CHAPTER 1 - GADIS MISTERIUS
Satu demi satu daun
berjatuhan menutupi rumput yang hampir kering. Cuaca sangat panas tak
berawan saat ini. Meski begitu, suasana disini terlihat
sangat damai. Burung-burung menari dan bernyanyi bersahutan dengan indahnya di setiap
ranting pohon. Terkadang muncul beberapa ekor tupai dari balik lubang pohon berjalan menuju
ranting seakan
terusik oleh burung-burung yang hinggap.
Tak jauh dari
sana terdengar suara aliran sungai yang begitu menenangkan. Benar saja, beberapa meter dari
pepohonan terdapat sungai kecil yang jernih dan mengalir tenang. Di dalamnya
belasan ekor ikan kecil berenang melawan arus. Muncul seekor anak rusa diikuti
rusa-rusa lain dari balik pepohonan mendekati sungai hingga akhirnya membuat
para ikan pun berenang berpencar untuk menghindar.
Semilir
angin hangat bertiup. Beberapa daun kering ikut terbawa mengikuti gerak angin.
Wangi harum pepohonan begitu terasa seiring dengan angin bertiup. Entah tempat
apa ini, tapi terlihat jelas bahwa tempat ini seperti sebuah wilayah yang penuh dengan
pepohonan-pepohonan disertai sungai kecil yang melintasinya. Begitu damai.
Rasanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan suasana seperti ini.
Namun,
tiba-tiba saja cahaya merah muncul dibalik rimbunan pepohonan. Cahaya itu semakin lama semakin besar. Gerombolan binatang berlari tak
beraturan menjauhi. Cahaya itu. Cahaya itu api. Api yang sangat besar yang
membakar rimbunan pepohonan.
Tidak
hanya itu, seketika semua berubah menjadi kelam. Seakan-akan langit terpecah
menjadi kepingan-kepingan dan berganti menjadi warna merah darah. Tanah
berumput telah berubah menjadi tanah kering gersang dengan beberapa pohon tak
berdaun.
“HENTIKANN!! HENTIKAN!!
HENTIKAAAANNNN!!!!” tiba-tiba suara teriakan wanita menyeruak memekakan telinga.
“TUAN ENUTRA!! TOLONG AKUUU!!””
Entah
darimana suara itu datang, namun tiba-tiba saja setelah itu tanah bergetar dengan
hebatnya. Retakan demi retakan muncul dan membelah tanah. Retakan itu semakin
membesar hingga seperti jurang tak berujung. Lalu setelah itu semuanya hancur menjadi serpihan dalam kekosongan.
Suasan sekitar menjadi semakin
gelap. Semakin gelap hingga menjadi hitam pekat. Kosong tak berisi, hanya
kegelapan. Tak terlihat apapun.
Akhirnya setitik cahaya muncul.
Semakin lama titik cahaya itu berubah menjadi garis cahaya horizontal diantara
kegelapan. Semakin terang. Semakin jelas apa yang tampak dari balik cahaya itu.
“Ah, lagi-lagi aku
memimpikan hal aneh itu. Siapa itu Enutra?” gumamku yang baru saja terbangun dari tidur.
***
Setelah 1 minggu lamanya
menjalani masa orientasi[1]
yang melelahkan, akhirnya datang juga hari pertamaku sebagai seorang mahasiswa.
Sungguh tidak dapat disangka kalau aku dapat memulai kuliahku di sini. Di salah
satu universitas terbaik di Indonesia, Universitas Negeri Bandung. Aku sudah
mengagumi perguruan tinggi ini sejak sepupuku berhasil menjadi mahasiswa
disini. Bukan, bukan karena prestasi besar yang selalu diraih perguruan tinggi
ini. Namun, mahasiswi-mahasiswi disini sungguh sangat cantik. Setidaknya aku
tidak munafik.
Namaku
Eril Nusantara, seorang mahasiswa delapan belas tahun keturunan jawa dan sunda.
Aku tinggal bertiga dengan ibu dan adikku di sebuah rumah sederhana di wilayah
Ujung Berung, Bandung.
Ibuku,
Nia Sulastika, adalah seorang ibu rumah tangga yang hebat. Ia selalu setia
merawat kedua anaknya dengan baik dan penuh kegigihan. Kadang ia pun bekerja
sebagai seorang guru TK hanya untuk mengisi kegiatan ketika aku dan adikku
sedang tidak berada di rumah.
Ayahku
sangat jarang ada di rumah. Beliau adalah seorang pelaut domestik yang sangat
jarang sekali pulang. Ayahku, Sarso Primono, sangat mengagumi keindahan
nusantara Indonesia, itulah sebabnya ia menjadi seorang pelaut dan menamai kedua
anaknya dengan nama Nusantara.
Adikku
masih duduk dibangku SMP saat ini. Ia belajar di SMP yang sama denganku waktu
dulu, yaitu SMP Negeri Batununggal. Namanya hampir sama denganku, Erul
Nusantara. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuaku dengan menamai kami
Eril dan Erul, yang jelas nama kami sering tertukar hingga sering terjadi
kesalahpahaman. Namun biarpun demikian aku sangat mencintai mereka, ibuku,
ayahku, dan adikku.
***
Aku
memasuki ruang kelas pertamaku. Kelasku ini terletak di lantai tiga gedung
utara. Universitas ini cukup luas, untuk mencapai kelas itu, dari parkiran
motorku pun bisa dicapai paling cepat lima belas menit dengan berjalan kaki.
Kali ini aku mengambil kuliah Sastra. Sebenarnya minat dan bakatku akan sastra
tidak terlalu besar, hanya saja jurusan ini terkenal akan kecantikan
mahasiswi-mahasiswinya. Tapi, entah dugaanku yang salah atau memang aku kurang
beruntung, kebanyakan mahasiswi di kelasku kali ini penampilannya dibawah
rata-rata penilaianku. Sial.
Tiba-tiba
ada seseorang yang menepuk pundakku.
“Heh!
Kamu ngambil kelas sastra juga ya? Saya yakin kalau niat kamu lain kan?
Hahaha..”
Yang
tadi menepuk pundakku adalah Deril, orang yang paling dekat denganku semenjak
masa orientasi berlangsung seminggu yang lalu. Bukan karena kami punya latar
belakang yang sama hingga kami menjadi dekat, itu karena kami sering tertukar
nama panggilan. Lagi-lagi muncul satu orang yang sering tertukar dengan namaku.
“Eh??
Maksudnya apaan? Yaa.. Aku sih emang suka sastra kok. Lagian cewek-cewek di sini
dibawah rata-rata kok.”
“Bener
juga sih. Tapiii.. Tuh kaaann.. Niat kamu memang lain. Kamu kesini memang
mengincar mahasiswi-mahasiswinya kan? Hahaha.. Sampai-sampai dinilai satu-satu
begitu.”, Deril berbicara sambil menatap sinis kepadaku.
“Eh..
Itu.. Iya deh, aku ngaku.” aku menundukan kepalaku.
“Haha..
Jangan sedih, kabarnya ada satu mahasiswi cantik yang akan masuk kelas ini loh.
Keliatannya sih belum datang.”
“Hah?
Oh ya? Siapa ya?” aku kembali bersemangat.
“Itu
loh, Vivi, mahasiswi baru yang cukup populer sewaktu masa orientasi kemarin.”
“Oh
dia? Tapi aku gak terlalu deket nih sama dia.”
“Jiah,
siapa juga yang bilang dia mau deket sama kamu. Dia inceran saya loh. Hahaha..”
“Sial,
Pede banget sih?” aku memicingkan
mata.
Tapi,
apa benar Vivi masuk kelas ini? Perasaan sewaktu tadi aku melihat daftar
absensi mahasiswa, tidak ada namanya di dalam daftar. Apa mungkin aku salah
lihat ya? Ah ya sudahlah, lagipula ia memang belum datang.
Namun
benar dengan apa yang dikatakan Deril, tak lama kemudian Vivi memang
benar-benar datang dan masuk ke kelas ini. Dia menatapku dengan tatapan aneh
dan kemudian duduk di bangku barisan paling depan. Seketika ada perasaan aneh
ketika dia menatapku tadi. Apa mungkin.. Apa mungkin.. Dia pikir.. Aku orang
aneh? Apa di hidungku terlihat ada upil? Waaaa... Masa bodoh.
***
“HENTIKANN!! HENTIKAN!!
HENTIKAAAANNNN!!!! TUAN ENUTRA!! TOLONG AKUUU!!”
Aku
tersentak cukup hebat. Aku tertidur selama kuliah. Mimpi itu datang lagi bahkan
disaat seperti ini. Tapi ketika aku terbangun, seperti ada seseorang yang
menatapku dari depan. Aku mengusap mataku. Ternyata Vivi sedang menatapku tanpa
ekspresi beberapa saat hingga akhirnya dia kembali lagi membaca bukunya. Aku
hanya diam kebingungan, seperti efek kebanyakan orang yang baru terbangun dari
tidurnya.
Mataku
sempat terpejam kembali sebentar. Namun kali ini hal aneh terjadi lagi, bukan
hanya Vivi yang menatapku. Semua orang di kelas menatapku! Dan ketika aku mengalihkan
pandangan menuju sebelah kiriku, seorang
pria paruh baya berdiri dihadapanku dengan ekspresi yang tidak mengenakkan.
“Hari
pertama kuliah kamu sudah tertidur?? Mengecewakan. Keluar sana! Cepat cuci
mukamu!”
Aku
terkejut. Ternyata yang ada di sampingku itu adalah dosenku!
“A..
Anu.. I.. Iya pak.” aku berjalan menuju pintu keluar kelas.
Semua
orang di kelas menertawakanku. Sungguh memalukan. Rasanya ingin kelas ini
segera berakhir. Tapi, hanya satu orang yang tidak menertawakanku. Iya, Vivi lagi-lagi
hanya menatapku dengan tatapan tanpa ekspresi. Bukan, dia terlihat seperti
bersedih!? Kenapa dia?
***
Seminggu
yang lalu kami semua, para mahasiswa baru, menjalani masa orientasi
universitas. Tak ada satupun dari kami yang tidak terkena bentakan dan usilan
dari kakak-kakak senior. Aku sangat membenci kegiatan seperti ini. Rasanya ada
yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia yang seolah mengharuskan senior
mem-bully juniornya sendiri. Apa
boleh buat, kegiatan ini wajib dilakukan sebagai syarat kelulusan nantinya.
Sungguh menyebalkan.
Dari
semua kakak senior yang bertindak semena-mena, ada satu orang yang terlihat
paling menakutkan diantara yang lain, dia adalah Kak Virny. Bagiku, dia
terlihat seperti monster dengan tatapan penuh kebencian. Badannya yang gelap
agak gemuk serta berambut ikal sepundak, seperti memancarkan aura kelam setiap
kali dia datang. Apalagi bila dia sudah mulai membentak-bentak kami, suaranya
mungkin bisa mencapai delapan oktaf, melengking begitu menyakitkan telingaku.
Rasanya aku ingin berteriak kepadanya kalau ingin galak lebih baik cantik dulu.
Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan.
Pada
suatu ketika, kami dikumpulkan di sebuah lapangan dekat dengan gedung bagian
barat universitas. Acara ini merupakan upacara pembukaan masa orientasi. Namun,
ketika acara sedang berlangsung, dari jauh terdengar teriakan si ‘monster’ yang
benar-benar mengganggu. Entah apa yang terjadi, tapi acara terus berjalan
seolah tidak memperdulikan ‘nyanyian’ Kak Virny.
Usai
upacara pembukaan diselenggarakan, kak Virny berjalan menuju arah tengah lapangan
sambil membawa seorang gadis di sampingnya. Gadis itu mengenakan baju yang
penuh dengan coretan spidol. Kak Virny kemudian berteriak di depan kami semua.
“KALIAN
TAHU KAN APA AKIBATNYA KALAU TIDAK DISIPLIN?? KALIAN TAHU KAN APA AKIBATNYA
KALAU TERLAMBAT DATANG?? SALAH SATU DARI TEMAN KALIAN INI TERLAMBAT, KENAPA
TIDAK ADA YANG MENGINGATKAN DIA SUPAYA DATANG TEPAT WAKTU?”
Semua
peserta diam karena takut. Firasatku mulai tidak enak. Malas sekali
mendengarkan ocehan si monster ini. Rasanya ingin cepat berakhir dari neraka
ini.
“KARENA
KALIAN SEMUA TIDAK ADA YANG MAU RESPECT,
KALIAN SEMUA DIHUKUM PUSH UP TIGA
PULUH KALI!”
Sial!
Gara-gara gadis itu, aku jadi kena batunya. Tapi, siapa sih dia itu? Penglihatanku
saat ini tidak terlalu jelas. Pandanganku tertutup oleh para mahasiswa baru
yang berdiri di depanku. Badanku memang agak lebih tinggi dari yang lain, tapi
karena banyaknya orang, rasanya sulit untuk melihat bebas ke arah depan. Selain
itu, sikap sempurna yang diharuskan melihat punggung teman yang tepat berada di
depan semakin membuatku sulit untuk mencari tahu siapa gadis pembuat masalah
itu.
“SEMUANYA
SIKAP PUSH UP CEPAT!” teriak si monster itu melengking.
Semua
peserta mulai turun satu persatu untuk melakukan sikap push up. Namun pada saat itu akhirnya aku dapat melihat jelas siapa
gadis pembuat masalah itu. Ternyata dia gadis yang berparas sangat cantik.
Tubuhnya ramping sempurna dengan rambut lurus panjang hitam kemerahan diikat
sepuluh dengan pita. Jika rambutnya tidak diikat karena syarat masa orientasi,
mungkin panjangnya hingga mencapai pinggangnya. Kulitnya putih mulus merona
cerah. Seorang gambaran wanita yang sempurna, idaman dari setiap lelaki yang
melihatnya. Tapi ekspresi wajahnya yang murung dan sedih hanya membuat
kecantikannya terasa memudar. Meski demikian, ia tetap terlihat seperti
bidadari bagiku.
“HEY
KAMU YANG DI BELAKANG! CEPAT TURUN!”
Aku
terkejut dan segera menuju posisi push up. Rasanya ingin sekali aku melindas si
monster dengan truk pengangkut pasir. Ah sudahlah.
Dua
jam berlalu setelah ‘push up massal’
terjadi. Kami sudah dibagi menjadi kelompok-kelompok besar dan memasuki ruangan
masing-masing. Acara demi acara dilalui tapi yang ada dipikiranku hanya
bayangan gadis cantik yang terlambat datang tadi. Pokoknya aku harus segera
mendapatkan informasi tentang dirinya.
Pencarian
informasi tentang siapa gadis cantik itu cukup membuahkan hasil. Nama gadis itu
adalah Vivi Ariesta Sylvana, alumni dari SMA Buah Batu Bandung. Tapi, rasanya
harapanku untuk bisa dekat denganya terasa sulit. Rupanya sudah ada banyak
kakak-kakak senior yang berusaha mendekatinya.
Sore
hari sekitar jam lima, akhirnya kami semua dibubarkan dan dipersilahkan pulang.
Sangat lega sekali, seperti melepaskan segala beban di pundak meski tugas tidak
penting menumpuk untuk esok harinya. Pintu gerbang keluar terlihat seperti
cahaya surga yang menanti kami semua untuk terbebas dari neraka jahanam ini.
Namun, dari depan gerbang tampak sesosok siluet seseorang. Semakin ku
mendekatinya semakin jelas terlihat siapakah itu. Ternyata dia adalah Vivi. Dia
berdiri terdiam dan menatapku seolah menunggu kehadiranku. Tapi yang terjadi,
kami hanya berpapasan saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku sangat
gugup. Namun sempat terdengar bahwa dia berkata sesuatu ketika kami berpapasan.
Entah apa yang ia katakan, saat itu aku tidak terlalu jelas mendengarnya karena
rasa gugup yang berlebihan.
***
“Eril!
Istirahat-istirahat gini kok cuma melamun? Ga jajan kamu?” Deril datang
menghampiriku yang masih duduk di bangku belakang kelas sambil membawa makanan
ringan yang baru ia beli di kantin kampus.
“Eh
kamu, Der? Nanti juga jajan kok. Cuma aku lagi mikirin sesuatu aja nih.”
“Mikirin
apa? Mikirin yang tadi kamu dimarahin dosen gara-gara tidur di kelas? Hahaha..”
Mukaku
memerah dan kemudian mengetuk kepala Deril cukup keras.
“Sialan,
jangan bahas itu lagi. Barusan waktu tertidur, aku memimpikan hal aneh itu
lagi.”
“Wah?
Mimpi jorok ya?” Deril memasang ekspresi mesumnya.
Aku
mengetuk kepala Deril lagi namun lebih keras. Deril meminta maaf sambil
memasang sikap ‘peace’.
“Aku
mendengar suara teriakan wanita itu terus. Apa ini pertanda?”
“Pertanda?
Hahaha.. Jangan ngaco. Mimpi itu cuma bunga tidur dan tidak memiliki arti
apa-apa. Pemanis tidur dan hiasan tidur saja yang tidak memiliki hubungan
dengan alam realita dan kerealitasannya.” Deril menjelaskan.
“Benar
juga sih. Tapi yang jadi masalah, mimpi ini suka terjadi berulang-ulang.”
“Asal
kamu tahu, mimpi itu hanya sebuah memori yang terpendam dari dalam pikiran
kita, dan kadang tanpa sadar kita bisa membangkitkan memori itu di alam bawah
sadar kita. Mungkin kamu punya suatu trauma dalam hidup kamu.”
“Hmm..
Entahlah.. Sepertinya gak ada sih.”
“Hmm..”
Deril menyandarkan kepalanya ke pundakku.
“Hmm..
Eh?? Kenapa kepala kamu tiba-tiba ada di pundakku???” aku segera menggeser
kepala Deril dari pundakku dengan kasar.
“Eh?
Wak? Sumpah saya buka gay!” Deril langsung pergi dengan cepat.
Tapi,
kata-kata Deril tadi cukup memberikan makna. Mimpi itu adalah memori yang
terpendam dalam pikiran kita. Memori apa itu? Entahlah, rasanya tidak ada yang
membuatku menyimpan memori yang kuat akhir-akhir ini. Hanya memori tentang Vivi
yang akhir-akhir ini sering menatap aneh kepadaku. Ya, rasanya sejak saat
itulah aku mulai memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Apa dia ada
hubungannya dengan mimpiku? Aku rasa otakku mulai terasa lelah berpikir.
***
Akhirnya
jam kuliah terakhir telah selesai. Senang sekali rasanya bisa kembali ke rumah
dan kembali bermain game online kesayanganku. Hari ini kebetulan tidak ada
tugas sama sekali. Rata-rata kuliah yang disampaikan hanyalah berupa perkenalan
saja yang bahkan materinya hanya cerita-cerita pengalaman tentang dosen itu
sendiri. Bicara tentang pengalaman, dalam kehidupan bisa dibilang aku hanyalah orang
yang biasa-biasa saja dalam segala hal. Tak ada yang istimewa. Jarang sekali
bagiku untuk mendapatkan prestasi. Untuk masuk ke universitas ini pun aku
berada di kelompok urutan terbawah yang lulus ujian saringan masuk. Tidak hanya
pelajaran, baik itu dalam permainan, debat, perlombaan, olahraga, atau apapun,
aku tidak pernah bisa menjadi yang terbaik. Apa ini takdir atau mungkin ini
kesalahanku sendiri, aku tidak terlalu mempermasalahkannya untuk saat ini.
Buku
dan peralatan tulisku segera aku masukkan ke dalam tas ransel hitam kucal yang
sudah dipakai sejak SMA. Mahasiswa lain pun sudah mulai bersiap-siap untuk
pulang menuju kediamannya masing-masing. Masih belum banyak interaksi diantara
kami. Mungkin karena latar belakang kami yang bervariasi, untuk saat ini aku
masih belum mengenali keseluruhan dari mereka.
Di
barisan depan, terlihat Vivi yang masih membereskan peralatan tulisnya. Entah
hanya perasaanku saja, Vivi sepertinya tidak terlalu senang untuk berinteraksi
dengan orang lain. Ia selalu menyendiri dari semenjak ia datang hingga
menjelang pulang. Kali ini ia terlihat buru-buru dan segera keluar dari kelas.
Dari belakang kelas aku memperhatikan ada selembar kertas yang ia jatuhkan.
Tanpa pikir panjang, dengan segera aku mengambil kertas itu dan berniat
mengembalikannya kepada Vivi. Tapi ternyata Vivi sudah pergi terlalu jauh, aku
terlambat memberikan kertas itu padanya.
Sembari
keluar dari kelas, aku sejenak melihat kertas yang dijatuhkan oleh Vivi.
Ternyata apa yang ada di kertas itu hanyalah sebuah gambar. Namun, tersentak
aku terkejut dengan yang sedang kulihat.
“I..
Ini.. Tidak mungkin.. Bukankah ini.. Bukankah ini adalah gambaran yang sama
persis dengan yang ada di mimpiku?? Siapa dia sebenarnya??”
***
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 2 - DUNIA PARALEL
BalasHapus