18 Mei 2014

DUNIA SEMU #25


CHAPTER 25 - RAHASIA

            ~Dang!! Dang!
            ~Wooossshhh..
            ~Dang!!
            Dentang suara pedang menyeruak bersama dengan percikan cahaya besi yang saling beradu di balik kelamnya kubah kegelapan. Keringat dan darah bercampur mengalir melewati setiap sela tubuh yang penuh dengan luka dan memar. Napas tak beraturan berhembus melewati tenggorokan yang tak lagi basah. Pertarungan ini seakan tak akan pernah berhenti. Hingga yang terkuatlah yang akan menang. Aku tidak suka ini.
***
           

            Beberapa saat setelah tubuhku kembali diambil alih oleh kekuatan misterius ini, Tyron lalu mengambil kembali pedangnya dan langsung menyerangku tanpa banyak berbicara. Tapi untunglah kekuatan ini masih melindungiku, dengan cepat pedangku dapat menangkisnya meski terasa adanya dorongan kuat yang menerpa tubuhku. Tyron tehempas beberapa meter dari hadapanku ketika aku menahan serangannya.
            Entah mengapa, ia terlihat puas setelah aku berhasil menahan serangannya. Hanya berselang sepersekian detik, Tyron sudah kembali berada di dekatku dan melayangkan serangannya yang semakin cepat dari sebelumnya. Tapi seolah pergerakannya telah terbaca, aku pun melompat jauh menghindarinya sambil melemparinya bebatuan dengan menggunakan pedang yang masih ada di genggamanku. Tyron pun menangkisnya dengan cepat.
            Meskipun semua ini dilakukan dengan tubuhku, tapi seolah tak lebih hanya seperti sebuah tontonan bagiku. Aku sama sekali tak dapat mengendalikannya. Hanya bisa merasakan dan melihat apa sedang dilakukan tubuhku ini. Kekuatan ini benar-benar telah menghentikan semua perintah yang ada di otakku.
            “Luar biasa! Ini baru yang aku inginkan darimu!” pekik Tyron sambil berdiri mengambil waktu untuk mengistirahatkan diri sejenak.
            Aku hanya melihatnya tanpa berkata sedikitpun. Tentu saja, meskipun aku memaksa, tak akan ada sepatah katapun yang bisa keluar dari mulutku,
            “Tapi rasanya ada yang aneh.” Tyron kembali memasang kuda-kudanya. “Semua gerakan bertarungmu mengingatkanku akan seseorang yang pernah kutemui.”
            Seseorang yang pernah ia temui? Apa maksud dari perkataannya itu? Mungkinkah Tyron memang mengetahui tentang rahasia kekuatan aneh ini? Aku benar-benar penasaran.
            Hembusan angin kering berdebu mengalir di antara kami yang masih terdiam saling berhadapan. Seolah waktu berhenti berjalan saat mata kami saling berhadapan.
            “Mata merahmu pun juga mengingatkanku pada seseorang.” Tyron masih belum mengubah posisinya. “Aaahh.. Kenapa aku bisa lupa. Padahal saat itu merupakan peristiwa yang besar bagi bangsa Remidi.”
            Bodoh sekali dia pikirku. Andai saja dia tidak melupakan kejadian yang dia ceritakan, mungkin aku bisa langsung mengetahui rahasia sebenarnya tentang Enutra, Bangsa Remidi dan segala hal yang masih menjadi misteri di dunia ini.
            “Ah lupakan saja dulu. Aku bertarung denganmu hanya untuk mencari sesuatu yang kini sedang menjadi rahasia besar Bangsa Remidi.”
            Tersentak ku mendengarnya setelah Tyron menyelesaikan perkataannya. Rahasia besar apa itu? Apakah semua ini memang berhubungan denganku?
            ~Woosshh..
            Tanpa kusadari Tyron telah menghilang dari hadapanku. Dimana dia? Karena kata-katanya tadi, aku telah dibuat lengah olehnya.
            “Kesempatan..” terdengar bisikkan dari telinga kiriku.
            Benar saja, Tyron sudah berada di samping dengan ujung mata pedang yang sudah siap untuk menusuk leherku. Tidak mungkin, kalau begini aku pasti akan segera mati.
            Tapi yang terjadi benar-benar diluar dugaanku. Tubuhku mampu mengelak dari serangan super cepat Tyron meski leherku sempat tergores sedikit. Hampir saja aku lupa bahwa ada kekuatan yang mampu menyamai kekuatan Tyron di dalam tubuh ini.
            Tyron terlihat kesal karena seranganya selalu saja gagal semenjak kekuatan misteriusku kembali. Hantaman demi hantaman ia lakukan dengan pedangnya yang besar, namun berulang kali pula hantamannya berhasil ku tangkis. Kekuatan kami benar-benar imbang. Pertarungan ini masih sangat sulit untuk dihentikan.
            Sesekali serangannya berhasil menembus pertahanku, tapi justru karena serangannya itu aku berhasil melakukan serang balik padanya. Kami berdua sama-sama terluka dan kelelahan. Pandanganku pun sudah semakin memudar dibanding sebelumnya. Mungkin kekuatanku ini ada batasnya. Entah sampai kapan, kuharap aku bisa mengalahkannya sebelum kekuatan ini menghilang dari tubuhku.
            “Kenapa dari tadi kau tidak berbicara? Apa kau masih membenciku setelah temanmu mati di hadapanmu?” Tyron berusaha memancing amarahku.
            Sudah! Jangan katakan itu lagi! Dalam pikiranku berusaha untuk berteriak sekeras mungkin padanya. Tapi, bibir ini masih saja belum bisa bergerak sedikitpun. Ryo, meski pertemuan kita sesaat, namun kau benar-benar menunjukkanku arti dari pertemanan yang sejati. Hatiku berasa teriris mengingat kembali kejadian tadi. Ketika ia mengucap ‘Aku akan menyelamatkanmu’ dan mendorongku dari serangan Tyron. Ketika ia berusaha menahan serangan hebat Tyron dengan segenap tenaganya. Ketika aku kehilangan detak nadinya saat ku genggam pergelangan tangannya. Entah mengapa perlahan air mata kembali turun dari mataku dan mengalir bercampur bersama keringat dan darah yang mulai mengering.
            “Hahahaha.. Apa itu? Kau menangis? Seperti bukan lelaki saja.” Tyron tertawa dengan kerasnya seolah mencoba untuk memberikan garam pada luka yang baru ia buat.
            “Hidupku ini hanya untuk keadilan.” Tanpa kusadari, aku telah berkata di luar dari yang aku pikirkan.
            ~Ziiinnggggg...
            Lagi-lagi tanganku bergerak dengan sendirinya dan pedangku kini sudah mengiris sedikit bagian pipi kanan Tyron. Darah segar mengalir dan menetes melalui pedang yang masih menempel. Ia berhenti tertawa. Matanya terbuka lebar karena terkejut dengan serangan yang kulakukan dengan tiba-tiba.
            Dahinya berubah mengernyit dan urat-uratnya menenggang. “KURANG AJAR!! BERANINYA KAU MELUKAI WAJAHKU YANG INDAH INI!!!” Pekik Tyron dengan penuh amarah.
            Tyron lalu menangkis pedangku sambil mengambil sebuah benda mirip pistol dengan tangan kirinya dan mengarahkannya tepat di depan wajahku. Tanpa segan-segan ia menarik pelatuk benda tersebut hingga mengeluarkan cahaya laser yang menyilaukan.
            Untung sempat bagiku untuk menghindari serangannya tersebut. Tapi serangan Tyron tidak berhenti sampai di situ saja. Ia terus menembakiku secara membabi buta. Tak jarang ia juga sampai melukai teman-temanku yang tak berdaya karena efek pelumpuh yang diberikannya. Sungguh sangat kurang ajar! Aku benar-benar sangat marah dibuatnya.
            Beberapa lama kemudian Tyron mulai berhenti menembakiku dengan pistol anehnya tersebut. Nampaknya benda itu kehabisan amunisi. Ia lalu membuangnya dan langsung membuat sikap yang sama seperti saat ia akan mengeluarkan serangan tenaga dahsyat yang membunuh Ryo sebelumnya.    Dengan penuh keyakinan, tubuhku lalu bergerak dengan sendirinya membentuk gerakan yang seolah menantang serangannya tersebut. Tidak mungkin serangan itu bisa melukaiku dengan kekuatan besarku ini pikirku.
            Tapi, saat aku melihat ke sekelilingku. Gawat! Tanpa kusadari ternyata pertarungan ini membuat kami berdua bergerak menuju tempat dimana teman-temanku berada. Harus segera kuhentikan serangannya tersebut sebelum kembali memakan korban yang lebih banyak.
            Entah kekuatan ini mulai selaras dengan apa yang aku pikirkan atau tidak. Tapi tubuh ini bergerak dengan sendiri dan kemudian dengan cepat tangan ini mengayunkan pedang menebas tangan kiri Tyron. Ia menjerit sangat keras hingga mampu menggetarkan setiap kaca yang ada di seluruh bangunan kubah ini.
            Energinya terhenti setelah pergelangan tangan kirinya terpotong. Tyron masih menjerit sangat keras sambil memegang tangannya. Darah mengalir deras hingga membuat genangan merah yang tercecer di tanah. Ia lalu menumpu dirinya dengan kedua lutut seolah menahan untuk tidak jatuh tersungkur. Kemudian kepalanya menunduk dan ia pun mulai berhenti berteriak.
            Tangan kanannya lalu bergerak dan mengambil sebuah benda kecil dari kantung celananya. Entah apa yang ia ambil, benda tersebut mirip seperti tutup botol dengan sebuah tombol diatasnya.
            Terdengar suara tawa kecil darinya. “Bodoh, tidak mungkin aku bisa kalah darimu.” Tyron lalu mengangkat kepalanya. “Di pakaianmu sudah kupasang banyak bahan peledak yang bisa ku ledakkan dari sini. Dengan begitu, aku akan langsung menghancurkanmu. Hahaha..”
            Sialan! Seharusnya dari awal aku sudah menduga. Tidak mungkin ia memberikanku pakaianku begitu saja tanpa ada maksud tertentu. Sungguh orang yang licik!
            “Mati kau!” Tyron lalu menekan tombol. Namun..
            ~Dhuaarrr!!
            ~Zwiizzzzzsss.. Jleb!
            Entah apa yang terjadi? Kejadiannya begitu cepat. Yang sempat ku ingat, sebelum pakaianku meledak, terlihat cahaya hijau yang begitu menyilaukan seperti teleportasi yang biasa ku lakukan.
            “Ah baiklah, kali ini kau menang.” Terdengar suara merintih yang begitu dekat.
            Betapa terkejutnya aku setelah menyadari apa yang sebenarnya terjadi! Sekarang aku berada di belakang Tyron yang tertusuk oleh pedangku hingga menembus ke dadanya. Bagaimana mungkin aku melakukan ini?
            Tyron terdiam dan tertunduk lemah. Tetesan demi tetesan darah mengalir lewat pedang yang menusuk punggung hingga menembus dada. Samar-samar terdengar suara dari mulutnya. Tak jelas apa yang dia katakan. Perlahan ia mengangkat kepalanya dan mulai berkata lantang. “Sepertinya aku sudah ingat siapa orang yang mirip denganmu itu.”
            Aku terpaku mendengar apa yang telah Tyron katakan.
            “Ya, sepertinya memang benar kau mirip dengannya. Salah satu dalang peristiwa besar yang pernah dialami bangsa Remidi.” Tyron terbatuk dan kemudian berusaha untuk berkata kembali. “Dia adalah... Ar.....”
            ~Sssllaaaassshhh...
            Belum sempat Tyron menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba saja tanganku menggerakkan pedang dengan sendirinya dan membelah tubuh Tyron hingga ke leher. Darah memuncrat ke segala arah. Tyron tewas seketika sebelum ia menyelesaikan kata terakhirnya.
            Ada yang aneh dengan kekuatan ini? Rasanya kekuatan ini berusaha untuk menutupi sesuatu dari perkataan Tyron barusan. Mungkinkah ini ulah Imaji?
            Tiba-tiba pandanganku semakin memudar. Tubuhku terasa berat. Selain itu rasa perih juga semakin terasa di seluruh kulit dan tulangku. Aku akan pingsan. Semua gelap. Semakin gelap.
***

            “Cepat angkat mereka semua ke dalam gerobak itu!”
            “Tunggu, Putri Vivian dimana?”
            “Gawat! Kalau begitu, kau tetap jaga dia hingga sadar. Biar aku yang mencari Putri Vivian.”
            “Baik.”
            “Tunggu, lihat tangannya mulai bergerak! Sepertinya dia akan sadar.”
            Ada keributan apa ini? Apa yang mereka bicarakan?
            “Lihat, matanya mulai terbuka!”
            “Syukurlah, kau mulai sadar, Enutra.”
            Hah? Enutra? Ah ya, aku Enutra sekarang. Aku masih ada di dunia paralel ini. Tapi mereka semua sedang apa? Apa yang terjadi sebelumnya? Rasanya ingatanku seolah memudar.
            Aku mencoba untuk berpikir dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Perlahan ingatanku semakin menguat dan akhirnya..
            “Vivian!” Sontak aku meneriakkan namanya.
            Semua orang melihatku dengan tatapan keheranan.
            “Enutra! Kau sudah sadar!” Alisana langsung memelukku erat ketika aku beranjak berusaha untuk duduk.
            “Ah.. Alisana, syukurlah ternyata kau baik-baik saja.” Lirihku.
            “Iya, itu semua berkat kamu. Terima kasih, Enutra.” Alisana masih memeluku sambil menangis.
            “Bagaimana dengan Ryo? Apa dia baik-baik saja?”
            Begitu mendengar pertanyaanku, Alisana langsung melepaskan pelukannya dariku dan menundukkan kepalanya. Tidak hanya Alisana, semua orang pun ikut diam tertunduk. Sebagian orang juga terlihat berusaha memalingkan pandangannya dariku.
            “Ada apa? Kenapa kalian tidak mau menjawabku?” pertanyaanku seolah membuat suasana menjadi hening.
            “Enutra.” Seorang pria berbadan kekar bernama Vega pun datang menghampiriku. “Ryo.. Bersama dengan enam teman kita lainnya telah gugur dalam pertempuran ini.”
            Aku ingat. Aku ingat dengan apa yang terjadi pada Ryo? Air mataku tak bisa berhenti menetes. “Sudah, jangan diteruskan. Mereka semua adalah pahlawan sejati. Aku sangat berterima kasih pada mereka. Tanpa mereka. Tanpa mereka, mungkin aku sekarang telah mati atau dimanfaatkan oleh Tyron.” Aku melihat langit yang cerah dan berusaha mengusap air mataku. “Kubah kegelapan ini telah menghilang ya? Entah aku harus bahagia atau sedih. Tapi aku sangat berterima kasih pada mereka.”
            “Teman-teman! Aku masih belum menemukan keberadaan Putri Vivian!” Tiba-tiba terdengar suara teriakan seseorang memecah keheningan.
            “Gondez, kau masih belum menemukannya? Gawat.” Sinister mendekati Gondez yang baru saja datang.
            “Eh, Enutra! Kau sudah sadar? Syukurlah.” Gondez langsung menepuk pundakku.
            Aku tersenyum padanya dan berusaha untuk berdiri. “Tunggu, aku tahu dimana Vivian sekarang.” Semua orang terheran-heran melihatku. “Akulah yang menyembunyikannya untuk melindungi dari pertempuran tadi.”
            Lalu aku berjalan dengan terpincang sementara yang lain mengikutiku dari belakang. Meski dengan perasaan cemas, aku yakin Vivian tetap aman di sana. Aku pasti akan menemukannya dalam keadaan selamat.
            Tapi ketika sampai pada tempat persembunyian Vivian, semuanya terkejut setelah melihat apa yang terjadi. Kami bertemu dengan satu peleton[1] tentara Kerajaan Eternality yang sedang berada di sana sambil mencoba untuk mengeluarkan Vivian dari tempat persembunyiannya. Ketika mereka melihat kami, tiba-tiba mereka mengeluarkan senjata dan mengarahkannya pada kami.
            “Jendral Zach?!” Sontak Diksy berteriak memanggil nama pemimpin pasukan tentara tersebut.
***

            ~Tuk.. Tuk.. Tuk..
            “Pelayan! Minuman anggur yang aku pesan dari tadi kenapa belum datang juga?!”
            Teriakan seorang pria memecahkan kesunyian pada sebuah kamar luas berornamen klasik mewah di Istana Velika. Algeas, sang raja dari Kerajaan Eternality, kini duduk termenung pada sebuah kursi berlapis emas menatap jendela dengan pemandangan Hutan Velika di hadapannya. Terpaku, tangan kanannya menopang dagu dan jarinya menutupi bibirnya yang penuh dengan kumis dan janggut yang cukup lebat namun tidak panjang. Terkadang jari-jari kirinya diketuk-ketukan pada sandaran tangan kursi untuk menghilangkan rasa gelisah yang masih menyelimuti perasannya.
            “Pelayan!!” Sekali lagi sang raja memanggil pelayannya seraya masih duduk terdiam pada kursi kesayangannya tersebut.
            ~Tuk.. Tuk.. Tuk..
            Masih belum ada jawaban. Emosinya sedikit naik. Ia masih menatap jendela sambil mengetuk-ketukan jarinya dengan semakin keras dan cepat.
            Waktu semakin berlalu. Tidak sabar dengan sikap pelayannya yang lambat, ia lalu menggebrakkan kedua tangannya pada sandaran kursi dan berdiri sambil berteriak. “PELAYAN! ADA APA KALIAN SEMU.....”
            “Ini Yang Mulia.” Seorang pria memotong teriakan Algeas sambil menyodorkan segelas minuman dengan cairan ungu di dalamnya dari belakang kursi.
            Algeas tidak menoleh dan langsung mengambilnya. Tanpa banyak berkata, ia lalu meminum cairan tersebut hingga habis. Hatinya benar-benar berada dalam suasana yang buruk. Ia berharap dengan meminum anggur dapat menghilangkan kepenatan yang ada dalam pikirannya.
            ~Prang!
            Tiba-tiba gelas yang digunakan Algeas tadi terjatuh dan pecah berserakan pada lantai kamarnya.
            Pria yang tadi berada di belakangnya lalu berjalan ke depan menghampiri Algeas sambil berkata, “Ada apa tuanku? Bagaimana anggurnya?”
            Ternyata Algeas kini sedang termegap-megap berusaha menahan rasa sakit pada tenggorokannya setelah meminum habis cairan tersebut. Napasnya terdengar sangat berat dan sudah sulit baginya untuk berbicara. Kedua tangannya bergetar sambil memegang leher seolah sesuatu telah membakar dan menggerogoti dirinya. Ia telah teracuni. Anggur yang ia minum ternyata telah diracuni.
            Algeas mencoba membuka matanya lebar-lebar untuk menatap pelayan pria yang tadi memberikannya minum. Betapa terkejutnya ia setelah menyadari siapa pria itu sebenarnya. Kemudian tangannya berusaha mencengkram baju pria tersebut dan menariknya.
            Pria tersebut lalu memegang tangan algeas dan berkata sambil tersenyum, “Sudah, tidak usah repot-repot. Sebentar lagi juga kau akan meninggalkan dunia ini.”
            Tak lama kemudian tangan Algeas menjadi melemah dan semakin melemah hingga cengkramannya terlepas dengan sendirinya. Matanya terbelalak menahan rasa sakit yang teramat sangat. Lalu perlahan-lahan akhirnya ia menghembuskan napas untuk terakhirnya.
            Pria tersebut lalu mengambil sesuatu dari kantong jubah Algeas yang dikenakannya. “Maaf ya, aku ambil dulu barangmu ini.”
            Setelah itu ia lalu pergi dengan cepat sambil meninggalkan sebuah kartu bertuliskan ‘ANGELKILL’ tepat di atas dada Algeas.
***


[1] Peleton adalah satuan militer yang terdiri dari 30 sampai 50 orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar