CHAPTER 25 - RAHASIA
~Dang!! Dang!
~Wooossshhh..
~Dang!!
Dentang
suara pedang menyeruak bersama dengan percikan cahaya besi yang saling beradu di
balik kelamnya kubah kegelapan. Keringat dan darah bercampur mengalir melewati
setiap sela tubuh yang penuh dengan luka dan memar. Napas tak beraturan berhembus
melewati tenggorokan yang tak lagi basah. Pertarungan ini seakan tak akan
pernah berhenti. Hingga yang terkuatlah yang akan menang. Aku tidak suka ini.
***
Beberapa
saat setelah tubuhku kembali diambil alih oleh kekuatan misterius ini, Tyron
lalu mengambil kembali pedangnya dan langsung menyerangku tanpa banyak
berbicara. Tapi untunglah kekuatan ini masih melindungiku, dengan cepat
pedangku dapat menangkisnya meski terasa adanya dorongan kuat yang menerpa
tubuhku. Tyron tehempas beberapa meter dari hadapanku ketika aku menahan
serangannya.
Entah
mengapa, ia terlihat puas setelah aku berhasil menahan serangannya. Hanya
berselang sepersekian detik, Tyron sudah kembali berada di dekatku dan
melayangkan serangannya yang semakin cepat dari sebelumnya. Tapi seolah
pergerakannya telah terbaca, aku pun melompat jauh menghindarinya sambil
melemparinya bebatuan dengan menggunakan pedang yang masih ada di genggamanku.
Tyron pun menangkisnya dengan cepat.
Meskipun
semua ini dilakukan dengan tubuhku, tapi seolah tak lebih hanya seperti sebuah
tontonan bagiku. Aku sama sekali tak dapat mengendalikannya. Hanya bisa
merasakan dan melihat apa sedang dilakukan tubuhku ini. Kekuatan ini
benar-benar telah menghentikan semua perintah yang ada di otakku.
“Luar
biasa! Ini baru yang aku inginkan darimu!” pekik Tyron sambil berdiri mengambil
waktu untuk mengistirahatkan diri sejenak.
Aku
hanya melihatnya tanpa berkata sedikitpun. Tentu saja, meskipun aku memaksa,
tak akan ada sepatah katapun yang bisa keluar dari mulutku,
“Tapi
rasanya ada yang aneh.” Tyron kembali memasang kuda-kudanya. “Semua gerakan
bertarungmu mengingatkanku akan seseorang yang pernah kutemui.”
Seseorang
yang pernah ia temui? Apa maksud dari perkataannya itu? Mungkinkah Tyron memang
mengetahui tentang rahasia kekuatan aneh ini? Aku benar-benar penasaran.
Hembusan
angin kering berdebu mengalir di antara kami yang masih terdiam saling
berhadapan. Seolah waktu berhenti berjalan saat mata kami saling berhadapan.
“Mata
merahmu pun juga mengingatkanku pada seseorang.” Tyron masih belum mengubah
posisinya. “Aaahh.. Kenapa aku bisa lupa. Padahal saat itu merupakan peristiwa
yang besar bagi bangsa Remidi.”
Bodoh
sekali dia pikirku. Andai saja dia tidak melupakan kejadian yang dia ceritakan,
mungkin aku bisa langsung mengetahui rahasia sebenarnya tentang Enutra, Bangsa
Remidi dan segala hal yang masih menjadi misteri di dunia ini.
“Ah
lupakan saja dulu. Aku bertarung denganmu hanya untuk mencari sesuatu yang kini
sedang menjadi rahasia besar Bangsa Remidi.”
Tersentak
ku mendengarnya setelah Tyron menyelesaikan perkataannya. Rahasia besar apa
itu? Apakah semua ini memang berhubungan denganku?
~Woosshh..
Tanpa
kusadari Tyron telah menghilang dari hadapanku. Dimana dia? Karena kata-katanya
tadi, aku telah dibuat lengah olehnya.
“Kesempatan..”
terdengar bisikkan dari telinga kiriku.
Benar
saja, Tyron sudah berada di samping dengan ujung mata pedang yang sudah siap
untuk menusuk leherku. Tidak mungkin, kalau begini aku pasti akan segera mati.
Tapi
yang terjadi benar-benar diluar dugaanku. Tubuhku mampu mengelak dari serangan
super cepat Tyron meski leherku sempat tergores sedikit. Hampir saja aku lupa
bahwa ada kekuatan yang mampu menyamai kekuatan Tyron di dalam tubuh ini.
Tyron
terlihat kesal karena seranganya selalu saja gagal semenjak kekuatan misteriusku
kembali. Hantaman demi hantaman ia lakukan dengan pedangnya yang besar, namun
berulang kali pula hantamannya berhasil ku tangkis. Kekuatan kami benar-benar
imbang. Pertarungan ini masih sangat sulit untuk dihentikan.
Sesekali
serangannya berhasil menembus pertahanku, tapi justru karena serangannya itu
aku berhasil melakukan serang balik padanya. Kami berdua sama-sama terluka dan
kelelahan. Pandanganku pun sudah semakin memudar dibanding sebelumnya. Mungkin
kekuatanku ini ada batasnya. Entah sampai kapan, kuharap aku bisa
mengalahkannya sebelum kekuatan ini menghilang dari tubuhku.
“Kenapa
dari tadi kau tidak berbicara? Apa kau masih membenciku setelah temanmu mati di
hadapanmu?” Tyron berusaha memancing amarahku.
Sudah!
Jangan katakan itu lagi! Dalam pikiranku berusaha untuk berteriak sekeras
mungkin padanya. Tapi, bibir ini masih saja belum bisa bergerak sedikitpun.
Ryo, meski pertemuan kita sesaat, namun kau benar-benar menunjukkanku arti dari
pertemanan yang sejati. Hatiku berasa teriris mengingat kembali kejadian tadi.
Ketika ia mengucap ‘Aku akan menyelamatkanmu’ dan mendorongku dari serangan
Tyron. Ketika ia berusaha menahan serangan hebat Tyron dengan segenap
tenaganya. Ketika aku kehilangan detak nadinya saat ku genggam pergelangan
tangannya. Entah mengapa perlahan air mata kembali turun dari mataku dan
mengalir bercampur bersama keringat dan darah yang mulai mengering.
“Hahahaha..
Apa itu? Kau menangis? Seperti bukan lelaki saja.” Tyron tertawa dengan
kerasnya seolah mencoba untuk memberikan garam pada luka yang baru ia buat.
“Hidupku
ini hanya untuk keadilan.” Tanpa kusadari, aku telah berkata di luar dari yang
aku pikirkan.
~Ziiinnggggg...
Lagi-lagi
tanganku bergerak dengan sendirinya dan pedangku kini sudah mengiris sedikit
bagian pipi kanan Tyron. Darah segar mengalir dan menetes melalui pedang yang
masih menempel. Ia berhenti tertawa. Matanya terbuka lebar karena terkejut
dengan serangan yang kulakukan dengan tiba-tiba.
Dahinya
berubah mengernyit dan urat-uratnya menenggang. “KURANG AJAR!! BERANINYA KAU
MELUKAI WAJAHKU YANG INDAH INI!!!” Pekik Tyron dengan penuh amarah.
Tyron
lalu menangkis pedangku sambil mengambil sebuah benda mirip pistol dengan
tangan kirinya dan mengarahkannya tepat di depan wajahku. Tanpa segan-segan ia
menarik pelatuk benda tersebut hingga mengeluarkan cahaya laser yang
menyilaukan.
Untung
sempat bagiku untuk menghindari serangannya tersebut. Tapi serangan Tyron tidak
berhenti sampai di situ saja. Ia terus menembakiku secara membabi buta. Tak
jarang ia juga sampai melukai teman-temanku yang tak berdaya karena efek
pelumpuh yang diberikannya. Sungguh sangat kurang ajar! Aku benar-benar sangat
marah dibuatnya.
Beberapa
lama kemudian Tyron mulai berhenti menembakiku dengan pistol anehnya tersebut. Nampaknya
benda itu kehabisan amunisi. Ia lalu membuangnya dan langsung membuat sikap
yang sama seperti saat ia akan mengeluarkan serangan tenaga dahsyat yang
membunuh Ryo sebelumnya. Dengan penuh
keyakinan, tubuhku lalu bergerak dengan sendirinya membentuk gerakan yang
seolah menantang serangannya tersebut. Tidak mungkin serangan itu bisa
melukaiku dengan kekuatan besarku ini pikirku.
Tapi,
saat aku melihat ke sekelilingku. Gawat! Tanpa kusadari ternyata pertarungan
ini membuat kami berdua bergerak menuju tempat dimana teman-temanku berada.
Harus segera kuhentikan serangannya tersebut sebelum kembali memakan korban
yang lebih banyak.
Entah
kekuatan ini mulai selaras dengan apa yang aku pikirkan atau tidak. Tapi tubuh
ini bergerak dengan sendiri dan kemudian dengan cepat tangan ini mengayunkan
pedang menebas tangan kiri Tyron. Ia menjerit sangat keras hingga mampu
menggetarkan setiap kaca yang ada di seluruh bangunan kubah ini.
Energinya
terhenti setelah pergelangan tangan kirinya terpotong. Tyron masih menjerit
sangat keras sambil memegang tangannya. Darah mengalir deras hingga membuat
genangan merah yang tercecer di tanah. Ia lalu menumpu dirinya dengan kedua
lutut seolah menahan untuk tidak jatuh tersungkur. Kemudian kepalanya menunduk
dan ia pun mulai berhenti berteriak.
Tangan
kanannya lalu bergerak dan mengambil sebuah benda kecil dari kantung celananya.
Entah apa yang ia ambil, benda tersebut mirip seperti tutup botol dengan sebuah
tombol diatasnya.
Terdengar
suara tawa kecil darinya. “Bodoh, tidak mungkin aku bisa kalah darimu.” Tyron
lalu mengangkat kepalanya. “Di pakaianmu sudah kupasang banyak bahan peledak
yang bisa ku ledakkan dari sini. Dengan begitu, aku akan langsung menghancurkanmu.
Hahaha..”
Sialan!
Seharusnya dari awal aku sudah menduga. Tidak mungkin ia memberikanku pakaianku
begitu saja tanpa ada maksud tertentu. Sungguh orang yang licik!
“Mati
kau!” Tyron lalu menekan tombol. Namun..
~Dhuaarrr!!
~Zwiizzzzzsss.. Jleb!
Entah
apa yang terjadi? Kejadiannya begitu cepat. Yang sempat ku ingat, sebelum
pakaianku meledak, terlihat cahaya hijau yang begitu menyilaukan seperti
teleportasi yang biasa ku lakukan.
“Ah
baiklah, kali ini kau menang.” Terdengar suara merintih yang begitu dekat.
Betapa
terkejutnya aku setelah menyadari apa yang sebenarnya terjadi! Sekarang aku
berada di belakang Tyron yang tertusuk oleh pedangku hingga menembus ke
dadanya. Bagaimana mungkin aku melakukan ini?
Tyron
terdiam dan tertunduk lemah. Tetesan demi tetesan darah mengalir lewat pedang
yang menusuk punggung hingga menembus dada. Samar-samar terdengar suara dari
mulutnya. Tak jelas apa yang dia katakan. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan
mulai berkata lantang. “Sepertinya aku sudah ingat siapa orang yang mirip
denganmu itu.”
Aku
terpaku mendengar apa yang telah Tyron katakan.
“Ya,
sepertinya memang benar kau mirip dengannya. Salah satu dalang peristiwa besar
yang pernah dialami bangsa Remidi.” Tyron terbatuk dan kemudian berusaha untuk
berkata kembali. “Dia adalah... Ar.....”
~Sssllaaaassshhh...
Belum
sempat Tyron menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja tanganku menggerakkan
pedang dengan sendirinya dan membelah tubuh Tyron hingga ke leher. Darah
memuncrat ke segala arah. Tyron tewas seketika sebelum ia menyelesaikan kata terakhirnya.
Ada
yang aneh dengan kekuatan ini? Rasanya kekuatan ini berusaha untuk menutupi
sesuatu dari perkataan Tyron barusan. Mungkinkah ini ulah Imaji?
Tiba-tiba
pandanganku semakin memudar. Tubuhku terasa berat. Selain itu rasa perih juga
semakin terasa di seluruh kulit dan tulangku. Aku akan pingsan. Semua gelap.
Semakin gelap.
***
“Cepat
angkat mereka semua ke dalam gerobak itu!”
“Tunggu,
Putri Vivian dimana?”
“Gawat!
Kalau begitu, kau tetap jaga dia hingga sadar. Biar aku yang mencari Putri Vivian.”
“Baik.”
“Tunggu,
lihat tangannya mulai bergerak! Sepertinya dia akan sadar.”
Ada
keributan apa ini? Apa yang mereka bicarakan?
“Lihat,
matanya mulai terbuka!”
“Syukurlah,
kau mulai sadar, Enutra.”
Hah?
Enutra? Ah ya, aku Enutra sekarang. Aku masih ada di dunia paralel ini. Tapi
mereka semua sedang apa? Apa yang terjadi sebelumnya? Rasanya ingatanku seolah
memudar.
Aku
mencoba untuk berpikir dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perlahan
ingatanku semakin menguat dan akhirnya..
“Vivian!”
Sontak aku meneriakkan namanya.
Semua
orang melihatku dengan tatapan keheranan.
“Enutra!
Kau sudah sadar!” Alisana langsung memelukku erat ketika aku beranjak berusaha
untuk duduk.
“Ah..
Alisana, syukurlah ternyata kau baik-baik saja.” Lirihku.
“Iya,
itu semua berkat kamu. Terima kasih, Enutra.” Alisana masih memeluku sambil
menangis.
“Bagaimana
dengan Ryo? Apa dia baik-baik saja?”
Begitu
mendengar pertanyaanku, Alisana langsung melepaskan pelukannya dariku dan
menundukkan kepalanya. Tidak hanya Alisana, semua orang pun ikut diam
tertunduk. Sebagian orang juga terlihat berusaha memalingkan pandangannya
dariku.
“Ada
apa? Kenapa kalian tidak mau menjawabku?” pertanyaanku seolah membuat suasana
menjadi hening.
“Enutra.”
Seorang pria berbadan kekar bernama Vega pun datang menghampiriku. “Ryo..
Bersama dengan enam teman kita lainnya telah gugur dalam pertempuran ini.”
Aku
ingat. Aku ingat dengan apa yang terjadi pada Ryo? Air mataku tak bisa berhenti
menetes. “Sudah, jangan diteruskan. Mereka semua adalah pahlawan sejati. Aku
sangat berterima kasih pada mereka. Tanpa mereka. Tanpa mereka, mungkin aku
sekarang telah mati atau dimanfaatkan oleh Tyron.” Aku melihat langit yang
cerah dan berusaha mengusap air mataku. “Kubah kegelapan ini telah menghilang
ya? Entah aku harus bahagia atau sedih. Tapi aku sangat berterima kasih pada
mereka.”
“Teman-teman!
Aku masih belum menemukan keberadaan Putri Vivian!” Tiba-tiba terdengar suara
teriakan seseorang memecah keheningan.
“Gondez,
kau masih belum menemukannya? Gawat.” Sinister mendekati Gondez yang baru saja
datang.
“Eh,
Enutra! Kau sudah sadar? Syukurlah.” Gondez langsung menepuk pundakku.
Aku
tersenyum padanya dan berusaha untuk berdiri. “Tunggu, aku tahu dimana Vivian
sekarang.” Semua orang terheran-heran melihatku. “Akulah yang menyembunyikannya
untuk melindungi dari pertempuran tadi.”
Lalu
aku berjalan dengan terpincang sementara yang lain mengikutiku dari belakang.
Meski dengan perasaan cemas, aku yakin Vivian tetap aman di sana. Aku pasti
akan menemukannya dalam keadaan selamat.
Tapi
ketika sampai pada tempat persembunyian Vivian, semuanya terkejut setelah
melihat apa yang terjadi. Kami bertemu dengan satu peleton[1]
tentara Kerajaan Eternality yang sedang berada di sana sambil mencoba untuk
mengeluarkan Vivian dari tempat persembunyiannya. Ketika mereka melihat kami,
tiba-tiba mereka mengeluarkan senjata dan mengarahkannya pada kami.
“Jendral
Zach?!” Sontak Diksy berteriak memanggil nama pemimpin pasukan tentara
tersebut.
***
~Tuk.. Tuk.. Tuk..
“Pelayan!
Minuman anggur yang aku pesan dari tadi kenapa belum datang juga?!”
Teriakan
seorang pria memecahkan kesunyian pada sebuah kamar luas berornamen klasik
mewah di Istana Velika. Algeas, sang raja dari Kerajaan Eternality, kini duduk
termenung pada sebuah kursi berlapis emas menatap jendela dengan pemandangan Hutan
Velika di hadapannya. Terpaku, tangan kanannya menopang dagu dan jarinya
menutupi bibirnya yang penuh dengan kumis dan janggut yang cukup lebat namun
tidak panjang. Terkadang jari-jari kirinya diketuk-ketukan pada sandaran tangan
kursi untuk menghilangkan rasa gelisah yang masih menyelimuti perasannya.
“Pelayan!!”
Sekali lagi sang raja memanggil pelayannya seraya masih duduk terdiam pada
kursi kesayangannya tersebut.
~Tuk.. Tuk.. Tuk..
Masih
belum ada jawaban. Emosinya sedikit naik. Ia masih menatap jendela sambil mengetuk-ketukan
jarinya dengan semakin keras dan cepat.
Waktu
semakin berlalu. Tidak sabar dengan sikap pelayannya yang lambat, ia lalu menggebrakkan
kedua tangannya pada sandaran kursi dan berdiri sambil berteriak. “PELAYAN! ADA
APA KALIAN SEMU.....”
“Ini
Yang Mulia.” Seorang pria memotong teriakan Algeas sambil menyodorkan segelas
minuman dengan cairan ungu di dalamnya dari belakang kursi.
Algeas
tidak menoleh dan langsung mengambilnya. Tanpa banyak berkata, ia lalu meminum
cairan tersebut hingga habis. Hatinya benar-benar berada dalam suasana yang
buruk. Ia berharap dengan meminum anggur dapat menghilangkan kepenatan yang ada
dalam pikirannya.
~Prang!
Tiba-tiba gelas yang digunakan
Algeas tadi terjatuh dan pecah berserakan pada lantai kamarnya.
Pria yang tadi berada di belakangnya
lalu berjalan ke depan menghampiri Algeas sambil berkata, “Ada apa tuanku? Bagaimana
anggurnya?”
Ternyata
Algeas kini sedang termegap-megap berusaha menahan rasa sakit pada tenggorokannya
setelah meminum habis cairan tersebut. Napasnya terdengar sangat berat dan
sudah sulit baginya untuk berbicara. Kedua tangannya bergetar sambil memegang
leher seolah sesuatu telah membakar dan menggerogoti dirinya. Ia telah
teracuni. Anggur yang ia minum ternyata telah diracuni.
Algeas
mencoba membuka matanya lebar-lebar untuk menatap pelayan pria yang tadi
memberikannya minum. Betapa terkejutnya ia setelah menyadari siapa pria itu
sebenarnya. Kemudian tangannya berusaha mencengkram baju pria tersebut dan
menariknya.
Pria
tersebut lalu memegang tangan algeas dan berkata sambil tersenyum, “Sudah,
tidak usah repot-repot. Sebentar lagi juga kau akan meninggalkan dunia ini.”
Tak
lama kemudian tangan Algeas menjadi melemah dan semakin melemah hingga
cengkramannya terlepas dengan sendirinya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit
yang teramat sangat. Lalu perlahan-lahan akhirnya ia menghembuskan napas untuk
terakhirnya.
Pria
tersebut lalu mengambil sesuatu dari kantong jubah Algeas yang dikenakannya. “Maaf
ya, aku ambil dulu barangmu ini.”
Setelah
itu ia lalu pergi dengan cepat sambil meninggalkan sebuah kartu bertuliskan ‘ANGELKILL’
tepat di atas dada Algeas.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar