1 Juli 2013

DUNIA SEMU #10


CHAPTER 10 - PENYELAMATAN
           
            Masih terbayang jelas dalam kepalaku tentang kejadian mengerikan kemarin siang. Tentang teror besar yang melanda kota. Tentang ledakan-ledakan besar yang hampir merenggut nyawaku. Tentang hancurnya kota dan jatuhnya ratusan korban jiwa tanpa dosa. Tentang semua misteri yang sama sekali masih belum kupahami.
            Kini aku berada di salah satu kamar istana Raja Algeas, sebuah tempat yang penuh dengan kenyamanan. Sejak awal aku dan Mikoto mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Bagaikan seorang pahlawan, kami disambut hangat oleh para petinggi kerajaan dengan segala jamuan mewahnya.
            Sebab mengapa aku dan Mikoto mendatangi istana raja baru ku ketahui setelah aku bertemu dengan Raja Algeas. Dia meminta kepada seluruh siswa lulusan terbaik dari masing-masing sekolah di Kerajaan Eternality, Pacifier, dan Yumekuni untuk mengikuti pelatihan sebagai pasukan elit untuk melawan Bangsa Remidi. Pelatihan ini terdiri dari dua puluh peserta terpilih yang telah mendapatkan gelar ksatria terhormat dari Raja Algeas.

            Meskipun keadaanku disini bisa dianggap sebuah keberuntungan, tapi di dalam hatiku masih menyisakan kesesakkan. Bagaimana mungkin Dionze yang selama ini menemaniku dalam perjalanan kini mendekam sendirian di balik penjara bawah tanah Kota Velika dan menunggu untuk segera di eksekusi? Sangat berbanding terbalik dengan tempatku yang penuh dengan kemewahan saat ini. Aku merasa sangat bersalah padanya. Aku masih belum mengerti dengan semua ini.
            Sebenarnya ketika pertama aku sampai di istana ini, aku sempat berbicara dan memohon pada Raja Algeas agar melepaskan Dionze dari tuduhan tanpa bukti tersebut. Tapi Raja Algeas yang terkenal dengan keramah tamahannya langsung menolak lembut padaku dan berkata bahwa semua bukti sudah sangat jelas. Selain itu, dia pun mengatakan bahwa Dionze harus segera dieksekusi secepatnya atas kerusakan yang telah dilakukannya.
            Jebakan.. Itulah yang masih kupikirkan sejak terakhir kali aku berbicara dengan Dionze. Sampai saat ini aku masih belum menemukan maksud dari pembicaraan dengannya saat itu. Apa tujuan dan siapa yang melakukan penjebakan tersebut masih belum kuketahui. Yang jelas, jebakan itulah yang telah membuat Dionze mendekam di penjara.
            Seharusnya Mikoto yang sejak awal mengetahui hal tersebut sudah menjelaskan mengenai jebakan yang dimaksud Dionze. Tapi, kini ia telah berubah menjadi orang yang pendiam dan sama sekali tak mau berbicara sedikit pun padaku. Awalnya kupikir karena dia sedang lemah sehabis melakukan healing padaku, tapi dia masih belum mau berbicara hingga terakhir kali aku bertemu dengannya tadi pagi.
            “Aahhh.. Pusing kepalaku memikirkan semua yang masih belum kuketahui.”
            Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk ukuran queen size mewah berwarna putih. Sempat terbayangkan bagaimana Dionze sekarang di penjara bawah tanah dengan segala ketidaknyamanan di dalamnya. Aku pasti akan segera menolongmu. Pasti.
***

            Dingin, gelap, dan kotor, inilah penjara bawah tanah tempat Dionze duduk termenung menunggu eksekusi yang akan segera dilaksanakan dua hari lagi. Raut wajahnya sama sekali tidak menampakkan ketakutan. Ia masih yakin bahwa kebenaran pasti akan menyelamatkannya, hanya saja waktu lah yang dapat menentukan kapan itu terjadi.
            Seorang seorang lelaki sedang berbaring di sebuah batu yang dibentuk seperti tempat tidur di sel tempat Dionze berada. Dia adalah tahanan yang satu sel dengannya. Lelaki itu tidak terlihat seperti penjahat pada umumnya, bahkan lebih terlihat seperti seorang bangsawan dibandingkan seorang penjahat, hanya saja sedikit lebih kucal. Rambutnya panjang diikat agak keemasan, kulitnya putih, dan badannya tinggi kurus mungkin karena sudah terlalu lama berada di penjara ini.
            Dionze belum pernah menyapanya semenjak pertama kali dibawa ke sel ini. Bukan karena takut, tapi dia berusaha untuk menjauhkan diri dari tahanan lainnya. Tahanan itu pun sepertinya memiliki pemikiran yang sama dengan Dionze, mereka berdua selalu menjaga jarak satu sama lain.
            “Meskipun aku tidak suka jika ada orang lain di selku ini, tapi aku ucapkan selamat datang.” tiba-tiba lelaki itu berkata pada Dionze.
            Dionze hanya melihat lelaki itu dan kembali memalingkan wajahnya. Dia sama sekali tidak ingin membalas sapaannya.
            “Oh.. Jadi di tempatmu berasal ucapan selamat datang selalu dibalas dengan perlakuan seperti itu?” lelaki itu kembali berkata pada Dionze.
            “Aku tidak peduli dengan apa yang kau katakan.”
            “Ahaha.. Baiklah-baiklah. Lagipula aku dengar dua hari lagi kau akan segera dieksekusi mati bukan? Kalau begitu lebih baik aku akan selalu menganggapmu tidak ada.”
            “Aku tidak akan mati semudah itu.”
            “Wow.. Hebat juga kepercayaan dirimu itu? Sepertinya kamu bukan sekedar seorang tahanan biasa.”
            “Bukan urusanmu.”
            “Aku yakin kau pasti ditahan karena sebuah kesalahpahaman.”
            “Aku bilang itu bukan urusanmu.”
            “Wah, ramah sekali perkataanmu?”
            Dionze semakin lama semakin kesal dengan lelaki yang sedang berbaring itu. Dia mendekatinya dan menghentakkan tangannya tepat di sebelah kepala tahanan satu selnya itu.
            “Apa yang sebenarnya kamu inginkan?!” Dionze berteriak padanya.
            “Tidak ada.”
            “Kalau begitu, diamlah!”
            “Hahaha.. Ternyata memang benar. Siapapun mentalnya akan tidak stabil bila sedang dalam keadaan putus asa. Termasuk salah satu jendral olympus sepertimu.”
            Dionze terkejut dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Darimana dia tahu kalau dia sebenarnya adalah salah satu jendral di Kerajaan Olympus?
            “Da.. Darimana kau tahu bahwa aku adalah salah satu jendral Olympus?”
            “Jendral Dionze, jendral bergelar ‘Cor Fortium Tanker’ dari Kerajaan Olympus. Ah mana mungkin aku tidak tahu siapa kamu.”
            “Siapa kamu sebenarnya?”
            “Bukan siapa-siapa.”
            Dionze semakin kesal dengan sikap menjengkelkan lelaki itu.
            “Baiklah, aku semakin tidak peduli denganmu.” Dionze menjauhi lelaki itu dan kembali menjaga jarak dengannya.
            “Tapi, aku bisa membantumu keluar dari masalahmu.”
            Dionze kembali mendekati lelaki itu.
            “Apa maksud dari perkataanmu itu?”
            “Ya, aku bisa membantumu keluar dari sini.”
            “Meskipun aku tidak terlalu mempercayaimu, tapi aku ingin mendengar penjelasanmu.”
            “Ya, itu mudah. Tapi, ada satu syarat yang harus kau lakukan untukku.” lelaki tersenyum pada Dionze.
***

            Aku berjalan menuju balkon kamarku. Dari sini aku bisa melihat taman istana yang luas dengan sebuah kolam air mancur di tengahnya. Pikiranku masih kalut, aku hanya memandangi pemandangan indah malam ini dari sini.
            Menyesal tidak akan menyelesaikan masalah. Meski begitu, aku masih menyesali mengapa aku sama sekali tidak bisa menolong Dionze hingga saat ini. Jika saja saat itu tidak memintanya untuk menemaniku ke istana ini, mungkin saat ini dia tidak akan bernasib seperti sekarang. Sungguh sangat bodoh aku ini.
            Aku termenung menyenderkan daguku di atas pagar pembatas balkon. Dalam pikiranku aku berpikir jika saja aku bisa menemukan siapa pelaku penjebakan ini. Entah apa motif yang dia inginkan hingga menjebak Dionze seperti ini. Apakah mungkin dia adalah musuh dari Dionze? Atau mungkin ini adalah perbuatan Bangsa Remidi yang gagal membunuh Dionze? Aku butuh penjelasan dari semua ini. Jika saja Mikoto mau berbicara lagi denganku, mungkin setidaknya ada satu atau dua jawaban dari semua permasalahan ini.
            “Bukan! Ini bukanlah keinginanku!”
            Tiba-tiba saja aku mendengar seorang wanita berteriak dari arah taman. Aku mencari sumber suara itu dan ternyata suara itu datang dari seorang wanita yang sedang berdiri di samping kolam air mancur. Aku tak dapat melihat jelas wajahnya, yang aku lihat hanyalah rambut panjangnya yang berkilau.
            “Jika memang ini keputusan ayah, lebih baik aku pergi!” wanita itu kembali berteriak.
            Aku mencari tahu dengan siapa dia berbicara. Aku menengok ke segala arah, tapi tak ada seorang pun selain wanita itu yang berada di sekitar sana. Apa mungkin dia sedang berbicara dengan makhluk yang tidak bisa kulihat? Bulu kudukku mendadak berdiri.
            “Aku bosan dengan segala topeng kebohonganmu!” wanita itu berteriak lagi, tapi kini ia mengatakannya sambil menangis.
            Aku masih memperhatikannya dari balkon kamarku. Meski terlihat samar-samar, namun kelihatannya wanita itu memiliki penampilan yang sangat anggun. Aku sempat berpikir jika wanita itu adalah putri dari Raja Algeas. Tapi aku tidak yakin dengan perkataannya yang mengatakan bahwa Raja Algeas hanyalah seorang raja yang selalu berada di balik topeng kebohongan.
            Setelah memikirkan apa yang wanita itu katakan, tanpa kusadari ternyata kini dia sedang menengok ke arahku. Aku terkejut dan segera bersembunyi dari balik pintu balkon. Aku harap ia tidak benar-benar melihatku.
            ~Tok.. Tok.. Tok..
            Ketika aku sedang bersembunyi, tiba-tiba saja terdengar suara ada ketukan dari balik pintu kamarku. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Entah kenapa aku khawatir jika orang yang mengetuk itu adalah wanita tadi berteriak di taman.
            “Si.. Siapa itu?” aku bertanya pada orang di balik pintu.
            Tidak ada jawaban sama sekali. Semakin lama keringat dinginku semakin mengucur deras.
            Aku mendekati pintu kamarku dan memegang gagangnya. Perlahan aku memutar kenob gagang pintu dan membukanya. Sedikit demi sedikit aku mengintip untuk memastikan siapa yang ada di balik pintu kamarku ini.
            “Apa yang kamu lakukan, mesum? Kenapa kau lama sekali membuka pintunya?” orang di balik pintu itu berkata.
            “Hah? Mikoto?? Syukurlah ternyata itu kamu.” aku bersyukur dengan memeluk mikoto.
            “Tolong diam, mesum. Aku ingin mengobrol denganmu.”      
            Akhirnya aku persilahkan Mikoto untuk masuk ke dalam kamarku. Sebuah tanda merah bekas tamparan Mikoto di pipiku membuatku semakin was-was terhadapnya. Mikoto tetaplah Mikoto, gadis galak yang terus memanggilku si mesum. Tapi biar bagaimanapun juga, dialah yang telah menyembuhkan kakiku saat ledakan kemarin.
            “Sebenarnya apa yang ingin kamu bicarakan denganku?”
            “Sebelumnya aku ingin kau mengunci pintu kamarmu.”
            “Woohoho.. Kamu mau apain aku?? Aku masih perjaka!!”
            Kali ini dua tanda merah sudah muncul di kanan dan kiri pipiku.
            “Aku ingin membicarakan tentang Dionze.”
            “Dionze?”
            “Ya, aku ingin kamu membantuku untuk membebaskannya.”
            “Sebenarnya aku juga ingin membebaskannya, tapi aku masih belum terpikirkan bagaimana caranya.”
            “Untuk itu, aku ingin membicarakan rencanaku ini padamu.”
            “Wah.. Tunggu, kenapa kamu tiba-tiba ingin membebaskan Dionze?”
            Wajah Mikoto tiba-tiba memerah.
            “Jangan-jangan kamu suka dengan Dionze ya?” aku menggoda Mikoto.
            “Berisik! Setidaknya aku ingin berterima kasih padanya karena sudah menyelamatku saat ledakan kemarin.”
            “Ah yang bener?” aku menggodanya lagi.
            Sebuah benjolan di kepalaku menjadi tanda bahwa Mikoto semakin kesal padaku.
            Setelah itu aku dan Mikoto membicarakan rencana pelarian Dionze dengan serius. Rencana yang dipikirkan Mikoto sebenarnya agak sedikit berbahaya, tapi hanya cara itulah yang mempunyai peluang keberhasilan terbesar.
            “Oh ya.. Sebelum kamu kembali menuju kamarmu, aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu.” aku mengajak Mikoto menuju balkon kamar.
            “Apa yang ingin kau perlihatkan? Hanya taman besar dengan kolam air mancur? Dari kamarku pun aku bisa melihat ini semua.”
            Aku mencari-cari wanita yang tadi berteriak sendirian.
            “Tadi di situ, di dekat kolam air mancur ada seorang wanita yang berteriak sendirian.”
            “Jangan mencoba untuk menakutiku.”
            “Serius kok. Kayaknya sih dia sekarang sudah tidak ada.”
            “Ah sudahlah semua omong kosong ini. Paling-paling kamu cuma berhalusinasi dengan otak mesummu itu. Aku mau kembali ke kamarku.” Mikoto berkata sambil pergi menuju ke luar kamarku.
            “Ya sudah, selamat tidur.”
            Sepertinya wanita itu sudah kembali ke kamarnya. Tapi, yang aku pikirkan apakah dia tadi sempat melihatku? Siapa dia sebenarnya?
***

            Malam ini adalah saat yang tepat setelah kemarin malam melakukan perencanaan dengan Mikoto untuk pelarian Dionze dari penjara. Aku dan Mikoto berkumpul di kamarku untuk briefing sementara dan menyiapkan semua peralatannya. Peralatan tersebut adalah sepasang baju ketat berwarna hitam beserta topengnya, dua buah alat penerang seperti senter, tali tambang, dan gergaji tangan. Entah darimana Mikoto mendapatkan peralatan tersebut, tapi yang terpenting rencana ini harus segera berhasil.
            Mikoto membuka gulungan kertas yang berisi peta Istana Velika beserta penjara bawah tanahnya. Ia menerangkan kembali rencana perjalanannya untuk memastikan tidak terjadinya kesalahan. Mikoto memberi isyarat padaku untuk segera memulai operasi ini, aku mengangguk tanda mengerti dan langsung berpencar mengikuti rencana.
            Aku mengambil arah melalui saluran pembuangan sedangkan Mikoto mengambil arah yang berlainan sesuai dengan rencananya. Perlahan-lahan aku masuk dan kupastikan tidak ada penjaga penjara dari sini. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong dan mengikuti arah berdasarkan peta yang tadi Mikoto tunjukan.
            “Pantas saja Mikoto menyuruhku untuk mengambil rute ini, tempat ini sangat kotor dan bau.”
            Akhirnya aku berhasil sampai di saluran pembuangan yang terhubung langsung menuju ruang penjaga penjara. Sesuai dugaan Mikoto, penjaga ini selalu tertidur. Perlahan-lahan aku keluar dari saluran pembuangan dan mengendap-endap mendekati penjaga yang sedang tidur itu untuk mencari kunci-kunci penjara. Ternyata, kunci penjara tidak ada di sini. Mereka tidak menyimpan kuncinya di ruangan ini!
            Untuk saat ini aku harus menjalankan rencana B, yaitu menunggu Mikoto sampai di tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Sambil menunggu, aku mengecek kembali peta yang diberikan Mikoto.       
           “Rasanya aku tidak salah ruangan, sepertinya mereka memang tidak menyimpan kunci-kunci di ruangan itu.”
            Tiba-tiba seseorang menyentuhku dari belakang! Aku semakin terkejut setelah melihat bahwa orang yang menyentuhku itu adalah penjaga penjara!
            “Tenang, ini aku. Aku mendapatkan baju ini dari ruang ganti. Apa kamu sudah mendapatkan kuncinya?” ternyata orang itu adalah Mikoto yang sedang menyamar.
            “Nihil, sepertinya mereka tidak menyimpan kuncinya di ruangan itu.”
            “Baiklah, kita sepertinya harus menggunakan rencana B. Gergajinya ada padamu kan?”
            “Tenang saja, gergajinya ada padaku.”
            “Cepat pakai baju penjaga ini sebelum ada orang yang melihat kita!”
            Aku dan Mikoto akhirnya menyamar menjadi penjaga penjara. Untunglah seragam penjara ini menggunakan penutup kepala, karenanya kami bisa leluasa melewati setiap lorong tanpa was-was diketahui siapa kami sebenarnya.
            Kami semakin dekat dengan sel yang mengurung Dionze. Tinggal beberapa blok sel lagi maka kami akan segera menemuinya dan segera membebaskannya.
            Tapi hal mengejutkan terjadi setelah kami sampai di sel tersebut. Aku sama sekali tidak melihat siapapun di dalam sel tersebut?! Sel itu kosong tanpa penghuninya. Dionze menghilang!
            “Apa kamu yakin Dionze ditahan di sini?” aku bertanya pada Mikoto.
            “Ya! Aku sangat yakin!”
            “Tapi, dimana dia sekarang??”
***

1 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39