CHAPTER 3 - CERBERUS
Rasanya
sudah seminggu aku berada di dunia paralel ini. Tak banyak yang bisa dilakukan
setelah masuk dan terjebak disini. Setiap pagi aku selalu berharap berada di
rumah ketika terbangun dari tidurku, namun hanya kekecewaanlah yang kurasakan.
Aku masih di dunia ini, dunia yang sama sekali tidak kukenal.
Beberapa
hari ini aku tinggal di rumah kayu milik Javier. Rumah yang cukup memberiku
kehangatan dikala dingin dan kesejukan dikala panas. Sepertinya Javier merawat
rumah ini dengan sangat baik. Tapi, rasanya aku sangat berdosa sekali bila
mengingat apa yang telah kulakukan padanya waktu itu. Apa memang seperti ini
kehidupanku di dunia ini? Kehidupan Enutra.
Cadangan
makanan yang tersisa disini semakin lama semakin menipis. Belum pernah aku
tinggal sendiri selama ini tanpa persiapan sama sekali. Entah apa yang sedang
dilakukan sosok aneh yang tinggal pada tubuh kucing itu sekarang, rasanya aku
ingin sekali menghajarnya. Mungkin saja saat ini dia sedang mengawasiku dari
tempat yang jauh, tapi aku sama sekali tidak membutuhkan pengawasannya. Sama
sekali tidak. Aku hanya ingin pulang. Bertemu dengan keluargaku. Bertemu dengan
ibuku dan adikku. Bertemu dengan ayahku. Bertemu dengan... Vivi.
“Vivi..
Sudah lama aku tak menyebut namanya. Sayang sekali, aku belum pernah sekalipun
berbincang dengannya.” Aku duduk terdiam di lantai. Menunduk menyesali
keadaanku.
***
Sreeekk.. Sreekk..
“Siapa itu?!” aku berteriak
karena mendengar suara mencurigakan dari dalam lemari.
Suasana
menjadi senyap kembali. Entah apapun itu, aku masih terdiam di tempat. Aku
menoleh ke arah pedang milik Javier yang terletak di samping tempat tidurku,
setidaknya saat ini aku harus lebih waspada bila terjadi sesuatu kepadaku.
Sreeekk.. Sreekk..
Suara
itu kembali muncul. Akhirnya aku mengambil pedang dan membukakan sarungnya.
“Keluar
kau! Aku tidak akan melukaimu!” sungguh kontras sekali kata-kataku bila
dibandingkan dengan sikapku yang membawa pedang seolah ingin membunuh
seseorang.
Lagi-lagi
suara itu menghilang. Aku masih terdiam mengamati lemari kayu itu.
Sreeekk.. Sreekk..
Aku
akhirnya bergerak menuju sumber suara itu. Dengan perasaan was-was, aku
mendekati lemari kayu dengan tinggi sekitar dua setengah meter itu. Lemari yang
memiliki ukiran khas eropa dan kaca cermin pada salah satu pintunya sepertinya
menyimpan sesuatu di dalamnya. Aku sama sekali belum pernah membukanya. Aku
khawatir akan terjadi sesuatu jika aku merubah apapun yang ada disini.
“Baiklah,
aku akan mencarimu dan menghampirimu jika kau masih bersembunyi disana.”
perlahan langkah kakiku mendekati.
Akhirnya
tangan kiriku menyentuh gagang pintu lemari itu. Dengan perasaan was-was, aku
menggerakkan tanganku untuk membukanya. Jantungku berdebar sangat kencang.
Terlihat
sangat gelap di dalam. Sepertinya memang tidak ada apa-apa. Tapi, ada sesuatu
yang bergerak. Tangan kananku semakin memegang erat gagang pedang. Dan
ternyata...
“WAAAAA!!!”
Seekor
tikus melompat ke arah wajahku. Aku terjatuh berguling menjauhi lemari itu.
Napasku
terengah-engah, jantungku berdebar sangat keras, kakiku gemetar. Aku sangat
terkejut dengan apa yang terjadi barusan. Namun untunglah, itu hanya seekor
tikus.
“Hampir
saja aku mati karena serangan jantung. Sialan tikus itu! Sekarang.. Sekarang
aku jadi harus mandi lagi!!!” Aku berteriak kesal.
Sepuluh
menit berlalu, aku berjalan keluar dari kamar mandi dengan mengenakan handuk
putih yang menutupi perut hingga lututku. Sejenak aku melihat lemari yang
terbuka sedikit karena kejadian tadi.
“Sepertinya
ada sesuatu di dalamnya. Selama ini aku hanya membiarkan semuanya tanpa
melakukan apapun.” aku berbicara sendiri sembari berjalan sambil mendekati
lemari itu.
Selangkah demi selangkah kakiku bergerak. Kali
ini aku berhati-hati mendekatinya. Bukan karena ada orang jahat yang
mengintaiku, tapi aku tidak mau sampai mandi tiga kali gara-gara tikus sialan
itu.
Perlahan
kubuka kembali lemari kayu itu. Namun.. Aku terkejut setelah melihat isi
didalamnya!
“WAAA..
APA INI?? DI DALAM SINI BANYAK SEKALI KOTORAN TIKUS!!! NYESEL BANGET UDAH BUKA
LEMARI INI!!” Burung-burung beterbangan karena seluruh hutan bergema oleh
teriakanku.
Sekilas
aku melihat sesuatu dari dalam lemari itu.
“Eh..
Apa itu?”
Aku
melihat sebuah kotak kayu berukuran 2x1 meter di dalamnya.
“Hmm..
Aku sudah terlanjur membuka lemari ini, tidak ada salahnya kalau melihat isi
kotak itu.”
Aku
akhirnya mengangkat kotak kayu tersebut. Bila dirasakan dari berat dan
suaranya, sepertinya isi dari kotak itu cukup banyak dan terdapat berbagai
perlengkapan yang terbuat dari logam. Perlahan kubuka kotak kayu yang kotor
tersebut. Secercah cahaya muncul dan menampakkan apa yang ada di dalamnya.
Ternyata,
isi kotak tersebut merupakan satu set peralatan perang jarak dekat. Ada sebuah
baju zirah putih berornamen klasik, celana chain
mail[1]
berhiaskan kain emas yang indah, tameng logam berwarna hijau tua dengan
sebuah lambang aneh di depannya, dan sebilah pedang sembilan puluh sentimeter
satu tangan dengan dua mata pisau.
Diantara
berbagai peralatan itu, aku sangat terpesona oleh pedang yang letaknya paling
atas di dalam kotak itu. Pedang ini cukup unik bila dibandingkan dengan pedang
milik Javier. Sebagai pedang satu tangan, ia terlihat indah. Bilahnya pucat,
dan ramping, walau tidak seramping rapier[2].
Seakan berpasangan dengan tamengnya, ia bisa terlihat sedikit kehijauan.
Gagangnya hitam, dengan sedikit bubuhan warna hijau tua. Pembatas antara gagang
dan bilah pedang berbentuk seperti huruf ‘X’ dengan ukiran-ukiran emas yang
sangat indah. Bila saja aku berada di sebuah permaian RPG[3],
mungkin pedang ini adalah salah satu pedang berlevel tinggi.
Di
dalam kotak terdapat juga beberapa lembar dokumen. Satu persatu aku melihat isi
dari dokumen tersebut. Isi dari salah satu dokumen itu menjelaskan bahwa
peralatan ini adalah milik dari seorang ksatria pengelana, Enutra.
Aku
terkejut setelah membaca isi dokumen tersebut. Selama ini Javier menyimpan
peralatan Enutra, tidak, peralatanku sendiri di kotak kayu ini. Tapi peralatan
ini terlihat telah lama tersimpan padahal bukankah Enutra baru datang semalam
sebelum aku menjadi dirinya? Apa mungkin sebelumnya dia pernah berhenti menjadi
seorang ksatria? Apakah Javier dulunya merupakan sahabat dari Enutra? Lagi-lagi
semuanya kembali membingungkan pikiranku.
Terpikir
olehku agar segera menemui Raja Algeas secepatnya. Javier pernah mengatakan
padaku bahwa dia adalah utusannya dan berniat membawaku kesana. Aku ingin
segera mengakhiri semuanya. Aku ingin segera mengakhiri kehidupanku di dunia
ini.
***
Pagi-pagi
sekali aku menyiapkan segala kebutuhanku untuk segera pergi dari rumah Javier.
Hari ini aku mengenakan pakaian zirah kesatriaku. Cukup berat rasanya saat
pertama kali dipakai. Tameng logam berukuran satu meter kali lima puluh sentimeter
aku simpan di punggung seperti tempurung kura-kura.
“Aku
siap untuk segera mengakhiri semuanya!” aku berkata dengan penuh percaya diri
kepada diriku sendiri.
Namun
langkahku tiba-tiba saja terhenti setelah beberapa meter dari rumah Javier.
“WAAA..
Raja Algeas itu dimana???”
Aku
mencari-cari kucing yang pernah berbicara kepadaku seminggu yang lalu. Entah
sudah berapa puluh kucing telah kuajak bicara, tapi tak ada satu pun yang
memberikan respon padaku.
“Rasanya
aku ingin menyerah saja.” Aku tertunduk lesu kelelahan.
Semua
yang kulakukan terasa sia-sia. Ia tidak mungkin kembali.
Namun
tiba-tiba dari jauh terdengar suara teriakan seseorang. Suara itu terdengar
dari arah selatan hutan, agak dekat dengan kubah hitam yang menutupi sebagian
besar dari hutan ini. Teriakan ini seperti teriakan semangat seorang petarung.
Aku
mendekati sumber suara tersebut. Dari balik pepohonan terlihat seorang pria
mengenakan baju zirah sepertiku sedang bertarung dengan sekelompok serigala
ganas menggunakan tameng dan pedang sebagai senjatanya. Pria itu memiliki wajah
yang pucat dengan rambut pendek ikal hitam gelap. Matanya agak sipit dengan
iris berwarna coklat. Postur tubuhnya agak lebih tinggi dariku dan otot-ototnya
sangat kekar.
Dari
gayanya bertarung, kelihatannya dia sangat ahli dalam menggunakan pedang dan
tamengnya. Gerakannya pun begitu luwes nyaris tanpa kegagalan setiap kali
menebas serigala yang menyerangnya. Terkadang ia juga menggunakan tamengnya sebagai
sebuah serangan untuk melumpuhkan gerakan serigala-serigala ganas tersebut.
Tak
lama kemudian sebagian besar dari serigala itu mati dan sisanya melarikan diri
dari pria tersebut. Tanpa sengaja aku menepuk kedua tanganku dari balik
pepohonan seusai pertarungan itu berakhir.
“Siapa
disana!” pria itu menghunuskan pedangnya dengan ekspresi penuh kecurigaan ke
arah suaraku.
“Eh?
Tunggu aku tidak akan menyerangmu. Tadi aku menyaksikan pertarunganmu melawan
serigala-serigala itu. Kau sangat hebat!” Aku keluar dari persembunyian dan
mencoba untuk mengobrol dengannya.
“Siapa
kamu?” pria itu masih tetap pada posisinya seolah hendak menyerangku.
“Tu..
Tunggu.. Aku bukanlah orang jahat. Setidaknya aku hanya ingin menjadi temanmu.”
“Teman?
Maaf, aku sulit mempercayai orang-orang yang baru aku temui.” Posisinya masih
belum berubah.
“Eng..
Apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan bahwa aku bukanlah orang yang
jahat?”
“Entahlah,
aku hanya sulit mempercayai orang untuk saat ini.” Pedang tajamnya semakin
terhunus di depan wajahku.
“Hey,
jangan galak gitu dong.. Calm down.. Calm
down..”
“Calm down?”
“Eng..
Sepertinya orang-orang disini tidak mengerti Bahasa Inggris.”
“Mau
apa kau sebenarnya?” Pria itu masih belum merubah posisinya.
“Aku
kan sudah bilang tadi. Aku ingin menjadi temanmu.”
“Teman?
Mencurigakan.”
“Hmm..
Lagipula jika kau membunuhku, kau akan mengalami masalah yang serius.”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
ini adalah utusan dari Raja Algeas!” aku menyombongkan diriku.
“Aku
tidak peduli. Lagipula kerajaan kita saling bermusuhan.”
“Eh?”
aku mulai panik.
“Aku
Dionze! Jendral Dionze dari Kerajaan Olympus!”
“Se..
Sebentar, tolong turunkan dulu pedangmu. Aku sungguh-sungguh tidak memiliki
niat jahat kepadamu.”
“Aku
tidak percaya!”
Belum
selesai aku menjelaskan, pedang Dionze sudah melesat bagaikan kilat yang akan menebas
tubuhku. Tapi, tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan, tanganku menarik pedang
dari sarungnya dan menangkis serangan tersebut. Aku hanya melongo melihat apa
yang telah kulakukan.
“Hmm..
Cepat juga gerakanmu. Kalau begitu, terimalah ini!”
Lagi-lagi
Dionze menyerangku dengan kecepatan yang sangat luar biasa. Aku hanya bisa menahan
serangannya dengan pedang yang ada di tanganku saat ini. Sungguh serangannya
begitu kuat.
“Tolong
berhenti dan percayalah kepadaku!” aku masih berharap bahwa dia berhenti dan
memercayaiku.
Ia
sama sekali tidak mendengar ucapanku dan terus menyerangku tanpa henti. Hingga
akhirnya aku mengambil tameng besarku dan menahan serangannya dengan sekuat
tenaga.
“Hah?
Lambang itu!” Dionze berhenti menyerangku.
Aku
hanya terdiam dan bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berhenti menyerangku.
“Lambang
itu adalah lambang Cerberus! Siapa kau sebenarnya??” Dionze bertanya padaku
dengan ekspresi tidak percaya.
“Eh?
Aku belum menyebutkan namaku ya? Namaku Enutra, salam kenal.” Aku tersenyum
kepadanya.
“Apa?
Ternyata benar. Aku meminta maaf atas perbuatanku.” Tiba-tiba saja jendral itu
berlutut dan memohon maaf kepadaku.
“Eh?
Eee.. Eee.. Sudahlah.” Aku mencoba bersikap seolah aku tidak kebingungan
terhadap sikapnya.
“Perilakuku
sangat tidak pantas terhadap orang yang pernah menyelamatkan kerajaan kami.”
Dionze masih berlutut.
Aku
kebingungan. Apa benar di dunia ini aku begitu sangat hebat hingga dihormati oleh
seorang jendral seperti ini?
“Anda
telah menyelamatkan kami dari serangan brutal monster cerberus[4]
sendirian beberapa tahun yang lalu di kerajaan kami. Maka dari itu aku berhak
menerima hukuman darimu.”
“Eh?
Hu.. Hukuman? Sudahlah, aku sudah mengatakannya dari awal kalau aku hanya ingin
menjadi temanmu.”
“Hmm..
Baiklah, aku akan menjadi temanmu. Sebenarnya apa yang sedang anda lakukan
disini?”
“Aku
ingin bertemu dengan Raja Algeas. Tapi.. Eeuu.. Aku tidak tahu arahnya kemana”
“Ah,
biarkan aku menemanimu. Tapi mungkin aku hanya bisa mengantarkanmu hingga dekat
dengan benteng istana. Mengingat kerajaan kami yang tidak terlalu dekat
dengannya, aku pasti akan diusir oleh mereka.”
“Hmm..
OK!”
“Okeh?”
“Kamu
sama sekali tidak tahu bahasa inggris ya?” Aku memicingkan mataku.
***
“Harus
berapa lama lagi kita akan berjalan?”
“Bila
dengan berjalan kaki seperti ini, mungkin akan menghabiskan waktu sekitar tiga
hari untuk sampai ke sana.”
“Hah?? T.. Tiga hari? Mati
aku..”
“Ada
apa dengan anda?”
“Tidak
apa-apa.” Aku berjalan sambil tertunduk lesu. “Ngomong-ngomong, apa yang
terjadi barusan hingga kamu diserang oleh sekelompok serigala ganas itu?”
“Uh..
Ceritanya cukup panjang”
“Tidak
apa-apa. Ceritakan saja padaku.” Aku tersenyum padanya.
“Sebenarnya
kami semua berniat untuk menyerang salah satu kubah Remidi di selatan hutan.”
“Kami?
Jadi kau tidak sendirian sebelumnya?”
“Ya.
Kami terdiri dari tiga ratus pasukan prajurit dan tiga orang jendral perang.
Belum sampai masuk menuju kubah, kami sudah dihadang oleh ribuan pasukan remidi.
Sungguh diluar perkiraan bahwa Bangsa Remidi memiliki pasukan sebesar itu.”
“Sungguh
mengerikan. Kemudian?”
“Pasukan
kami berantakan. Banyak diantara kami yang mati dan ada pula yang menjadi
sandera oleh Bangsa Remidi.”
“Kemudian
bagaimana kamu bisa sampai diserang oleh gerombolan serigala?”
“Tanpa
sengaja aku terpisah dari mereka karena aku dikejar oleh ratusan serigala
ganas.”
“Ra..
Ratusan? Bukankah tadi hanya sekitar puluhan?”
“Ada
beberapa yang kembali setelah aku menjauhi mereka. Kini aku tidak tahu apa yang
terjadi dengan pasukanku dan dua jendral lainnya disana. Aku merasa menjadi
seorang pengecut.”
“Eh
tidak, kau hanya membela diri bukan? Nanti kita akan sama-sama membalasnya. Aku
pun ingin segera mengakhiri semua ini.” Aku menengadahkan kepalaku ke langit
sembari mengepalkan tanganku ke atas.
***
Di
sisi lain hutan, sebuah kubah besar gelap menutupi dengan radius puluhan
kilometer. Di dalamnya berdiri ratusan bangunan besi hitam raksasa. Suara deru
mesin tak henti-hentinya bekerja menggema setiap waktu. Udara penuh polusi
pekat menyelimuti dataran kering gersang terkunci di dalam kubah kegelapan.
Nampak
sebuah bangunan besar yang agak berbeda dari bangunan besi lainnya. Sebuah
kastil hitam raksasa berdiri dengan megahnya berada di tengah-tengah kubah. Ada
ratusan ruangan di dalamnya dengan berbagai fungsinya masing-masing. Pada salah
satu ruangan, seorang pria berpakaian jubah serba hitam duduk santai
memerhatikan puluhan monitor di hadapannya.
“Tuan
Tyrone, para pasukan yang menyerang kita dari Kerajaan Olympus sudah kami
taklukan. Tapi, ada satu orang jendral yang lolos.”
“Ya,
aku tau. Jendral Dionze bukan? Tidak usah khawatir, biarkan saja dulu. Aku tahu
keberadaan dia sekarang. Tapi, aku ingin kalian mencari tahu siapa pria
misterius yang telah pergi bersamanya saat ini.”
“Um..
Baik, tuanku!”
***
[1] Pakaian yang dibuat dari
cincin-cincin logam saling bersambungan dan dijalin hingga seperti kain.
[2] Pedang ramping tajam,
idealnya digunakan untuk serangan menusuk, banyak
digunakan di Eropa selama abad enam belas dan tujuh belas.
[3] Sebuah permainan yang para
pemainnya memainkan peran tokoh-tokoh khayalan dan berkolaborasi untuk merajut
sebuah cerita bersama
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 4 - BUKIT CAHAYA
BalasHapus