Apa
aku sudah benar-benar yakin dengan tindakanku ini? Apa memang ini semua harus
dilakukan? Benarkah ini memang diriku? Sebenarnya apa alasanku untuk datang ke
dunia ini? Biar bagaimanapun juga segalanya sudah terlanjur terjadi. Entah apa
yang akan terjadi selanjutnya, aku hanya mencoba untuk terus menjalaninya.
Meskipun itu semua bertentangan dengan hati nurani.
Dibunuh,
atau membunuh. Seakan kata-kata tersebut menjadi lumrah dan tersimpan di dalam
pikiran. Aku tak tahu apakah yang kulakukan ini benar atau salah. Hanya saja..
Hanya saja jika aku terbiasa untuk terus berdiam dan menjadi orang yang tidak
peduli, rasanya hidup ini akan menjadi sia-sia. Aku benci melihat orang-orang
tak berdosa tersakiti. Aku tak bisa. Aku tak bisa hanya diam dan melihat hal
itu terjadi!!
“HHHAAAAaaaaaaggghhhh!!!!”
Sebuah energi yang luar biasa kuat keluar saat pedang yang ku genggam ini
diayunkan. Seketika belasan pasukan Remidi yang ada di hadapanku terhempas jauh
dan memuntahkan darah dari mulutnya.
Dunia
terasa melambat. Ayunan pedang dan lesatan tembakan panah dapat ku tangkis
dengan mudahnya. Setelah itu, aku melompat bersalto dan kemudian mengarahkan
pedangku ke bawah. Entah gerakan apa ini, aku hanya mengikuti insting bertarung
yang tiba-tiba muncul dalam diriku.
Pedang
‘Dartmouth Eterna’ ini akhirnya menancap pada tanah bersamaan dengan tapakkan
kakiku. Setelah itu seketika waktu menjadi terasa berhenti. Semua pasukan
remidi yang ada di dekatku seolah terdiam. Kemudian tusukan pedangku membuat
retakan-retakan pada tanah dan mengeluarkan sinar hijau yang sangat menyilaukan
dari dalamnya. Hanya berselang beberapa detik, semua terlihat kembali seperti
semula. Tidak. Semua pasukan remidi yang berada dalam radius beberapa meter
dariku kini bergeletakan tak berdaya. Kekuatan mengerikan apa ini? Kenapa aku bisa
melakukannya?
“Siapapun, Tolong aku!!”
Aku
menoleh setelah mendengar teriakan seorang wanita dari kejauhan. Ternyata
teriakan itu berasal dari Alisana Danish, salah satu teman wanita satu
kelompokku saat di pelatihan Velika. Kini ia terlihat sangat terdesak oleh
serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh para pasukan Remidi.
“Alisana!
Menunduklah!” Aku berteriak sambil berlari mendekatinya. Ia lalu menoleh ke
arahku dengan tatapan seolah tidak percaya dengan apa yang ia lihat. “Ayo
menunduk!!” Sekali lagi aku berteriak padanya dan Alisana pun langsung
mengikuti perkataanku dengan menundukkan badannya.
Dengan
kecepatan yang luar biasa dan bisa dibilang hampir di luar akal sehat manusia,
aku mengayunkan ‘Dartmouth Eterna’ di atas tubuh Alisana. Seketika belasan
pasukan remidi serta para serigala pembunuh yang tadi menyerangnya terhempas
sangat jauh dengan luka-luka sayatan di tubuh mereka.
“Apa
kau tidak apa-apa, Alisana?” aku menyentuh pundaknya. Ia hanya terdiam
melihatku seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.
“E..
Enutra? Ke.. Ke.. Kenapa kau ada di sini? Bukankah seharusnya kau ....”
“Waaahhh..
Panjang ceritanya.”
Tiba-tiba
saja Alisana memelukku dengan erat. “Syukurlah kau selamat! Aku.. Ma.. Maksudku
kami semua sangat mengkhawatirkanmu!”
“I..
Iya.. Tapi kita masih belum aman karena masih banyak musuh di sekitar kita.”
Jantungku berdegup cukup kencang dan darah mengalir deras di tubuhku karena
dada Alisana yang cukup besar menempel pada dadaku. Bisa dibilang ini adalah Jackpot pikirku dalam hati sambil
tersenyum.
Alisana
pun melepaskan pelukannya sambil kembali memasang kuda-kuda untuk bertarung.
Sesaat ia melirik tersenyum padaku sambil membisikkan sesuatu, “Terima kasih
karena telah menyelamatkanku, aku telah berhutang padamu.”
“Apa
yang kau katakan? Sebaiknya kita harus menyelamatkan semua teman-teman kita
dulu dari serangan Remidi ini.” Wajahku sempat memerah namun dengan segera aku bergerak
dan memasang posisi saling membelakangi satu sama lain. “Sebenarnya, akulah
yang seharusnya berterima kasih pada kalian semua karena telah berusaha untuk
menyelamatkanku. Terima kasih, Alisana.” Aku masih belum percaya, di balik
sikapnya yang dingin saat itu ternyata ia juga mempunyai sisi yang manis.
Setelah
itu, aku tak bisa berkata lebih banyak lagi padanya. Ah.. Apa sebenarnya yang
ada di pikiranku ini? Pertarungan ini masih belum selesai!
“E..
Enutra.. Mari kita bekerja sama seperti saat di pelatihan waktu itu.” Alisana
berbicara padaku dengan suara yang sedikit terbata-bata. Sekilas terlihat
pipinya memerah ketika aku menoleh ke arahnya.
“Baik..
Mari kita bekerja sama seperti waktu itu.” Aku mengangguk menyetujuinya sambil
tersenyum.
***
“Dionze.. Sudah lama kita tidak bertemu.”
“Whoaaa..
Jendral Besar Diksy!?” Dionze terkejut ketika mengetahui pria yang
membisikannya itu adalah teman satu kerajaannya sendiri. “Kenapa anda bisa ada
di sini?”
“Tentu
saja untuk membantumu.” Diksy membalasnya sambil tersenyum. “Sudah berhari-hari
kau tidak kembali ke kerajaan.”
“Siapa
dia, Dionze?” Mikoto yang sejak tadi serius menghadapi lawan-lawannya mencoba
untuk ikut dalam percakapan antara Diksy dan Dionze.
Diksy
langsung menyela, “Whoaah.. Dionze, jadi selama tidak ada kabar, ternyata
sekarang kau bersama dengan gadis cantik ini ya?”
Wajah
Mikoto sedikit memerah.
Dionze
lalu berbicara, “Ah ya.. Dia adalah atasanku, Jendral Besar Diksy.” Setelah
menjelaskan pada Mikoto, Dionze lalu berbicara pada Diksy, “Ada banyak hal yang
terjadi. Oh ya kenalkan, dia adalah Mikoto, bisa dibilang partner ku untuk sementara ini.”
“Hahaha..
Menyenangkan sekali melakukan perkenalan di tengah pertempuran seperti ini.”
Diksy tertawa sambil kemudian mengangkat cakar besi di tangannya dan
menebaskannya pada salah satu pasukan Remidi yang akan menyerangnya.
“Baiklah,
mari kita selesaikan pertempuran ini!” Dionze pun kembali bertarung bersama
dengan Diksy dan Mikoto di samping kanan kirinya.
Saat
pertarungan masih berlangsung, tiba-tiba saja Dionze teringat dengan
percakapannya bersama Genba saat berada di Desa Kallita.
“Ada seorang oknum yang bekerja sama
dengannya.”
“Darimana kau tahu tentang semua
itu?”
“Kamu masih meragukan kehebatanku
meski kita sudah berhasil keluar dari penjara?”
“Hmm.. Anak-anak buahmu memang
mengagumkan. Baiklah aku akui kehebatanmu dan semua anak buahmu. Tapi tolong
beritahu aku, siapakah oknum yang kamu maksudkan?”
“Dia adalah Diksy, jendral besar
Kerajaan Olympus.”
“Jendral Besar Diksy?!”
“Seharusnya kau sudah curiga ketika
ia mengirimmu beserta dua jendral dan tiga ratus pasukan untuk menyerang kubah
remidi di hutan emerald. Dia sudah berencana untuk menyingkirkanmu dan seluruh
jendral kerajaan.”
“Tidak mungkin!”
“Dia jugalah yang telah menjebakmu
ketika terjadi peledakan di Kota Velika. Aku tidak tahu apa motifnya hingga
berbuat seperti itu, namun sepertinya ia berencana untuk menguasai Kerajaan
Olympus dan Eternality dengan memanfaatkan kaum Remidi.”
Dionze
kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya agar dapat mengembalikan
konsentrasinya. Ia yakin bahwa apa yang dikatakan oleh Genba itu salah, meski
ia merasakan adanya kejanggalan terhadap kedatangan Diksy saat ini.
***
“Alisana,
sepertinya wilayah ini sudah mulai aman, mari kita bantu teman kita yang
lainnya.”
Alisana
menggangguk setuju padaku. Setelah itu kami berdua berlari menuju area dimana
teman-teman kami sedang bertarung melawan para monster raksasa minotaur dan
pasukan-pasukan Remidi.
~Ziinnkkk...
Tiba-tiba
terasa akan adanya serangan dadakan dari samping kiri. Benar saja. Meski sekilas,
terlihat dari sudut mata puluhan anak panah melesat dengan kecepatan tinggi mengarah
pada Alisana. Tanpa pikir panjang, kuhentikan langkah kakiku. Sesegera mungkin
kugapai lengan Alisana dan menariknya pada pelukanku.
~Dang.. Dang.. Jleb.. Jleb.. Jleb..
Dalam keadaan yang kurang terlalu
siap, hanya beberapa anak panah yang mampu ku tangkis untuk melindungi Alisana,
selebihnya menancap cukup dalam di punggungku.
“Enutra!!”
Alisana menangis di pelukanku. “Kenapa kau malah mengorbankan dirimu demi
aku?!”
“Alisana..”
Aku berkata padanya sambil menahan rasa sakit di punggungku. “Ternyata sakit
juga jika tertusuk panah yang sebenarnya.”
“Kenapa
kau sempat-sempatnya berkata seperti itu??” Alisana masih menangis di
pelukanku.
“Tapi
beneran loh ini sakit banget.” Kemudian aku melepas pelukanku padanya. “Bisa
kamu sembuhkan aku dengan teknik healing-mu?”
Alisana
mengusap air matanya dan melihat luka tusukan panah di punggungku, refleks ia
menutup mulutnya dengan tangan sambil berkata, “Ya ampun!! Luka tusukkannya
banyak sekali! Untunglah tidak mengenai bagian vitalmu.”
“Benarkah?
Pantas saja sakit sekali.”
“Maaf..
Maaf.. Aku terlalu banyak bicara. Akan aku coba menyembuhkanmu sebisaku.”
“Tapi,
jangan lupa juga untuk memerhatikan sekitarmu. Jika musuh mulai mendekat dan
membahayakanmu, tinggalkan saja aku di sini.”
Alisana
sedikit mengangguk dan kemudian mulai mengaktifkan teknik healing dengan mendekatkan telapak tangannya pada punggungku.
Seperti teknik-teknik healing
lainnya, dari telapak tangannya terlihat cahaya yang menyilaukan. Rasanya
hangat dan nyaman saat proses ini berlangsung. Sakit akibat tusukan panah mulai
berangsur-angsur menghilang. Panah-panah tersebut pun satu persatu tercabut dan
berjatuhan dengan sendirinya.
“Uhukk..”
Terdengar Alisana terbatuk.
“Alisana,
apa kau mulai kelelahan? Jika memang begitu, kau bisa menghentikannya sekarang
juga.”
Tidak
terdengar jawaban dari Alisana.
Penasaran
dengan apa yang terjadi apadanya, aku pun menengok ke belakang untuk memastikan,
“Alisana, kenapa kau tidak menjawab ......” ternyata saat ini ia dalam keadaan setengah
tak sadarkan diri sambil terus memberikan tenaga penyembuhan padaku. “Alisana!
Sudah hentikan, kau akan melukai dirimu sendiri!”
Alisana
sama sekali tidak merespons perkataanku sambil terus mengeluarkan kekuatan healing-nya. Entah apa sebenarnya yang
terjadi dengannya, apa mungkin ia terlalu memaksakan diri untuk mengeluarkan
seluruh tenagannya? Berkali-kali aku mengguncang-goncangkan tubuhnya demi
membuatnya sadar tapi hasilnya tetap saja nihil. Seolah-olah ia telah
dikendalikan oleh kekuatannya sendiri. Sampai akhirnya ia pun ambruk terkulai
tanpa sadar bersamaan dengan terlepasnya panah terakhir yang menancap di tubuhku.
Aku
menangkap tubuhnya yang lemah dengan kedua tangan sambil terus memanggil-manggil
namanya. Sama sekali tak ada jawaban darinya. Dengan rasa khawatir, kuperiksa
nadi dari tangan dan lehernya, detak jantungnya terasa semakin melemah. Apa
yang harus aku lakukan? Otakku bekerja keras untuk memikirkan bagaimana caranya
agar dapat membangunkan Alisana. Aku merasa sangat bersalah karena akulah yang
membuat dia seperti ini.
~Ziinnkkk...
Lagi-lagi
terasa adanya bahaya yang mendekat. “Sial.. Disaat seperti ini mereka tetap membuatku
semakin kesulitan.”
Aku
menengok ke sisi kiri dan menyadari bahwa puluhan panah kembali mengejarku.
Kali ini serangan tersebut tak akan lagi melukaiku. Aku melompat sangat tinggi
sambil menggendong Alisana di tangan. Dari atas, terlihat jelas puluhan pemanah
yang berdiri berjejer menembakkan anak panahnya tanpa henti ke segala arah.
Pakaian mereka mirip seperti pakaian Zekko dan Riki, sepertinya mereka adalah
para pengikut Genba yang terhipnotis oleh kekuatan Tyron. Disaat yang sama, tiba-tiba
saja terbesit ingatan saat meminum ramuan yang diberikan Zekko dan Riki. Terpikir
olehku, mungkin saja para pemanah itu setidaknya memiliki satu ramuan dalam
kantong mereka. Dengan cepat aku mendarat di atas tanah dan berlari secepat
mungkin untuk menghampiri mereka.
Kuhiraukan
segala serangan pasukan Remidi dengan menghindari tebasan-tebasan pedang
mereka. Prioritasku saat ini hanyalah untuk menyadarkan Alisana yang semakin
lama semakin lemah.
Saat
salah satu dari pemanah tersebut mulai terlihat, dengan cepat aku berlari
secara zig-zag dan kemudian melompat melewati kepalanya. Ia tak dapat
menandingi kecepatanku. Saat ia akan berbalik, aku sudah membenturkan bahunya
dengan kepalaku hingga ia jatuh tak sadarkan diri. Untunglah saat itu pemanah
lain tak menyadari apa yang sedang terjadi dengan salah satu dari mereka.
Segera
kubaringkan Alisana yang sejak tadi berada di pangkuan kedua lenganku. Ternyata
benar dengan apa yang kupikirkan, setelah menggeledah seluruh kantong pemanah
tersebut, kutemukan sebuah botol kecil berisi cairan hijau persis seperti yang
aku minum saat itu.
“Alisana,
minumlah ramuan ini.” Aku membuat Alisana duduk agar dapat dengan mudah meminum
cairan tersebut. “Aku mohon, sadarlah Alisana.” Dengan penuh harap, semoga saja
ia bisa kembali sadar secepatnya.
Akhirnya
detak nadi yang tadi sempat melemah berangsur-angsur mulai kembali normal. Meski
ia masih belum sadarkan diri, setidaknya ia sudah bisa terselamatkan. Aku sama
sekali tak bisa habis pikir bahwa ia dapat menjadi selemah itu saat
menyembuhkan lukaku. Sepertinya ada batasan-batasan bagi para pengguna kekuatan
tenaga dalam untuk melakukan teknik healing.
Lagi-lagi
entah mengapa insting ini mengatakan bahwa akan ada lagi sesuatu yang buruk.
“Halo,
Enutra. Sudah selesai bersenang-senang dengan gadismu itu?”
Aku
menengok ke belakang. Benar saja dengan apa yang kukhawatirkan sejak tadi, para
pemanah mengelilingiku dengan puluhan anak panah yang siap dilepas dari
busurnya. Sementara itu terlihat Tyron sedang berdiri di tengah-tengah mereka
dengan posisi kedua tangannya menumpu pada pedang yang ditusukkan ke tanah.
“Tyron..
Aku sudah menyangka kau pasti akan menyerangku di saat lengah seperti ini.” Aku
bergumam dengan nada penuh kebencian. “Dasar pengecut!”
“Tunggu..
Tunggu.. Aku bukanlah orang yang pengecut.” Tyron menaikan sebelah alisnya.
“Terserah
apa katamu, tapi perbuatanmu saat ini tidak mencerminkan perkataanmu.”
“Sudah
kukatakan, aku bukan pengecut.” Tyron lalu mengangkat tangan kanannya sambil tersenyum
menyeringai, “Tapi kuakui, aku sangat suka berbuat licik.” Setelah itu ia
menjentikkan jarinya.
~Clapp..
Rasanya
tidak mungkin jika aku harus mati dengan cara seperti ini. Seakan pasrah dengan
apa yang akan terjadi, aku hanya bisa menutup mataku dan ....
~Zzzzaaapp.. ~Jleb.. Jleb.. Jleb..
Apa yang terjadi? Mengapa tidak terasa
apapun setelah mereka melepaskan anak panahnya?
Perlahan
kubuka mataku. Sungguh betapa terkejutnya setelah melihat para pemanah yang
tadi mengarahkan panahnya padaku kini telah tergeletak tak berdaya dengan anak
panah yang tertusuk di masing-masing dada mereka. Ada apa dengan mereka? Apa
mereka saling menembakkan panah kepada teman-teman mereka?
“Ada
apa, Enutra? Kelihatannya kau terkejut?” Tyron menatapku sambil masih memasang
senyuman yang menyeringai di wajahnya. “Lucu sekali melihat ekspresi wajahmu
yang sedang terkejut itu.”
“Apa
maksudmu dengan semua ini?!” Aku berteriak pada Tyron.
“Whoaa..
Turunkan sedikit nada bicaramu dong.” Tyron lalu mengangkat sedikit pedang
miliknya yang tadi menancap pada tanah. “Bukankah tadi sudah kubilang kalau aku
bukanlah orang yang pengecut? Lagipula.. Aku juga tidak ingin orang yang
menarik sepertimu harus mati begitu saja.”
Gigiku
mengerat. Mataku menatap tajam. Rasanya
ingin ku tinju saja wajahnya. Dasar makhluk rendah tak bermoral, dengan
mudahnya ia menghilangkan nyawa orang lain dengan ekspresi wajah seolah tak
bersalah.
“Lalu,
apa sebenarnya yang kau inginkan?!” aku berteriak padanya.
“Akhirnya
pertanyaan yang kutunggu keluar juga dari mulutmu itu.” Lalu pedang Tyron yang
tadi diangkat sedikit olehnya digerakan dan ujungnya diarahkan tepat di hadapan
wajahku. “Aku ingin menantangmu untuk berduel satu lawan satu. Bagaimana?”
Apa
sebenarnya yang ia rencanakan? Mengapa tiba-tiba ia menantangku untuk berduel? Tanganku
mengepal sangat keras. Kemudian aku melihat semua teman-temanku yang sedang
berjuang melawan para pasukan Remidi. Terlihat bahwa mereka semakin tersudut
dan seolah tak ada lagi harapan bagi mereka untuk selamat. Apa yang harus aku
lakukan? Apa aku harus menerima tantangannya dan mengakhiri semua ini?
Lalu
perlahan aku mulai berdiri. “Baiklah aku menerima tantanganmu.” Tyron tersenyum
mendengar perkataanku. “Tapi.. Aku minta agar semua teman-temanku dibiarkan
selamat dan dihindarkan dari pertarungan ini.”
“Wah..
Wah.. Ada-ada saja permintaanmu ini. Tapi.. Baiklah.” Tyron lalu menjentikkan
jarinya dan setelah itu seketika seluruh pasukan beserta para monsternya
menghilang. Semakin terlihat jelas apa yang terjadi pada teman-temanku. Banyak
diantara mereka yang terluka dan tergeletak tak berdaya dengan luka yang parah.
Bagi beberapa yang masih bertahan, mereka terkejut dengan hilangnya pasukan
secara tiba-tiba. Tak lama kemudian mereka mulai memerhatikanku yang saat ini sedang
berhadapan dengan Tyron.
“Teman-teman!”
sontak aku berteriak pada mereka sebelum akhirnya dipotong oleh Tyron.
“Tunggu
dulu tentu saja tidak adil jika hanya kau yang meminta sesuatu.” Sekali lagi
Tyron menjentikkan jarinya. Mendadak seluruh temanku terjatuh tak berdaya
seolah lumpuh.
“Apa
yang kau lakukan pada mereka!!”
“Tenang
saja mereka hanya kulumpuhkan sementara sampai pertarungan kita selesai.” Dan
sekali lagi Tyron mengatakannya sambil tersenyum menyeringai.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar