31 Agustus 2014

DUNIA SEMU #26


CHAPTER 26 – DALAM BAYANGAN

“Jendral Zach?!”
Semua tertegun melihat Diksy yang tiba-tiba datang dan memanggil nama pemimpin pasukan tentara yang ada di hadapan kami. Tak lama kemudian datang juga bersamanya Dionze, Mikoto, dan dua orang pengikut Genba, Riki dan Zekko, dengan jalan tertatih. Baru kusadari, aku telah terpisah dengan mereka semenjak tersadar dari pingsanku tadi.
Sang jenderal yang memimpin pasukan di hadapan kami pun membalas panggilan Diksy. “Jendral Besar Diksy? Dari Kerajaan Olympus?” Lalu ia menengok pada Dionze, “Dan kau juga Dionze? Buronan yang selama ini kami cari?”
“Buronan ya?” Diksy bergumam sambil melirik pada Dionze dengan wajah pura-pura tidak bersalah. Aku hanya menatap sinis padanya, ‘sudah jelas bahwa itu adalah ulahnya hingga Dionze menjadi buronan Kerajaan Eternality saat ini’, gumamku dalam hati. Setelah itu, ia membalas perkataan Jendral Zach dengan sikap tenang sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana kulit yang ia kenakan, “Ya, Jendral Zach. Aku Diksy dari Olympus. Sudah lama kita tidak bertemu.”

Semua orang menatap Diksy dan Dionze dengan tatapan terheran setelah menyadari fakta bahwa selama ini mereka bertarung bersama dengan dua jendral yang berasal dari negara musuh kerajaan Eternality. Sementara itu aku hanya diam melihatnya dan berpura-pura tidak mengetahui hal tersebut.
Setelah Diksy memberikan pernyataannya, keadaan menjadi begitu senyap. Tak ada satu patah kata pun yang keluar baik dari mulut Jendral Zach ataupun Diksy. Masing-masing dari mereka hanya saling menatap dengan tatapan yang berbeda. Diksy menatap Jendral Zach dengan tatapan tenang dan senyuman dingin yang tergurat dibibirnya, sedangkan Jendral Zach hanya diam dengan tatapan awas sambil mengerutkan dahinya.
Beberapa saat ku perhatikan baik-baik, ada gerakan dibalik saku celana Diksy. Tangannya tidak diam. Ia seolah berusaha untuk menggapai sesuatu disana. Mungkinkah Diksy merencanakan sesuatu?
Benar saja, tak lama kemudian perlahan Diksy mulai mengangkat salah satu tangannya yang semula berada di dalam kantong celana dan..
~Ziiinnnkk..
Hanya berselang beberapa detik, sebuah mata pedang terhunus tepat menempel pada tenggorokan Diksy yang tidak berdaya. Semua orang terkejut dengan gerakan yang begitu tiba-tiba ini. Jendral Zach bergerak begitu cepat, tidak dapat dipungkiri lagi memang kehebatan sang jendral Kerajaan Eternality ini. Namun tak disangka, dibalik serangan tiba-tiba Jendral Zach ternyata Diksy hanya mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk seperti korek api logam dari kantong celana kirinya. Tidak salah lagi, itu hanya sebuah korek api.
“Wah, sabar.. sabar.. Aku hanya mengeluarkan korek api saja.” Kemudian Diksy menyalakan korek tersebut sambil menunjukkannya juga sebuah benda mirip rokok yang sudah ada di tangan kanannya. “Coba lihat. Ini korek api kan? Aku mau merokok nih.”
“Hmmm..” Jendral Zach mendehem pendek setelah melihat apa yang dilakukan oleh Diksy. Ia masih belum bergerak dari posisinya. Dahinya mengernyit dengan tatapan tajam yang menusuk tepat mengarah pada kedua mata Diksy. Entah apa yang akan ia lakukan selanjutnya. Keadaan kembali senyap tanpa suara.
Aku tak bisa hanya diam melihat situasi seperti ini. Lagipula, disana masih ada Vivian yang harus segera diselamatkan. Sontak lalu ku berbicara pada mereka berdua dengan lantang. “Hey kalian! Apa yang ...”
“Dasar bodoh!” Tiba-tiba saja omonganku dipotong oleh Jendral Zach yang masih menghunuskan pedangnya pada Diksy.
Bodoh? Apa maksudnya dengan kata bodoh itu? Apa aku telah melakukan tindakan yang bodoh? Menyebalkan sekali rasanya! Aku mendengus.
Namun hal yang mengejutkan terjadi setelahnya. Sekilas kuperhatikan Jendral Zach diam-diam tersenyum sambil menatap Diksy. Ya, ia memang sedang tersenyum dan semakin lama senyumannya semakin lebar. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Jendral Zach? Dan juga, apa maksudnya dengan mengatakanku ‘bodoh’ sesaat setelah aku berteriak tadi?
“Hahahaha.. Dasar bodoh kau Diksy!” Tanpa disangka tiba-tiba saja Jendral Zach tertawa sambil menurunkan senjatanya. Semua tertegun melihat hal yang tak disangka ini.
“Ha.. Ha.. Ha.. Hahahaha..” Diksy pun ikut tertawa setelah Jendral Zach tertawa padanya.
“Eh? Eh? Eh? Apa ini? Apa maksudnya ini?” Aku tercengang melihatnya. Tidak. Bukan hanya aku, semua tercengang dengan kelakuan mereka berdua.
Jendral Zach lalu berhenti tertawa dan mulai berbicara kepada kami semua, “Tenang saja. Meskipun kami berasal dari dua negara yang saling bermusuhan, namun sebenarnya aku telah berteman baik dengannya sejak lama. Aku yakin ia masih baik seperti dulu.”
“Ya, dahulu kita sama-sama berasal dari sekolah yang sama di Haraburn sebelum kedua kerajaan ini saling bermusuhan.” Diksy melanjutkan.
Mereka pun akhirnya saling mengobrol dan tertawa bersama. Rasanya sudah semakin jelas setelah melihat mereka begitu akrab seperti ini. Dunia ini memang sempit, banyak hal tak terduga yang dapat terjadi.
Tapi, kemudian aku menengok kembali tubuh lemah Vivian yang sedang dibopong oleh salah satu pasukan Jendral Zach. “Bisa kita hentikan dulu reuni kalian ini? Bagaimana kalau kita segera kembali ke istana untuk menyadarkan Putri Vivian?”
Tiba-tiba Jendral Zach terdiam dan menatap serius padaku. “Enutra, kami semua sudah melihat bagaimana aksimu tadi saat melawan Tyrone.” Kemudian ia memegangi pundakku. “Tapi maaf, aku tidak bisa membawamu kembali ke kerajaan. Kalian juga.” Sambil menengok ke arah Diksy, Dionze, Riki, dan Zekko.
“Hah?” Aku melangkah mundur sambil menepis lengan Jendral Zach.
“Kini nasibmu sama seperti Jendral Dionze, kalian berdua telah menjadi buronan bagi Kerajaan Eternality.”
“Apa yang terjadi? Bukankah aku yang menjadi korban di sini?” Aku berusaha menampik perkataan Jendral Zach.
“Ya, kau telah dianggap sebagai pengkhianat yang telah menculik Putri Vivian selama ini.”
“Tunggu dulu!” Mikoto berteriak. “Tapi.. Tapi bukankah sebenarnya kau tahu apa yang sebenarnya terjadi? Sudah jelas kalau yang telah menculik tuan putri adalah Tyron. Bahkan justru Enutra lah yang berusaha untuk menyelamatkannya.”
“Ya, aku sudah tahu semuanya. Tapi aku sama sekali tak dapat membantah apa yang telah dikatakan oleh Raja Algeas.” Jendral Zach menunduk. “Bahkan sekalipun aku telah mengetahui konspirasi antara Raja Algeas dan Bangsa Remidi selama ini, aku masih tidak bisa melawannya.”
“Konspirasi?”
“Raja Algeas??”
“Dengan Bangsa Remidi??”
Seketika suasana riuh sesaat setelah Jendral Zach mengatakan hal tersebut. Aku pikir selama berada di penjara mereka telah mengetahui semuanya. Raja Algeas memang terlihat baik dari luar tapi di dalamnya sungguh sangat busuk. Ah.. Dalam hati aku jadi merasa bersalah pada Vivian karena telah menghina ayahnya.
“Tapi.. Tapi.. Aku harus kembali lagi ke istana! Aku merasa sangat bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi padanya saat ini. Aku mohon, lagipula bukankah yang telah menyelamatkannya tadi adalah aku?” aku mencoba untuk meyakinkan Jendral Zach.
“Maaf, tapi aku tak dapat...”
“Jendral, jika kau tidak bisa membawa Enutra kembali, maka aku pun tidak akan kembali menuju istana.” Belum selesai Jendral Zach berbicara, Alisana langsung memotongnya.
“Ya benar, aku pun juga akan ikut dengannya.” Mikoto pun ikut berbicara dan kemudian melirikku, “Maaf ya, bukannya aku ingin dekat denganmu, tapi aku tidak ingin meninggalkan Dionze.” Aku membalas dengan tatapan mata dingin seolah mengatakan ‘terserah’ padanya.
“Aku juga!” Satu lagi terdengar suara seorang wanita. Awalnya aku terkejut ketika mendengarnnya. Ya, Putri Vivian yang sejak tadi tak sadarkan diri kini telah siuman. “Aku ingin pergi bersamanya.” Ia lalu berusaha berdiri sendiri meskipun salah satu pasukan tentara Eternality yang sebelumnya membopongnya mencoba untuk membantu.
“Tapi tuan putri..” Jendral Zach mencoba membujuk.
“Tidak Jendral, aku sudah tidak mau lagi kembali ke istana. Aku benci dengan semua tindakan tipu daya ayah.”
Aku lalu mendekati Vivian, “Viv.. Maksudku, tuan putri, apakah anda sudah merasa baikan?” lalu aku membungkuk dihadapannya, “Aku mohon maaf, sebab karena akulah tuan putri jadi harus mengalami hal seperti ini.”
“A.. Aku baik-baik saja.” Entah mengapa sekilas terlihat dari sudut mata, Vivian seperti sedang tersipu setelah kukatakan permohonan maaf padanya.
“Syukurlah kalau memang begitu, kalau begitu tuan putri lebih baik pulang saja. Biarkan aku pergi sendiri.”
“Kenapa? Bukankah tadi kamu ingin melindungiku sehingga memaksa untuk kembali ke istana?” Vivian lalu bertanya padaku dengan nada sedikit marah.
Agak kaget awalnya, bukankah tadi aku mengatakan hal tersebut ketika ia sedang tidak sadarkan diri? Jangan-jangan sejak tadi dia hanya berpura-pura tidak sadarkan diri?
“Ma.. Maaf tuan putri. Awalnya aku ingin ikut karena aku merasa bertanggung jawab ketika tuan putri tidak sadarkan diri.” Aku mencoba menjelaskan.
“Jendral!! Ada berita penting!!” Lagi-lagi pembicaraanku terpotong oleh teriakan seorang pria yang baru saja saja datang dengan menggunakan kuda.
“Berita penting apa itu?” Jendral Zach lalu menghampiri pria berkuda tersebut.
Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas si pria berkuda tersebut sedang membisikkan sesuatu pada Jendral Zach. Nampaknya telah terjadi hal yang penting dan darurat terlihat dari ekspresi Jendral Zach yang tiba-tiba berubah.
“Baik terima kasih atas kabarnya.” Jendral Zach lalu meninggalkan pria berkuda tersebut dan langsung menghampiriku. “Baiklah, kalian bertiga boleh ikut dengan kami menuju istana. Tapi...” ia terlihat sedang mencari-cari sesuatu. “Gunakanlah jubah ini untuk menyamarkan keberadaan kalian. Di istana bukan hanya Raja Algeas saja yang patut kalian waspadai.” Ia memberiku, Diksy, dan Dionze masing-masing sebuah jubah hitam.
“Mengapa aku kau beri juga? Bagaimana dengan mereka berdua?” Tanya Diksy sambil menunjuk Riki dan Zekko.
“Nampaknya aku membutuhkan kalian bertiga.” Jendral Zach lalu beralih pada Zekko dan Riki, “Dan maaf aku tidak bisa mengikutsertakan kalian berdua. Terlihat dari seragam yang kalian kenakan, kalian pasti dua dari para pengikut Genba, bukan?”
“Aaa.. Tidak apa-apa. Lagipula kami masih ada keperluan yang harus diselesaikan di tempat ini.” Zekko membalas.
“Tunggu, jangan-jangan kau nanti malah menjebak kami dan membuat kami menjadi tahanan di sana.” Dionze tiba-tiba mennyela.
“Tenang saja, aku benar-benar akan mejamin keamanan kalian. Saat ini keadaan cukup genting dan aku sangat membutuhkan kalian.”
“Apa jaminan yang bisa kau berikan?” Dionze terus mendesak.
“Hmm.. Aku menjamin persahabatanku dengan Diksy.” Jawab Jendral Zach mantap sambil merangkul Diksy. 
“Jaminan macam apa itu?” balasku dan Dionze sambil memberikan tatapan miris.
“Oke, aku percaya!” respon Diksy cepat sambil menaikkan jempolnya.
Dalam hati ingin kuberkata ‘yang benar saja kau, Diksy’ sambil menatap mereka berdua dengan tatapan sinis.
“Apa boleh buat, aku tidak bisa melawan atasanku.” Dionze terlihat pasrah. “Tapi sebelumnya beritahu kami dulu apa yang telah terjadi sebenarnya?”
“Maaf untuk saat ini aku tidak bisa memberi tahu kalian dulu. Setidaknya setelah kita sampai di istana, kalian akan menyadarinya.” Jawab Jendral Zach.
Sementara itu aku kembali menengok keadaan Vivian dan memastikan bahwa dia benar-benar sehat. Setidaknya kali ini ia terlihat membaik dan lagipula aku akan bersamanya hingga istana Velika. Maafkan aku, Vivian, karena keadaanku kau harus terlibat masalah seperti ini.
***

“Waaah.. Lelah sekali setelah menempuh perjalanan panjang dari Emerald menuju Velika.” Aku menggeliat meregangkan otot-otot tubuhku yang lelah. “Rasanya ingin tidur seharian.”
“Lakukan saja sesukamu, yang jelas aku tak akan bisa sesantai dirimu disaat seperti ini.” Dionze berdiri tegap dan menatap awas sekitarnya lewat sebuah jendela kecil yang menghadap langsung menuju Istana Velika.
“Kau benar-benar terlalu kaku, Dionze.” Diksy menimpal. “Istirahatlah dulu, bukankah kita sudah memastikan keamanan kita pada Zach?”
Sementara itu Dionze seolah menghiraukan perkataan Diksy dan masih tetap berdiri menghadap jendela kecil tersebut. Sejak awal ia memang terlihat tidak setuju dengan keputusan atasannya tersebut.
Saat ini aku, Diksy dan Dionze berada pada sebuah pondok kayu sederhana yang berdiri di Hutan Velika. Jendral Zach membawa kami sementara ke tempat ini untuk menyembunyikan keberadaan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, sampai saat ini ia masiih belum juga memberitahukannya. Meski begitu, aku merasa tenang karena disini ada dua orang jendral yang memiliki kemampuan di atas rata-rata bersamaku.
“Jendral Besar, apakah anda memperhatikan warga kota ini ketika kita melewatinya?” Masih dengan sikapnya yang awas, Dionze mencoba bertanya pada Diksy.
“Hmm? Memangnya ada yang aneh ya?”
“Tidakkah anda sadar bahwa mereka seperti terlihat acuh tak acuh meskipun segerombol pasukan dan bahkan seorang jendral melewatinya?”
“Benar juga apa katamu. Biasanya bila kita sedang berada di Olympus, warga selalu berkumpul untuk melihat kita semua ketika pulang dari medan perang.”
“Bagaimana menurutmu, Enutra? Kau sebagai warga Kerajaan Eternality seharusnya lebih tahu tentang hal ini.” Dionze beralih bertanya padaku.
Dalam hati aku terperanjat. Gawat, bagaimana aku bisa menjawabnya? Biar bagaimanapun juga aku bukanlah penduduk dunia ini. Daripada menjawabnya, aku memilih untuk berpura-pura tidur.
“Sudah biarkan saja Dionze, sepertinya memang budaya antara kerajaan kita dan kerajaan ini memang berbeda. Lebih baik tenangkanlah dulu dirimu disini.” Diksy lalu mengambil kain selimut untuk menutupi tubuhku. “Lihat saja Enutra, kali ini ia benar-benar pulas tertidur seolah tidak ada masalah yang membebaninya.”
Baguslah, sepertinya mereka tidak sadar bahwa sebenarnya aku tidak benar-benar tertidur. Tapi kalau dipikirkan, memang benar apa yang dikatakan oleh Dionze. Para warga di kota ini seolah tak mau tahu dengan apa yang terjadi dengan lingkungan istana. Bahkan pada saat awal-awal aku datang ke istana pun sepertinya memang begitu, hanya saja pada saat itu aku tidak terlalu peka untuk memerhatikannya. Terlebih saat pertama kali datang ke kota ini, keadaan sedang luluh lantak akibat serangan bom Diksy.
“Oh ya, ada yang ingin aku tanyakan padamu, jendral.” Dionze akhirnya duduk setelah berjam-jam lamanya berdiri.
“Ya? Apa yang ingin kau tanyakan?”
 “Sebelumnya aku minta maaf jika aku berkata lancang.” Dionze sedikit menunduk.
Diksy terlihat bingung dengan perkataan Dionze yang tiba-tiba itu. “Tidak apa-apa, lanjutkan saja.” Ia lalu mengambil segelas air putih lalu meminumnya secara perlahan.
“Apa benar kalau anda bekerja sama dengan Bangsa Remidi?” Dionze melanjukan pertanyaan.
“Uhuuukk..” Diksy tersedak setelah mendengar pertanyaan Dionze.
Dionze tidak bereaksi sama sekali dan seolah menunggu jawaban dari Diksy.
“Maaf, tadi aku tidak terlalu memerhatikan. Tadi apa yang kau tanyakan?” Diksy seolah ingin mengalihkan pertanyaannya.
“Sekali lagi apakah benar kalau anda bekerja sama dengan Bangsa Remidi bahkan berniat untuk menyingkirkanku dan dua jendral lainnya?” Dionze semakin serius.
Meskipun berpura-pura tidur dan hanya bisa mendengarkan, aku merasa cemas dengan apa yang terjadi nantinya. Jangan sampai perpecahan terjadi bila Dionze mengetahui kenyataan bahwa Diksy memang pernah bekerja sama dengan Bangsa Remidi bahkan sampai berencana membunuhnya. Aku harap Diksy bisa mengtasinya dengan baik.
“Darimana kau dapatkan berita yang tidak benar seperti itu?” Diksy akhirnya angkat bicara dengan melemparinya pertanyaan balik.
“Ah, maafkan aku. Sebaiknya dari awal aku tidak harus mempercayai perkataan dia.” Dionze memalingkan wajahnya.
“Memang siapa ‘dia’ yang kau maksud?” Diksy penasaran.
“Genba, orang yang menyelamatkanku dari penjara bawah tanah di istana ini.”
“Genba? Apa maksudmu Genba yang berambut panjang keemasan diikat buntut kuda itu?”
“Jadi anda tahu siapa dia?” Dionze nampak terkejut.
“Aku sempat bertemu dengannya setelah aku dan Enutra berhasil keluar dari dalam labirin kastil kubah kegelapan.” Diksy meneguk kembali minumannya. “Oh ya, dia sebenarnya adalah paman Enutra.”
Dionze terlihat semakin kebingungan. “Kalau begitu, apakah anda tahu dimana dia sekarang?”
“Entahlah, mungkin Riki dan Zekko sedang mengurus mayatnya.”
Dionze berdiri tiba-tiba sambil menghentakkan kakinya, “Mayat?? Jadi Genba sudah tewas??”
“Ya, saat aku dan Enutra bertemu dengannya, ia sedang dalam keadaan sekarat dengan banyak panah yang tertusuk di tubuhnya.”
“Yang benar saja?” Dionze terlihat sangat terpukul setelah mendengar penjelasan dari Diksy.
Sementara itu aku yang dari tadi hanya berpura-pura tidur hanya bisa bersyukur, setidaknya ia tidak membahas lagi tentang Diksy yang sebenarnya memang pernah bekerja sama dengan Bangsa Remidi. Kalau begini, aku bisa benar-benar tertidur tanpa harus mengkhawatirkan apa-apa lagi.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar