28 April 2013

DUNIA SEMU #1


CHAPTER 1 - GADIS MISTERIUS

            Satu demi satu daun berjatuhan menutupi rumput yang hampir kering. Cuaca sangat panas tak berawan saat ini. Meski begitu, suasana disini terlihat sangat damai. Burung-burung menari dan bernyanyi bersahutan dengan indahnya di setiap ranting pohon. Terkadang muncul beberapa ekor tupai dari balik lubang pohon berjalan menuju ranting seakan terusik oleh burung-burung yang hinggap.
            Tak jauh dari sana terdengar suara aliran sungai yang begitu menenangkan. Benar saja, beberapa meter dari pepohonan terdapat sungai kecil yang jernih dan mengalir tenang. Di dalamnya belasan ekor ikan kecil berenang melawan arus. Muncul seekor anak rusa diikuti rusa-rusa lain dari balik pepohonan mendekati sungai hingga akhirnya membuat para ikan pun berenang berpencar untuk menghindar.

            Semilir angin hangat bertiup. Beberapa daun kering ikut terbawa mengikuti gerak angin. Wangi harum pepohonan begitu terasa seiring dengan angin bertiup. Entah tempat apa ini, tapi terlihat jelas bahwa tempat ini seperti sebuah wilayah yang penuh dengan pepohonan-pepohonan disertai sungai kecil yang melintasinya. Begitu damai. Rasanya tidak ingin cepat-cepat meninggalkan suasana seperti ini.
            Namun, tiba-tiba saja cahaya merah muncul dibalik rimbunan pepohonan. Cahaya itu semakin lama semakin besar. Gerombolan binatang berlari tak beraturan menjauhi. Cahaya itu. Cahaya itu api. Api yang sangat besar yang membakar rimbunan pepohonan.
            Tidak hanya itu, seketika semua berubah menjadi kelam. Seakan-akan langit terpecah menjadi kepingan-kepingan dan berganti menjadi warna merah darah. Tanah berumput telah berubah menjadi tanah kering gersang dengan beberapa pohon tak berdaun.
            HENTIKANN!! HENTIKAN!! HENTIKAAAANNNN!!!! tiba-tiba suara teriakan wanita menyeruak memekakan telinga. “TUAN ENUTRA!! TOLONG AKUUU!!
            Entah darimana suara itu datang, namun tiba-tiba saja setelah itu tanah bergetar dengan hebatnya. Retakan demi retakan muncul dan membelah tanah. Retakan itu semakin membesar hingga seperti jurang tak berujung. Lalu setelah itu semuanya hancur menjadi serpihan dalam kekosongan.
            Suasan sekitar menjadi semakin gelap. Semakin gelap hingga menjadi hitam pekat. Kosong tak berisi, hanya kegelapan. Tak terlihat apapun.
            Akhirnya setitik cahaya muncul. Semakin lama titik cahaya itu berubah menjadi garis cahaya horizontal diantara kegelapan. Semakin terang. Semakin jelas apa yang tampak dari balik cahaya itu.
            Ah, lagi-lagi aku memimpikan hal aneh itu. Siapa itu Enutra?” gumamku yang baru saja terbangun dari tidur.
***

            Setelah 1 minggu lamanya menjalani masa orientasi[1] yang melelahkan, akhirnya datang juga hari pertamaku sebagai seorang mahasiswa. Sungguh tidak dapat disangka kalau aku dapat memulai kuliahku di sini. Di salah satu universitas terbaik di Indonesia, Universitas Negeri Bandung. Aku sudah mengagumi perguruan tinggi ini sejak sepupuku berhasil menjadi mahasiswa disini. Bukan, bukan karena prestasi besar yang selalu diraih perguruan tinggi ini. Namun, mahasiswi-mahasiswi disini sungguh sangat cantik. Setidaknya aku tidak munafik.
            Namaku Eril Nusantara, seorang mahasiswa delapan belas tahun keturunan jawa dan sunda. Aku tinggal bertiga dengan ibu dan adikku di sebuah rumah sederhana di wilayah Ujung Berung, Bandung.
            Ibuku, Nia Sulastika, adalah seorang ibu rumah tangga yang hebat. Ia selalu setia merawat kedua anaknya dengan baik dan penuh kegigihan. Kadang ia pun bekerja sebagai seorang guru TK hanya untuk mengisi kegiatan ketika aku dan adikku sedang tidak berada di rumah.
            Ayahku sangat jarang ada di rumah. Beliau adalah seorang pelaut domestik yang sangat jarang sekali pulang. Ayahku, Sarso Primono, sangat mengagumi keindahan nusantara Indonesia, itulah sebabnya ia menjadi seorang pelaut dan menamai kedua anaknya dengan nama Nusantara.
            Adikku masih duduk dibangku SMP saat ini. Ia belajar di SMP yang sama denganku waktu dulu, yaitu SMP Negeri Batununggal. Namanya hampir sama denganku, Erul Nusantara. Entah apa yang dipikirkan oleh kedua orang tuaku dengan menamai kami Eril dan Erul, yang jelas nama kami sering tertukar hingga sering terjadi kesalahpahaman. Namun biarpun demikian aku sangat mencintai mereka, ibuku, ayahku, dan adikku.
***

            Aku memasuki ruang kelas pertamaku. Kelasku ini terletak di lantai tiga gedung utara. Universitas ini cukup luas, untuk mencapai kelas itu, dari parkiran motorku pun bisa dicapai paling cepat lima belas menit dengan berjalan kaki. Kali ini aku mengambil kuliah Sastra. Sebenarnya minat dan bakatku akan sastra tidak terlalu besar, hanya saja jurusan ini terkenal akan kecantikan mahasiswi-mahasiswinya. Tapi, entah dugaanku yang salah atau memang aku kurang beruntung, kebanyakan mahasiswi di kelasku kali ini penampilannya dibawah rata-rata penilaianku. Sial.
            Tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku.
            “Heh! Kamu ngambil kelas sastra juga ya? Saya yakin kalau niat kamu lain kan? Hahaha..”
            Yang tadi menepuk pundakku adalah Deril, orang yang paling dekat denganku semenjak masa orientasi berlangsung seminggu yang lalu. Bukan karena kami punya latar belakang yang sama hingga kami menjadi dekat, itu karena kami sering tertukar nama panggilan. Lagi-lagi muncul satu orang yang sering tertukar dengan namaku.
            “Eh?? Maksudnya apaan? Yaa.. Aku sih emang suka sastra kok. Lagian cewek-cewek di sini dibawah rata-rata kok.”
            “Bener juga sih. Tapiii.. Tuh kaaann.. Niat kamu memang lain. Kamu kesini memang mengincar mahasiswi-mahasiswinya kan? Hahaha.. Sampai-sampai dinilai satu-satu begitu.”, Deril berbicara sambil menatap sinis kepadaku.
            “Eh.. Itu.. Iya deh, aku ngaku.” aku menundukan kepalaku.
            “Haha.. Jangan sedih, kabarnya ada satu mahasiswi cantik yang akan masuk kelas ini loh. Keliatannya sih belum datang.”
            “Hah? Oh ya? Siapa ya?” aku kembali bersemangat.
            “Itu loh, Vivi, mahasiswi baru yang cukup populer sewaktu masa orientasi kemarin.”
            “Oh dia? Tapi aku gak terlalu deket nih sama dia.”
            “Jiah, siapa juga yang bilang dia mau deket sama kamu. Dia inceran saya loh. Hahaha..”
            “Sial, Pede banget sih?” aku memicingkan mata.
            Tapi, apa benar Vivi masuk kelas ini? Perasaan sewaktu tadi aku melihat daftar absensi mahasiswa, tidak ada namanya di dalam daftar. Apa mungkin aku salah lihat ya? Ah ya sudahlah, lagipula ia memang belum datang.
            Namun benar dengan apa yang dikatakan Deril, tak lama kemudian Vivi memang benar-benar datang dan masuk ke kelas ini. Dia menatapku dengan tatapan aneh dan kemudian duduk di bangku barisan paling depan. Seketika ada perasaan aneh ketika dia menatapku tadi. Apa mungkin.. Apa mungkin.. Dia pikir.. Aku orang aneh? Apa di hidungku terlihat ada upil? Waaaa... Masa bodoh.
***

            “HENTIKANN!! HENTIKAN!! HENTIKAAAANNNN!!!! TUAN ENUTRA!! TOLONG AKUUU!!
            Aku tersentak cukup hebat. Aku tertidur selama kuliah. Mimpi itu datang lagi bahkan disaat seperti ini. Tapi ketika aku terbangun, seperti ada seseorang yang menatapku dari depan. Aku mengusap mataku. Ternyata Vivi sedang menatapku tanpa ekspresi beberapa saat hingga akhirnya dia kembali lagi membaca bukunya. Aku hanya diam kebingungan, seperti efek kebanyakan orang yang baru terbangun dari tidurnya.
            Mataku sempat terpejam kembali sebentar. Namun kali ini hal aneh terjadi lagi, bukan hanya Vivi yang menatapku. Semua orang di kelas menatapku! Dan ketika aku mengalihkan pandangan menuju  sebelah kiriku, seorang pria paruh baya berdiri dihadapanku dengan ekspresi yang tidak mengenakkan.
            “Hari pertama kuliah kamu sudah tertidur?? Mengecewakan. Keluar sana! Cepat cuci mukamu!”
            Aku terkejut. Ternyata yang ada di sampingku itu adalah dosenku!
            “A.. Anu.. I.. Iya pak.” aku berjalan menuju pintu keluar kelas.
            Semua orang di kelas menertawakanku. Sungguh memalukan. Rasanya ingin kelas ini segera berakhir. Tapi, hanya satu orang yang tidak menertawakanku. Iya, Vivi lagi-lagi hanya menatapku dengan tatapan tanpa ekspresi. Bukan, dia terlihat seperti bersedih!? Kenapa dia?
***

            Seminggu yang lalu kami semua, para mahasiswa baru, menjalani masa orientasi universitas. Tak ada satupun dari kami yang tidak terkena bentakan dan usilan dari kakak-kakak senior. Aku sangat membenci kegiatan seperti ini. Rasanya ada yang salah dengan sistem pendidikan Indonesia yang seolah mengharuskan senior mem-bully juniornya sendiri. Apa boleh buat, kegiatan ini wajib dilakukan sebagai syarat kelulusan nantinya. Sungguh menyebalkan.
            Dari semua kakak senior yang bertindak semena-mena, ada satu orang yang terlihat paling menakutkan diantara yang lain, dia adalah Kak Virny. Bagiku, dia terlihat seperti monster dengan tatapan penuh kebencian. Badannya yang gelap agak gemuk serta berambut ikal sepundak, seperti memancarkan aura kelam setiap kali dia datang. Apalagi bila dia sudah mulai membentak-bentak kami, suaranya mungkin bisa mencapai delapan oktaf, melengking begitu menyakitkan telingaku. Rasanya aku ingin berteriak kepadanya kalau ingin galak lebih baik cantik dulu. Tapi tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan.
            Pada suatu ketika, kami dikumpulkan di sebuah lapangan dekat dengan gedung bagian barat universitas. Acara ini merupakan upacara pembukaan masa orientasi. Namun, ketika acara sedang berlangsung, dari jauh terdengar teriakan si ‘monster’ yang benar-benar mengganggu. Entah apa yang terjadi, tapi acara terus berjalan seolah tidak memperdulikan ‘nyanyian’ Kak Virny.
            Usai upacara pembukaan diselenggarakan, kak Virny berjalan menuju arah tengah lapangan sambil membawa seorang gadis di sampingnya. Gadis itu mengenakan baju yang penuh dengan coretan spidol. Kak Virny kemudian berteriak di depan kami semua.
            “KALIAN TAHU KAN APA AKIBATNYA KALAU TIDAK DISIPLIN?? KALIAN TAHU KAN APA AKIBATNYA KALAU TERLAMBAT DATANG?? SALAH SATU DARI TEMAN KALIAN INI TERLAMBAT, KENAPA TIDAK ADA YANG MENGINGATKAN DIA SUPAYA DATANG TEPAT WAKTU?”
           Semua peserta diam karena takut. Firasatku mulai tidak enak. Malas sekali mendengarkan ocehan si monster ini. Rasanya ingin cepat berakhir dari neraka ini.
            “KARENA KALIAN SEMUA TIDAK ADA YANG MAU RESPECT, KALIAN SEMUA DIHUKUM PUSH UP TIGA PULUH KALI!”
            Sial! Gara-gara gadis itu, aku jadi kena batunya. Tapi, siapa sih dia itu? Penglihatanku saat ini tidak terlalu jelas. Pandanganku tertutup oleh para mahasiswa baru yang berdiri di depanku. Badanku memang agak lebih tinggi dari yang lain, tapi karena banyaknya orang, rasanya sulit untuk melihat bebas ke arah depan. Selain itu, sikap sempurna yang diharuskan melihat punggung teman yang tepat berada di depan semakin membuatku sulit untuk mencari tahu siapa gadis pembuat masalah itu.
            “SEMUANYA SIKAP PUSH UP CEPAT!” teriak si monster itu melengking.
            Semua peserta mulai turun satu persatu untuk melakukan sikap push up. Namun pada saat itu akhirnya aku dapat melihat jelas siapa gadis pembuat masalah itu. Ternyata dia gadis yang berparas sangat cantik. Tubuhnya ramping sempurna dengan rambut lurus panjang hitam kemerahan diikat sepuluh dengan pita. Jika rambutnya tidak diikat karena syarat masa orientasi, mungkin panjangnya hingga mencapai pinggangnya. Kulitnya putih mulus merona cerah. Seorang gambaran wanita yang sempurna, idaman dari setiap lelaki yang melihatnya. Tapi ekspresi wajahnya yang murung dan sedih hanya membuat kecantikannya terasa memudar. Meski demikian, ia tetap terlihat seperti bidadari bagiku.
            “HEY KAMU YANG DI BELAKANG! CEPAT TURUN!”
            Aku terkejut dan segera menuju posisi push up. Rasanya ingin sekali aku melindas si monster dengan truk pengangkut pasir. Ah sudahlah.
            Dua jam berlalu setelah ‘push up massal’ terjadi. Kami sudah dibagi menjadi kelompok-kelompok besar dan memasuki ruangan masing-masing. Acara demi acara dilalui tapi yang ada dipikiranku hanya bayangan gadis cantik yang terlambat datang tadi. Pokoknya aku harus segera mendapatkan informasi tentang dirinya.
            Pencarian informasi tentang siapa gadis cantik itu cukup membuahkan hasil. Nama gadis itu adalah Vivi Ariesta Sylvana, alumni dari SMA Buah Batu Bandung. Tapi, rasanya harapanku untuk bisa dekat denganya terasa sulit. Rupanya sudah ada banyak kakak-kakak senior yang berusaha mendekatinya.
            Sore hari sekitar jam lima, akhirnya kami semua dibubarkan dan dipersilahkan pulang. Sangat lega sekali, seperti melepaskan segala beban di pundak meski tugas tidak penting menumpuk untuk esok harinya. Pintu gerbang keluar terlihat seperti cahaya surga yang menanti kami semua untuk terbebas dari neraka jahanam ini. Namun, dari depan gerbang tampak sesosok siluet seseorang. Semakin ku mendekatinya semakin jelas terlihat siapakah itu. Ternyata dia adalah Vivi. Dia berdiri terdiam dan menatapku seolah menunggu kehadiranku. Tapi yang terjadi, kami hanya berpapasan saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku sangat gugup. Namun sempat terdengar bahwa dia berkata sesuatu ketika kami berpapasan. Entah apa yang ia katakan, saat itu aku tidak terlalu jelas mendengarnya karena rasa gugup yang berlebihan.
***

            “Eril! Istirahat-istirahat gini kok cuma melamun? Ga jajan kamu?” Deril datang menghampiriku yang masih duduk di bangku belakang kelas sambil membawa makanan ringan yang baru ia beli di kantin kampus.
            “Eh kamu, Der? Nanti juga jajan kok. Cuma aku lagi mikirin sesuatu aja nih.”
            “Mikirin apa? Mikirin yang tadi kamu dimarahin dosen gara-gara tidur di kelas? Hahaha..”
            Mukaku memerah dan kemudian mengetuk kepala Deril cukup keras.
            “Sialan, jangan bahas itu lagi. Barusan waktu tertidur, aku memimpikan hal aneh itu lagi.”
            “Wah? Mimpi jorok ya?” Deril memasang ekspresi mesumnya.
            Aku mengetuk kepala Deril lagi namun lebih keras. Deril meminta maaf sambil memasang sikap ‘peace’.
            “Aku mendengar suara teriakan wanita itu terus. Apa ini pertanda?”
            “Pertanda? Hahaha.. Jangan ngaco. Mimpi itu cuma bunga tidur dan tidak memiliki arti apa-apa. Pemanis tidur dan hiasan tidur saja yang tidak memiliki hubungan dengan alam realita dan kerealitasannya.” Deril menjelaskan.
            “Benar juga sih. Tapi yang jadi masalah, mimpi ini suka terjadi berulang-ulang.”
            “Asal kamu tahu, mimpi itu hanya sebuah memori yang terpendam dari dalam pikiran kita, dan kadang tanpa sadar kita bisa membangkitkan memori itu di alam bawah sadar kita. Mungkin kamu punya suatu trauma dalam hidup kamu.”
            “Hmm.. Entahlah.. Sepertinya gak ada sih.”
            “Hmm..” Deril menyandarkan kepalanya ke pundakku.
            “Hmm.. Eh?? Kenapa kepala kamu tiba-tiba ada di pundakku???” aku segera menggeser kepala Deril dari pundakku dengan kasar.
            “Eh? Wak? Sumpah saya buka gay!” Deril langsung pergi dengan cepat.
            Tapi, kata-kata Deril tadi cukup memberikan makna. Mimpi itu adalah memori yang terpendam dalam pikiran kita. Memori apa itu? Entahlah, rasanya tidak ada yang membuatku menyimpan memori yang kuat akhir-akhir ini. Hanya memori tentang Vivi yang akhir-akhir ini sering menatap aneh kepadaku. Ya, rasanya sejak saat itulah aku mulai memimpikan hal yang sama berulang-ulang. Apa dia ada hubungannya dengan mimpiku? Aku rasa otakku mulai terasa lelah berpikir.
***

            Akhirnya jam kuliah terakhir telah selesai. Senang sekali rasanya bisa kembali ke rumah dan kembali bermain game online kesayanganku. Hari ini kebetulan tidak ada tugas sama sekali. Rata-rata kuliah yang disampaikan hanyalah berupa perkenalan saja yang bahkan materinya hanya cerita-cerita pengalaman tentang dosen itu sendiri. Bicara tentang pengalaman, dalam kehidupan bisa dibilang aku hanyalah orang yang biasa-biasa saja dalam segala hal. Tak ada yang istimewa. Jarang sekali bagiku untuk mendapatkan prestasi. Untuk masuk ke universitas ini pun aku berada di kelompok urutan terbawah yang lulus ujian saringan masuk. Tidak hanya pelajaran, baik itu dalam permainan, debat, perlombaan, olahraga, atau apapun, aku tidak pernah bisa menjadi yang terbaik. Apa ini takdir atau mungkin ini kesalahanku sendiri, aku tidak terlalu mempermasalahkannya untuk saat ini.
            Buku dan peralatan tulisku segera aku masukkan ke dalam tas ransel hitam kucal yang sudah dipakai sejak SMA. Mahasiswa lain pun sudah mulai bersiap-siap untuk pulang menuju kediamannya masing-masing. Masih belum banyak interaksi diantara kami. Mungkin karena latar belakang kami yang bervariasi, untuk saat ini aku masih belum mengenali keseluruhan dari mereka.
            Di barisan depan, terlihat Vivi yang masih membereskan peralatan tulisnya. Entah hanya perasaanku saja, Vivi sepertinya tidak terlalu senang untuk berinteraksi dengan orang lain. Ia selalu menyendiri dari semenjak ia datang hingga menjelang pulang. Kali ini ia terlihat buru-buru dan segera keluar dari kelas. Dari belakang kelas aku memperhatikan ada selembar kertas yang ia jatuhkan. Tanpa pikir panjang, dengan segera aku mengambil kertas itu dan berniat mengembalikannya kepada Vivi. Tapi ternyata Vivi sudah pergi terlalu jauh, aku terlambat memberikan kertas itu padanya.
            Sembari keluar dari kelas, aku sejenak melihat kertas yang dijatuhkan oleh Vivi. Ternyata apa yang ada di kertas itu hanyalah sebuah gambar. Namun, tersentak aku terkejut dengan yang sedang kulihat.
            “I.. Ini.. Tidak mungkin.. Bukankah ini.. Bukankah ini adalah gambaran yang sama persis dengan yang ada di mimpiku?? Siapa dia sebenarnya??”
***



[1] Sebuah kegiatan yang umum dilaksanakan di sekolah guna menyambut kedatangan siswa baru.

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39