PERSPEKTIF 1: Ada Yang Terlewatkan
Angin bertiup cukup kencang. Jendela yang sudah
terbuka dari tadi pagi bergerak menutup terbawa angin. Nampaknya hari ini akan
hujan lebat. Ditatapnya langit dari setiap penjuru mata angin. Memang, dari
utara terlihat kalau langit sangatlah gelap.
“Halo.. Jek, hari ini saya males banget keluar nih.
Coba liat ke luar tuh. Gelap banget kan?” Dimas berbicara dengan temannya,
Jaka, lewat telepon.
“Ah sial. Udah lama nih kita ngerencanain acara ini.
Ayo ikut lah. Paling cuma hujan air ini.” balas Jaka dengan nada bercanda.
“Yeee.. Tau gak? Cucian di kamar saya udah kayak
Gunung Manglayang. Males ah kalau ntar nambah cucian lagi gara-gara basah
keujanan.”
“Yaudah terserah deh, kita bakalan upload foto-foto kita di Facebook biar kamu nyesel udah ga ikut.”
“Terseraaahh.. Hahaha.. Yuk ah. Pulsa saya dah mulai
sekarat nih. Saya matiin ya.”
“Sip”
Dimas keluar dari kamar kostnya yang telah ia tempati
selama tiga bulan. Ditatapnya langit sekali lagi. Nampaknya memang akan terjadi
hujan besar. Padahal jam masih menunjukan pukul 07.00 pagi, tapi lampu jalanan
yang menyala otomatis masih mengeluarkan cahaya redupnya.
***
Dimas adalah seorang karyawan baru di sebuah Bank swasta ternama di
Bandung. Empat tahun sudah ia merantau di tanah pasundan ini. Sebelumnya ia
menuntut ilmu di salah satu universitas negeri di daerah timur Bandung.
Banyak yang tidak menyangka kalau Dimas adalah seorang perantau. Orang
tuanya tinggal di Banjarmasin. Ayahnya adalah seorang pegawai Kementrian
Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Selatan. Logat Banjar-nya yang tidak
terlalu kental dikarenakan orang tuanya sendiri adalah keturunan sunda.
Hari ini seharusnya ia pergi bersama teman-teman alumni kampusnya untuk Touring ke daerah Bandung Utara. Entah
kenapa, hari ini dia sangat malas sekali untuk meninggalkan kamar kost-nya. Ia
merasa bahwa firasatnya menahan untuk pergi ke luar. Daripada terjadi sesuatu,
Dimas lebih memilih untuk tetap berada di kamar kostnya.
***
Rintik hujan mulai turun. Sudah lama kota ini tak
mendapat hujan. Denting air seolah berirama menyentuh atap. Bau tanah basah
yang khas tercium. Anak-anak tertawa riang sambil berhujan-hujanan.
“Mungkin ini saatnya tidur siang. Kapan lagi tidur
siang kalau bukan Weekend? Lagian
sekarang hujan nih.” pikir Dimas dalam hati.
Tiba-tiba ada suara seseorang yang mengetuk pintu
kamar kost-nya.
Tok.. Tok.. Tok..
“Ya, siapa?” Dimas bertanya.
“Ini saya, Galuh, bukain pintunya dong. Ada yang mau saya tunjukin. He..
He..”
“Apaan sih?”
“Udah... Cuma bukain aja kenapa sih?”
Dengan malas Dimas membuka pintu kamar kostnya.
“Tau gak, saya lagi sibuk nih.” Dimas sedikit berbohong karena dia memang
tidak terlalu suka dengan Galuh.
“Dih gitu banget, tadi saya ngintip kamu lagi tiduran.”
“Heh.. Sial, ngintip-ngintip segala.”
“Udah lah.. Coba liat ini.”
Galuh memperlihatkan sebuah katana. Pedang khas para samurai Jepang dengan
panjang sekitar 70 cm. Gagangnya terbuat dari kayu dan terdapat ornamen
bernilai seni tinggi. Pada bilah pedang tersebut terdapat beberapa tulisan
kanji. Entah apa artinya, tapi sepertinya pedang ini bukanlah barang yang
murah.
“Ini asli dari Jepang loh!” Galuh menjelaskan dengan bangga.
Dimas melirik tidak perduli.
“Oh ya ya.. Trus saya musti gimana? Musti koprol sambil bilang ‘WOW’ gitu?”
Canda Dimas dengan sinis.
“Dih.. Ga asik ah. Saya mau pamer ke kamar yang laen aja deh.”
“Oh ya, salam ke yang lain. Semoga mereka tabah gitu.”
“Dih..” Galuh pun pergi karena kesal tak mendapat perhatian dari Dimas.
Dimas menutup pintu kamar dan menguncinya.
***
Lelaki introvert ini naik ke atas
kasur, tapi kali ini ia sambil menyalakan laptopnya. Beberapa lagu dari playlist-nya ia putar di winamp.
♫♪♫
I heard
that you're settled down
That you
found a girl and you're married now
I heard
that your dreams came true
Guess she
gave you things I didn't give to you
Old friend,
why are you so shy?
Ain't like
you to hold back or hide from the light
I hate to
turn up out of the blue, uninvited
But I
couldn't stay away, I couldn't fight it
I had hoped
you'd see my face and that you'd be reminded
That for
me, it isn't over
Never mind,
I'll find someone like you
I wish
nothing but the best for you, too
Don't
forget me, I begged, I remember you said
Sometimes
it lasts in love, but sometimes it hurts instead
Sometimes
it lasts in love, but sometimes it hurts instead..
♫♪♫
Sebuah lagu Adele berputar dari winamp
di laptopnya. Salah satu lagu yang ia senangi meskipun isi dari liriknya tak
menggambarkan suasana hatinya. Hanya terkadang ia sering teringat akan
seseorang yang pernah ia sukai setelah mendengar lagu ini.
Perlahan-lahan lantunan lagu dan suara hujan seolah mengantarnya menuju alam
mimpi. Matanya semakin berat untuk ia tahan. Selimut tebal yang baru saja ia
lipat tadi pagi, sudah menutupi tubuhnya kembali. Siang ini rasanya ia
benar-benar ingin mengistirahatkan tubuhnya yang letih setelah lima hari
sebelumnya ia habiskan untuk bekerja.
***
Sore itu rintik hujan mulai berhenti. Dimas membuka matanya perlahan dan
melihat sekitar.
“Oh sudah jam lima sore ya? Berarti sudah empat jam saya tidur siang. Lama
juga nih” ucap Dimas sambil memegang kepalanya yang pusing.
Ia melihat laptopnya masih melantunkan sebuah lagu. Kali ini sebuah lagu klasik
instrumental eropa, Moonlight Sonata.
Dimas kemudian mencoba untuk beranjak dari tempat tidurnya. Masih terduduk,
pusing akibat tidur siangnya yang terlalu lama.
Sudah hampir magrib, ia harus segera melaksanakn solat ashar yang waktunya
tinggal beberapa menit lagi. Ia membuka kunci. Berjalan menuju kamar mandi yang
terletak di sebelah barat dari kamarnya untuk berwudlu.
Ia perhatikan teman-temannya di tempat kost masih banyak yang belum kembali
ke kamarnya masing-masing.
“Ah iya, malam ini kan malam minggu.” Dimas kembali berbicara sendiri
sambil menepuk dahinya.
***
Sudah jam tujuh malam, Dimas masih belum beranjak dari
kamarnya. Dari semenjak bangun dari tidur siangnya, ia masih saja asik dengan
game sepak bola kesayangannya.
Sementara itu di luar sana suara riuh bergema hingga
kamarnya dari tadi sore. Dimas sama sekali tak menghiraukannya. Baginya hal
tersebut sudah biasa terjadi setiap malam minggu.
"Ngomong-ngomong yang lain udah beres
touring-nya atau belum ya?" ia bertanya dengan dirinya sendiri.
Dimas pun mengakhiri permainannya tersebut. Ponselnya
yang sejak tadi tergeletak di atas kasur pun ia ambil.
Dengan cermat ia mencari kontak di ponselnya. Ia
penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Jaka dan teman-temannya hingga
sekarang.
"Lha, kenapa ya? Ini HP kok ga mau
nyambung-nyambung? Apa si Jaka ganti nomor? Coba telepon Beni aja deh."
kata Dimas kebingungan.
Namun ternyata, semua teman-temannya tdak ada yag
bisa dihubungi.
"Ini ada apa sih? Masa semua HP mereka dimatiin
semua? Apa HP saya yang bermasalah gitu ya?" kata Dimas kembali
kebingungan.
Ia cek berkali-kali ponsel layar sentuh pabrikan
Korea miliknya, namun hasilnya tetap nihil.
"Halah.. Ini hp kok udah bermasalah lagi?? Besok
musti ke tempat servis kalau emang hpnya bermasalah nih." kata Dimas
kesal.
***
Akhinya minggu pagi pun tiba. Suara burung yang khas
saling bersahutan di cuaca yang cerah ini. Tak seperti kemarin, di langit terlihat
bahwa enggan untuk berkumpul lagi. Ya, sudah dipastikan hari ini tidak akan
hujan.
Hari ini Dimas bangun cukup pagi. Seperti yang sudah
ia rencanakan, ia berniat untuk pergi ke sebuah pusat elektronik untuk
memperbaiki ponselnya.
“Hoaaammm.. Padahal semalem tidurnya ga terlalu
malem, tapi kok masih ngantuk aja ya?” Dimas berbicara kepada diri sendiri
sambil mengambil remote televisi.
“Loh.. Loh.. Kok gak nyala ya? Pagi-pagi gini udah
mati listrik? Parah nih.”
Ia cek semua alat listriknya dan ternyata tidak ada
satupun yang menyala.
“Haduuh.. Yaudah, mending mandi dulu aja deh.” kata
Dimas sambil mengambil handuk kesayangannya.
Di luar kamar terlihat sangat sepi sekali. Tidak
biasanya, hari minggu ini sama sekali tidak ada orang yang berlalu-lalang di
jalan depan kamar kost-nya. Kamar teman-temannya pun masih terlihat kosong.
Sementara itu muncul beberapa sosok manusia yang
memperhatikan Dimas semenjak ia keluar hingga ke kamar mandi.
***
“Ahhh.. Segarnya mandi di pagi hari.” gumam Dimas
sambil membuka pintu kamar mandi.
Dari jauh terlihat ada empat orang sedang berjalan
dengan lambat menuju ke arahnya. Iya, ternyata keempat orang itu adalah
teman-teman satu kost-nya.
“Eh.. Ternyata kalian udah pada datang? Ayo cepet
mandi.. Haha..” teriak Dimas bercanda.
Namun tidak ada respon dari teman-temannya. Dimas
tidak terlalu peduli. Ia berlari menuju kamarnya karena ia masih berbalut
handuk.
***
Setelah selesai berpakaian, Dimas membuka pintu
kamarnya dan terkaget dengan apa yang sedang ia lihat. Di luar sudah ada banyak
orang berkumpul. Mereka berjalan tak tentu arah dengan tatapan kosong. Pakaian
mereka compang-camping dan penuh dengan darah. Beberapa diantaranya adalah
teman-temannya. Ya, teman-temannya yang barusan mendekatinya.
Setelah Dimas membuka pintu kamar, seketika
orang-orang itu menatapnya. Matanya tajam dan terlihat buas. Menyeringai bagaikan
serigala yang lapar. Kemudian berlari berusaha menyerang Dimas.
Sontak Dimas terkejut dan segera menutup pintu
kamarnya. Bagaikan pemburu yang ingin
mendapatkan mangsanya, orang-orang itu terus menggedor-gedor dan berusaha masuk
ke dalam kamarnya. Suara erangan mereka terdengar bak binatang buas yang kelaparan.
Dimas kebingungan dengan apa yang terjadi.
“A.. A.. Apa ini??? I.. Ini mimpikah??” kata Dimas
panik sambil mencubit-cubit kulitnya untuk memastikan bahwa ia tidak dalam
keadaan bermimpi.
Ia kemudian meringkuk di sudut kamarnya. Entah apa
yang harus dilakukannya. Orang-orang itu terus berusaha merangsek masuk menuju
kamarnya. Kaca jendela kamarnya pun perlahan-lahan mulai retak. Pasrah dan
berdoa, hanya itu yang Dimas lakukan saat ini.
Sementara itu dari luar sayup-sayup terdengar suara
teriakan seseorang, “MATI KAU, ORANG-ORANG GILAA!!”
Tak ada yang bisa diperbuat Dimas saat ini. Ia
melihat sebuah Cutter di mejanya dan
mengambilnya. Setidaknya ia akan berusaha untuk bertahan bila orang-orang
tersebut datang menghabisinya.
Kaca jendela kamarnya akhirnya terpecah akibat
dorongan orang-orang brutal itu. Mereka semua akhirnya masuk menuju kamar Dimas.
Ia berusaha melindungi tubuhnya dengan menutupi dirinya dengan selimut. Entah
mengapa, ia selalu merasa aman bila tubuhnya ditutupi selimut.
Orang-orang itu mengerumuninya. Mereka berusaha untuk
menggigiti dan mencakari tubuh Dimas. Untunglah selimutnya yang tebal cukup
menahan Dimas dari serangan mereka.
Dimas hanya berteriak meminta pertolongan meskipun ia
tahu kemungkinannya akan sangat kecil sekali.
Tiba-tiba dari pintu kamarnya terdengar suara tendangan.
Dimas sudah sangat pasrah bila memang orang-orang itu menjadi semakin banyak
mengerumuninya.
Namun hal lain justru terjadi sebaliknya. Orang-orang
yang menyerang Dimas terasa semakin sedikit. Entah apa yang sedang terjadi, namun
lama kelamaan orang2 tadi kemudian berhenti menyerangnya. Hingga akhirnya
terdengar seseorang berkata.
“Apa tadi kamu digigit?”
“Si.. Siapa kamu?” Dimas bertanya dari dalam
selimutnya dengan ketakutan.
“Apa tadi kamu digigit?!” orang itu kembali bertanya
dengan nada tinggi.
“E.. Enggak kok.. tapi
kamu siapa......” Dimas menjawab sembari membuka selimutnya. Namun, tiba-tiba ia
terkejut setelah melihat orang yang telah menyelamatkannya, “Ka... Ka..
Kamuuuuu??”
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Setelah hampir satu bulan, akhirnya nulis juga..
BalasHapusTernyata lumayan susah nulis tuh.. XD
Ditunggu saran dan kritiknya yaa.. :D
8 tahun kemudian.. Jeng-jeng.. Ada pandemi beneran..
BalasHapusDan blog iini masih sepi.. :11