CHAPTER 17 - LABIRIN
“Siapa
kamu?”
“Aku
Diksy.”
Entah
siapa orang yang saat ini berada di sampingku, dia sangat pendiam dan sulit
untuk kuajak bicara. Setiap kali aku bertanya, ia hanya menjawab seperlunya
dengan menampakkan wajah yang sangat serius. Matanya tajam dan terlihat
menyeramkan seolah berkata bahwa ia sedang tidak ingin diajak bicara. Karena
sikapnya itu, kini aku hanya mengikuti kemana ia pergi tanpa dapat berbuat
apapun. Semoga saja ia bisa membantuku keluar dari tempat ini.
Sesaat
sebelum aku mengeluarkannya dari gerbang aneh tadi, aku sempat mendengar ia
berteriak memaki-maki Tyrone. Sepertinya lelaki yang ia sebutkan itu memang dalang
di balik semua ini. Sementara aku hanya bisa berspekulasi karena masih belum
berani bertanya pada Diksy mengenai siapa itu Tyrone. Bahkan sebab mengapa ia
dikurung dalam tempat aneh itu pun aku masih belum berani bertanya padanya,
matanya yang terus menatap tajam benar-benar terlihat menyeramkan.
Tak
lama setelah kami berdua berjalan cukup jauh, tiba-tiba Diksy menghentikan
langkahnya tepat di depan sebuah pintu besi dengan tulisan yang hurufnya sama
sekali tidak aku kenal. Ia menyentuh pintu itu dengan tangan kanannya dan
melakukan posisi kuda-kuda seolah akan mendobraknya. Aku hanya melihatnya
dengan wajah keheranan, apa sebenarnya yang akan dia lakukan? Mana mungkin
pintu besi yang terliht sangat kuat dan kokoh itu akan ia dobrak dengan tangan
kosong? Tapi ...
~Daaankk!!!
Aku
tercengang dengan apa yang baru saja aku lihat. Pintu yang tadi terlihat sangat
kokoh itu kini terbuka dan jatuh dengan sebuah penyokan besar karena pukulan dahsyat
Diksy. Ia memukul pintu tersebut seolah-olah seperti memukul pintu yang terbuat
dari lilin mainan.
“Luar
biasa!!” sontak aku berteriak setelah melihat aksinya yang sangat mengagumkan.
“Jurus apa itu?”
Tapi,
ia sama sekali tidak merespon apapun yang telah kukatakan tadi dan lebih
memilih untuk melanjutkan perjalanan tanpa berkata sedikit pun. Sungguh sangat
dingin sekali dia pikirku. Meskipun jika ia benar-benar sedang sangat marah,
setidaknya ia merespon dengan apa yang tadi kukatakan.
“Haaahh..
Kalau memang itu maumu untuk tetap diam, aku tidak akan peduli lagi dengan apa yang
kau lakukan.” Aku mencoba untuk memancingnya meski sebenarnya jantungku
berdebar sangat keras karena ketakutan.
“Maaf,
tapi aku sedang berkonsentrasi.” Ia akhirnya merespons perkataanku. “Aku harus
mencari si Tyrone terkutuk itu.”
“Eh?
Jadi selama ini kau bukan sedang mencari jalan keluar?” aku berhenti sesaat.
“Haduh.. Rasanya salah jika aku mengikutimu selama ini. Tapi sekitar beberapa
saat yang lalu aku sempat bertemu dengannya.”
Diksy
menghentikan langkahnya. Tangannya mengepal dan urat-uratnya muncul. Ia menoleh
ke arahku dan kemudian berjalan mendekatiku. “DIMANA KAU BERTEMU DENGANNYA?!!”
Tiba-tiba saja ia berteriak tepat di depan wajahku sambil menarik baju kusam
yang kukenakan.
Keringat
dingin mengucur deras dari seluruh tubuhku. Jantungku berdegup semakin kencang.
Mataku mengernyit karena ketakutan. “Tu.. Tunggu dulu. Tadi aku bertemu
dengannya saat ia mengunjungi selku.” Aku menjawabnya dengan terbata-bata.
“Sel
katamu?” Diksy terlihat keheranan setelah mendengar penjelasanku.
“Ia,
aku disekap olehnya di salah satu sel ujung lorong tadi.”
“Apa??
Kenapa kau disekap olehnya?” Perlahan ia mulai melepaskan cengkramannya. “Kau
Enutra, bukan?”
“Eh?
Darimana kau tahu namaku?” Aku terkejut setelah ia menyebutkan namaku, padahal aku
sama sekali belum memperkenalkan diriku. “Iya, aku Enutra.”
“Aku
adalah jenderal besar dari kerajaan Olympus.”
“Je..
Je.. Jendral besar Olympus??” tercengang aku setelah mendengar penjelasannya.
“Tapi memangnya kenapa kalau aku disekap olehnya?”
Diksy kemudian membalikkan tubuhnya membelakangiku. “Aku minta maaf atas perlakuanku tadi.”
Diksy kemudian membalikkan tubuhnya membelakangiku. “Aku minta maaf atas perlakuanku tadi.”
Lagi-lagi
aku terkejut dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah itu. “I.. Iya.”
“Aku
bersikap seperti tadi karena kupikir bahwa kau juga berkomplot dengan Tyrone.”
“Aku?
Berkomplot?”
“Sebelumnya
aku telah dijebak oleh Algeas hingga dikurung dalam tempat aneh tadi.”
“Ya,
memang Raja Algeas berkomplot dengan Tyrone. Tadi pun aku sempat bertemu
dengannya. Benar-benar tidak disangka.”
“Oh
ya, bagaimana kalau kita mengobrol sambil berjalan? Aku benar-benar ingin segera
menghajar tyrone dan si tua Algeas.”
“Ah
iya baiklah.” Aku tersenyum canggung karena perubahan sikapnya yang drastis
padaku.
“Ngomong-ngomong,
kenapa kau bisa disekap oleh Tyrone?”
“Aku
pun tidak mengerti. Awalnya itu terjadi ketika aku beserta teman-temanku di
pelatihan Velika mencoba untuk keluar dari istana. Saat kami berhasil keluar,
tiba-tiba saja muncul orang-orang bertopeng dan berjubah hitam turun dari atas
pohon. Aku tidak mengingat apa-apa lagi. Setelah itu akhirnya baru kusadari bahwa
aku sudah berada di dalam penjara ini.”
“Kenapa
kau benar-benar ingin keluar dari istana? Bukankah menyenangkan berada di dalam
sana?”
“Entahlah..
Bila dibandingkan teman-temanku yang hanya sekedar bosan, aku memiliki motivasi
tersendiri untuk keluar dari istana itu.”
“Apa
itu?”
“Saat
itu Putri Vivian dikabarkan menghilang karena diculik. Entah mengapa, ada
perasaan yang sangat kuat dalam diriku untuk berusaha menyelamatkannya.”
Tiba-tiba
saja Diksy memegang pundakku sambil menundukkan wajahnya, “Maafkan aku.” Diksy
berkata padaku dengan nada bersalah.
“Eh??
Maaf untuk apa?”
“Sebenarnya
itu adalah ideku untuk menculik Putri Vivian.”
Aku
terkejut dengan apa yang baru saja ia katakan, “Tu.. Tunggu.. Apa yang baru
saja kamu katakan??”
“Ya,
sebelumnya aku juga sempat berkomplot dengan Tyrone hingga akhirnya dikhianati
olehnya.”
Aku
benar-benar tercengang setelah mendengar kata-katanya barusan. Kakiku berhenti
melangkah. Tanganku mengepal. Otot-ototku menegang. “Jadi selama ini aku telah
menolong dan berbicara bersama dengan orang yang telah membuat Vivi menderita?”
“Maafkan
aku.. Aku benar-benar minta maaf. Tapi aku terpaksa untuk melakukan itu semua.”
Emosiku
yang semula hampir meluap, dengan cepat mereda setelah mendengar perkataannya
tadi.
“Aku
terpaksa melakukan itu semua. Menghancurkan pasukanku sendiri, membom Kota
Velika, menjebak Dionze, dan menculik Putri Vivian.” Ia mengepalkan tangannya
sambil menundukkan wajahnya. Sekilas aku sempat melihat tetesan air mata
menetes saat ia melanjutkan perkataannya. “Itu semua kulakukan karena kini keluargaku
berada dalam ancaman Tyrone. Maafkan aku. Aku sangat menyesal.”
Aku
menepuk pundak Diksy. “Bila memang itu benar adanya, mari kita lupakan
sementara semua kesalahan yang telah kau perbuat.”
Diksy
menaikkan wajahnya dan kemudian menatapku. “Tapi..”
“Untuk
saat ini sebaiknya kau selamatkan dulu keluargamu.” Kini kedua tanganku berada
pada pundaknya. “Setelah itu, kau dapat menebus semua kesalahan yang selama ini
telah kau perbuat.”
Diksy
memegang tanganku yang kini sedang berada pada pundaknya. Ia mengangguk
menandakan ia setuju dengan apa yang kukatakan tadi.
Namun
tak lama setelah pembicaraan yang penuh dengan emosi tadi berlangsung,
tiba-tiba saja Diksy kembali memasang ekspresi wajah yang sangat serius seperti
saat petama kali aku bertemu dengannya.
“Enutra,
apa kau tidak merasakan sesuatu yang aneh?”
“Apa
maksudmu dengan sesuatu yang aneh?” aku mengamati sekelilingku mencoba mencari
tahu maksud dari Diksy tersebut.
“Apa
kau tidak sadar bahwa tempat ini terlalu sepi untuk ukuran penjara yang
menyimpan tahanan kuat seperti kita berdua?”
“Ah
iya.. Meskipun tadi sempat ada beberapa penjaga yang menyerangku, tapi setelah
itu tidak ada lagi penjaga yang datang.”
“Setahuku
Tyrone mempunyai benda sihir yang dapat menampilkan gambar keseluruhan wilayah
yang dia kuasai, termasuk dengan penjara ini. Tapi kenapa tidak ada satupun
pasukannya yang menahan kita?”
“Sebenarnnya
ketika ia bertemu denganku tadi, salah satu anak buahnya ada yang datang dan
memberi tahu bahwa ada sekelompok orang yang mencoba mendekati kubah kegelapan
ini. Mungkin itu yang menyebabkan kita tidak bertemu dengan pasukannya.”
“Hmm..
Tapi tetap saja seharusnya ada penjaga yang mencoba untuk menahan kita.
Bukankah kau tahu sendiri kalau pasukan Remidi itu jumlahnya hampir tak
terhingga?”
“Iya
juga.” Aku memegang daguku sambil berpikir, “Ngomong-ngomong, sebenarnya apakah
kau tahu jalan keluar dari lorong penjara ini?”
“Jujur
aku belum pernah berada di daerah penjara ini.”
“Lalu kenapa tadi kau masuk ke lorong ini hingga menghancurkan pintu besi??”
“Lalu kenapa tadi kau masuk ke lorong ini hingga menghancurkan pintu besi??”
“Aku
hanya mengira-ngira saja.. Hahaha.. Kebetulan aku sedang sangat kesal dan ingin
menghancurkan sesuatu.”
“Jadi
selama ini kita hanya berjalan tanpa arah??” aku memicingkan mata pada Diksy.
“Hahaha..
Maaf-maaf.. Setidaknya aku menggunakan instingku agar dapat keluar dari sini.”
Aku
tak menyangka dibalik wajah seriusnya ternyata ia memiliki sifat yang sangat
berbanding terbalik dengan apa yang aku pikirkan selama ini.
Tiba-tiba
saja cahaya redup lorong penjara berubah menjadi merah sesaat setelah Diksy
menyelesaikan kata-katanya tadi.
“HAHAHA..
Ternyata kalian akhirnya menyadarinya juga!” Muncul suara keras yang entah
datangnya darimana setelah seluruh lorong berubah menjadi berwarna merah.
“Sialan!
Dimana kau, Tyrone?!” Diksy berteriak pada suara misterius tersebut.
“Menyenangkan
sekali melihat kalian dari sini.”
“Dasar
pengecut! Ayo keluar kamu!”
“Sebenarnya
ada perbedaan yang sangat tipis antara seorang pengecut dan seorang yang cerdas.”
“Jangan
banyak omong kau!” Diksy kemudian melihat ke arahku, “Ayo sebaiknya kita
berlari dan mencari dia!”
“Tapi,
bagaimana caranya? Bukan kah kau sendiri tidak tahu dimana dia? Bahkan kau pun
sama sekali tidak mengenali tempat ini.” Aku membalas ajakan Diksy.
“Sebenarnya
aku mempunyai skil rahasia yang selama ini ku simpan.” Diksy kemudian
menggerakkan tangannya seperti gaya ninja yang akan mengeluarkan jurus. “Skil
ini kuberi nama Rastreig. Berguna
untuk mencari jalan bila terjebak dalam suatu tempat.”
“Kenapa
kau tidak menggunakannya dari tadi??”
“Skil
ini mempunyai kelemahan. Jika aku menggunakannya, maka kekuatan penyeranganku
akan habis dan tidak bisa berbuat apa-apa jika sesuatu terjadi. Tadi aku masih
mencurigaimu makanya aku tidak menggunakannya.”
“Bukankah sekarang juga berbahaya??”
“Bukankah sekarang juga berbahaya??”
“Tidak,
setidaknya ada orang kuat yang kini berada di pihakku. Aku mohon bantuannya.”
Aku
terdiam setelah ia selesai berkata-kata. Aku tidak percaya bahwa ia begitu
mudah mempercayakan keselamatannya padaku, padahal bisa saja aku lari
meninggalkannya setelah jalan keluar ditemukan. Tapi, aku tidak akan mungkin
seperti itu. Aku tahu bahwa dia pasti adalah seorang pria yang baik. Takkan ku
biarkan satu orangpun menyerangnya.
Diksy
kali ini tidak berbicara sepatah kata pun. Matanya terpejam berkonsentrasi. Tangannya
yang saling mengepal mengeluarkan sinar kuning berbentuk seperti asap
bercahaya. Sinar itu kemudian berpendar kuat dan mengisi seluruh lorong tempat
ini. Aku yakin bahwa sinar itulah yang nantinya akan menuntun kami menuju jalan
keluar.
“Takkan
kubiarkan kalian keluar semudah itu.” Suara itu muncul kembali. Aku tahu itu
pasti suara Tyrone, seperti yang dikatakan Diksy sebelumnya. Entah apa yang ia
rencanakan, tapi instingku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. “Bukan
usaha namanya jika tidak ada hambatan yang menghalangi.”
Setelah
Tyrone selesai bersuara, tak ada apapun yang terjadi. Sementara itu Diksy masih
pada posisinya dan tidak bergerak sedikitpun. Dalam hatiku bertanya-tanya apa
yang sebenarnya akan dilakukan oleh tyrone? Tak ada suara ataupun pergerakan
apapun yang mencurigakan setelah Tyrone berhenti berbicara pada kami. Aku tak
bisa melakukan apa-apa lagi selain menunggu Diksy menyelesaikan skil rahasianya
itu.
“Aneh,
setidaknya ada sesuatu yang terjadi. Tapi.. Ada baiknya juga, Diksy pun dapat
terus berkonsentrasi hingga skilnya berhasil ia selesaikan.” Punggungku
disenderkan pada tembok lorong yang sempit ini. “Tunggu.. Setahuku tadi lorong
ini tidak sesempit sekarang?” Aku memerhatikan tembok-tembok yang menutupi
lorong ini. Benar saja! Temboknya bergerak semakin menyempit!
Aku
berusaha untuk menyadarkan Diksy. Tapi ia tetap pada posisinya seolah arwahnya
meninggalkan tubuh.
“Sial!
Bila saja aku bisa mengendalikan kekuatanku. Mungkin diriku dengan kekuatanku
dapat menemukan jalan keluar dari sini.” Aku bergumam sendiri dengan emosi yang
meluap.
“Selesai!”
Aku
menoleh pada Diksy yang akhirnya selesai menggunakan skil rahasianya.
“Bagaimana?
Bisakah kita keluar dari sini?”
“Meski
aku sudah menemukan jalan keluar, tapi jaraknnya terlalu jauh untuk dilalui.”
“Bahaya.”
“Memangnya
ada apa?”
“Dinding
lorong ini semakin lama semakin menyempit dan akan meremukkan kita berdua.”
“Celaka,
meskipun kita berlari sekuat tenaga. Kita tidak akan bisa keluar bila ini terus
terjadi. Ditambah kekuatanku yang saat ini telah menurun drastis.”
“Tidak,
sebaiknya ayo kita berlari sebisa kita! Aku akan membantumu berlari.”
“Baiklah,
setidaknya kita harus tetap berjuang.”
“Ya.”
Kami
pun akhirnya berlari secepat mungkin meski kemungkinannya kecil untuk dapat
keluar dari tempat ini.
***
“Genba..
Maaf, bukannya aku tidak yakin dengan peralatanmu ini, tapi bukankah gas pematungmu
itu suatu saat akan habis jika terus menerus dikeluarkan?” Dionze bertanya pada
Genba sembari berjalan melewati pasukan Remidi yang mematung setiap kali
mendekati mereka.
“Ya
begitulah, maka dari itu kau harus tetap bersiap jika hal itu terjadi.” Genba
menjawabnya dengan sangat tenang seolah hal tersebut bukanlah suatu masalah
yang besar.
Sudah
sekitar dua jam berlalu semenjak pasukan pertama bangsa remidi mematung saat
melewati Dionze dan yang lainnya. Kini pintu gerbang kubah kegelapan mulai
terlihat. Tak henti-henti pasukan Remidi keluar dari gerbang tersebut mencoba
untuk menyerang meskipun saat mendekat akhirnya mereka mematung. Tentu saja hal
ini tidak serta merta membuat Dionze tenang. Ia yakin akan ada serangan yang
lebih besar menanti mereka saat gas pematung ini habis. Dionze benar-benar tak
habis pikir dengan apa yang ada di benak Genba, yang jelas ia harus benar-benar
bersiap dengan apapun yang akan terjadi.
~Zzaapp.. DHUAARRRR..
Sebuah sinar merah muncul dari
depan gerbang dan meledakkan tanah yang berada sangat dekat dengan kelompok terdepan
pasukan Genba. Sesuai perkiraan Dionze, senjata mengerikan Bangsa Remidi
akhirnya muncul juga, untunglah sementara ini tidak ada satu pun diantara
mereka yang terluka oleh serangan tadi.
~Zzaaapp.. Dhuaar.. Dhuaarr.. Dhuaarr..
Selang beberapa menit setelah
tembakan pertama, kini serentetan tembakan kembali menyerang kami dengan
membabi buta. Formasi Genba yang semula sangat rapi dan tertib akhirnya terpecah
tak beraturan demi menghindari serangan tersebut. Tidak seperti yang lainnya
yang mencoba untuk menghindar, Dionze malah justru terus bertahan sambil mencari
Genba yang tiba-tiba menghilang. Sebagai seorang tanker[1], ia
bertahan dari tembakan dengan kekuatan tameng di tangan kirinya.
Dionze
cukup kagum dengan ketahanan peralatan perang yang diberikan Genba padanya. Meski
terlihat lemah dan ringan, namun peralatan-peralatan ini memiliki daya tahan
yang sangat tinggi.
“Sial,
disaat seperti ini Genba malah menghilang entah kemana meninggalkanku dan para
anak buahnya.” Dionze berkata pada dirinya sendiri sembari terus menahan
serangan yang terus menerus menembaki dirinya. “Apakah mungkin.. Genba
sebenarnya menjebakku??”
“Mana
mungkin aku menjebakmu”
Dionze
terkejut, Genba tiba-tiba saja muncul dihadapannya dengan membawa busur panah
yang sangat besar di tangan kirinya. Tangan kanannya mengambil anak panah besi
yang diambil dari kantong yang berada di punggungnya. Entah darimana peralatan
itu berasal, tapi sepertinya ia terlihat terbiasa menggunakan senjata tersebut.
Sesaat kemudian akhirnya ia mulai memasang bidikan pada sumber tembakan dari balik
tubuh Dionze yang digunakannya sebagai tempat berlindung. Saat ini Dionze hanya memperhatikan
Genba di balik tamengnya. Genba masih belum melepaskan anak panahnya hingga akhirnya..
~Wusshh..
Anak
panah Genba melesat dengan sangat cepat mengarah pada sumber tembakan. Bila
dibandingkan dengan serangan yang dilakukan oleh Bangsa Remidi, tentu saja terlihat
jelas bahwa senjata Genba tidak akan mampu mengalahkannya.
Tapi..
~BOOOMMMM..
Sebuah
ledakan besar terdengar dari arah tembakan panah Genba hingga akhirnya
menghentikan rentetan tembakan bangsa Remidi.
“Tidak
mungkin?!” Dionze terpana dengan apa yang baru saja dilihatnya.
“Sudah
kukatakan, masih banyak hal menarik yang ingin ku perlihatkan padamu.” Genba
berkata pada Dionze sambil tersenyum dan kembali berjalan menuju gerbang kubah.
“Mustahil,
sebenarnya siapa dia dan darimana semua peralatan ini ia dapatkan??”
***
[1] Tanker adalah suatu karakter yang bertugas mengarahkan
serangan musuh atau perhatian terhadap diri mereka sendiri untuk melindungi unit
atau karakter lain serta memiliki pertahanan tubuh yang sangat baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar