12 Mei 2013

DUNIA SEMU #3


CHAPTER 3 - CERBERUS
           
            Rasanya sudah seminggu aku berada di dunia paralel ini. Tak banyak yang bisa dilakukan setelah masuk dan terjebak disini. Setiap pagi aku selalu berharap berada di rumah ketika terbangun dari tidurku, namun hanya kekecewaanlah yang kurasakan. Aku masih di dunia ini, dunia yang sama sekali tidak kukenal.
            Beberapa hari ini aku tinggal di rumah kayu milik Javier. Rumah yang cukup memberiku kehangatan dikala dingin dan kesejukan dikala panas. Sepertinya Javier merawat rumah ini dengan sangat baik. Tapi, rasanya aku sangat berdosa sekali bila mengingat apa yang telah kulakukan padanya waktu itu. Apa memang seperti ini kehidupanku di dunia ini? Kehidupan Enutra.

            Cadangan makanan yang tersisa disini semakin lama semakin menipis. Belum pernah aku tinggal sendiri selama ini tanpa persiapan sama sekali. Entah apa yang sedang dilakukan sosok aneh yang tinggal pada tubuh kucing itu sekarang, rasanya aku ingin sekali menghajarnya. Mungkin saja saat ini dia sedang mengawasiku dari tempat yang jauh, tapi aku sama sekali tidak membutuhkan pengawasannya. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin pulang. Bertemu dengan keluargaku. Bertemu dengan ibuku dan adikku. Bertemu dengan ayahku. Bertemu dengan... Vivi.
            “Vivi.. Sudah lama aku tak menyebut namanya. Sayang sekali, aku belum pernah sekalipun berbincang dengannya.” Aku duduk terdiam di lantai. Menunduk menyesali keadaanku.
***

            Sreeekk.. Sreekk..
            “Siapa itu?!” aku berteriak karena mendengar suara mencurigakan dari dalam lemari.
            Suasana menjadi senyap kembali. Entah apapun itu, aku masih terdiam di tempat. Aku menoleh ke arah pedang milik Javier yang terletak di samping tempat tidurku, setidaknya saat ini aku harus lebih waspada bila terjadi sesuatu kepadaku.
            Sreeekk.. Sreekk..
            Suara itu kembali muncul. Akhirnya aku mengambil pedang dan membukakan sarungnya.
            “Keluar kau! Aku tidak akan melukaimu!” sungguh kontras sekali kata-kataku bila dibandingkan dengan sikapku yang membawa pedang seolah ingin membunuh seseorang.
            Lagi-lagi suara itu menghilang. Aku masih terdiam mengamati lemari kayu itu.
            Sreeekk.. Sreekk..
            Aku akhirnya bergerak menuju sumber suara itu. Dengan perasaan was-was, aku mendekati lemari kayu dengan tinggi sekitar dua setengah meter itu. Lemari yang memiliki ukiran khas eropa dan kaca cermin pada salah satu pintunya sepertinya menyimpan sesuatu di dalamnya. Aku sama sekali belum pernah membukanya. Aku khawatir akan terjadi sesuatu jika aku merubah apapun yang ada disini.
            “Baiklah, aku akan mencarimu dan menghampirimu jika kau masih bersembunyi disana.” perlahan langkah kakiku mendekati.
            Akhirnya tangan kiriku menyentuh gagang pintu lemari itu. Dengan perasaan was-was, aku menggerakkan tanganku untuk membukanya. Jantungku berdebar sangat kencang.
            Terlihat sangat gelap di dalam. Sepertinya memang tidak ada apa-apa. Tapi, ada sesuatu yang bergerak. Tangan kananku semakin memegang erat gagang pedang. Dan ternyata...
            “WAAAAA!!!”
            Seekor tikus melompat ke arah wajahku. Aku terjatuh berguling menjauhi lemari itu.
            Napasku terengah-engah, jantungku berdebar sangat keras, kakiku gemetar. Aku sangat terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Namun untunglah, itu hanya seekor tikus.
            “Hampir saja aku mati karena serangan jantung. Sialan tikus itu! Sekarang.. Sekarang aku jadi harus mandi lagi!!!” Aku berteriak kesal.
            Sepuluh menit berlalu, aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk putih yang menutupi perut hingga lututku. Sejenak aku melihat lemari yang terbuka sedikit karena kejadian tadi.
            “Sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Selama ini aku hanya membiarkan semuanya tanpa melakukan apapun.” aku berbicara sendiri sembari berjalan sambil mendekati lemari itu.
             Selangkah demi selangkah kakiku bergerak. Kali ini aku berhati-hati mendekatinya. Bukan karena ada orang jahat yang mengintaiku, tapi aku tidak mau sampai mandi tiga kali gara-gara tikus sialan itu.
            Perlahan kubuka kembali lemari kayu itu. Namun.. Aku terkejut setelah melihat isi didalamnya!
            “WAAA.. APA INI?? DI DALAM SINI BANYAK SEKALI KOTORAN TIKUS!!! NYESEL BANGET UDAH BUKA LEMARI INI!!” Burung-burung beterbangan karena seluruh hutan bergema oleh teriakanku.
            Sekilas aku melihat sesuatu dari dalam lemari itu.
            “Eh.. Apa itu?”
            Aku melihat sebuah kotak kayu berukuran 2x1 meter di dalamnya.
            “Hmm.. Aku sudah terlanjur membuka lemari ini, tidak ada salahnya kalau melihat isi kotak itu.”
            Aku akhirnya mengangkat kotak kayu tersebut. Bila dirasakan dari berat dan suaranya, sepertinya isi dari kotak itu cukup banyak dan terdapat berbagai perlengkapan yang terbuat dari logam. Perlahan kubuka kotak kayu yang kotor tersebut. Secercah cahaya muncul dan menampakkan apa yang ada di dalamnya.
            Ternyata, isi kotak tersebut merupakan satu set peralatan perang jarak dekat. Ada sebuah baju zirah putih berornamen klasik, celana chain mail[1] berhiaskan kain emas yang indah, tameng logam berwarna hijau tua dengan sebuah lambang aneh di depannya, dan sebilah pedang sembilan puluh sentimeter satu tangan dengan dua mata pisau.
            Diantara berbagai peralatan itu, aku sangat terpesona oleh pedang yang letaknya paling atas di dalam kotak itu. Pedang ini cukup unik bila dibandingkan dengan pedang milik Javier. Sebagai pedang satu tangan, ia terlihat indah. Bilahnya pucat, dan ramping, walau tidak seramping rapier[2]. Seakan berpasangan dengan tamengnya, ia bisa terlihat sedikit kehijauan. Gagangnya hitam, dengan sedikit bubuhan warna hijau tua. Pembatas antara gagang dan bilah pedang berbentuk seperti huruf ‘X’ dengan ukiran-ukiran emas yang sangat indah. Bila saja aku berada di sebuah permaian RPG[3], mungkin pedang ini adalah salah satu pedang berlevel tinggi.
            Di dalam kotak terdapat juga beberapa lembar dokumen. Satu persatu aku melihat isi dari dokumen tersebut. Isi dari salah satu dokumen itu menjelaskan bahwa peralatan ini adalah milik dari seorang ksatria pengelana, Enutra.
            Aku terkejut setelah membaca isi dokumen tersebut. Selama ini Javier menyimpan peralatan Enutra, tidak, peralatanku sendiri di kotak kayu ini. Tapi peralatan ini terlihat telah lama tersimpan padahal bukankah Enutra baru datang semalam sebelum aku menjadi dirinya? Apa mungkin sebelumnya dia pernah berhenti menjadi seorang ksatria? Apakah Javier dulunya merupakan sahabat dari Enutra? Lagi-lagi semuanya kembali membingungkan pikiranku.
            Terpikir olehku agar segera menemui Raja Algeas secepatnya. Javier pernah mengatakan padaku bahwa dia adalah utusannya dan berniat membawaku kesana. Aku ingin segera mengakhiri semuanya. Aku ingin segera mengakhiri kehidupanku di dunia ini.
***

            Pagi-pagi sekali aku menyiapkan segala kebutuhanku untuk segera pergi dari rumah Javier. Hari ini aku mengenakan pakaian zirah kesatriaku. Cukup berat rasanya saat pertama kali dipakai. Tameng logam berukuran satu meter kali lima puluh sentimeter aku simpan di punggung seperti tempurung kura-kura.
            “Aku siap untuk segera mengakhiri semuanya!” aku berkata dengan penuh percaya diri kepada diriku sendiri.
            Namun langkahku tiba-tiba saja terhenti setelah beberapa meter dari rumah Javier.
            “WAAA.. Raja Algeas itu dimana???”
            Aku mencari-cari kucing yang pernah berbicara kepadaku seminggu yang lalu. Entah sudah berapa puluh kucing telah kuajak bicara, tapi tak ada satu pun yang memberikan respon padaku.
            “Rasanya aku ingin menyerah saja.” Aku tertunduk lesu kelelahan.
            Semua yang kulakukan terasa sia-sia. Ia tidak mungkin kembali.
            Namun tiba-tiba dari jauh terdengar suara teriakan seseorang. Suara itu terdengar dari arah selatan hutan, agak dekat dengan kubah hitam yang menutupi sebagian besar dari hutan ini. Teriakan ini seperti teriakan semangat seorang petarung.
            Aku mendekati sumber suara tersebut. Dari balik pepohonan terlihat seorang pria mengenakan baju zirah sepertiku sedang bertarung dengan sekelompok serigala ganas menggunakan tameng dan pedang sebagai senjatanya. Pria itu memiliki wajah yang pucat dengan rambut pendek ikal hitam gelap. Matanya agak sipit dengan iris berwarna coklat. Postur tubuhnya agak lebih tinggi dariku dan otot-ototnya sangat kekar.
            Dari gayanya bertarung, kelihatannya dia sangat ahli dalam menggunakan pedang dan tamengnya. Gerakannya pun begitu luwes nyaris tanpa kegagalan setiap kali menebas serigala yang menyerangnya. Terkadang ia juga menggunakan tamengnya sebagai sebuah serangan untuk melumpuhkan gerakan serigala-serigala ganas tersebut.
            Tak lama kemudian sebagian besar dari serigala itu mati dan sisanya melarikan diri dari pria tersebut. Tanpa sengaja aku menepuk kedua tanganku dari balik pepohonan seusai pertarungan itu berakhir.
            “Siapa disana!” pria itu menghunuskan pedangnya dengan ekspresi penuh kecurigaan ke arah suaraku.
           “Eh? Tunggu aku tidak akan menyerangmu. Tadi aku menyaksikan pertarunganmu melawan serigala-serigala itu. Kau sangat hebat!” Aku keluar dari persembunyian dan mencoba untuk mengobrol dengannya.
            “Siapa kamu?” pria itu masih tetap pada posisinya seolah hendak menyerangku.
            “Tu.. Tunggu.. Aku bukanlah orang jahat. Setidaknya aku hanya ingin menjadi temanmu.”
            “Teman? Maaf, aku sulit mempercayai orang-orang yang baru aku temui.” Posisinya masih belum berubah.
            “Eng.. Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan bahwa aku bukanlah orang yang jahat?”
            “Entahlah, aku hanya sulit mempercayai orang untuk saat ini.” Pedang tajamnya semakin terhunus di depan wajahku.
            “Hey, jangan galak gitu dong.. Calm down.. Calm down..
            “Calm down?”
            “Eng.. Sepertinya orang-orang disini tidak mengerti Bahasa Inggris.”
            “Mau apa kau sebenarnya?” Pria itu masih belum merubah posisinya.
            “Aku kan sudah bilang tadi. Aku ingin menjadi temanmu.”
            “Teman? Mencurigakan.”
            “Hmm.. Lagipula jika kau membunuhku, kau akan mengalami masalah yang serius.”
            “Apa maksudmu?”
            “Aku ini adalah utusan dari Raja Algeas!” aku menyombongkan diriku.
            “Aku tidak peduli. Lagipula kerajaan kita saling bermusuhan.”
            “Eh?” aku mulai panik.
            “Aku Dionze! Jendral Dionze dari Kerajaan Olympus!”
            “Se.. Sebentar, tolong turunkan dulu pedangmu. Aku sungguh-sungguh tidak memiliki niat jahat kepadamu.”
            “Aku tidak percaya!”
           Belum selesai aku menjelaskan, pedang Dionze sudah melesat bagaikan kilat yang akan menebas tubuhku. Tapi, tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan, tanganku menarik pedang dari sarungnya dan menangkis serangan tersebut. Aku hanya melongo melihat apa yang telah kulakukan.
            “Hmm.. Cepat juga gerakanmu. Kalau begitu, terimalah ini!”
            Lagi-lagi Dionze menyerangku dengan kecepatan yang sangat luar biasa. Aku hanya bisa menahan serangannya dengan pedang yang ada di tanganku saat ini. Sungguh serangannya begitu kuat.
            “Tolong berhenti dan percayalah kepadaku!” aku masih berharap bahwa dia berhenti dan memercayaiku.
            Ia sama sekali tidak mendengar ucapanku dan terus menyerangku tanpa henti. Hingga akhirnya aku mengambil tameng besarku dan menahan serangannya dengan sekuat tenaga.
            “Hah? Lambang itu!” Dionze berhenti menyerangku.
            Aku hanya terdiam dan bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berhenti menyerangku.
            “Lambang itu adalah lambang Cerberus! Siapa kau sebenarnya??” Dionze bertanya padaku dengan ekspresi tidak percaya.
            “Eh? Aku belum menyebutkan namaku ya? Namaku Enutra, salam kenal.” Aku tersenyum kepadanya.
            “Apa? Ternyata benar. Aku meminta maaf atas perbuatanku.” Tiba-tiba saja jendral itu berlutut dan memohon maaf kepadaku.
            “Eh? Eee.. Eee.. Sudahlah.” Aku mencoba bersikap seolah aku tidak kebingungan terhadap sikapnya.
            “Perilakuku sangat tidak pantas terhadap orang yang pernah menyelamatkan kerajaan kami.” Dionze masih berlutut.
            Aku kebingungan. Apa benar di dunia ini aku begitu sangat hebat hingga dihormati oleh seorang jendral seperti ini?
            “Anda telah menyelamatkan kami dari serangan brutal monster cerberus[4] sendirian beberapa tahun yang lalu di kerajaan kami. Maka dari itu aku berhak menerima hukuman darimu.”
          “Eh? Hu.. Hukuman? Sudahlah, aku sudah mengatakannya dari awal kalau aku hanya ingin menjadi temanmu.”
            “Hmm.. Baiklah, aku akan menjadi temanmu. Sebenarnya apa yang sedang anda lakukan disini?”
            “Aku ingin bertemu dengan Raja Algeas. Tapi.. Eeuu.. Aku tidak tahu arahnya kemana”
            “Ah, biarkan aku menemanimu. Tapi mungkin aku hanya bisa mengantarkanmu hingga dekat dengan benteng istana. Mengingat kerajaan kami yang tidak terlalu dekat dengannya, aku pasti akan diusir oleh mereka.”
            “Hmm.. OK!”
            “Okeh?”
            “Kamu sama sekali tidak tahu bahasa inggris ya?” Aku memicingkan mataku.
***

            “Harus berapa lama lagi kita akan berjalan?”
            “Bila dengan berjalan kaki seperti ini, mungkin akan menghabiskan waktu sekitar tiga hari untuk sampai ke sana.”
            “Hah?? T.. Tiga hari? Mati aku..”

            “Ada apa dengan anda?”
            “Tidak apa-apa.” Aku berjalan sambil tertunduk lesu. “Ngomong-ngomong, apa yang terjadi barusan hingga kamu diserang oleh sekelompok serigala ganas itu?”
            “Uh.. Ceritanya cukup panjang”
            “Tidak apa-apa. Ceritakan saja padaku.” Aku tersenyum padanya.
            “Sebenarnya kami semua berniat untuk menyerang salah satu kubah Remidi di selatan hutan.”
            “Kami? Jadi kau tidak sendirian sebelumnya?”
            “Ya. Kami terdiri dari tiga ratus pasukan prajurit dan tiga orang jendral perang. Belum sampai masuk menuju kubah, kami sudah dihadang oleh ribuan pasukan remidi. Sungguh diluar perkiraan bahwa Bangsa Remidi memiliki pasukan sebesar itu.”
            “Sungguh mengerikan. Kemudian?”
            “Pasukan kami berantakan. Banyak diantara kami yang mati dan ada pula yang menjadi sandera oleh Bangsa Remidi.”
            “Kemudian bagaimana kamu bisa sampai diserang oleh gerombolan serigala?”
            “Tanpa sengaja aku terpisah dari mereka karena aku dikejar oleh ratusan serigala ganas.”
            “Ra.. Ratusan? Bukankah tadi hanya sekitar puluhan?”
            “Ada beberapa yang kembali setelah aku menjauhi mereka. Kini aku tidak tahu apa yang terjadi dengan pasukanku dan dua jendral lainnya disana. Aku merasa menjadi seorang pengecut.”
            “Eh tidak, kau hanya membela diri bukan? Nanti kita akan sama-sama membalasnya. Aku pun ingin segera mengakhiri semua ini.” Aku menengadahkan kepalaku ke langit sembari mengepalkan tanganku ke atas.
***

            Di sisi lain hutan, sebuah kubah besar gelap menutupi dengan radius puluhan kilometer. Di dalamnya berdiri ratusan bangunan besi hitam raksasa. Suara deru mesin tak henti-hentinya bekerja menggema setiap waktu. Udara penuh polusi pekat menyelimuti dataran kering gersang terkunci di dalam kubah kegelapan.
            Nampak sebuah bangunan besar yang agak berbeda dari bangunan besi lainnya. Sebuah kastil hitam raksasa berdiri dengan megahnya berada di tengah-tengah kubah. Ada ratusan ruangan di dalamnya dengan berbagai fungsinya masing-masing. Pada salah satu ruangan, seorang pria berpakaian jubah serba hitam duduk santai memerhatikan puluhan monitor di hadapannya.
            “Tuan Tyrone, para pasukan yang menyerang kita dari Kerajaan Olympus sudah kami taklukan. Tapi, ada satu orang jendral yang lolos.”
            “Ya, aku tau. Jendral Dionze bukan? Tidak usah khawatir, biarkan saja dulu. Aku tahu keberadaan dia sekarang. Tapi, aku ingin kalian mencari tahu siapa pria misterius yang telah pergi bersamanya saat ini.”
            “Um.. Baik, tuanku!”
***


[1] Pakaian yang dibuat dari cincin-cincin logam saling bersambungan dan dijalin hingga seperti kain.
[2] Pedang ramping tajam, idealnya digunakan untuk serangan menusuk, banyak digunakan di Eropa selama abad enam belas dan tujuh belas.
[3] Sebuah permainan yang para pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut sebuah cerita bersama
[4] Cerberus digambarkan sebagai anjing raksasa berkepala tiga yang mampu menyemburkan api.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39