1 Desember 2013

DUNIA SEMU #18


CHAPTER 18 - PERLAWANAN

            Berlari, hanya itu yang kini kulakukan bersama Diksy. Meski kemungkinan keberhasilannya sangat kecil namun aku selalu berpikir bahwa lebih baik bergerak dari pada hanya diam dan menyerah pada keadaan, setidaknya filosofi itulah yang membuatku tetap bertahan di dunia antah berantah ini. Dinding lorong semakin lama semakin sempit, lorong yang asalnya selebar lima meter kini hanya tinggal sekitar satu setengah meter.
            Aku masih berlari tepat di belakang Diksy. Meski ia terlihat sangat kelelahan dan tubuhnya melemah karena penggunaan skil yang telah dilakukan sebelumnya, namun semangatnya sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bahwa ia akan menyerah. Sungguh luar biasa tekad yang dimiliki seorang jenderal besar ini.

            Sambil berlari, kadang aku berpikir mengapa Tyrone lebih memilih cara seperti ini untuk menghambat kami? Bukankah ada cara lain yang lebih efektif seperti jebakan atau menempatkan pasukannya di tengah-tengah perjalanan? Tapi daripada aku berpikir yang tidak-tidak, lebih baik tetap berlari dan waspada bila tiba-tiba saja sesuatu terjadi pada kami berdua.
***

            Beberapa saat setelah Genba berhasil meledakkan senjata penembak di gerbang kubah kegelapan, di luar dugaan pasukan Remidi malah semakin terus berdatangan. Senjata sinar penembak yang sebelumnya telah diledakkan pun muncul kembali dan bahkan kini menyerang lebih agresif dari sebelumnya. Lagi-lagi Dionze hanya mencoba berlindung di balik tamengnya bersama dengan Genba. Ia benar-benar tak habis pikir dengan sikap Genba yang masih menampakkan wajah tenang pada saat seperti ini.
            Tak berhenti-berhenti pasukan Remidi keluar dari gerbang kubah kegelapan. Namun ada yang berbeda dengan sebelumnya, kini ada beberapa dari pasukan Remidi yang tidak mematung setelah mendekati gerombolan kelompak Genba. Gas pematung yang dikeluarkan semakin lama semakin menipis. Dionze menyadari bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi, namun apa boleh buat, Genba sama sekali tidak menghiraukan apa yang ia katakan.
            “Genba, aku tidak bisa menahan tembakan ini lebih lama lagi.” Dionze mencoba untuk berbicara pada Genba sembari terus menahan serangan tembakan bangsa Remidi. “Aku mohon cepat lakukan sesuatu agar dapat keluar dari kekacauan ini!”
            “Sabar.” Genba berkata dengan tenang seolah bahwa kekacauan ini sama sekali bukan masalah baginya. “Kita hanya butuh menunggu waktu sedikit lagi.”
            “Menunggu katamu??” Dionze berteriak marah. “Kita sedang terdesak seperti ini dan kau hanya berkata menunggu?? Apa sebenarnya ada di kepalamu?”
            Genba hanya diam tersenyum sambil menatap Dionze yang marah.
            Tak lama setelah itu satu per satu pasukan remidi yang lolos tiba-tiba saja berjatuhan tanpa sebab. Setelah ia perhatikan kembali dengan seksama, ternyata mereka semua telah tertusuk oleh anak panah yang entah sejak kapan menancap di tubuh mereka. Meski hal tersebut benar-benar di luar dugaannya, tapi ia tidak terlalu terkejut oleh kejadian tersebut karena sebelum Dionze berangkat ia sempat memperhatikan beberapa anak buah Genba yang pergi terpisah dengan kelompoknya, mungkin saja merekalah yang membuat para pasukan remidi berjatuhan. Tapi biar bagaimanapun juga tetap saja kemampuan mereka benar-benar sangat hebat hingga dapat melumpuhkan pasukan Remidi dengan hanya menggunakan panah pada jarak yang begitu jauh.
            “Genba, cepat lakukan sesuatu!” Dionze beteriak pada Genba.
            Namun, betapa terkejutnya ia setelah mengetahui bahwa Genba sudah tidak ada di dekatnya lagi. Di tengah serangan Remidi yang tak kunjung henti menerjang, ia menoleh ke segala arah untuk mencari Genba yang tiba-tiba saja menghilang.
            “Dionze, bersiaplah!!” terdengar suara teriakan dari atas Dionze.
            “Tidak mungkin..” Dionze tercengang setelah melihat apa yang terjadi. Ternyata, Genba yang barusan menghilang kini sudah berada di langit dan sedang bersiap menembakkan anak panah dari busurnya. Sungguh luar bisa Genba ini pikirnya. Dalam keadaan terdesak, ia masih sempat melakukan hal-hal yang berada di luar nalar.
            Setelah Genba menembakkan panahnya, seketika langit menjadi seperti hujan anak panah. Meski apa yang dilakukan Genba sungguh luar biasa, namun Dionze masih berpikir bahwa skil yang dilakukan oleh Genba itu tidak akan mampu mengalahkan Remidi semudah itu. Ditambah lagi dengan keadaan Genba yang berada pada posisi rawan karena berada di atas langit yang memiliki keterbatasan daya gerak. Tapi apa yang terjadi, justru Genba lagi-lagi mengeluarkan skil aneh yang belum ia lihat sebelumnya. Genba tetap berada di langit seolah gravitasi tak lagi berpengaruh padanya. Bukan hanya itu, serangan-serangan bangsa remidi pun tidak dapat mengenainya. Setelah itu, Genba tiba-tiba saja berputar-putar di langit dan kemudian meluncur ke tanah dengan kecepatan yang sangat tinggi.
            Semua pasukan Genba yang semula berada di dekat Dionze kemudian berlari menjauh darinya. Seakan itu adalah sebuah pertanda, Dionze pun akhirnya mengikuti mereka sambil menebas beberapa pasukan Remidi yang menghalanginya beberapa kali. Tindakannya kali ini sangat tepat karena Genba meluncur tepat di atas posisinya tadi dan kini menghantam tanah dengan sangat keras hingga menghasilkan getaran yang mirip seperti gempa. Setelah itu kepulan asap hitam pekat bertebaran sesaat setelah Genba menghantam tanah.
            Dionze tak dapat melihat apapun pada keadaan seperti ini. Ia menoleh ke segara arah tapi tetap saja yang dilihatnya hanyalah kegelapan. Namun tiba-tiba saja sesuatu telah menariknya dengan sangat kuat. Ia ditarik dengan sangat cepat hingga tubuhnya terseret olehnya. Dionze sempat berontak karena tarikan itu, tapi tetap saja ia tidak dapat melawan kekuatan tersebut. Hingga akhirnya ia sadar bahwa ia sedang ditarik keluar dari kepulan asap hitam yang menghalangi pandangannya. Perlahan-lahan mulai terlihat apa yang ada dibalik kabut asap tersebut dan setelah di perhatikan ternyata ada banyak orang yang berlari mengikutinya dengan sangat cepat. Orang-orang itu adalah para pasukan Genba dan yang sedang menariknya ternyata adalah Genba sendiri. Dionze tak mempercayai apa yang sedang ia alami saat ini, ternyata ada banyak orang yang begitu hebat di dunia ini.
            Kini kabut asap sudah mulai menjauh dari mereka. Dioze akhirnya menyadari bahwa ia baru saja melewati gerbang Remidi yang sebelumnya sangat mustahil untuk dilewati olehnya. Genba kemudian menghentikan langkahnya bersamaan dengan para pasukannya. Di depan sudah terlihat hambatan yang jauh lebih mengerikan dari sebelumnya. Ribuan pasukan Remidi dengan persenjataan lengkap sedang menunggu mereka di dalam kubah kegelapan.
***

            Aku dan Diksy semakin lama semakin terdesak oleh lorong yang semakin menyempit. Kini lebar lorong tersebut sudah seukuran bahu kami. Entah apa lagi yang harus dilakukan, tapi kami sudah sangat kelelahan. Diksy yang semula terlihat sangat bersemangat pun kini mulai melambat dan kehilangan kekuatannya hingga membuatnya terjatuh melemah.
            “Diksy, kau tidak apa-apa?” aku mencoba untuk mengangkatnya dengan sekuat tenaga. Aku terus berharap seandainya kekuatanku dapat dikendalikan sepenuhnya.
            “Sudahlah Enutra, sebaiknya kau tinggalkan saja aku sendirian di sini. Aku hanya menghambatmu saja.” Diksy berkata selagi aku berjalan membopongnya.
            “Tidak, tidak mungkin aku meninggalkanmu begitu saja. Selain itu, hanya kau yang tahu jalan untuk keluar dari lorong ini.”
            “Tenang saja, kau hanya perlu berlari mengikuti lorong ini saja.” Diksy mencoba untuk melepaskan peganganku padanya. “Sudah tidak ada lagi percabangan di depan sana. Hanya jaraknya saja yang cukup jauh.”
            “Aku tetap tidak akan meninggalkanmu meskipun aku sudah mengetahui jalan keluar lorong ini.”
            “Bodoh. Kau benar-benar keras kepala.” Diksy tersenyum. “Untuk apa kau menolong seorang penjahat sepertiku?”
            “Selama masih ada hati nurani dalam dirimu, aku tidak pernah menganggapmu sebagai seorang penjahat.”
            Diksy terlihat tertegun setelah mendengar perkataanku tadi.
            “Sudah selesai kalian basa basinya?” Tiba-tiba muncul suara yang entah darimana datangnya. Kali ini jelas bukanlah suara Tyrone, ini lebih seperti suara yang ku kenal.
            “Hei! Imaji! Darimana saja kau?!” aku berteriak pada tikus yang sedang berjalan melewati sela kakiku.
            Diksy terkejut dengan apa yang ia lihat, “Apa itu? Mengapa tikus itu bisa bicara??”
           “Aah.. Nanti akan ku jelaskan. Cukup panjang ceritanya.” Aku kemudian mengalihkan pembicaraan pada Imaji. “Imaji, apa kau tahu cara untuk mengeluarkan kami dari sini?”
            “Ah kamu ini.. Setiap aku bertemu kamu pasti saja selalu meminta bantuanku.”
            “Kurang ajar.. Menurut kamu siapa yang membuatku seperti ini?” aku memicingkan mata. “Lagipula bantuanmu sering kali tidak berguna.”
            “Heeyy.. Maksudmu apa?”
            “Sudahlah, yang penting bisakah kamu menolong kami berdua?”
            “Gimana ya? Sebenarnya hanya kamu yang bisa mengeluarkan kalian berdua dari tempat ini.”
            Diksy hanya diam memperhatikan pembicaraan kami yang terlihat aneh baginya.     
            “Hanya aku yang bisa?”
            “Iya, cuma kamu yang bisa. Oh ya, aku ke sini bukan ingin mengeluarkan kalian berdua, tapi mencoba untuk memberitahukan hal yang penting padamu.”
            “Apa itu?”
            “Lagi-lagi Putri Vivian menghilang. Kali ini pihak kerajaan Eternality benar-benar dibuat panik dengan kejadian yang sama secara berturut-turut.”
            Seketika aku merasakan panas yang amat sangat menerpa tubuhku setelah mendengar kabar dari Imaji. Sama seperti tadi ketika aku keluar dari sel penjara, rasanya seluruh tubuhku dikendalikan oleh kekuatan lain. Tidak dapat dipungkiri lagi, kekuatan pemberian Imaji ini kembali muncul dan menguasai tubuhku. Diksi yang saat ini berada di belakangku tercengang dengan apa yang ia lihat.
            Aku mengeluarkan pedangku dan mengarahkannya ke atas. Cahaya hijau terang bersinar menyilaukan dari bilah pedangku. Entah apa yang sebenarnya kulakukan hingga akhirnya aku menusukkan pedangku dengan sangat keras ke atas lantai lorong ini. Seketika cahaya hijau terang tersebut bersinar semakin terang dan aku tak dapat mengingat lagi apa yang terjadi setelahnya.
***

            Rasanya aku seperti baru saja terbangun dari tidur panjang yang melelahkan. Penglihatanku terasa sangat buram dan masih sulit untuk melihat sekitar. Entah apa yang telah terjadi pada saat tadi, kini aku agak sulit untuk mengingatnya.
            Perlahan-lahan penglihatanku yang buram mulai semakin jelas. Suara detak jantungku terdengar seiring dengan kesadaran yang semakin membaik. Bahkan tubuhku yang berat kini semakin terasa dan bisa ku kendalikan. Tapi semakin jelas mataku melihat apa yang terjadi, aku semakin terkejut dengan apa yang kulihat saat ini. Perasaan berat pada tangan kananku pun semakin lama semakin terasa. Ternyata setelah semuanya terlihat jelas, aku akhirnya menyadari bahwa kini aku sedang mengarahkan pedangku pada leher seorang lelaki yang sedang terduduk tepat di hadapanku. Selain itu, aku melihat sekitarku yang terlihat sangat berantakan seperti baru saja terjadi perkelahian yang sangat hebat. Kemudian aku menoleh pada samping kiriku dan melihat Diksy yang sedang berusaha menahan pedangku dengan benda aneh seperti cakar besi di tangannya seolah mencoba untuk mencegahku membunuh lelaki tersebut. Sekali lagi aku memperhatikan orang yang sedang ku arahkan pedang pada lehernya tersebut. Rasanya aku mengenali siapa orang itu. Tunggu.. Ternyata dia adalah Tyrone! Dalang dari semua kekacauan ini!
            “Mau sampai kapan kau mengarahkan pedangmu ini pada leherku?” Tyrone berbicara padaku.
            Aku terdiam karena kebingungan dengan apa yang seharusnya kulakukan pada saat ini.
            “Enutra, sebaiknya kau jangan terlalu emosi dulu dan membunuhnya. Kita masih membutuhkannya untuk mendapatkan informasi tentang hal lainnya.”
            Aku masih terdiam seperti orang bodoh. Entah apa yang sebenarnya terjadi ketika kekuatan ini menguasai kesadaranku. Tapi sepertinya tadi aku hampir saja membunuhnya.
            “Sudah kukatakan sejak tadi kalau kali ini bukanlah aku yang menyebabkan hilangnya Putri Vivian!” Tyrone berteriak padaku.
            Aku baru menyadari saat kekuatanku datang ketika itu Imaji memberitahukanku bahwa Vivian kembali menghilang. Aku pun kemudian menurunkan pedang yang sejak tadi mengarah pada leher Tyrone. Diksy yang tadi menahan pedangku pun kemudian dengan cepat menggantikanku untuk menahan pergerakan Tyrone.
            “Kalau begitu apa kau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di kerajaan Eternality?” Diksy menginterogasi Tyrone.
            “Wah ada apa ini? Kenapa kau malah menginterogasiku? Bukankah kita ini teman?” Tyrone seolah mengejek Diksy.
            “Jangan banyak tingkah kau! Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai teman! Sebaliknya, apa yang sebenarnya kau rencanakan dengan si busuk Algeas itu?!”
            “Saat ini aku sama sekali tidak melakukan rencana apapun dengannya.” Tyrone tersenyum. “Yang aku lakukan sejak tadi hanyalah mengamati kalian berdua.”
            “Banyak omong kau!” Diksy kemudian menggoreskan cakarnya pada dada Tyrone.
            “Sakit juga ternyata. Tapi sekali lagi aku berkata jujur bahwa aku hanya mengamati kalian berdua.” Tyrone memegang luka di dadanya akibat cakaran Diksy. “Ternyata kekuatan unik Enutra terlihat mirip dengan kekuatan yang kami miliki.”
            Aku dan Diksy terkejut dengan apa yang barusan Tyrone katakan.
            “Apa maksudmu dengan kemiripan kekuatanku ini??” aku sangat keheranan dengan apa yang Tyrone maksudkan.
            “Ya, kekuatan besarmu itu, kekuatan teleportasimu itu, dan juga pedang yang ada di tanganmu terlihat mirip dengan yang kami miliki di sini. Untuk itulah aku menangkapmu dan mengamatimu di dalam labirin tersebut”
            “Omong kosong! Enutra adalah bangsa asli dari dunia ini. Mana mungkin ia memiliki kekuatan yang mirip dengan bangsa Remidi?” Diksy menyela omongan Tyrone.
            “Kalau begitu, darimana kau mendapatkan kekuatan tersebut, Enutra?” Tyrone bertanya padaku dengan senyum mengerikan di wajahnya.
            Kini Diksy juga melihat ke padaku dengan tatapan penasaran. Aku tak bisa mengatakan sepenuhnya bahwa sebenarnya aku pun juga bukan dari dunia ini. Entah mengapa pertanyaan Tyrone terasa sangat berat untuk ku jawab.
            “Kenapa kau tidak menjawabnya Enutra? Dan siapa sebenarnya tikus yang bisa berbicara itu?”
            “Tikus yang bisa berbicara? Hmm.. Menarik sekali.” Tyrone bergumam.
            Aku berpikir cukup keras agar semuanya tidak terasa mencurigakan, “Yang jelas aku bukanlah bangsa Remidi, Tyrone.” Aku mengangkat pedangku ke atas. “Kekuatanku ini kudapat setelah aku bersemedi sebelum mengalahkan Cerberus di Olympus.”
            “Hahaha.. Kau berbohong. Aku yakin itu.” Tyrone tertawa.
            Keringat dingin muncul karena kepanikan yang ku alami. Aku berpikir bagaimana bisa ia mengetahui kebohonganku?
            “Jangan banyak omong kau, Tyrone!” Diksy kemudian memukul wajah Tyrone dengan sikutnya. “Mana mungkin Enutra berbohong.”
            “Hmm.. Baiklah sementara ini aku percaya dengan ucapanmu itu. Dan sekarang apa yang ingin kalian lakukan padaku?”
            Sepertinya aku cukup terselamatkan dengan adanya Diksy di pihakku. “Diksy, kini terserah padamu ingin kau apakan dia. Sekarang aku ingin memastikan dimana Vivian sebenarnya.”
            “Baiklah, tinggalkanlah kami berdua di sini. Akan kususul kau jika urusanku dengannya telah selesai.”
            Aku mengacungkan jempolku tanda setuju dan kemudian pergi meninggalkan mereka berdua dari ruangan Tyrone.
***

            Tak ada lagi skil spesial yang ditunjukkan Genba pada pertempuran kali ini. Seluruh pasukan Genba bertarung dengan kekuatan skil standar yang mereka miliki. Begitu pula dengan Dionze yang semakin lama semakin kewalahan dengan banyaknya pasukan Remidi. Meski kemampuan para pasukan Remidi tersebut berada jauh dibawah kemampuan bertarung Dionze, tapi jumlah yang terlalu banyak tidak bisa mengimbangi kekuatan yang dimilikinya. Sesekali Dionze menggunakan skil spesial untuk mengalahkan beberapa pasukan Remidi sekaligus, namun itu semua membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memunculkan kembali skil tersebut.
            Entah apa lagi yang sebenarnya dipikirkan oleh Genba setelah melalui ini semua, bahkan Dionze pun masih belum mengetahui tujuan utama Genba menyerang kubah kegelapan ini.
            Selagi ia bertarung, ia sempat melihat Genba mengarahkan panahnya tegak lurus ke langit. Apalagi yang ia rencanakan pikirnya. Sementara itu ia perhatikan bahwa pasukan Genba pun semakin lama semakin kewalahan menghadapi pasukan Remidi yang jumlahnya hampir tak terbatas ini.
            “Genba, apalagi yang kau rencanakan setelah ini?” Dionze berteriak pada Genba.
            Genba tidak menjawabnya dan lebih memilih untuk tetap bertarung melawan pasukan Remidi yang ada di hadapannya. Dionze tidak menaruh curiga kali ini, mungkin saja ia tidak mendengar teriakannya karena saat ini keadaan sedang sangat ramai.
            Tiba-tiba satu per satu pasukan Genba mulai berjatuhan. Genba pun terlihat panik dengan keadaan ini. Dionze kebingungan dengan sikap Genba yang berubah seperti ini. Apakah mungkin rencana yang dimiliki Genba telah gagal?
            Namun sesuatu yang aneh lagi-lagi terjadi. Cahaya-cahaya putih muncul begitu saja dari arah luar kubah dan menumbangkan banyak pasukan Remidi. Dionze tak dapat melihat siapa sebenarnya yang melakukan serangan itu karena kepulan asap pekat menghalangi gerbang kubah Remidi.
            Samar-samar Dionze mendengar suara deru kuda mendekat seiring dengan serangan sinar putih yang menjatuhkan banyak pasukan Remidi.
            “Dionze!!” Dionze kemudian mendengar seseorang telah memanggilnya. Suara tersebut adaah suara dari seorang wanita yang sepertinya ia kenal.
            Sedikit demi sedikit akhirnya terlihat seorang wanita dengan menunggangi kuda sambil menembakkan cahaya-cahaya aura pada para pasukan Remidi. Dionze pun perlahan mulai mengetahui siapa penunggang kuda tersebut.
            “Mikoto! Apa yang kamu lakukan di sini?!”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar