CHAPTER 10 - PENYELAMATAN
Masih
terbayang jelas dalam kepalaku tentang kejadian mengerikan kemarin siang.
Tentang teror besar yang melanda kota. Tentang ledakan-ledakan besar yang
hampir merenggut nyawaku. Tentang hancurnya kota dan jatuhnya ratusan korban
jiwa tanpa dosa. Tentang semua misteri yang sama sekali masih belum kupahami.
Kini
aku berada di salah satu kamar istana Raja Algeas, sebuah tempat yang penuh
dengan kenyamanan. Sejak awal
aku dan Mikoto mendapat perlakuan yang sangat berbeda. Bagaikan seorang
pahlawan, kami disambut hangat oleh para petinggi kerajaan dengan segala jamuan
mewahnya.
Sebab
mengapa aku dan Mikoto mendatangi istana raja baru ku ketahui setelah aku
bertemu dengan Raja Algeas. Dia meminta kepada seluruh siswa lulusan terbaik
dari masing-masing sekolah di Kerajaan Eternality, Pacifier, dan Yumekuni untuk
mengikuti pelatihan sebagai pasukan elit untuk melawan Bangsa Remidi. Pelatihan
ini terdiri dari dua puluh peserta terpilih yang telah mendapatkan gelar
ksatria terhormat dari Raja Algeas.
Meskipun
keadaanku disini bisa dianggap sebuah keberuntungan, tapi di dalam hatiku masih
menyisakan kesesakkan. Bagaimana mungkin Dionze yang selama ini menemaniku
dalam perjalanan kini mendekam sendirian di balik penjara bawah tanah Kota
Velika dan menunggu untuk segera di eksekusi? Sangat berbanding terbalik dengan
tempatku yang penuh dengan kemewahan saat ini. Aku merasa sangat bersalah
padanya. Aku masih belum mengerti dengan semua ini.
Sebenarnya
ketika pertama aku sampai di istana ini, aku sempat berbicara dan memohon pada
Raja Algeas agar melepaskan Dionze dari tuduhan tanpa bukti tersebut. Tapi Raja
Algeas yang terkenal dengan keramah tamahannya langsung menolak lembut padaku
dan berkata bahwa semua bukti sudah sangat jelas. Selain itu, dia pun
mengatakan bahwa Dionze harus segera dieksekusi secepatnya atas kerusakan yang
telah dilakukannya.
Jebakan..
Itulah yang masih kupikirkan sejak terakhir kali aku berbicara dengan Dionze.
Sampai saat ini aku masih belum menemukan maksud dari pembicaraan dengannya
saat itu. Apa tujuan dan siapa yang melakukan penjebakan tersebut masih belum
kuketahui. Yang jelas, jebakan itulah yang telah membuat Dionze mendekam di penjara.
Seharusnya
Mikoto yang sejak awal mengetahui hal tersebut sudah menjelaskan mengenai
jebakan yang dimaksud Dionze. Tapi, kini ia telah berubah menjadi orang yang
pendiam dan sama sekali tak mau berbicara sedikit pun padaku. Awalnya kupikir
karena dia sedang lemah sehabis melakukan healing
padaku, tapi dia masih belum mau berbicara hingga terakhir kali aku bertemu
dengannya tadi pagi.
“Aahhh..
Pusing kepalaku memikirkan semua yang masih belum kuketahui.”
Aku
membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk ukuran queen size mewah berwarna putih. Sempat terbayangkan bagaimana
Dionze sekarang di penjara bawah tanah dengan segala ketidaknyamanan di
dalamnya. Aku pasti akan segera menolongmu. Pasti.
***
Dingin,
gelap, dan kotor, inilah penjara bawah tanah tempat Dionze duduk termenung
menunggu eksekusi yang akan segera dilaksanakan dua hari lagi. Raut wajahnya
sama sekali tidak menampakkan ketakutan. Ia masih yakin bahwa kebenaran pasti
akan menyelamatkannya, hanya saja waktu lah yang dapat menentukan kapan itu
terjadi.
Seorang
seorang lelaki sedang berbaring di sebuah batu yang dibentuk seperti tempat
tidur di sel tempat Dionze berada. Dia adalah tahanan yang satu sel dengannya. Lelaki
itu tidak terlihat seperti penjahat pada umumnya, bahkan lebih terlihat seperti
seorang bangsawan dibandingkan seorang penjahat, hanya saja sedikit lebih kucal.
Rambutnya panjang diikat agak keemasan, kulitnya putih, dan badannya tinggi kurus
mungkin karena sudah terlalu lama berada di penjara ini.
Dionze
belum pernah menyapanya semenjak pertama kali dibawa ke sel ini. Bukan karena takut,
tapi dia berusaha untuk menjauhkan diri dari tahanan lainnya. Tahanan itu pun
sepertinya memiliki pemikiran yang sama dengan Dionze, mereka berdua selalu menjaga
jarak satu sama lain.
“Meskipun
aku tidak suka jika ada orang lain di selku ini, tapi aku ucapkan selamat
datang.” tiba-tiba lelaki itu berkata pada Dionze.
Dionze
hanya melihat lelaki itu dan kembali memalingkan wajahnya. Dia sama sekali
tidak ingin membalas sapaannya.
“Oh..
Jadi di tempatmu berasal ucapan selamat datang selalu dibalas dengan perlakuan
seperti itu?” lelaki itu kembali berkata pada Dionze.
“Aku
tidak peduli dengan apa yang kau katakan.”
“Ahaha..
Baiklah-baiklah. Lagipula aku dengar dua hari lagi kau akan segera dieksekusi
mati bukan? Kalau begitu lebih baik aku akan selalu menganggapmu tidak ada.”
“Aku
tidak akan mati semudah itu.”
“Wow..
Hebat juga kepercayaan dirimu itu? Sepertinya kamu bukan sekedar seorang
tahanan biasa.”
“Bukan
urusanmu.”
“Aku
yakin kau pasti ditahan karena sebuah kesalahpahaman.”
“Aku
bilang itu bukan urusanmu.”
“Wah,
ramah sekali perkataanmu?”
Dionze
semakin lama semakin kesal dengan lelaki yang sedang berbaring itu. Dia mendekatinya
dan menghentakkan tangannya tepat di sebelah kepala tahanan satu selnya itu.
“Apa
yang sebenarnya kamu inginkan?!” Dionze berteriak padanya.
“Tidak
ada.”
“Kalau
begitu, diamlah!”
“Hahaha..
Ternyata memang benar. Siapapun mentalnya akan tidak stabil bila sedang dalam
keadaan putus asa. Termasuk salah satu jendral olympus sepertimu.”
Dionze
terkejut dengan apa yang dikatakan lelaki itu. Darimana dia tahu kalau dia
sebenarnya adalah salah satu jendral di Kerajaan Olympus?
“Da..
Darimana kau tahu bahwa aku adalah salah satu jendral Olympus?”
“Jendral
Dionze, jendral bergelar ‘Cor Fortium Tanker’ dari Kerajaan Olympus. Ah mana
mungkin aku tidak tahu siapa kamu.”
“Siapa
kamu sebenarnya?”
“Bukan
siapa-siapa.”
Dionze
semakin kesal dengan sikap menjengkelkan lelaki itu.
“Baiklah,
aku semakin tidak peduli denganmu.” Dionze menjauhi lelaki itu dan kembali
menjaga jarak dengannya.
“Tapi,
aku bisa membantumu keluar dari masalahmu.”
Dionze
kembali mendekati lelaki itu.
“Apa
maksud dari perkataanmu itu?”
“Ya, aku bisa membantumu keluar dari sini.”
“Ya, aku bisa membantumu keluar dari sini.”
“Meskipun
aku tidak terlalu mempercayaimu, tapi aku ingin mendengar penjelasanmu.”
“Ya,
itu mudah. Tapi, ada satu syarat yang harus kau lakukan untukku.” lelaki tersenyum
pada Dionze.
***
Aku
berjalan menuju balkon kamarku. Dari sini aku bisa melihat taman istana yang
luas dengan sebuah kolam air mancur di tengahnya. Pikiranku masih kalut, aku
hanya memandangi pemandangan indah malam ini dari sini.
Menyesal
tidak akan menyelesaikan masalah. Meski begitu, aku masih menyesali mengapa aku
sama sekali tidak bisa menolong Dionze hingga saat ini. Jika saja saat itu
tidak memintanya untuk menemaniku ke istana ini, mungkin saat ini dia tidak
akan bernasib seperti sekarang. Sungguh sangat bodoh aku ini.
Aku
termenung menyenderkan daguku di atas pagar pembatas balkon. Dalam pikiranku
aku berpikir jika saja aku bisa menemukan siapa pelaku penjebakan ini. Entah
apa motif yang dia inginkan hingga menjebak Dionze seperti ini. Apakah mungkin
dia adalah musuh dari Dionze? Atau mungkin ini adalah perbuatan Bangsa Remidi
yang gagal membunuh Dionze? Aku butuh penjelasan dari semua ini. Jika saja
Mikoto mau berbicara lagi denganku, mungkin setidaknya ada satu atau dua
jawaban dari semua permasalahan ini.
“Bukan!
Ini bukanlah keinginanku!”
Tiba-tiba
saja aku mendengar seorang wanita berteriak dari arah taman. Aku mencari sumber
suara itu dan ternyata suara itu datang dari seorang wanita yang sedang berdiri
di samping kolam air mancur. Aku tak dapat melihat jelas wajahnya, yang aku
lihat hanyalah rambut panjangnya yang berkilau.
“Jika
memang ini keputusan ayah, lebih baik aku pergi!” wanita itu kembali berteriak.
Aku
mencari tahu dengan siapa dia berbicara. Aku menengok ke segala arah, tapi tak
ada seorang pun selain wanita itu yang berada di sekitar sana. Apa mungkin dia
sedang berbicara dengan makhluk yang tidak bisa kulihat? Bulu kudukku mendadak
berdiri.
“Aku
bosan dengan segala topeng kebohonganmu!” wanita itu berteriak lagi, tapi kini
ia mengatakannya sambil menangis.
Aku
masih memperhatikannya dari balkon kamarku. Meski terlihat samar-samar, namun kelihatannya
wanita itu memiliki penampilan yang sangat anggun. Aku sempat berpikir jika
wanita itu adalah putri dari Raja Algeas. Tapi aku tidak yakin dengan
perkataannya yang mengatakan bahwa Raja Algeas hanyalah seorang raja yang
selalu berada di balik topeng kebohongan.
Setelah
memikirkan apa yang wanita itu katakan, tanpa kusadari ternyata kini dia sedang
menengok ke arahku. Aku terkejut dan segera bersembunyi dari balik pintu
balkon. Aku harap ia tidak benar-benar melihatku.
~Tok.. Tok.. Tok..
Ketika
aku sedang bersembunyi, tiba-tiba saja terdengar suara ada ketukan dari balik
pintu kamarku. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Entah kenapa aku
khawatir jika orang yang mengetuk itu adalah wanita tadi berteriak di taman.
“Si..
Siapa itu?” aku bertanya pada orang di balik pintu.
Tidak
ada jawaban sama sekali. Semakin lama keringat dinginku semakin mengucur deras.
Aku
mendekati pintu kamarku dan memegang gagangnya. Perlahan aku memutar kenob
gagang pintu dan membukanya. Sedikit demi sedikit aku mengintip untuk
memastikan siapa yang ada di balik pintu kamarku ini.
“Apa
yang kamu lakukan, mesum? Kenapa kau lama sekali membuka pintunya?” orang di
balik pintu itu berkata.
“Hah?
Mikoto?? Syukurlah ternyata itu kamu.” aku bersyukur dengan memeluk mikoto.
“Tolong
diam, mesum. Aku ingin mengobrol denganmu.”
Akhirnya
aku persilahkan Mikoto untuk masuk ke dalam kamarku. Sebuah tanda merah bekas
tamparan Mikoto di pipiku membuatku semakin was-was terhadapnya. Mikoto
tetaplah Mikoto, gadis galak yang terus memanggilku si mesum. Tapi biar
bagaimanapun juga, dialah yang telah menyembuhkan kakiku saat ledakan kemarin.
“Sebenarnya
apa yang ingin kamu bicarakan denganku?”
“Sebelumnya
aku ingin kau mengunci pintu kamarmu.”
“Woohoho..
Kamu mau apain aku?? Aku masih perjaka!!”
Kali
ini dua tanda merah sudah muncul di kanan dan kiri pipiku.
“Aku
ingin membicarakan tentang Dionze.”
“Dionze?”
“Ya,
aku ingin kamu membantuku untuk membebaskannya.”
“Sebenarnya
aku juga ingin membebaskannya, tapi aku masih belum terpikirkan bagaimana
caranya.”
“Untuk
itu, aku ingin membicarakan rencanaku ini padamu.”
“Wah..
Tunggu, kenapa kamu tiba-tiba ingin membebaskan Dionze?”
Wajah
Mikoto tiba-tiba memerah.
“Jangan-jangan
kamu suka dengan Dionze ya?” aku menggoda Mikoto.
“Berisik!
Setidaknya aku ingin berterima kasih padanya karena sudah menyelamatku saat
ledakan kemarin.”
“Ah
yang bener?” aku menggodanya lagi.
Sebuah
benjolan di kepalaku menjadi tanda bahwa Mikoto semakin kesal padaku.
Setelah
itu aku dan Mikoto membicarakan rencana pelarian Dionze dengan serius. Rencana
yang dipikirkan Mikoto sebenarnya agak sedikit berbahaya, tapi hanya cara itulah
yang mempunyai peluang keberhasilan terbesar.
“Oh
ya.. Sebelum kamu kembali menuju kamarmu, aku ingin memperlihatkan sesuatu
padamu.” aku mengajak Mikoto menuju balkon kamar.
“Apa
yang ingin kau perlihatkan? Hanya taman besar dengan kolam air mancur? Dari
kamarku pun aku bisa melihat ini semua.”
Aku
mencari-cari wanita yang tadi berteriak sendirian.
“Tadi
di situ, di dekat kolam air mancur ada seorang wanita yang berteriak sendirian.”
“Jangan
mencoba untuk menakutiku.”
“Serius
kok. Kayaknya sih dia sekarang sudah tidak ada.”
“Ah
sudahlah semua omong kosong ini. Paling-paling kamu cuma berhalusinasi dengan
otak mesummu itu. Aku mau kembali ke kamarku.” Mikoto berkata sambil pergi
menuju ke luar kamarku.
“Ya
sudah, selamat tidur.”
Sepertinya
wanita itu sudah kembali ke kamarnya. Tapi, yang aku pikirkan apakah dia tadi
sempat melihatku? Siapa dia sebenarnya?
***
Malam
ini adalah saat yang tepat setelah kemarin malam melakukan perencanaan dengan
Mikoto untuk pelarian Dionze dari penjara. Aku dan Mikoto berkumpul di kamarku
untuk briefing sementara dan
menyiapkan semua peralatannya. Peralatan tersebut adalah sepasang baju ketat
berwarna hitam beserta topengnya, dua buah alat penerang seperti senter, tali
tambang, dan gergaji tangan. Entah darimana Mikoto mendapatkan peralatan
tersebut, tapi yang terpenting rencana ini harus segera berhasil.
Mikoto
membuka gulungan kertas yang berisi peta Istana Velika beserta penjara bawah
tanahnya. Ia menerangkan kembali rencana perjalanannya untuk memastikan tidak
terjadinya kesalahan. Mikoto memberi isyarat padaku untuk segera memulai
operasi ini, aku mengangguk tanda mengerti dan langsung berpencar mengikuti
rencana.
Aku
mengambil arah melalui saluran pembuangan sedangkan Mikoto mengambil arah yang
berlainan sesuai dengan rencananya. Perlahan-lahan aku masuk dan kupastikan
tidak ada penjaga penjara dari sini. Aku berjalan menyusuri lorong-lorong dan
mengikuti arah berdasarkan peta yang tadi Mikoto tunjukan.
“Pantas
saja Mikoto menyuruhku untuk mengambil rute ini, tempat ini sangat kotor dan
bau.”
Akhirnya
aku berhasil sampai di saluran pembuangan yang terhubung langsung menuju ruang
penjaga penjara. Sesuai dugaan Mikoto, penjaga ini selalu tertidur.
Perlahan-lahan aku keluar dari saluran pembuangan dan mengendap-endap mendekati
penjaga yang sedang tidur itu untuk mencari kunci-kunci penjara. Ternyata, kunci
penjara tidak ada di sini. Mereka tidak menyimpan kuncinya di ruangan ini!
Untuk
saat ini aku harus menjalankan rencana B, yaitu menunggu Mikoto sampai di
tempat yang telah ditentukan sebelumnya. Sambil menunggu, aku mengecek kembali
peta yang diberikan Mikoto.
“Rasanya aku tidak salah ruangan, sepertinya mereka memang tidak menyimpan kunci-kunci di ruangan itu.”
“Rasanya aku tidak salah ruangan, sepertinya mereka memang tidak menyimpan kunci-kunci di ruangan itu.”
Tiba-tiba
seseorang menyentuhku dari belakang! Aku semakin terkejut setelah melihat bahwa
orang yang menyentuhku itu adalah penjaga penjara!
“Tenang,
ini aku. Aku mendapatkan baju ini dari ruang ganti. Apa kamu sudah mendapatkan
kuncinya?” ternyata orang itu adalah Mikoto yang sedang menyamar.
“Nihil,
sepertinya mereka tidak menyimpan kuncinya di ruangan itu.”
“Baiklah, kita sepertinya harus menggunakan rencana B. Gergajinya ada padamu kan?”
“Baiklah, kita sepertinya harus menggunakan rencana B. Gergajinya ada padamu kan?”
“Tenang
saja, gergajinya ada padaku.”
“Cepat
pakai baju penjaga ini sebelum ada orang yang melihat kita!”
Aku dan Mikoto akhirnya menyamar menjadi penjaga penjara. Untunglah seragam penjara ini menggunakan penutup kepala, karenanya kami bisa leluasa melewati setiap lorong tanpa was-was diketahui siapa kami sebenarnya.
Aku dan Mikoto akhirnya menyamar menjadi penjaga penjara. Untunglah seragam penjara ini menggunakan penutup kepala, karenanya kami bisa leluasa melewati setiap lorong tanpa was-was diketahui siapa kami sebenarnya.
Kami
semakin dekat dengan sel yang mengurung Dionze. Tinggal beberapa blok sel lagi
maka kami akan segera menemuinya dan segera membebaskannya.
Tapi
hal mengejutkan terjadi setelah kami sampai di sel tersebut. Aku sama sekali
tidak melihat siapapun di dalam sel tersebut?! Sel itu kosong tanpa
penghuninya. Dionze menghilang!
“Apa
kamu yakin Dionze ditahan di sini?” aku bertanya pada Mikoto.
“Ya!
Aku sangat yakin!”
“Tapi,
dimana dia sekarang??”
***
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39
Selanjutnya: CHAPTER 11 - PENCARIAN
BalasHapus