanmu’. Sepertinya kebenciannya padaku masih tersisa semenjak peristiwa ‘tabrakkan kuda’ di perbatasan Kota Emerald lalu.
            “Dik Mikoto, sebenarnya angin apa yang telah membawamu untuk datang ke pondok ini?” Diksy mencoba bertanya. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa ia sedang menaruh curiga atas kedatangan Mikoto ke tempat ini.
            Raut wajah Mikoto berubah menjadi lebih serius. “Paman, sebenarnya situasi di istana saat ini benar-benar gawat.”
            “Pffttt.. Paman.” Aku sedikit tertawa sementara Diksy langsung menengokku dengan tatapan matanya yang tajam seolah berkata ‘aku tidak terima’.
            “Katakan, apa yang telah terjadi.” Diksy melanjutkan.
            “Aku tidak tahu pasti penyebabnya, yang jelas kami semua tidak disambut baik oleh para penghuni istana semenjak kedatangan kemarin.” Mikoto semakin memegang erat lengan Dionze. “Kami langsung dipaksa untuk masuk ke dalam penjara bawah tanah. Untunglah aku berhasil kabur ketika penjagaan sedang melemah.”
            “Apa?! Tidak mungkin!?” Sontak aku berteriak. “Jangan-jangan itu mereka lakukan karena sebelumnya kalian telah pergi tanpa izin?”
            “Sepertinya bukan, sebab Jendral Zach dan para pasukannya pun mengalami hal yang sama dengan kami.”
            Sudah kuduga, ada yang tidak beres dengan Istana Velika. Tidak. Kota Velika ini pun sepertinya tidak beres.
            “Lalu, bagaimana dengan keadaan Putri Vivian?”
            “Aku belum melihatnya semenjak sampai di Istana. Ia langsung dibawa oleh para tentara kerajaan.”
            Gawat! Yang aku khawatirkan benar-benar terjadi! Putri Vivian kini sedang dalam masalah. Apa sebenarnya yang diinginkan oleh Raja Algeas?
            “Teman-teman, kita harus segera menyelamatkan mereka semua segera! Terutama Putri Vivian!”
            “Tunggu dulu.” Mikoto menahanku. “Aku sempat bertemu dengan Jendral Zach ketika berhasil kabur di penjara bawah tanah.”
            “Lalu apa ia sempat mengatakan sesuatu padamu?”
            “Ya, saat itu ia langsung menyuruhku untuk segera menuju pondok ini dan meminta kalian semua untuk menuju tempat ini di Istana Velika terlebih dahulu.” Mikoto menyodorkan sebuah kertas yang berisikan denah suatu lokasi.
            “Apa sebenarnya yang dia inginkan? Sebuah denah?”
            “Biar kulihat.” Diksy langsung mengambil kertas tersebut. “Rasanya aku mengenal apa yang digambar olehnya di kertas ini.”
            “Apa maksudmu? Memang kau pernah masuk ke dalam Istana Velika?”
            “Bukan. Bukan itu maksudku. Aku sama sekali belum pernah masuk ke dalam Istana Velika, tapi gambar denah ini mengingatkanku akan sesuatu.”
            “Sesuatu?”
            Aku meminta kembali kertas tersebut dari Diksy dan mencoba memerhatikannya lagi dengan lebih teliti. Tak ada yang aneh, hanya ada denah gambaran tangan di dalamnya. Tunggu, tapi memang denah ini sama sekali tidak mirip dengan denah Istana Velika. Gambar apa ini??
            Yang aku lihat, kertas ini hanya menampilkan dua garis vertikal dengan masing-masing terhubung dua garis horizontal di kanan kirinya pada jarak berbeda. Terlihat seperti jalan yang saling bercabang. Selain itu, tepat di atas dua garis horizontal kiri terdapat gambar persegi panjang dengan tanda bintang di dalamnya. Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Jendral Zach.
            “Ah ya!” Diksy tiba-tiba berseru. “Kini aku mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh Zach  dan kemana seharusnya kita pergi dengan menggunakan denah itu.”
            Kami bertiga saling menatap satu sama lain bertanya-tanya tanpa kata, tak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh si jendral besar dari Olympus itu.
            Aku sedikit mengacungkan jari untuk kemudian berkata, “Jadi sebenarnya kemana kita ak-..”
            “Ikuti saja aku!” potong Diksy sembari menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya.
            Dionze, Mikoto, dan aku saling menatap heran dengan apa yang akan dilakukan oleh Diksy. Tapi biarlah, dia jauh lebih berpengalaman untuk hal seperti ini. Aku percaya, krisis ini pasti akan dapat kami atasi.
            Vivian, tunggulah. Kita pasti akan bertemu kembali.
***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar