CHAPTER 18 - PERLAWANAN
Berlari,
hanya itu yang kini kulakukan bersama Diksy. Meski kemungkinan keberhasilannya
sangat kecil namun aku selalu berpikir bahwa lebih baik bergerak dari pada hanya
diam dan menyerah pada keadaan, setidaknya filosofi itulah yang membuatku tetap
bertahan di dunia antah berantah ini. Dinding lorong semakin lama semakin
sempit, lorong yang asalnya selebar lima meter kini hanya tinggal sekitar satu
setengah meter.
Aku
masih berlari tepat di belakang Diksy. Meski ia terlihat sangat kelelahan dan
tubuhnya melemah karena penggunaan skil yang telah dilakukan sebelumnya, namun
semangatnya sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia akan menyerah.
Sungguh luar biasa tekad yang dimiliki seorang jenderal besar ini.
Sambil
berlari, kadang aku berpikir mengapa Tyrone lebih memilih cara seperti ini
untuk menghambat kami? Bukankah ada cara lain yang lebih efektif seperti
jebakan atau menempatkan pasukannya di tengah-tengah perjalanan? Tapi daripada
aku berpikir yang tidak-tidak, lebih baik tetap berlari dan waspada bila
tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada kami berdua.
***
Beberapa
saat setelah Genba berhasil meledakkan senjata penembak di gerbang kubah
kegelapan, di luar dugaan pasukan Remidi malah semakin terus berdatangan. Senjata
sinar penembak yang sebelumnya telah diledakkan pun muncul kembali dan bahkan
kini menyerang lebih agresif dari sebelumnya. Lagi-lagi Dionze hanya mencoba
berlindung di balik tamengnya bersama dengan Genba. Ia benar-benar tak habis
pikir dengan sikap Genba yang masih menampakkan wajah tenang pada saat seperti
ini.
Tak
berhenti-berhenti pasukan Remidi keluar dari gerbang kubah kegelapan. Namun ada
yang berbeda dengan sebelumnya, kini ada beberapa dari pasukan Remidi yang
tidak mematung setelah mendekati gerombolan kelompak Genba. Gas pematung yang
dikeluarkan semakin lama semakin menipis. Dionze menyadari bahwa hal seperti
ini pasti akan terjadi, namun apa boleh buat, Genba sama sekali tidak
menghiraukan apa yang ia katakan.
“Genba,
aku tidak bisa menahan tembakan ini lebih lama lagi.” Dionze mencoba untuk
berbicara pada Genba sembari terus menahan serangan tembakan bangsa Remidi.
“Aku mohon cepat lakukan sesuatu agar dapat keluar dari kekacauan ini!”
“Sabar.”
Genba berkata dengan tenang seolah bahwa kekacauan ini sama sekali bukan
masalah baginya. “Kita hanya butuh menunggu waktu sedikit lagi.”
“Menunggu
katamu??” Dionze berteriak marah. “Kita sedang terdesak seperti ini dan kau
hanya berkata menunggu?? Apa sebenarnya ada di kepalamu?”
Genba
hanya diam tersenyum sambil menatap Dionze yang marah.
Tak
lama setelah itu satu per satu pasukan remidi yang lolos tiba-tiba saja
berjatuhan tanpa sebab. Setelah ia perhatikan kembali dengan seksama, ternyata
mereka semua telah tertusuk oleh anak panah yang entah sejak kapan menancap di tubuh
mereka. Meski hal tersebut benar-benar di luar dugaannya, tapi ia tidak terlalu
terkejut oleh kejadian tersebut karena sebelum Dionze berangkat ia sempat
memperhatikan beberapa anak buah Genba yang pergi terpisah dengan kelompoknya, mungkin
saja merekalah yang membuat para pasukan remidi berjatuhan. Tapi biar
bagaimanapun juga tetap saja kemampuan mereka benar-benar sangat hebat hingga
dapat melumpuhkan pasukan Remidi dengan hanya menggunakan panah pada jarak yang
begitu jauh.
“Genba,
cepat lakukan sesuatu!” Dionze beteriak pada Genba.
Namun,
betapa terkejutnya ia setelah mengetahui bahwa Genba sudah tidak ada di
dekatnya lagi. Di tengah serangan Remidi yang tak kunjung henti menerjang, ia
menoleh ke segala arah untuk mencari Genba yang tiba-tiba saja menghilang.
“Dionze,
bersiaplah!!” terdengar suara teriakan dari atas Dionze.
“Tidak
mungkin..” Dionze tercengang setelah melihat apa yang terjadi. Ternyata, Genba
yang barusan menghilang kini sudah berada di langit dan sedang bersiap
menembakkan anak panah dari busurnya. Sungguh luar bisa Genba ini pikirnya.
Dalam keadaan terdesak, ia masih sempat melakukan hal-hal yang berada di luar
nalar.
Setelah
Genba menembakkan panahnya, seketika langit menjadi seperti hujan anak panah. Meski
apa yang dilakukan Genba sungguh luar biasa, namun Dionze masih berpikir bahwa skil
yang dilakukan oleh Genba itu tidak akan mampu mengalahkan Remidi semudah itu.
Ditambah lagi dengan keadaan Genba yang berada pada posisi rawan karena berada
di atas langit yang memiliki keterbatasan daya gerak. Tapi apa yang terjadi,
justru Genba lagi-lagi mengeluarkan skil aneh yang belum ia lihat sebelumnya. Genba
tetap berada di langit seolah gravitasi tak lagi berpengaruh padanya. Bukan
hanya itu, serangan-serangan bangsa remidi pun tidak dapat mengenainya. Setelah
itu, Genba tiba-tiba saja berputar-putar di langit dan kemudian meluncur ke
tanah dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Semua
pasukan Genba yang semula berada di dekat Dionze kemudian berlari menjauh darinya.
Seakan itu adalah sebuah pertanda, Dionze pun akhirnya mengikuti mereka sambil
menebas beberapa pasukan Remidi yang menghalanginya beberapa kali. Tindakannya kali
ini sangat tepat karena Genba meluncur tepat di atas posisinya tadi dan kini
menghantam tanah dengan sangat keras hingga menghasilkan getaran yang mirip
seperti gempa. Setelah itu kepulan asap hitam pekat bertebaran sesaat setelah Genba
menghantam tanah.
Dionze
tak dapat melihat apapun pada keadaan seperti ini. Ia menoleh ke segara arah
tapi tetap saja yang dilihatnya hanyalah kegelapan. Namun tiba-tiba saja
sesuatu telah menariknya dengan sangat kuat. Ia ditarik dengan sangat cepat hingga
tubuhnya terseret olehnya. Dionze sempat berontak karena tarikan itu, tapi
tetap saja ia tidak dapat melawan kekuatan tersebut. Hingga akhirnya ia sadar
bahwa ia sedang ditarik keluar dari kepulan asap hitam yang menghalangi
pandangannya. Perlahan-lahan mulai terlihat apa yang ada dibalik kabut asap
tersebut dan setelah di perhatikan ternyata ada banyak orang yang berlari
mengikutinya dengan sangat cepat. Orang-orang itu adalah para pasukan Genba dan
yang sedang menariknya ternyata adalah Genba sendiri. Dionze tak mempercayai
apa yang sedang ia alami saat ini, ternyata ada banyak orang yang begitu hebat
di dunia ini.
Kini
kabut asap sudah mulai menjauh dari mereka. Dioze akhirnya menyadari bahwa ia
baru saja melewati gerbang Remidi yang sebelumnya sangat mustahil untuk
dilewati olehnya. Genba kemudian menghentikan langkahnya bersamaan dengan para
pasukannya. Di depan sudah terlihat hambatan yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya.
Ribuan pasukan Remidi dengan persenjataan lengkap sedang menunggu mereka di
dalam kubah kegelapan.
***
Aku
dan Diksy semakin lama semakin terdesak oleh lorong yang semakin menyempit. Kini
lebar lorong tersebut sudah seukuran bahu kami. Entah apa lagi yang harus
dilakukan, tapi kami sudah sangat kelelahan. Diksy yang semula terlihat sangat bersemangat
pun kini mulai melambat dan kehilangan kekuatannya hingga membuatnya terjatuh melemah.
“Diksy,
kau tidak apa-apa?” aku mencoba untuk mengangkatnya dengan sekuat tenaga. Aku
terus berharap seandainya kekuatanku dapat dikendalikan sepenuhnya.
“Sudahlah
Enutra, sebaiknya kau tinggalkan saja aku sendirian di sini. Aku hanya
menghambatmu saja.” Diksy berkata selagi aku berjalan membopongnya.
“Tidak,
tidak mungkin aku meninggalkanmu begitu saja. Selain itu, hanya kau yang tahu
jalan untuk keluar dari lorong ini.”
“Tenang
saja, kau hanya perlu berlari mengikuti lorong ini saja.” Diksy mencoba untuk
melepaskan peganganku padanya. “Sudah tidak ada lagi percabangan di depan sana.
Hanya jaraknya saja yang cukup jauh.”
“Aku
tetap tidak akan meninggalkanmu meskipun aku sudah mengetahui jalan keluar
lorong ini.”
“Bodoh.
Kau benar-benar keras kepala.” Diksy tersenyum. “Untuk apa kau menolong seorang
penjahat sepertiku?”
“Selama
masih ada hati nurani dalam dirimu, aku tidak pernah menganggapmu sebagai
seorang penjahat.”
Diksy
terlihat tertegun setelah mendengar perkataanku tadi.
“Sudah
selesai kalian basa basinya?” Tiba-tiba muncul suara yang entah darimana
datangnya. Kali ini jelas bukanlah suara Tyrone, ini lebih seperti suara yang
ku kenal.
“Hei!
Imaji! Darimana saja kau?!” aku berteriak pada tikus yang sedang berjalan
melewati sela kakiku.
Diksy
terkejut dengan apa yang ia lihat, “Apa itu? Mengapa tikus itu bisa bicara??”
“Aah..
Nanti akan ku jelaskan. Cukup panjang ceritanya.” Aku kemudian mengalihkan
pembicaraan pada Imaji. “Imaji, apa kau tahu cara untuk mengeluarkan kami dari
sini?”
“Ah
kamu ini.. Setiap aku bertemu kamu pasti saja selalu meminta bantuanku.”
“Kurang
ajar.. Menurut kamu siapa yang membuatku seperti ini?” aku memicingkan mata. “Lagipula
bantuanmu sering kali tidak berguna.”
“Heeyy..
Maksudmu apa?”
“Sudahlah,
yang penting bisakah kamu menolong kami berdua?”
“Gimana
ya? Sebenarnya hanya kamu yang bisa mengeluarkan kalian berdua dari tempat ini.”
Diksy
hanya diam memperhatikan pembicaraan kami yang terlihat aneh baginya.
“Hanya
aku yang bisa?”
“Iya,
cuma kamu yang bisa. Oh ya, aku ke sini bukan ingin mengeluarkan kalian berdua,
tapi mencoba untuk memberitahukan hal yang penting padamu.”
“Apa
itu?”
“Lagi-lagi
Putri Vivian menghilang. Kali ini pihak kerajaan Eternality benar-benar dibuat
panik dengan kejadian yang sama secara berturut-turut.”
Seketika
aku merasakan panas yang amat sangat menerpa tubuhku setelah mendengar kabar
dari Imaji. Sama seperti tadi ketika aku keluar dari sel penjara, rasanya
seluruh tubuhku dikendalikan oleh kekuatan lain. Tidak dapat dipungkiri lagi,
kekuatan pemberian Imaji ini kembali muncul dan menguasai tubuhku. Diksi yang
saat ini berada di belakangku tercengang dengan apa yang ia lihat.
Aku
mengeluarkan pedangku dan mengarahkannya ke atas. Cahaya hijau terang bersinar menyilaukan
dari bilah pedangku. Entah apa yang sebenarnya kulakukan hingga akhirnya aku
menusukkan pedangku dengan sangat keras ke atas lantai lorong ini. Seketika cahaya
hijau terang tersebut bersinar semakin terang dan aku tak dapat mengingat lagi
apa yang terjadi setelahnya.
***
Rasanya
aku seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang melelahkan. Penglihatanku
terasa sangat buram dan masih sulit untuk melihat sekitar. Entah apa yang telah
terjadi pada saat tadi, kini aku agak sulit untuk mengingatnya.
Perlahan-lahan
penglihatanku yang buram mulai semakin jelas. Suara detak jantungku terdengar
seiring dengan kesadaran yang semakin membaik. Bahkan tubuhku yang berat kini
semakin terasa dan bisa ku kendalikan. Tapi semakin jelas mataku melihat apa
yang terjadi, aku semakin terkejut dengan apa yang kulihat saat ini. Perasaan
berat pada tangan kananku pun semakin lama semakin terasa. Ternyata setelah
semuanya terlihat jelas, aku akhirnya menyadari bahwa kini aku sedang
mengarahkan pedangku pada leher seorang lelaki yang sedang terduduk tepat di
hadapanku. Selain itu, aku melihat sekitarku yang terlihat sangat berantakan
seperti baru saja terjadi perkelahian yang sangat hebat. Kemudian aku menoleh pada
samping kiriku dan melihat Diksy yang sedang berusaha menahan pedangku dengan
benda aneh seperti cakar besi di tangannya seolah mencoba untuk mencegahku
membunuh lelaki tersebut. Sekali lagi aku memperhatikan orang yang sedang ku
arahkan pedang pada lehernya tersebut. Rasanya aku mengenali siapa orang itu. Tunggu..
Ternyata dia adalah Tyrone! Dalang dari semua kekacauan ini!
“Mau
sampai kapan kau mengarahkan pedangmu ini pada leherku?” Tyrone berbicara
padaku.
Aku
terdiam karena kebingungan dengan apa yang seharusnya kulakukan pada saat ini.
“Enutra,
sebaiknya kau jangan terlalu emosi dulu dan membunuhnya. Kita masih
membutuhkannya untuk mendapatkan informasi tentang hal lainnya.”
Aku
masih terdiam seperti orang bodoh. Entah apa yang sebenarnya terjadi ketika
kekuatan ini menguasai kesadaranku. Tapi sepertinya tadi aku hampir saja
membunuhnya.
“Sudah
kukatakan sejak tadi kalau kali ini bukanlah aku yang menyebabkan hilangnya
Putri Vivian!” Tyrone berteriak padaku.
Aku
baru menyadari saat kekuatanku datang ketika itu Imaji memberitahukanku bahwa Vivian
kembali menghilang. Aku pun kemudian menurunkan pedang yang sejak tadi mengarah
pada leher Tyrone. Diksy yang tadi menahan pedangku pun kemudian dengan cepat menggantikanku
untuk menahan pergerakan Tyrone.
“Kalau
begitu apa kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di kerajaan Eternality?” Diksy
menginterogasi Tyrone.
“Wah
ada apa ini? Kenapa kau malah menginterogasiku? Bukankah kita ini teman?”
Tyrone seolah mengejek Diksy.
“Jangan
banyak tingkah kau! Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai teman! Sebaliknya,
apa yang sebenarnya kau rencanakan dengan si busuk Algeas itu?!”
“Saat
ini aku sama sekali tidak melakukan rencana apapun dengannya.” Tyrone
tersenyum. “Yang aku lakukan sejak tadi hanyalah mengamati kalian berdua.”
“Banyak
omong kau!” Diksy kemudian menggoreskan cakarnya pada dada Tyrone.
“Sakit
juga ternyata. Tapi sekali lagi aku berkata jujur bahwa aku hanya mengamati
kalian berdua.” Tyrone memegang luka di dadanya akibat cakaran Diksy. “Ternyata
kekuatan unik Enutra terlihat mirip dengan kekuatan yang kami miliki.”
Aku
dan Diksy terkejut dengan apa yang barusan Tyrone katakan.
“Apa
maksudmu dengan kemiripan kekuatanku ini??” aku sangat keheranan dengan apa
yang Tyrone maksudkan.
“Ya,
kekuatan besarmu itu, kekuatan teleportasimu itu, dan juga pedang yang ada di
tanganmu terlihat mirip dengan yang kami miliki di sini. Untuk itulah aku
menangkapmu dan mengamatimu di dalam labirin tersebut”
“Omong
kosong! Enutra adalah bangsa asli dari dunia ini. Mana mungkin ia memiliki
kekuatan yang mirip dengan bangsa Remidi?” Diksy menyela omongan Tyrone.
“Kalau
begitu, darimana kau mendapatkan kekuatan tersebut, Enutra?” Tyrone bertanya
padaku dengan senyum mengerikan di wajahnya.
Kini
Diksy juga melihat ke padaku dengan tatapan penasaran. Aku tak bisa mengatakan
sepenuhnya bahwa sebenarnya aku pun juga bukan dari dunia ini. Entah mengapa
pertanyaan Tyrone terasa sangat berat untuk ku jawab.
“Kenapa
kau tidak menjawabnya Enutra? Dan siapa sebenarnya tikus yang bisa berbicara
itu?”
“Tikus
yang bisa berbicara? Hmm.. Menarik sekali.” Tyrone bergumam.
Aku
berpikir cukup keras agar semuanya tidak terasa mencurigakan, “Yang jelas aku
bukanlah bangsa Remidi, Tyrone.” Aku mengangkat pedangku ke atas. “Kekuatanku
ini kudapat setelah aku bersemedi sebelum mengalahkan Cerberus di Olympus.”
“Hahaha..
Kau berbohong. Aku yakin itu.” Tyrone tertawa.
Keringat
dingin muncul karena kepanikan yang ku alami. Aku berpikir bagaimana bisa ia
mengetahui kebohonganku?
“Jangan
banyak omong kau, Tyrone!” Diksy kemudian memukul wajah Tyrone dengan sikutnya.
“Mana mungkin Enutra berbohong.”
“Hmm..
Baiklah sementara ini aku percaya dengan ucapanmu itu. Dan sekarang apa yang
ingin kalian lakukan padaku?”
Sepertinya
aku cukup terselamatkan dengan adanya Diksy di pihakku. “Diksy, kini terserah
padamu ingin kau apakan dia. Sekarang aku ingin memastikan dimana Vivian
sebenarnya.”
“Baiklah,
tinggalkanlah kami berdua di sini. Akan kususul kau jika urusanku dengannya telah
selesai.”
Aku
mengacungkan jempolku tanda setuju dan kemudian pergi meninggalkan mereka
berdua dari ruangan Tyrone.
***
Tak
ada lagi skil spesial yang ditunjukkan Genba pada pertempuran kali ini. Seluruh
pasukan Genba bertarung dengan kekuatan skil standar yang mereka miliki. Begitu
pula dengan Dionze yang semakin lama semakin kewalahan dengan banyaknya pasukan
Remidi. Meski kemampuan para pasukan Remidi tersebut berada jauh dibawah kemampuan
bertarung Dionze, tapi jumlah yang terlalu banyak tidak bisa mengimbangi kekuatan
yang dimilikinya. Sesekali Dionze menggunakan skil spesial untuk mengalahkan
beberapa pasukan Remidi sekaligus, namun itu semua membutuhkan waktu yang cukup
lama untuk memunculkan kembali skil tersebut.
Entah
apa lagi yang sebenarnya dipikirkan oleh Genba setelah melalui ini semua,
bahkan Dionze pun masih belum mengetahui tujuan utama Genba menyerang kubah
kegelapan ini.
Selagi
ia bertarung, ia sempat melihat Genba mengarahkan panahnya tegak lurus ke
langit. Apalagi yang ia rencanakan pikirnya. Sementara itu ia perhatikan bahwa
pasukan Genba pun semakin lama semakin kewalahan menghadapi pasukan Remidi yang
jumlahnya hampir tak terbatas ini.
“Genba,
apalagi yang kau rencanakan setelah ini?” Dionze berteriak pada Genba.
Genba
tidak menjawabnya dan lebih memilih untuk tetap bertarung melawan pasukan
Remidi yang ada di hadapannya. Dionze tidak menaruh curiga kali ini, mungkin
saja ia tidak mendengar teriakannya karena saat ini keadaan sedang sangat
ramai.
Tiba-tiba
satu per satu pasukan Genba mulai berjatuhan. Genba pun terlihat panik dengan
keadaan ini. Dionze kebingungan dengan sikap Genba yang berubah seperti ini.
Apakah mungkin rencana yang dimiliki Genba telah gagal?
Namun
sesuatu yang aneh lagi-lagi terjadi. Cahaya-cahaya putih muncul begitu saja
dari arah luar kubah dan menumbangkan banyak pasukan Remidi. Dionze tak dapat
melihat siapa sebenarnya yang melakukan serangan itu karena kepulan asap pekat menghalangi
gerbang kubah Remidi.
Samar-samar
Dionze mendengar suara deru kuda mendekat seiring dengan serangan sinar putih
yang menjatuhkan banyak pasukan Remidi.
“Dionze!!”
Dionze kemudian mendengar seseorang telah memanggilnya. Suara tersebut adaah
suara dari seorang wanita yang sepertinya ia kenal.
Sedikit
demi sedikit akhirnya terlihat seorang wanita dengan menunggangi kuda sambil
menembakkan cahaya-cahaya aura pada para pasukan Remidi. Dionze pun perlahan mulai
mengetahui siapa penunggang kuda tersebut.
“Mikoto!
Apa yang kamu lakukan di sini?!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar