CHAPTER 4 - BUKIT CAHAYA
“Hoaamm..
Apa kamu yakin kita akan aman tidur di tengah hutan begini tanpa tenda?”
Sudah
sekitar dua belas jam semenjak aku pertama kali bertemu dengan seorang pria
bernama Dionze. Perjalananku menuju kediaman Raja Algeas mungkin baru
sepertiganya. Untuk sementara, malam ini kami berkemah dulu untuk mengisi
stamina yang telah kelelahan. Banyak hal yang telah dibicarakan selama
perjalanan tadi, namun masih terasa samar bagiku untuk memahami segala keanehan
dunia ini.
“Tenang saja tuan, aku akan
mengawasimu. Tapi sejauh ini tidak ada hal yang cukup mengancam keselamatan
kita.”
“Ooi,
Dionze.. Bisa kamu berhenti memanggilku dengan kata ‘tuan’?”
“Uh?
Kalau begitu apa yang harus saya katakan?”
“Terserah
apapun yang bisa mebuatmu nyaman.”, aku menyenderkan kepalaku di atas tumpukan
kain sebagai bantal.
“Bagaimana
jika Ksatria Cerberus?”
Aku
melihat sinis kepadanya.
“Uh..
Anda tidak menyukainya? Umm.. Kalau begitu, Ksatria Pengelana?”
Tatapan
sinisku masih belum berubah.
“Ha?
Baiklah aku akan memanggilmu Yang Mulia Enutra.”
“Sudah..
Cukup panggil aku Enutra saja. Tanpa gelar apapun. Dan berhentilah memanggilku
dengan kata ‘tuan’ dan ‘anda’. Geli aku mendengarnya.”
“Hee??
Ba.. Baiklah, Enutra.”, terlihat bahwa Dionze masih merasa canggung.
“Oh
ya, kamu tidak usah berjaga semalaman. Biarkan saja kita berjaga bergantian.
Staminamu pun harus tetap terjaga.”
“Okeh.”,
jempolnya diangkat mengarah kepadaku.
“Wak?
Ada kemajuan nih Bahasa Inggrisnya?”, kita pun tertawa bersama malam itu.
***
Hutan
Emerald pada malam hari ini sungguh sangat indah. Bintang-bintang berkelip memancarkan
cahaya indahnya diantara gelapnya langit malam. Terdengar suara jangkrik,
burung malam, dan kelelawar mengusik kesunyian. Hawa dingin menusuk kulit seiring
hembusan angin yang bergerak pelan dan tenang.
Amaryl
Leister, seorang gadis Healer[1]
pemula berjalan sendiri menyusuri gelapnya hutan di malam hari. Raut mukanya
memperlihatkan emosi yang penuh dengan kekesalan. Dia tidak tahan dengan
cibiran teman-temannya yang semenjak tadi siang terus-menerus berdengung di
kepalanya. Hanya ada satu cara agar dia dapat menenangkan dirinya, berjalan
menyusuri Hutan Emerald dan berlatih meningkatkan kemampuannya.
“Besok
akan kubuktikan kepada mereka semua kalau aku bukanlah seorang pecundang!”
Amaryl
adalah seorang siswi jurusan ilmu metafisik dari sekolah menengah atas Bellatorus,
Kota Emerald, Kerajaan Eternality. Gadis berkulit putih dengan rambut merah sepundak
ini merupakan anak dari pasangan Healer
terkenal di seluruh kerajaan yaitu Hamarold Leister dan Grisel Leister. Berbeda
dengan kedua orang tuanya yang sudah memiiki nama besar, Amaryl tidak memiliki
kemampuan sehebat mereka meski disebut-sebut sebagai satu-satunya pewaris ilmu
heal khusus milik keluarga Leister. Itu sebabnya Amaryl sering menjadi bahan
olokan oleh teman-temannya.
Malam
ini ia terus berjalan menyusuri Hutan Emerald yang gelap. Ada satu lokasi yang
selalu ia datangi sebagai tempat untuk menenangkan diri. Tempat itu merupakan
sebuah bukit bagian utara Hutan Emerald. Dari sini ia dapat melihat pemandangan
Kota Emerald dengan gemerlap cahaya lampunya yang indah. Tempat yang selalu
didatanginya hingga ia menyebutnya sebagai Bukit Cahaya.
Amaryl
duduk bersila menghadap lembah yang merupakan sisi perbatasan Kota Emerald. Ia
menutup matanya sembari mengepalkan kedua tangannya. Sesaat setelah itu, aura
cahaya berwarna putih bersinar terang menyelimuti tubuhnya. Kini bukit cahaya
itu benar-benar bercahaya olehnya.
Dari
balik semak-semak, seorang pria mengendap memerhatikan gadis yang bercahaya itu.
Wajahnya penuh kecurigaan seakan belum pernah melihat hal seperti ini. Langkah pria
itu semakin dekat. Amaryl tetap diam berkonsentrasi seolah-olah tidak menyadari
keberadaan pria itu di dekatnya.
Amaryl
masih duduk berkonsentrasi pada posisinya. Pria mencurigakan itu semakin lama
semakin mendekatinya hingga akhirnya menyentuh pundak si gadis. Amaryl
tersentak kaget dengan sentuhan itu, reflek ia mengeluarkan tenaga dalamnya dengan
memukul perut pria itu kuat-kuat hingga terlempar jauh ke atas dahan pohon.
“SIAPA
KAMUU!!??”, Amaryl berteriak dengan tatapan penuh kemarahan.
***
“Dionze,
kamu belum tidur?”
“Eh?
Iya.. Saya sedang berjaga.”
“Hmmm..
Malam ini aku ga bisa tidur. Besok pasti bakalan ngantuk banget. Mau gantian
jaga?”
Tanpa
banyak berkata, Dionze tiba-tiba bertukar posisi denganku.
“Dionze,
sebetulnya nama hutan ini apa ya? Rasanya aku tidak asing dengan hutan ini.”
“...”
“Wak??
Dia udah tidur lagi?? Cepet banget??”, aku menggerutu sendirian di tengah
kegelapan malam.
Dalam
kesendirian karena masih terjaga di hutan yang asing, akhirnya aku menikmati
suasana malam ini. Bintang-bintang berkelip memancarkan sinar putihnya. Semilir
angin tenang mengalir menyentuh kulit. Suara jangkrik yang seiring bergantian
mengisi di kesunyian malam. Suasana seperti ini mengingatkanku ketika ikut
dalam kegiatan perkemahan saat masih SMA.
“Langitnya
indah sekali. Bintang-bintang yang gemerlapan seperti ini tidak mungkin bisa
kulihat di Bandung.”
Tiba-tiba
sesuatu terjadi dari sebelah utara hutan. Muncul cahaya putih yang berpendar
sangat terang seperti cahaya lampu laser di suatu acara perayaan, hanya saja
cahaya itu diam mengarah ke langit.
Rasanya
aku ingin berjalan ke arah sumber cahaya itu, tapi si Dionze ini masih
terlelap. Entah apa yang harus dilakukan. Dalam pikiranku berkecamuk dua
pendapat yang berbeda antara pergi menuju sumber cahaya itu atau tetap disini
bersama Dionze. Aku mengguncang-guncang badan Dionze, tapi dia masih tertidur
dengan nyenyak.
“Dionze,
bangun cepat!!”
“...”
Entah
seberapa kuat aku mengguncangnya, tapi si jendral itu masih menikmati tidurnya.
Rasa penasaranku semakin tak terbendung hingga akhirnya aku menyeret Dionze
beserta kantung tidurnya menuju sumber cahaya itu.
Dengan
napas yang terengah-engah, aku dan Dionze akhirnya berhasil mendekati sumber
cahaya mencurigakan itu. Ternyata yang kulihat adalah seorang gadis remaja berumur
sekitar tujuh belas tahunan. Kulitnya putih merona dengan rambut coklat
sepundak, cukup cantik setelah sekian lama tidak melihat wanita sejak berada di
dunia ini. Gadis itu duduk bersila dengan dikelilingi oleh sinar putih yang
sangat terang. Entah apa sesuatu yang mengelilinginya itu, tapi aku berpikir
bahwa gadis itu sedang mengalami suatu hal yang buruk.
Perlahan
aku berjalan mendekatinya dan meninggalkan Dionze yang sedang terlelap di balik
semak-semak. Gadis itu masih terdiam seolah tidak terusik dengan keberadaanku.
Selangkah demi selangkah jarak kami semakin dekat hingga akhirnya tanganku
menyentuh pundaknya.
Tapi,
tiba-tiba gadis itu mengepalkan tangannya dan mengarahkan tangannya ke perutku
hingga membuatku terlempar jauh dan tersangkut di dahan pohon.
“SIAPA
KAMUU!!??”, gadis itu berteriak kepadaku dengan tatapan penuh kemarahan.
“Waa..
Kamu sendiri siapa?? Seenaknya mukul orang. Orang-orang disini memang ga ada
yang bisa diajak ramah!!”, aku berteriak dari atas dahan pohon.
“Ada
apa ya ribut-ribut?”, Dionze yang sedari tadi tidur tiba-tiba terbangun.
“Kamu
dari tadi dibangunin baru sekarang bangun! Bantuin saya turun dari sini woy!”,
aku masih berteriak dari atas dahan pohon.
“Kalian
ini siapa sebenarnya??”, gadis itu terlihat kebingungan dengan apa yang
terjadi.
“Eh,
Enutra kenapa kamu ada diatas situ?”
“Jangan
banyak tanya, yang penting bantuin turunin aku!”
Setelah
beberapa lama berselang, akhirnya aku turun dari dahan pohon dibantu oleh
Dionze. Aku menjelaskan kepada semuanya tentang insiden yang telah terjadi
barusan.
“Oh
jadi gitu ya? Maaf.. Maaf..”, gadis itu menjulurkan lidahnya sambil melakukan
teknik healing unik seperti tenaga
dalam.
“Errr..
Ngomong-ngomong siapa kamu?”, aku bertanya kepada si gadis.
“Aku
Amaryl Leister. Siswi dari sekolah menengah Bellatorus.”
“Leister?
Sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”, Dionze berusaha mengingat-ingat.
“Ah
bukan siapa-siapa kok.. Oh ya, sepertinya aku pernah melihat kakak. Nama kakak
Enutra bukan?”, gadis itu menunjuk ke arahku sambil tersenyum.
“Eh,
iya.. Kamu mengenalku?”
“Wah
masa lupa? Aku kan adik kelasmu sewaktu kakak masih sekolah. Maaf ya tadi aku
bertindak yang kurang sopan.”
“Oh
ya? Maaf.. Maaf.. Akhir-akhir ini aku jadi pelupa.. Ngomong-ngomong masalah
tadi ga usah dibahas, lagian itu salah aku juga yang sudah mengganggu
konsentrasi kamu.”
“Ah
ya! Aku ingat!”, Dionze tiba-tiba menyela, “Kamu anak dari pasangan healer legendaris Hamarold Leister dan
Grisel Leister kan? Mereka itu adalah dua dari tiga healer legendaris pejuang Arthemis. Tapi sayangnya mereka gugur
ketika melawan Tifon[2]
dan menyisakan Clairess sebagai satu-satunya healer legendaris pejuang Arthemis yang masih hidup.”
Aku
kebingungan dengan yang dikatakan oleh Dionze. Tapi ketika ia menjelaskan hal
tersebut, Amaryl kelihatan tidak senang dan menundukkan wajahnya. Wajar saja
jika seseorang menceritakan hal yang membuat orang lain mengingat akan kenangan
buruknya, pasti ia akan merasakan kesedihan.
“Euu..
Amaryl kamu tidak apa-apa? Maaf jika aku membuatmu mengingat kedua orang
tuamu.”, Dionze mencoba untuk menghibur Amaryl.
“Gak
apa-apa kok, kak. Ngomong-ngomong kakak siapa ya? Aku sama sekali belum pernah
melihat kakak sebelumnya.”, Amaryl terlihat berusaha untuk menghilangkan rasa
sedihnya.
“Aku Dionze dari Kerajaan Olympus, salam
kenal.”
“Kenapa malam-malam begini kamu ada di
tengah hutan sendirian? Bukankah berbahaya?”, aku bertanya pada Amaryl.
“Aku sedang berlatih meningkatkan skill healing dengan auraku. Hanya disinilah
tempat yang bisa membuatku tenang, di bukit cahaya.”, Amaryl menatap gemerlap
cahaya lampu Kota Emerald dari sisi bukit terjal.
“Sepertinya kamu memang menikmati tempat
ini.”, aku pun ikut menatap cahaya lampu kota dari atas bukit ini.
“Sekarang sudah terlalu larut apa tidak
sebaiknya kamu pulang saja?”, Dionze bertanya pada Amaryl.
“Ah iya, latihanku malam ini sampai
disini saja deh. Coba kalau kalian tidak datang, mungkin aku bisa berlatih
lebih lama.”
“Hee? Apa maksudmu?”, aku memicingkan
mata.
“Ahaha.. Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong
kalian tinggal dimana? Sepertinya kalian sedang berkemah ya?”
“Iya, aduh ga usah ngajak kita nginap di
rumahmu.”, aku berbicara sambil tertawa cengengesan.
“Siapaaa juga yang minta kalian nginap??
Bukankah di bawah ada banyak penginapan? Sebaiknya kalian menginap disana
saja.”, Amaryl menunjuk ke Kota Emerald.
“Enutra, makanya jangan kepedean gitu.”,
Dionze menyindirku.
Aku akhirnya hanya tertunduk kecewa sambil
berjalan mengikuti Amaryl dan Dionze di depanku.
***
Pagi ini lagi-lagi aku masih terbangun di
dunia yang tidak kukenal. Meski berkali-kali aku terbangun dalam kekecewaan, namun
harapanku masih belum pupus untuk bisa terbebas dari dunia ini. Di sebuah dunia
paralel yang berjalan sejajar dengan duniaku.
Aku berjalan menuju teras penginapan yang
telah ditunjukan Amaryl semalam. Sekarang posisiku berada di sebuah kota kecil
di pinggiran Kerajaan Eternality, Kota Emerald. Bentuk penginapan ini berupa bangunan
bergaya eropa abad pertengahan. Bukan hanya itu, bangunan sekitar pun bentuknya
tidak jauh berbeda dengan penginapan.
Jika
dipikir-pikir, dunia ini terasa sangat aneh. Aku mempelajari berbagai macam hal
dari semuanya, bukankah dunia paralel itu adalah dunia yang berjalan saling
sejajar satu sama lainnya? Tetapi yang tampak adalah dunia ini seperti duniaku
di abad pertengahan dengan segala peralatannya yang masih tradisional. Belum
pernah aku melihat peralatan modern selama berada di sini. Semua ini jadi
mengingatkanku dengan sebuah game MMORPG[3]
yang biasa aku mainkan ketika masih di duniaku dulu. Apa memang dunia ini
dirancang menjadi seperti dunia game?
Tapi,
dibalik semua itu setidaknya dunia ini sangat menghargai alamnya sehingga tidak
banyak perusakan yang dialami sejak berabad-abad lamanya. Sementara ini aku
lebih baik menikmati kedamaian di pagi hari ini. Suatu pagi di dunia yang
sangat asri, dunianya Enutra.
Suara
langkah kaki datang dari belakangku. Seorang jendral bernama Dionze mendekatiku
sambil memandangi kota kecil yang asri ini. Tangannya memegang secangkir
minuman hangat yang entah apa isinya.
“Selamat
pagi, Enutra. Pagi yang cerah untuk memulai hari.”
“Eh..
Pagi..”, jarang sekali aku disapa di pagi hari oleh seorang pria. Terasa agak
menjijikan.
“Apa
rencana kita hari ini? Mau langsung berangkat melanjutkan perjalanan kita?”
“Nanti
saja, aku ingin menikmati kota ini dulu.”
“Oh
ya. Ngomong-ngomong ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan padamu.”
“Apa
itu?”
“Maaf
jika membuatmu tersinggung. Sebenarnya aku merasa aneh denganmu. Amaryl bilang kamu
pernah bersekolah di sini, tapi kamu sama sekali tidak tahu jalan menuju istana
Raja Algeas. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?”
Aku
terkejut dengan apa yang ia katakan. Sama sekali belum terpikirkan hal semacam
itu selama ini. Mana mungkin aku memberi tahu kalau aku adalah Enutra yang
datang dari dunia lain. Mungkinkah aku harus berterus terang atau tetap
bersandiwara dengan semua orang disini? Sebaiknya harus tetap kusembunyikan
jati diriku yang sebenarnya demi kebaikan Enutra.
“Eeuu..
Maaf, akhir-akhir ini aku jadi sering pelupa, mungkin gara-gara sering minum
arak setiap malam.”
“Oh
begitu ya? Sebaiknya kebiasaanmu itu harus segera dihentikan. Tidak baik bagi
ksatria sepertimu untuk melakukan hal yang sia-sia seperti itu.”
Aku
mengangguk dan tersenyum. Tentu saja aku belum pernah meminum arak seteguk pun.
“Dionze,
aku ingin mengitari dulu kota ini sekaligus untuk mencari sarapan.”
Sebenarnya
aku berpikir jika melakukan perjalanan mengelilingi kota ini, mungkin ingatan
Enutra bisa kudapatkan. Otak yang ada di kepalaku ini tentu saja adalah otak
dari Enutra, seharusnya akan ada bayangan yang terbesit setiap kali melihat
bangunan-bangunan kota. Hal ini sempat terpikirkan olehku ketika aku merasa
mengingat hutan di sisi Kota Emerald. Banyak hal yang membuatku merasa pernah
berada disana, mungkin itu memang adalah ingatan dari pemilik asli tubuh ini.
“Okeh..
Tapi semoga persediaan uangku cukup untuk beberapa hari kedepan.”
“Tenang
saja akan ku traktir kalau kamu memang kekurangan uang.”
Untunglah
Enutra adalah orang yang cukup berjasa di dunia ini. Sebenarnya sudah lama aku
menyadari bahwa sebenarnya Enutra memiliki cukup banyak koin emas dari peti
kayunya saat di rumah Javier.
“Mau
sarapan dimana nih?”
“Hmm..
Kayaknya kedai itu cukup menarik makanannya.”, aku menunjuk salah satu kedai
makanan dengan berbagai menu terpampang di depannya.
Kami
berdua menghampiri kedai makanan bernama Gurih Mantab.
“AAAAAAAAAAAAAaaaaa......”
Tapi,
tiba-tiba terdengar suara teriakan seorang wanita yang cukup keras sebelum
sempat memasuki kedai tersebut. Kami berdua saling mengangguk sepakat untuk
pergi menuju sumber suara itu dulu. Arah suara itu berasal dari sebuah sekolah
menengah atas yang letaknya tidak jauh dari tempatku berada, Sekolah Menengah
Atas Bellatorus.
Aku
dan Dionze berlari menuju tempat kejadian. Setelah mendekati lokasi tersebut,
ada kerumunan orang penasaran di depan gerbang sekolah. Perasaan cemas muncul dalam
diriku, aku khawatir bila terjadi sesuatu dengan Amaryl. Dari belakang, kami
berusaha menyelinap masuk untuk memastikan apa yang terjadi.
Dari
balik kerumunan tampak seorang gadis remaja berambut coklat terbaring tak
sadarkan diri. Aku memastikan untuk mencari tahu siapa gadis itu. Benar saja
dengan apa yang aku cemaskan, ternyata dia Amaryl!? Apa yang telah terjadi
dengannya?
***
[1] Sebutan bagi seseorang berkemampuan khusus yang
dapat menyembuhkan luka dan penyakit dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam.
[3] Massively
multiplayer online role-playing game,
permainan peran komputer (RPG) yang melibatkan ribuan pemain untuk bermain
bersama dalam dunia maya yang terus berkembang pada saat yang sama melalui
media internet dan jaringan.
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 5 - KENANGAN
BalasHapus