3 November 2013

DUNIA SEMU #17


CHAPTER 17 - LABIRIN

            “Siapa kamu?”
            “Aku Diksy.”
            Entah siapa orang yang saat ini berada di sampingku, dia sangat pendiam dan sulit untuk kuajak bicara. Setiap kali aku bertanya, ia hanya menjawab seperlunya dengan menampakkan wajah yang sangat serius. Matanya tajam dan terlihat menyeramkan seolah berkata bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara. Karena sikapnya itu, kini aku hanya mengikuti kemana ia pergi tanpa dapat berbuat apapun. Semoga saja ia bisa membantuku keluar dari tempat ini.

            Sesaat sebelum aku mengeluarkannya dari gerbang aneh tadi, aku sempat mendengar ia berteriak memaki-maki Tyrone. Sepertinya lelaki yang ia sebutkan itu memang dalang di balik semua ini. Sementara aku hanya bisa berspekulasi karena masih belum berani bertanya pada Diksy mengenai siapa itu Tyrone. Bahkan sebab mengapa ia dikurung dalam tempat aneh itu pun aku masih belum berani bertanya padanya, matanya yang terus menatap tajam benar-benar terlihat menyeramkan.
            Tak lama setelah kami berdua berjalan cukup jauh, tiba-tiba Diksy menghentikan langkahnya tepat di depan sebuah pintu besi dengan tulisan yang hurufnya sama sekali tidak aku kenal. Ia menyentuh pintu itu dengan tangan kanannya dan melakukan posisi kuda-kuda seolah akan mendobraknya. Aku hanya melihatnya dengan wajah keheranan, apa sebenarnya yang akan dia lakukan? Mana mungkin pintu besi yang terliht sangat kuat dan kokoh itu akan ia dobrak dengan tangan kosong? Tapi ...
            ~Daaankk!!!
            Aku tercengang dengan apa yang baru saja aku lihat. Pintu yang tadi terlihat sangat kokoh itu kini terbuka dan jatuh dengan sebuah penyokan besar karena pukulan dahsyat Diksy. Ia memukul pintu tersebut seolah-olah seperti memukul pintu yang terbuat dari lilin mainan.
            “Luar biasa!!” sontak aku berteriak setelah melihat aksinya yang sangat mengagumkan. “Jurus apa itu?”
            Tapi, ia sama sekali tidak merespon apapun yang telah kukatakan tadi dan lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan tanpa berkata sedikit pun. Sungguh sangat dingin sekali dia pikirku. Meskipun jika ia benar-benar sedang sangat marah, setidaknya ia merespon dengan apa yang tadi kukatakan.
            “Haaahh.. Kalau memang itu maumu untuk tetap diam, aku tidak akan peduli lagi dengan apa yang kau lakukan.” Aku mencoba untuk memancingnya meski sebenarnya jantungku berdebar sangat keras karena ketakutan.
            “Maaf, tapi aku sedang berkonsentrasi.” Ia akhirnya merespons perkataanku. “Aku harus mencari si Tyrone terkutuk itu.”
            “Eh? Jadi selama ini kau bukan sedang mencari jalan keluar?” aku berhenti sesaat. “Haduh.. Rasanya salah jika aku mengikutimu selama ini. Tapi sekitar beberapa saat yang lalu aku sempat bertemu dengannya.”
            Diksy menghentikan langkahnya. Tangannya mengepal dan urat-uratnya muncul. Ia menoleh ke arahku dan kemudian berjalan mendekatiku. “DIMANA KAU BERTEMU DENGANNYA?!!” Tiba-tiba saja ia berteriak tepat di depan wajahku sambil menarik baju kusam yang kukenakan.
            Keringat dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Jantungku berdegup semakin kencang. Mataku mengernyit karena ketakutan. “Tu.. Tunggu dulu. Tadi aku bertemu dengannya saat ia mengunjungi selku.” Aku menjawabnya dengan terbata-bata.
            “Sel katamu?” Diksy terlihat keheranan setelah mendengar penjelasanku.
            “Ia, aku disekap olehnya di salah satu sel ujung lorong tadi.”
            “Apa?? Kenapa kau disekap olehnya?” Perlahan ia mulai melepaskan cengkramannya. “Kau Enutra, bukan?”
            “Eh? Darimana kau tahu namaku?” Aku terkejut setelah ia menyebutkan namaku, padahal aku sama sekali belum memperkenalkan diriku. “Iya, aku Enutra.”
            “Aku adalah jenderal besar dari kerajaan Olympus.”
            “Je.. Je.. Jendral besar Olympus??” tercengang aku setelah mendengar penjelasannya. “Tapi memangnya kenapa kalau aku disekap olehnya?”
            Diksy kemudian membalikkan tubuhnya membelakangiku. “Aku minta maaf atas perlakuanku tadi.”
            Lagi-lagi aku terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah itu. “I.. Iya.”
            “Aku bersikap seperti tadi karena kupikir bahwa kau juga berkomplot dengan Tyrone.”
            “Aku? Berkomplot?”
            “Sebelumnya aku telah dijebak oleh Algeas hingga dikurung dalam tempat aneh tadi.”
            “Ya, memang Raja Algeas berkomplot dengan Tyrone. Tadi pun aku sempat bertemu dengannya. Benar-benar tidak disangka.”
            “Oh ya, bagaimana kalau kita mengobrol sambil berjalan? Aku benar-benar ingin segera menghajar tyrone dan si tua Algeas.”
            “Ah iya baiklah.” Aku tersenyum canggung karena perubahan sikapnya yang drastis padaku.
            “Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa disekap oleh Tyrone?”
            “Aku pun tidak mengerti. Awalnya itu terjadi ketika aku beserta teman-temanku di pelatihan Velika mencoba untuk keluar dari istana. Saat kami berhasil keluar, tiba-tiba saja muncul orang-orang bertopeng dan berjubah hitam turun dari atas pohon. Aku tidak mengingat apa-apa lagi. Setelah itu akhirnya baru kusadari bahwa aku sudah berada di dalam penjara ini.”
            “Kenapa kau benar-benar ingin keluar dari istana? Bukankah menyenangkan berada di dalam sana?”
            “Entahlah.. Bila dibandingkan teman-temanku yang hanya sekedar bosan, aku memiliki motivasi tersendiri untuk keluar dari istana itu.”
            “Apa itu?”
            “Saat itu Putri Vivian dikabarkan menghilang karena diculik. Entah mengapa, ada perasaan yang sangat kuat dalam diriku untuk berusaha menyelamatkannya.”
            Tiba-tiba saja Diksy memegang pundakku sambil menundukkan wajahnya, “Maafkan aku.” Diksy berkata padaku dengan nada bersalah.
            “Eh?? Maaf untuk apa?”
            “Sebenarnya itu adalah ideku untuk menculik Putri Vivian.”
            Aku terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan, “Tu.. Tunggu.. Apa yang baru saja kamu katakan??”
            “Ya, sebelumnya aku juga sempat berkomplot dengan Tyrone hingga akhirnya dikhianati olehnya.”
            Aku benar-benar tercengang setelah mendengar kata-katanya barusan. Kakiku berhenti melangkah. Tanganku mengepal. Otot-ototku menegang. “Jadi selama ini aku telah menolong dan berbicara bersama dengan orang yang telah membuat Vivi menderita?”
            “Maafkan aku.. Aku benar-benar minta maaf. Tapi aku terpaksa untuk melakukan itu semua.”
            Emosiku yang semula hampir meluap, dengan cepat mereda setelah mendengar perkataannya tadi.
            “Aku terpaksa melakukan itu semua. Menghancurkan pasukanku sendiri, membom Kota Velika, menjebak Dionze, dan menculik Putri Vivian.” Ia mengepalkan tangannya sambil menundukkan wajahnya. Sekilas aku sempat melihat tetesan air mata menetes saat ia melanjutkan perkataannya. “Itu semua kulakukan karena kini keluargaku berada dalam ancaman Tyrone. Maafkan aku. Aku sangat menyesal.”
            Aku menepuk pundak Diksy. “Bila memang itu benar adanya, mari kita lupakan sementara semua kesalahan yang telah kau perbuat.”
            Diksy menaikkan wajahnya dan kemudian menatapku. “Tapi..”
            “Untuk saat ini sebaiknya kau selamatkan dulu keluargamu.” Kini kedua tanganku berada pada pundaknya. “Setelah itu, kau dapat menebus semua kesalahan yang selama ini telah kau perbuat.”
            Diksy memegang tanganku yang kini sedang berada pada pundaknya. Ia mengangguk menandakan ia setuju dengan apa yang kukatakan tadi.
            Namun tak lama setelah pembicaraan yang penuh dengan emosi tadi berlangsung, tiba-tiba saja Diksy kembali memasang ekspresi wajah yang sangat serius seperti saat petama kali aku bertemu dengannya.
            “Enutra, apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh?”
            “Apa maksudmu dengan sesuatu yang aneh?” aku mengamati sekelilingku mencoba mencari tahu maksud dari Diksy tersebut.
            “Apa kau tidak sadar bahwa tempat ini terlalu sepi untuk ukuran penjara yang menyimpan tahanan kuat seperti kita berdua?”
            “Ah iya.. Meskipun tadi sempat ada beberapa penjaga yang menyerangku, tapi setelah itu tidak ada lagi penjaga yang datang.”
            “Setahuku Tyrone mempunyai benda sihir yang dapat menampilkan gambar keseluruhan wilayah yang dia kuasai, termasuk dengan penjara ini. Tapi kenapa tidak ada satupun pasukannya yang menahan kita?”
            “Sebenarnnya ketika ia bertemu denganku tadi, salah satu anak buahnya ada yang datang dan memberi tahu bahwa ada sekelompok orang yang mencoba mendekati kubah kegelapan ini. Mungkin itu yang menyebabkan kita tidak bertemu dengan pasukannya.”
            “Hmm.. Tapi tetap saja seharusnya ada penjaga yang mencoba untuk menahan kita. Bukankah kau tahu sendiri kalau pasukan Remidi itu jumlahnya hampir tak terhingga?”
            “Iya juga.” Aku memegang daguku sambil berpikir, “Ngomong-ngomong, sebenarnya apakah kau tahu jalan keluar dari lorong penjara ini?”
            “Jujur aku belum pernah berada di daerah penjara ini.”
            “Lalu kenapa tadi kau masuk ke lorong ini hingga menghancurkan pintu besi??”
            “Aku hanya mengira-ngira saja.. Hahaha.. Kebetulan aku sedang sangat kesal dan ingin menghancurkan sesuatu.”
            “Jadi selama ini kita hanya berjalan tanpa arah??” aku memicingkan mata pada Diksy.
            “Hahaha.. Maaf-maaf.. Setidaknya aku menggunakan instingku agar dapat keluar dari sini.”
            Aku tak menyangka dibalik wajah seriusnya ternyata ia memiliki sifat yang sangat berbanding terbalik dengan apa yang aku pikirkan selama ini.
            Tiba-tiba saja cahaya redup lorong penjara berubah menjadi merah sesaat setelah Diksy menyelesaikan kata-katanya tadi.
            “HAHAHA.. Ternyata kalian akhirnya menyadarinya juga!” Muncul suara keras yang entah datangnya darimana setelah seluruh lorong berubah menjadi berwarna merah.
            “Sialan! Dimana kau, Tyrone?!” Diksy berteriak pada suara misterius tersebut.
            “Menyenangkan sekali melihat kalian dari sini.”
            “Dasar pengecut! Ayo keluar kamu!”
            “Sebenarnya ada perbedaan yang sangat tipis antara seorang pengecut dan seorang yang cerdas.”
          “Jangan banyak omong kau!” Diksy kemudian melihat ke arahku, “Ayo sebaiknya kita berlari dan mencari dia!”
            “Tapi, bagaimana caranya? Bukan kah kau sendiri tidak tahu dimana dia? Bahkan kau pun sama sekali tidak mengenali tempat ini.” Aku membalas ajakan Diksy.
            “Sebenarnya aku mempunyai skil rahasia yang selama ini ku simpan.” Diksy kemudian menggerakkan tangannya seperti gaya ninja yang akan mengeluarkan jurus. “Skil ini kuberi nama Rastreig. Berguna untuk mencari jalan bila terjebak dalam suatu tempat.”
            “Kenapa kau tidak menggunakannya dari tadi??”
            “Skil ini mempunyai kelemahan. Jika aku menggunakannya, maka kekuatan penyeranganku akan habis dan tidak bisa berbuat apa-apa jika sesuatu terjadi. Tadi aku masih mencurigaimu makanya aku tidak menggunakannya.”
            “Bukankah sekarang juga berbahaya??”
            “Tidak, setidaknya ada orang kuat yang kini berada di pihakku. Aku mohon bantuannya.”
            Aku terdiam setelah ia selesai berkata-kata. Aku tidak percaya bahwa ia begitu mudah mempercayakan keselamatannya padaku, padahal bisa saja aku lari meninggalkannya setelah jalan keluar ditemukan. Tapi, aku tidak akan mungkin seperti itu. Aku tahu bahwa dia pasti adalah seorang pria yang baik. Takkan ku biarkan satu orangpun menyerangnya.
            Diksy kali ini tidak berbicara sepatah kata pun. Matanya terpejam berkonsentrasi. Tangannya yang saling mengepal mengeluarkan sinar kuning berbentuk seperti asap bercahaya. Sinar itu kemudian berpendar kuat dan mengisi seluruh lorong tempat ini. Aku yakin bahwa sinar itulah yang nantinya akan menuntun kami menuju jalan keluar.
            “Takkan kubiarkan kalian keluar semudah itu.” Suara itu muncul kembali. Aku tahu itu pasti suara Tyrone, seperti yang dikatakan Diksy sebelumnya. Entah apa yang ia rencanakan, tapi instingku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. “Bukan usaha namanya jika tidak ada hambatan yang menghalangi.”
            Setelah Tyrone selesai bersuara, tak ada apapun yang terjadi. Sementara itu Diksy masih pada posisinya dan tidak bergerak sedikitpun. Dalam hatiku bertanya-tanya apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh tyrone? Tak ada suara ataupun pergerakan apapun yang mencurigakan setelah Tyrone berhenti berbicara pada kami. Aku tak bisa melakukan apa-apa lagi selain menunggu Diksy menyelesaikan skil rahasianya itu.
            “Aneh, setidaknya ada sesuatu yang terjadi. Tapi.. Ada baiknya juga, Diksy pun dapat terus berkonsentrasi hingga skilnya berhasil ia selesaikan.” Punggungku disenderkan pada tembok lorong yang sempit ini. “Tunggu.. Setahuku tadi lorong ini tidak sesempit sekarang?” Aku memerhatikan tembok-tembok yang menutupi lorong ini. Benar saja! Temboknya bergerak semakin menyempit!
            Aku berusaha untuk menyadarkan Diksy. Tapi ia tetap pada posisinya seolah arwahnya meninggalkan tubuh.
            “Sial! Bila saja aku bisa mengendalikan kekuatanku. Mungkin diriku dengan kekuatanku dapat menemukan jalan keluar dari sini.” Aku bergumam sendiri dengan emosi yang meluap.
            “Selesai!”
            Aku menoleh pada Diksy yang akhirnya selesai menggunakan skil rahasianya.
            “Bagaimana? Bisakah kita keluar dari sini?”
            “Meski aku sudah menemukan jalan keluar, tapi jaraknnya terlalu jauh untuk dilalui.”
            “Bahaya.”
            “Memangnya ada apa?”
            “Dinding lorong ini semakin lama semakin menyempit dan akan meremukkan kita berdua.”
            “Celaka, meskipun kita berlari sekuat tenaga. Kita tidak akan bisa keluar bila ini terus terjadi. Ditambah kekuatanku yang saat ini telah menurun drastis.”
            “Tidak, sebaiknya ayo kita berlari sebisa kita! Aku akan membantumu berlari.”
            “Baiklah, setidaknya kita harus tetap berjuang.”
            “Ya.”
            Kami pun akhirnya berlari secepat mungkin meski kemungkinannya kecil untuk dapat keluar dari tempat ini.
***

            “Genba.. Maaf, bukannya aku tidak yakin dengan peralatanmu ini, tapi bukankah gas pematungmu itu suatu saat akan habis jika terus menerus dikeluarkan?” Dionze bertanya pada Genba sembari berjalan melewati pasukan Remidi yang mematung setiap kali mendekati mereka.
            “Ya begitulah, maka dari itu kau harus tetap bersiap jika hal itu terjadi.” Genba menjawabnya dengan sangat tenang seolah hal tersebut bukanlah suatu masalah yang besar.
            Sudah sekitar dua jam berlalu semenjak pasukan pertama bangsa remidi mematung saat melewati Dionze dan yang lainnya. Kini pintu gerbang kubah kegelapan mulai terlihat. Tak henti-henti pasukan Remidi keluar dari gerbang tersebut mencoba untuk menyerang meskipun saat mendekat akhirnya mereka mematung. Tentu saja hal ini tidak serta merta membuat Dionze tenang. Ia yakin akan ada serangan yang lebih besar menanti mereka saat gas pematung ini habis. Dionze benar-benar tak habis pikir dengan apa yang ada di benak Genba, yang jelas ia harus benar-benar bersiap dengan apapun yang akan terjadi.
            ~Zzaapp.. DHUAARRRR..
            Sebuah sinar merah muncul dari depan gerbang dan meledakkan tanah yang berada sangat dekat dengan kelompok terdepan pasukan Genba. Sesuai perkiraan Dionze, senjata mengerikan Bangsa Remidi akhirnya muncul juga, untunglah sementara ini tidak ada satu pun diantara mereka yang terluka oleh serangan tadi.
            ~Zzaaapp.. Dhuaar.. Dhuaarr.. Dhuaarr..
            Selang beberapa menit setelah tembakan pertama, kini serentetan tembakan kembali menyerang kami dengan membabi buta. Formasi Genba yang semula sangat rapi dan tertib akhirnya terpecah tak beraturan demi menghindari serangan tersebut. Tidak seperti yang lainnya yang mencoba untuk menghindar, Dionze malah justru terus bertahan sambil mencari Genba yang tiba-tiba menghilang. Sebagai seorang tanker[1], ia bertahan dari tembakan dengan kekuatan tameng di tangan kirinya.
            Dionze cukup kagum dengan ketahanan peralatan perang yang diberikan Genba padanya. Meski terlihat lemah dan ringan, namun peralatan-peralatan ini memiliki daya tahan yang sangat tinggi.
            “Sial, disaat seperti ini Genba malah menghilang entah kemana meninggalkanku dan para anak buahnya.” Dionze berkata pada dirinya sendiri sembari terus menahan serangan yang terus menerus menembaki dirinya. “Apakah mungkin.. Genba sebenarnya menjebakku??”
            “Mana mungkin aku menjebakmu”
            Dionze terkejut, Genba tiba-tiba saja muncul dihadapannya dengan membawa busur panah yang sangat besar di tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil anak panah besi yang diambil dari kantong yang berada di punggungnya. Entah darimana peralatan itu berasal, tapi sepertinya ia terlihat terbiasa menggunakan senjata tersebut. Sesaat kemudian akhirnya ia mulai memasang bidikan pada sumber tembakan dari balik tubuh Dionze yang digunakannya sebagai tempat berlindung. Saat ini Dionze hanya memperhatikan Genba di balik tamengnya. Genba masih belum melepaskan anak panahnya hingga akhirnya..
            ~Wusshh..
            Anak panah Genba melesat dengan sangat cepat mengarah pada sumber tembakan. Bila dibandingkan dengan serangan yang dilakukan oleh Bangsa Remidi, tentu saja terlihat jelas bahwa senjata Genba tidak akan mampu mengalahkannya.
            Tapi..
            ~BOOOMMMM..
            Sebuah ledakan besar terdengar dari arah tembakan panah Genba hingga akhirnya menghentikan rentetan tembakan bangsa Remidi.
            “Tidak mungkin?!” Dionze terpana dengan apa yang baru saja dilihatnya.
            “Sudah kukatakan, masih banyak hal menarik yang ingin ku perlihatkan padamu.” Genba berkata pada Dionze sambil tersenyum dan kembali berjalan menuju gerbang kubah.
            “Mustahil, sebenarnya siapa dia dan darimana semua peralatan ini ia dapatkan??”
***



[1] Tanker adalah suatu karakter yang bertugas mengarahkan serangan musuh atau perhatian terhadap diri mereka sendiri untuk melindungi unit atau karakter lain serta memiliki pertahanan tubuh yang sangat baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar